This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 31 Maret 2016

SEPAK BOLA KITA MASIH ADA




“Kita sepakati bahwa turnamen tahun ini adalah sepakbola, bukan futsal seperti tahun-tahun sebelumnya!” tutup saya diakhir diskusi.

“Setuju!” serempak temen-teman yang didaulat menjadi panitia mengiyakan ucapan saya.

“Hasil diskusi hari ini akan segera kita sosialisasikan ke seluruh bagian, pendaftaran tim peserta dibuka mulai hari ini” imbuh saya.

Hari ini saya bersama beberapa teman menggagas sebuah kegiatan perlombaan sepakbola (turnamen) dengan melibatkan antar bagian di tempat kerja kami.

Ide yang muncul adalah kompetisi futsal dan sepakbola. Namun setelah melalui perdebatan panjang, saya dan teman-teman sepakat untuk tahun ini kami akan menggulirkan kompetisi sepakbola (selama beberapa tahun terakhir kami menggelar turnamen futsal).

Selain memberi nuansa baru dalam event yang rutin kami selenggarakan untuk menumbuhkan sportivitas karyawan ini, turnamen sepakbola sengaja dipilih sebagai bentuk keprihatinan kaum pinggiran (buruh pabrik) atas konflik tiada akhir antara Menpora Pak Imam Nahrowi dengan PSSI dibawah kepemimpinan Pak La Nyalla Mattaliti. Setidaknya kami ingin menunjukkan bahwa harapan untuk menghidupkan lagi aktivitas sepakbola belum sirna. Asa itu masih ada.

Diakhir diskusi, saya sempat dilempar sebuah pertanyaan dari seorang teman yang  nimbrung di ruang Serikat Pekerja itu.

“Yok opo cak perkembangane bal-balan saiki?”
“(Bagaimana perkembangan sepakbola kita sekarang mas?)”

“Wis padang jane rek, Mahkamah Agung wis mutusne pembekuan PSSI dicabut, jare Cak Imam gak suwe maneh yo kate dicabut” jawab saya.

“(Sudah ada titik terang, MA telah memutuskan pembekuan PSSI agar dicabut, kata Pak Imam pun tak lama lagi segera dicabut)”

Obrolan menjadi semakin melebar ketika kami membahas bahwa hingga hampir tiga minggu setelah keputusan Mahkamah Agung, belum ada reaksi apa pun dari Menpora Imam Nahrowi untuk beritikad mematuhi produk hukum dari pengadilan tertinggi itu. Ada dua hal kontroversi yang patut dicermati.

Pertama telah terjadi hatt trick PSSI dengan meng-knock out Menpora melalui tiga kali kemenangan beruntun dalam gugatan atas pembekuan oleh Pak Imam Nahrowi. Setelah PTUN Jakarta Pusat dan PT TUN DKI Jakarta memenangkan La Nyalla cs, akhirnya Mahkamah Agung juga memutuskan kemenangan PSSI atas Menpora. Skor 3-0 untuk Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia. Namun hingga hari ini tidak ada sinyal sama sekali bahwa Menpora akan patuh dengan melaksanakan amar putusan itu.

Kedua, seminggu setelah keputusan MA tersebut, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur resmi menetapkan sang ketua umum PSSI La Nyalla Mattaliti sebagai tersangka dugaan kasus dana hibah di Kadin (Kamar Dagang dan Industri) Jawa Timur. Posisi La Nyalla sendiri di Kadin Jatim juga sebagai ketua umum.

Kesimpulannya, psiwar Pak Imam Nahrowi selama ini bahwa PSSI adalah sarang mafia ada benarnya (mungkin). Tetapi sikap ngotot pengurus PSSI yang menentang kebijakan sang Menpora dalam mereformasi sepakbola pun bukanlah sikap yang bijak. Bagaimanapun juga Pak Imam Nahrowi adalah wakil pemerintah, sehingga menentangnya sama saja dengan melawan negara.

Tetapi ada hal yang dilupakan Menpora. Bahwa untuk menangkap seekor tikus didalam rumah, kita tak perlu membakar habis rumah kita sendiri. Membenahi tata kelola sepakbola Indonesia tentu tidak perlu harus menghentikan seluruh aktivitas sepakbola negeri ini, yang berimbas pada bubarnya tim nasional Merah Putih.

Hendaknya Pak Imam Nahrowi segera legowo untuk mencabut SK Pembekuan PSSI (sesuai keputusan MA). Begitu pula dengan Pak La Nyalla Mattaliti, sesuai statuta FIFA dan PSSI sendiri maka ia juga harus berbesar hati segera mengundurkan diri sebagai ketua umum PSSI (regulasi FIFA mengharuskan pemimpin induk organisasi yang tersangkut kasus hukum mundur).

Diskusi kami akhirnya berakhir setelah durasi ijin dari atasan (dispensasi) untuk berkumpul di ruang Serikat Pekerja telah habis.

 
Surabaya, 31 Maret 2016
(Heru Sang Mahadewa)

#OneDayOnePosting
#PostingHariKeduaPuluhEmpat
#MenulisKejadianHariIni

Rabu, 30 Maret 2016

Jalan Terjal Menikah di Usia Muda




“Kamu berani memintaku dari ibu?” 

Gadis lencir di hadapanku itu bertanya.

“Kenapa harus takut? Jangan panggil aku Heru kalau tidak punya nyali meminangmu! Meski hanya buruh pabrik, aku berani menafkahimu!” 

Aku balik menantangnya.

Kulihat pipi gadis itu merona, tak melanjutkan lagi pertanyaannya. Dia hanya menyunggingkan senyum tersipu. Senyum yang semakin menguatkan keberanianku untuk mempersuntingnya.

Tiga bulan setelahnya, aku mengikrarkan akad nikah di hadapan Penghulu dan Walinya. Meski hanya disaksikan orang tua dan keluarga terdekat, tapi momen tersakral dalam hidup kami itu tetap berkesan hingga kini.

Tak ada pesta pernikahan, tak ada pula janur kuning dan kemegahan baju pengantin. Kami memang berasal dari keluarga dengan strata ekonomi paling Low. Hanya ada komitmen diantara kami berdua untuk tetap bersama, hingga ajal mengakhiri keabadian cinta kami kelak. Sebuah momen hidup yang mebutuhkan nyali besar dari seorang lelaki bau kencur seusiaku ketika itu.


*****

“Her, ada telpon dari keluargamu!” Kata Pak Triadi, atasan di tempatku bekerja.

Ketika itu, ponsel masih menjadi barang super lux. Hanya segelintir orang yang memilikinya. Setiap ada keperluan yang mendesak, keluarga karyawan bisa menghubungi nomor pabrik, nantinya oleh resepsionis akan dipersilahkan menelpon ulang sekian menit kemudian, sambil dipanggilkan karyawan yang dimaksud.

Aku berlari ke ruang operator telepon (sebutan kami untuk resepsionist di serambi pabrik). Tak sempat berganti pakaian, masih dengan seragam kebesaran seorang tukang pembuat adonan mie. Panik dan cemas menyergap dada. Tak pernah aku mendapat telpon dari keluarga selama bekerja di pabrik itu.

“Mas, Kevin sakit. Sejak semalam dia buang air besar terus.”

Terdengar isak tangis dari suara penelponku.

“Terus bagaimana kondisinya sekarang?”

“Semalam bu bidan sudah memberikan banyak oralit, tapi diarenya belum juga berhenti sampai pagi ini.” 

Suaranya melirih, makin tenggelam dalam isak tangis.

“Pulanglah, mas.” 

Dia makin tersengal-sengal sesenggukan.

“Tenangkan dirimu, sayang. Aku pulang sekarang. Cepat bawa Kevin ke rumah sakit sekarang juga, jangan ditunda lagi!” Tutupku mengakhiri pembicaraan.

*****

Empat jam naik bis atar kota, akhirnya membawaku sampai juga di kota tempat anak dan istriku menetap bersama orang tuanya. Kaki ini terasa lemas ketika memasuki IGD Rumah Sakit Umum Daerah Nganjuk. Cemas bertambah panik menjadi penyebabnya.

“Kevin Fergiawan sudah dipindahkan ke ruang Dahlia 2A, mas.” Jelas seorang perawat yang berjaga di Istalasi Gawat Darurat siang itu.

“Terima kasih, mbak.” Jawabku, tanpa sempat membalas senyum ramahnya.

Sampai di ruang rawat inap anak-anak, aku tak sanggup lagi untuk tegar. Wajah lelah dari istriku yang duduk di tepi bad pasien membuat dada ini pelahan menyesak. Kudekati bayiku yang baru berusia setahun di sampingnya. Terbaring pulas. Kutatap  tak berkedip jarum infus yang menancap di pergelangan tangan mungilnya. Bulir netra pun mengalir ke sudut bibir ini.

“Alhamdulillah mas, sekarang sudah membaik. Sudah tidak buang air besar lagi setelah diinfus tadi.” Sambut istriku.

Aku masih terdiam, tak mampu mengeluarkan sepatah katapun untuk menjawab sambutan istri. Liverku masih terasa ngilu sengilu-ngilunya. Kucium dengan penuh kehati-hatian buah hatiku, kukecup pula kening ibunya.

“Tadi biaya di IGD belum dibayar. Semua obat dan infus ini sementara masih dipinjami rumah sakit, mas.” Jelas istriku dengan lirih, seraya menunjukkan selembar resep dokter yang belum sempat ditebusnya.

Belum sempat aku membaca resep itu, seorang petugas medis muda menghampiri kami.

“Selamat siang. Mas ini kakak atau ayahnya dik Kevin ya?” Sapa lelaki berwajah putih bersih itu dengan sopan.

“Siang juga. Saya ayahnya Kevin, mas.”

“Oh, masih muda sekali ayahnya dik Kevin. Resepnya tadi tolong ditebus di apotik ya, mas.” 

Untuk kedua kalinya, kembali dia mengumbar keramahan.

“Iya, nanti saya tebus, mas. Maaf, saya baru datang dari Sidoarjo.” Ucapku mengiyakan kata-katanya. 

Dalam hati aku berpikir, setelah ini harus memutar otak untuk mencari uang guna menebus resep dokter anakku.

Beberapa menit, aku dan istri hanya terdiam, belum menemukan jalan keluar terhadap semua biaya opname itu. Sesekali, kami membelai rambut buah hati kami yang masih terlelap. Mungkin pengaruh obat yang di injectkan dari infus.

“Permisi, mas. Saya ingin ngomong dengan sampean sebentar.” 

Tiba-tiba, cowok perawat tadi sudah berdiri di dekatku. Kami pun berjalan keluar ruang pasien. Lalu, duduk pada sebuah bangku panjang di lorong depan ruang Dahlia.

“Maaf sebelumnya, mas. Resepnya belum ditebus juga ya?” 

Petugas medis muda itu membuka percakapan.

“Belum, mas. Saya belum punya uang. Nanti pasti akan saya tebus.”

“Gak apa-apa, mas. Kami mengerti kondisi setiap pasien kok.”

“Begini, mas. Obat itu harus segera ada dan cepat-cepat diinjectkan lagi ke infus dik Kevin.” Lanjutnya masih penuh keramahan.

“Tapi kalau mas masih belum ada uang, saya bisa bantu. Nanti saya akan sampaikan ke atasan agar pasien atas nama Kevin dipinjami lagi obat itu. Tapi, saran saya, setelah resep ini dipinjami pihak rumah sakit lagi, mas segera siapkan dana untuk resep selanjutnya. Agar pelayanan rumah sakit juga baik nantinya!” 

Panjang lebar perawat itu menjelaskan.

Aku bisa menangkap pesan dari petugas medis muda itu. Apapun akan kulakukan demi buah hatiku. Ternyata benar kata orang-orang bahwa “Orang miskin dilarang sakit!”.

“Terima kasih banyak, mas.” Jawabku di akhir percakapan. 

Belakangan kuketahui bahwa dia ternyata mahasiswa sebuah akademi perawat yang sedang magang di RSUD Nganjuk.


*****

“Hanya ini satu-satunya cara, mas.” 

Pelahan, istriku melepaskan sebuah cincin yang melingkar di jari manisnya. Cincin yang dulu ikut menjadi saksi saat kami mengikrarkan ijab kabul.

“Pergilah ke toko emas, jual cincin ini. Demi anak kita, mas.”

Akupun menyerah. Meski harga jualnya tidak seberapa (saat akad pernikahan dulu aku hanya mampu membelikan sebuah cincin murahan), namun setidaknya bisa untuk menebus resep pertama dari dokter rumah sakit.

Tiga hari kemudian dokter Agus P, Spa. yang kala itu bertugas di RSUD Nganjuk menyatakan bahwa kondisi anakku sudah seratus persen sehat dan pulih, sehingga bisa pulang dari rumah sakit.

Kami bersyukur akhirnya bisa melewati masa-masa sulit itu. Namun, masalah baru timbul. Tunggakan selama tiga hari rawat inap belum kami lunasi.

“Apapun akan kulakukan demi anakku!” 

Kalimat itu yang senantiasa menumbuhkan asa dalam pikiran ini. Aku pun pamit kepada istri untuk kembali ke Sidoarjo sesaat. Menemui seorang kawan sejawat di sana.

“Nanti aku langsung kembali!” Kukecup kening dua sosok malaikat yang masih tertahan di ruang Dahlia 2A.

*****

“Aku hanya punya ini, Kus.” Ratapku. Memohon kepada Kusnanto, seorang teman di tempatku mengais rejeki di pinggiran kota Delta Sidoarjo. Kusodorkan sebuah buku kepadanya.

“Apa-apaan kau ini! Kenapa harus kauserahkan BPKB motormu segala?” Jawab kawanku itu, nadanya terdengar marah.

“Anak dan istriku masih tertahan di rumah sakit. Aku butuh uang satu juta. Setidaknya, buku ini sebagai penguat keyakinanmu bahwa aku akan membayar hutang ini.” Jelasku dengan memelas.

“Nanti, setiap minggu, upahku kauambil separuhnya. Aku cicil hutang ini, Kus.”

Kusnanto tak menjawab lagi. Dia masuk ke dalam kamar menemui istrinya. Sementara aku berharap-harap cemas menunggu di ruang tamu. Tak lama kemudian, dia keluar lagi sembari menyerahkan sepuluh lembar uang ratusan ribu.

“Salam buat keluargamu. Segera pulang dan secepatnya kembali kesini. Bekerja lagi. Aku dan teman-teman sudah menunggumu di adukan!” Ucapnya. 

Adukan adalah sebutan kami, para buruh di pabrik makanan ringan untuk menamai bagian pengolahan mie.

“Terima kasih, Kus. Semoga Allah membalas semua kebaikanmu hari ini.” 

Aku pun pamit.


*****

Kejadian itu kami alami ketika pernikahan kami tepat berusia dua tahun. Sama dengan usia pernikahan Bang Syaiha dan mbak Ella Nurhayati sekarang ini. Jagoan kecilku Kevin Fergiawan ketika itu umurnya masih setahun, seumuran juga dengan Bang Alifnya Bang Syaiha dan mbak Ella.

Kami beda nasib dan latar belakang, apalagi strata sosial (maaf), mungkin sangat bertolak belakang. Tapi ada kenangan yang tak akan pernah kami lupakan dalam hidup ini. Betapa terjalnya liku-liku jalan yang harus ditempuh pasangan nikah muda. Yang pernah kami lalui di usia pernikahan dan usia buah hati seperti usia pernikahannya Bang Syaiha - Mbak Ella dan usia putra  tercintanya Alif. Sosok yang kini menginspirasiku dengan kisah pengabdian dan perjuangan hidupnya.

Semoga abadi ikatan pernikahannya Bang. Seperti legenda Dewi Ratih – Kumojoyo yang langgeng meski usia sudah senja, dan raga telah dimakan renta. Semakin menginspirasi semua orang (bukan hanya dikalangan komunitas penulis saja), dan mampu mengawal Bang Alif menjadi sosok masa depan yang amanah, bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan agama. Amin!

Salam bahagia,
( HERU WIDAYANTO)

Giveaway #2ndAnniversaryElSya
#TrueStory
#ODOP
#PostingHariKeduaPuluhTiga

Selasa, 29 Maret 2016

PRABU SRI BETHORO KRESNO (Part 2)




Masa pengasingan keluarga Pandowo (Pandawa) selama dua belas tahun telah berakhir. Mereka terusir dari kerajaan Hastinapura (Astina) karena tipu daya saudara sepupu mereka Prabu Duryudono (Doryudana, Suyudana) dalam perjudian dadu.

Diakhir masa pembuangan itu, mereka menyamar sebagai rakyat biasa dan menetap di negeri Wirata. Butuh waktu setahun bagi Prabu Matswopati, raja Wirata untuk mengenali bahwa kelima putra Prabu Pandu (ayah Pandowo) ternyata berada di negerinya.

Prabu Matswopati pun menyebarkan berita ini ke negeri-negeri tetangga bahwa Pandowo telah bebas dari masa pembuangan dan menetap di negerinya. Maka para putra dan kerabat Pandowo mulai berdatangan ke Wirata.

**********
Pernikahan Abimanyu – Utari.
Sementara itu di Dworowati, Prabu Sri Bethoro Kresno sedang bercakap-cakap dengan Abimanyu (putra Arjuna). Mereka juga sudah mendengar kabar keberadaan para Pandowo.

“Paman Kresno, saya ingin pergi ke Wirata.” Ucap Abimanyu.

“Saya sudah kangen dengan romo Arjuno dan paman-paman Pandowo. ”

“Sabarlah Abimanyu, kita menunggu Gatotkoco yang sedang menuju kemari!” Kresno membesarkan hati Abimanyu.

Sebagai titisan Wisnu, sebenarnya ia telah mengetahui bahwa Pandowo sedang mengutus Gatotkoco (Gatotkaca, putra Bima / Werkudoro) untuk memberitakan kabar ini ke Dworowati, sekaligus mengundang mereka untuk datang ke Wirata.

Sesampainya Gatotkoco ke Dworowati, Prabu Kresno memerintahkan agar putra Bima itu segera kembali ke asalnya Pringgodani karena masih banyak tugasnya yang harus diselesaikan disana. Gatotkoco pun segera melesat terbang ke kesatriannya.

Tak lama setelah itu, berangkat pula Kresno bersama dengan Abimanyu dan Sembodro (istri Arjuno, adik Kresno) menuju Wirata, memenuhi undangan Pandowo.

Kedatangan mereka disambut penuh sukacita oleh Pandowo, karena lama tidak berjumpa. Begitu pula dengan Arjuno, ia sudah sangat merindukan istri dan putranya.

Di Wirata pula, Abimanyu bertemu dengan sosok wanita muda yang cantik jelita, Dewi Utari yang merupakan putri Prabu Matswopati. Singkat cerita, cinta pun bersemi diantara mereka berdua.

Atas restu dari para Pandowo dan Prabu Matswopati, Abimanyu disarankan segera menikahi Dewi Utari. 

Pesta pernikahan akan dilangsungkan di Wirata. Undangan segera mereka sebar ke negeri-negeri tetangga dan kerabat Pandowo. Termasuk keluarga Kurowo (Kurawa) di Astina.

Semua tamu yang diundang menyatakan akan hadir, kecuali Prabu Duryudono bersama saudara-saudara Kurawanya, juga Patih Sengkuni. Bahkan mahaguru dari Pandowo yaitu Pendeto Durno (Resi Drona) pun menolak hadir, dengan alasan sudah tua dan tak sanggup menempuh perjalanan jauh.

Sementara ibu Kunti (ibu para Pandowo), Arya Widura (paman Pandowo) dan Bismo (Resi Bisma, kakek Pandowo & Kurowo) dengan sukacita menyambut pernikahan itu. Mereka pun hadir ke Wirata.

Pernikahan Abimanyu dan Utari pun berlangsung khidmat dan syahdu. Setelah usai pesta, semua undangan dari negeri tetangga pulang, kecuali para tamu kehormatan. Diantaranya Prabu Kresno, ibu Kunti, Arya Widura dan Resi Bismo.

***********
Kresno Duto.
Pandowo berdiskusi dengan para tamu besar. Mereka mengutarakan niat untuk meminta hak atas tanah Amarta (Indrapasta) yang kini telah dikuasai pula oleh Astina.

Ibu Kunti dan Resi Bismo memberi nasehat agar Pandowo membicarakan hal ini secara baik-baik dengan sudara sepupu mereka Prabu Duryudono. Lalu mereka pun pamit kembali ke Astina.

“Aku tidak bisa tinggal bersama kalian di Wirata putra-putraku tercinta”

“Aku harus kembali, almarhum ayah kalian Prabu Pandu memberi amanah bahwa aku harus tetap tinggal Astina.” ungkap Dewi Kunti.

Sebelum pulang, Arya Widura dan Resi Bismo menyarankan agar para Pandowo meminta bantuan Prabu Kresno untuk menjadi duta ke Astina.

Maka berangkatlah Sri Bethoro Kresno menuju Astina. Ia melesat menggunakan kereta yang bisa terbang yaitu Kiai Jolodoro. Sebagai kusir kereta sakti itu adalah senopati (panglima perang) Dworowati yang juga saudara ipar Kresno, Raden Setayki (adik Setyaboma).

Sesampai di Astina, Prabu Duryudono bersama para punggawa dan sesepuh (tetua) istana sudah menunggu. Di paseban agung (pendopo istana) tampak Prabu Destorotro (ayah Duryudono, adik Prabu Pandu) bersama istrinya Dewi Gandari, Resi Bismo, Pendeto Durno, Arya Widura, dan Patih Sengkuni (penasehat Duryudono).

“Wahai Duryudono, niatku datang ke Astina adalah menyampaikan amanah dari Pandowo” buka Sri Bethoro Kresno.

“Sebagaimana yang kita ketahui semua, tanah di Amarta adalah milik Pandowo, saudara-saudaramu itu hendak meminta haknya secara baik-baik!”

“Ketahuilah prabu Kresno, Astina adalah sebuah negeri berdaulat, pantang bagi Duryudono untuk menyerahkan sejengkalpun wilayah dari Astina!” tolak Duryudono.

Semua yang hadir di pendopo Astina tersentak, tidak menyangka Prabu Duryudono (yang sudah dihasut Patih Sengkuni) berani bicara lantang kepada Sri Bethoro Kresno.

“Dengarkan aku Duryudono, hindarilah perang sesama saudara, tempuhlah jalan damai ini, demi keutuhan persaudaraan Pandowo dan Kurowo!”

“Kembalikanlah hak para Pandowo, demi kebaikan kita semua!” sabda titisan Sang Hyang Wisnu itu.

Para sesepuh yang mendengar ucapan Duryudono segera meminta maaf kepada Prabu Kresno,  kakek Bismo berusaha menasehati cucunya.

“Cucuku Duryudono, semua yang dikatakan Sri Bethoro Kresno benar, kembalikanlah Amarta kepada Pandowo!”

“Dari jaman aku kecil hingga sekarang kakek Bismo tua renta, tetap saja kakek pilih kasih membela Pandowo!” bentak Duryudono.

Arya Widura pun ikut angkat bicara, Duryudono, perkataanmu sudah keterlaluan dan tidak mencerminkan tindakan seorang raja, aku tidak akan merestui semua tindakanmu!”

“Aku juga tidak butuh restu dari paman!”

“Terakhir kali aku berkata, apakah kau bersedia berdamai dengan Pandowo dan mengembalikan Amarta?” tanya prabu Kresno.

“Pulanglah ke Dworowati, jangan ikut campur urusan kami! Segera tinggalkan istanaku atau kamu akan menyesal!” tantang Duryudono kepada Kresno. 

Prabu Duryudono
***********
Sementara itu di alun-alun Astina sang kusir dari kereta Kiai Jolodoro sedang beristirahat. Ia tidak menyadari ketika tiba-tiba datang seseorang raksasa muda yang tanpa ampun langsung menendangnya.

Setyaki terjerembab, belum sempat ia bangun tapi sudah diseret-seret oleh sraksasa muda tadi. Cepat-cepat patih Setyaki menguasai diri dan ditendangnya raksasa itu. Raksasa itu jatuh terguling guling.

Burisrowo
Akhirnya raksasa itu mengaku bernama Burisrowo dan diperintah prabu Duryudono untuk menghabisi Setyaki. Mereka pun berkelahi adu kesaktian. Keduanya seimbang sama kuat. Akhirnya mereka berjanji akan melanjutkan perkelahiannya  kelak jika bertemu lagi, karena saat ini Setyaki sedang beperan sebagai seorang duta bersama Kresno yang tidak boleh berkelahi (kelak pada perang Baratayudha mereka bertanding lagi).

Setyaki
Setyaki segera menyusul ke pendopo, lalu menceritakan kejadian tadi kepada prabu Sri Bethoro Kresno.

“Duryudono, semua yang hadir disini akan menjadi saksi atas ucapanmu, perkataanmu dan tindakanmu terhadap Setyaki harus kau pertangunggjawabkan di kemudian hari!” sabda Sang Hyang Wisnu.

“Tangkap dan habisi mereka berdua!” perintah Duryudono yang disambut kepungan ratusan prajurit Kurowo kepada Kresno.

Melihat itu, Sri Bethoro Kresno langsung melesat sekejap mata menuju ke halaman istana Astina. Ia berdiri tegak ditengah halaman, tampak matanya bersinar merah tanda amarahnya telah memuncak.

Tiba-tiba Guntur menggelegar. Langit Astina menjadi gelap gulita. Prabu Kresno lenyap dan kini sudah berdiri sesosok raksasa sebesar gunung Jamurdipa. Reksa denawa itu bernama Berholo Sewu yang merupakan tiwikrama (perubahan wujud) dari Bethoro Wisnu (Dewa Wisnu).

Kehadirannya membuat Astina gempar. Para punggawa Kurowo segera berlarian mencari tempat persembunyian. Berholo Sewu ini mengaum keras dan hendak menelan seluruh istana Astina.

Auman dari Tiwikrama Bethoro Wisnu terdengar hingga istana taman langit (Kahyangan, Suralaya). Para dewa pun ikut gempar, khawatir prabu Kresno akan meluluh lantakkan Astina.

Bethoro Guru pun segera memerintahkan Bethoro Dharmo (Dewa Kesabaran) turun ke bumi menenangkan Bethoro Wisnu. Karena hanya dengan kesabaran Bethoro Dharmo kemarahan tiwikrama Bethoro Wisnu bisa diredam.

Bethoro Dharmo pun pelan-pelan mendekati saudaranya yang sudah dikuasai amarah.

“Wahai tiwikrama, sesakti itukah para Kurowo sehingga perlu dihancurkan oleh seorang Bethoro Wisnu?” bujuk Bethoro Dharmo.

“Aku akan menelan seluruh Astina beserta Kurowo yang sombong ini!”

“Apakah kejahatan mereka menggemparkan dunia? Hingga tiwikrama yang sakti sebagai perwujudan dewa sampai turun tangan?”

“Kita semua tahu, para Pandowo akan bisa menyelesaikan angkara murka Kurowo tanpa bantuan Dewa Wisnu! Cabutlah tiwikrama ini saudaraku!”

Ucapan sang Bethoro Dharmo yang penuh kesabaran pun meredam amarah Sri Bethoro Kresno. Iapun kembali ke wujud aslinya, lalu menuju ke rumah ibu Kunti dan Arya Widura untuk pamit.

Prabu Sri Bethoro Kresno memerintahkan Setyaki untuk pulang ke Dworowati bersama Kiai Jolodoro. Sementara ia langsung terbang ke langit menuju Wirata, mengabarkan hasil pertemuan dengan Kurowo kepada Pandowo.
Prabu Duryudono


Berholo Sewu - Tiwikrama Dewa Wisnu
Segmen ini dalam pagelaran wayang kulit dikenal dengan kisah “Kresno Duto”, sekaligus menjadi babak dimulainya perang saudara antara Pandowo dan Kurowo, perang besar Baratayudha (Barotoyudho Joyo Binangun).


#ODOP
#PostingHariKeduaPuluhDua

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *