Rabu, 01 Juni 2016

OBROLAN DEMOKRASI DI SEBUAH WARUNG KOPI




“Cak Di, saya ini mbok ya ikut diciprati (diberi jatah) kalau ada bagi-bagi uang dari para calon lurah.” Ucap Sumiran kepada Cak Kasdi, ketika mereka berdua sedang ngobrol di warung kopi pojok kampung.

“Wis ndak kebagian Ran, uang dari Pak Jalal sudah dipasrahkan semuanya kepada tim suksesnya. Aku sendiri hanya kecipratan (kebagian) lima puluh ribu.” Jawab Cak Kasdi. Ia dikenal Sumiran sebagai orang yang dekat dengan orang-orang yang menjadi anggota tim pemenangan Pak Jalal. Calon Lurah di kampung Loka Jaya. Beliau adalah calon incumbent.

“Bukankah sampean juga tim suksesnya Cak?” Tanya Sumiran.

Ndak Ran, aku hanya disuruh mengajak istri dan mertuaku agar tanggal dua sembilan besok nyoblos Pak Jalal.” Pengakuan Cak Kasdi.

Beberapa hari yang lalu rumah Kasdi didatangi seorang anggota tim sukses calon lurah petahana. Dengan pancingan selembar uang lima puluh ribuan, Cak Kasdi dirayu agar mempengaruhi orang serumahnya untuk memilih Pak Jalal pada saat pilkades nanti.

“Oalah, ya sudah… tak dongakno mugo-mugo kalah (saya do’akan semoga kalah)!” Gerutu Sumiran. Ia kecewa karena diantara para tetangganya, hanya Sumiranlah yang tidak kebagian rejeki dadakan itu. Kebetulan ia sedang mudik ke rumah orang tuanya di Madiun ketika tim sukses Pak Jalal bagi-bagi angpao.

"Ya ndak boleh begitu Ran. Pak Jalal itu sudah terbukti memimpin satu periode ini. Mending kita memilih yang sudah nyata kerjanya, daripada menggantungkan harapan kepada calon yang belum jelas jluntrungnya (arah kepemimpinannya)!" Jelas Cak Kasdi menggurui.

"Jiahhh... sampeyan itu benar-benar sudah terlena dengan uang lima puluh ribu Cak Di. Saya ndak akan datang nyoblos besok. Toh siapapun yang menang, saya juga tetap menjadi buruh tambak!" Bantah Sumiran dengan nada semakin kecewa.

Obrolan Cak Kasdi dan Sumiran di warung kopi malam itu menggambarkan bahwa praktek Money Politic di negeri ini masih terjadi.

Hari minggu 29 Mei 2016 lalu, serentak sebanyak 77 desa di kabupaten tempat saya tinggal menghelat Pesta Demokrasi Klasik bertajuk Dedegan Lurah (Pemilihan Kepala Desa).

Inilah hajatan di level akar rumput yang menjadi cermin demokrasi Indonesia dari strata yang paling sempit dan rendah. Sebagai orang yang mendambakan seorang pemimpin yang amanah, sebenarnya saya lebih menginginkan para calon lurah tersebut mensosialisasikan program kerja yang mereka tawarkan melalui sebuah adu debat Cakades. Sayangnya tidak ada media yang mensponsori seperti moment yang  ngetrend di beberapa stasiun TV swasta saat Pilpres atau Pilkada.

Alih-alih para calon lurah itu mengkampanyekan visi dan misinya jika terpilih nanti, yang ada mereka justru melakukan perlombaan pemberian donasi atau sembako kepada para pemegang hak pilih.

Kini pesta telah usai, terlepas dari terpilihnya kembali calon incumbent di desa tempat tinggal saya, tetap ada yang mengganjal di hati ini. Pesta demokrasi yang Luber dan Jurdil sepertinya hanya ada dalam slogan Panitia Pemilihan Pilpres, Pilkada, Kades.

Apakah ini sehat?
Pemberian uang dan sembako selama ini hanya mendidik masyarakat siapa yang paling banyak memberi itulah yang ia pilih. Tanpa adanya pertimbangan lain. Masyarakat sudah terlanjur dicekoki budaya seperti ini, mereka tidak akan datang ke TPS tanpa ada remahan uang yang nilainya tak seberapa. Lebih memilih golput.

Ah desaku.. negeriku, Indonesiaku!

.
.
Sidoarjo, 01 Mei 2016
(Heru Sang Mahadewa)   

Catatan :
Tulisan ini terinpsirasi dari kejadian nyata saat paman saya mencalonkan diri menjadi Lurah di tanah kelahiran saya.

11 komentar:

  1. Wah, di sd tempatku ngajar lebih parah money politicnya...

    BalasHapus
  2. Wah, di sd tempatku ngajar lebih parah money politicnya...

    BalasHapus
  3. Bisa jadi ini sisa-sisa mental dari penjajahan dulu mas.

    BalasHapus
  4. Balasan
    1. Berarti budaya itu sudah merambah ke seluruh pelosok Indonesia mbakyu??

      Hapus
  5. Masih merebak sistem beginian, yah... hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Begitulah mbk Ainayya.
      Sudah membudaya kyknya.

      Hapus
  6. Dan anehnya...kenapa mqsyarakat kita....menerima hal itu dan memilih berdasarkan sapa yg beri uang paling byk???
    Apa masyarakat ga mikir....yg ngasih2 duit gt, kalo udah jadi pemimpin, pasti berpikir ..bagaimana cara uang kampanyenya balik...yg buntutnya korupsi. Atau memeras rakyat dll

    BalasHapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *