Senin, 06 Juni 2016

MEGENGAN, EUFORIA MASYARAKAT JAWA MENYAMBUT RAMADHAN




Tumpeng dan Selamatan, tradisi Jawa yang tak lekang oleh jaman - image google
Pemerintah RI, melalui Menteri Agama Lukman Hakim Saefudin secara resmi mengumumkan 1 Ramadhan 1437 H jatuh pada hari senin, 6 Juni 2016. Seluruh umat muslim di Indonesia, bahkan mungkin di seluruh penjuru dunia serentak menjalankan ibadah puasa Ramadhan 1437 H.

Sehari sebelumnya, banyak tradisi yang dilakukan masyarakat di berbagai penjuru tanah air menyambut bulan penuh berkah ini. Salah satu budaya di tanah kelahiran saya (sebuah kampung di pelosok Nganjuk, Jatim) dari kesekian banyak tradisi nusantara adalah Megengan. Berupa acara tasyakuran dengan saling berbagi nasi tumpeng beserta jajanan pelengkap kepada tetangga sekitar rumah. Sangat khas warna Jawanya.

Meski nuansa kendurenan (selamatan) Jawa masih kental dalam tradisi Megengan, tetapi inilah bentuk euphoria masyarakat di tempat saya untuk menyambut bulan paling mulia diantara kesebelas bulan lainnya.

Salahkah? Menurut saya tidak.

Kita kesampingkan dulu berburuk sangka terhadap nuansa kendurennya. Berbagi rejeki dengan memberikan makanan kepada banyak orang, tentunya sebuah perbuatan yang terpuji. Ditambah lagi melakukan dzikir, sholawat, dan tahlil secara massal sebagai bagian dari acara Megengan, tentu juga merupakan amalan mulia.

Lantas, kenapa harus ada tradisi pemberian makanan dan jajanan tertentu yang mirip dengan ubo rampe orang selamatan dalam menyambut bulan Ramadhan ini?

Saya menyebutnya sebagai kekayaan kultur bangsa Indonesia. Kearifan budaya lokal yang sebenarnya sudah bermetaformosis dengan membaurkan diri terhadap syiar Islam.

Kenapa tidak salah?
Niatnya.
Ketika masyarakat Jawa beramai-ramai mengadakan acara Megengan, niat tulus mereka adalah menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Tidak ada niat lain. Apalagi niatan untuk Syirik. Seujung rambutpun tak terlintas dibenak mereka.

Tradisi Megengan sendiri berasal dari kata megeng (bahasa Jawa) yang berarti menahan. Secara luas, Megengan diartikan sebagai symbol dimulainya kewajiban kita untuk menahan diri dari segala hawa nafsu. Sebuah ritual budaya masyarakat pinggiran dengan nuansa Islam Jawanya.   

Adalah Kanjeng Sunan Kalijaga dan Kanjeng Sunan Giri, ulama besar di tanah Jawa kala itu memahami bahwa tradisi peninggalan nenek moyang masyarakat Jawa tidak mungkin bisa dihilangkan seutuhnya. Ritual bernuansa Animisme dan Hindu itu sudah mengakar dalam sendi kehidupan masyarakat Jawa Kuno.

Beliau-beliau para ulama besar itu menyisipkan syiar Islam ke dalam tradisi dan budaya tersebut. Kenduren dan Selamatan dimodifikasi sedemikian rupa dengan niat untuk berbagi rejeki (makanan dan jajanan) sebagai wujud syukur sang sohibul hajat atas segala nikmat dan karunia Allah SWT. Niatnya pun di doktrinkan sebagai sedekah makanan.

Sunan Kalijaga yang juga terjun ke dunia seni Jawa Kuno sebagai seorang dalang, memasukkan unsur dakwah Islam melalui karya-karya fiksi gubahannya dalam bentuk penokohan dan alur lakon (cerita) wayang kulit. Salah satunya adalah pengejawantahan lima rukun Islam dalam tokoh Pandawa Lima.

Bukan hanya itu, Kanjeng Sunan Kalijaga pula yang mengubah pakeliran wayang kulit dengan visual seperti sekarang ini. Dahulunya bentuk wayang kulit menyerupai wujud manusia. Beliau dengan sabar memberikan pengertian bahwa hal itu dilarang dalam ajaran Islam.

Baca juga tulisan tentang Pandawa Lima [Disini ]

Sementara Kanjeng Sunan Giri dikenal dengan syiar Islamya melalui karya-karya sastra yang digubah dalam bentuk tembang (lagu Jawa). Salah satu karya beliau yang hingga kini sangat sakral dengan pesan dakwah adalah tembang Turi-Turi Putih.

Melalui karyanya itu, Kanjeng Sunan Giri memberikan sentuhan sastra di jamannya (menurut saya) kepada masyarakat Jawa Kuno dengan ajaran bekal manusia untuk menghadapi hari pertanggungjawaban. Hari setelah kematian.

Baca tulisan selengkapnya tentang sakralnya pesan dakwah Tembang Turi-Turi Putih [ Disini ]

Nah, jika para ulama besar seperti Kanjeng Sunan Kalijaga dan Kanjeng Sunan Giri saja masih bisa memahami keberadaan tradisi dan budaya Jawa, kenapa kita yang kadar keimanannya masih jauh dari beliau-beliau itu terkadang mempersoalkan kleniknya budaya masyarakat pinggiran?

Mencoba menghormati tradisi nenek moyang, dengan sentuhan syiar Islamnya (Megengan, Colok-Colok Malem Songo, dll) sebagai bentuk luapan kebahagaian masyarakat Jawa menyambut bulan suci Ramadhan. Menurut saya tidak salah. Ketimbang kita terlalu bersemangat berlebihan dengan melakukan sweeping sana-sini.

Mengutip pernyataan budayawan Betawi Ridwan Saidi, “Masih banyak jalan indah menuju surga, daripada menempuh jalan fanatisme berlebihan, apalagi yang menjurus anarkis.” Jalan indah yang dimaksud babe adalah melalui pelestarian seni, budaya dan sastra para pendahulu kita.

Indonesia itu indah.
Selamat datang bulan suci. Marhaban Ya Ramadhan 1437 H.

.
Surabaya, 6 Juni 2016
(Heru Sang Mahadewa)

3 komentar:

  1. Aku bangga dengan negara kita yang memiliki keanekaragaman budaya baik mengenai hal umum maupun keagamaan.

    BalasHapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *