This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 11 Juli 2016

MERAJUT ASA, MENYAMBUNG TALI SILATURRAHMI




Hari masih pagi, mata ini rasanya masih enggan untuk dibuka. Tetapi bunyi nada dering ponsel yang tergeletak disamping tikar tempat  tidur, membuat saya terpaksa bangun juga.

Posisi nek endi bro? Wis tangi durung? Posisi dimana bro? Sudah bangun belum?” Sebuah pesan singkat dikirim teman SMP saya, Anang Shintaka.

Nek omah, wis tangi awit mau! – Di rumah, sudah bangun dari tadi!” Balas saya.

Berpura-pura sudah bangun tidur. Padahal tubuh masih setia merebah diatas tikar.

Kebiasaan orang-orang di desa saya, lebih suka tidur diatas kloso pandan (tikar yang terbuat dari anyaman daun pandan) daripada kasur maupun spring bad. Setiap pulang ke kampung halaman, saya termasuk orang yang memilih tidur dengan kebiasaan unik itu.

Belum sempat saya bangun tidur sungguhan, tiba-tiba terdengar suara seseorang mengetuk pintu.

KulonuwunPermisi .. Assalamu’alaikum.” Ucap si tamu.

“Wa’alaikum salam. Monggo pinarakSilahkan masuk!” Jawab ibu saya yang sedang berada di teras rumah. Menyambut tamu pagi itu.

Anang!

Sialan. Saya dikerjai!

Ternyata saat teman saya mengirim pesan singkat tadi, dia sudah berada di halaman rumah. Sontak saya segera melompat dari tikar. Kondisi ruang tamu tempat saya tidur masih acak-acakan.

Tampak dua orang menyertai Anang pagi itu. Seorang lelaki yang tak asing bagi saya. Karena sering chat di grup sosmed. Triono.

Seorang lagi wanita berhijab yang sama sekali sudah tidak bisa saya ingat lagi  siapa dia. Wajahnya teduh. Berkulit bersih. Cantik dengan busana syar’i.

“Ayo masuk! Sorry belum sempat beresin ruang tamu!” Sambut saya dengan muka malu.

Ketahuan bohong. Berpura-pura sudah bangun tidur. Mereka tertawa terbahak-bahak mengetahui tingkah ini.

“Siapa ya ini?” Tanya saya kepada wanita cantik berhijab.

Lali yo?Lupa ya?” Jawabnya balik bertanya.

“Lailin!” Sebutnya mencoba menggiring memori saya.

“Khusnul Lailin, benarkah? Pangling sekali!” Saya mulai bisa mengingatnya. Dia tertawa sembari menjabat uluran tangan saya.

Beberapa saat kami berempat bercengkerama. Melepas kangen. Saling bercerita kabar masing-masing.


SOWAN DEWAN GURU

“Ayo ikut sowan ke rumah guru-guru kita dulu. Sekalian mengantar sisa undangan!” Ajak Anang.

Ternyata ketiga teman lama itu datang menjemput saya untuk diajak mendistribusikan undangan kepada para guru semasa kami duduk di bangku SMP.

Sebuah sekolah lanjutan tingkat pertama yang terletak di pinggiran Kota Angin. Tepatnya di Jalan Juanda, Begadung. Bernama SMP Negeri 4 Nganjuk.

Setelah mandi sebentar. Kami berempat pun berangkat menggunakan mobil milik Anang. Yang juga menjabat sebagai Ketua Ikatan Alumni SMPN 4 Angkatan 1995 (angkatan saya).


PAK MARSIDI KOSIM
Tujuan pertama adalah guru yang rumahnya terdekat dengan desa saya. Pak Marsidi Kosim. Guru BP (Bimbingan & Penyuluhan). Dulu kami lebih familiar memanggil beliau dengan sebutan Pak Markos.

Rumah beliau hanya berjarak 3 km dari tempat tinggal saya. Tepatnya di Dusun Jatisari, Desa Ngangkatan, Kec. Rejoso, Kabupaten Nganjuk.

Sekitar 10 menit menempuh perjalanan, akhirnya kami sampai di kediaman Pak Markos.

Di sana, kami bertemu dengan senior. Angkatan kedua SMPN 4 Nganjuk (tahun 1982). Pak Pantoyo, yang kini menjabat sebagai Kepala Desa di daerah Berbek. Beliau juga memiliki tujuan yang sama dengan kami. Sowan sekaligus mengantar undangan acara temu kangen.

Pak Markos menyambut kami dengan penuh suka cita.

“Saya pasti akan datang!” Ucap beliau dengan berbunga-bunga.

Saya bisa menangkap kebahagiaan luar biasa dari raut wajah Pak Markos. Entah apa yang menjadi penyebabnya. Mungkin beliau merasa di Uwongne (diperhatikan, dihormati).

Beliau yang kini sudah purnawirawan sempat bercerita perihal aktivitasnya sekarang. Guru BP yang dulu pernah menginterogasi saya gara-gara bolos sekolah itu mengisi masa pensiunnya dengan ngarit suket (menyabit, mencari rumput) untuk pakan hewan ternak sapi dan kambing.

Terkadang beliau juga menyalurkan hobinya berburu ikan kuthuk (snack head).

Setelah berpamitan, kami melanjutkan perjalanan ke arah pasar Gondang. Berjarak sekitar 2 km dari rumah Pak Markos.

Sowan ke rumah Pak Markos, guru BP SMP kami dahulu - Dok. Pribadi

PAK SUPRIYANTO
Tujuan kami adalah kediaman Pak Supriyanto. Guru yang sejak era saya hingga kini masih mengajar Fisika.

Pak Pri, begitu kami memanggilnya, termasuk guru yang galak dulunya. Teman sekelas saya Ayub Darmawan pernah dimanja wajahnya di depan kelas. Gara-gara ramai dan sibuk bermain saat Pak Pri sedang mengajar.

Tidak ada protes!

Tidak ada pengaduan ke orang tua Ayub. Apalagi berbuntut pelaporan ke Polisi. Yang ada justru kami semakin disiplin setiap jam pelajaran Pak Pri sejak kejadian itu.

Kenangan yang mungkin tidak pernah dilupakan oleh teman saya. Si Ayub.

Lima menit perjalanan, kami tiba di depan sebuah toko elektronik yang megah. Bangunannya paling besar diantara toko-toko lainnya. Terlihat sosok lelaki berwibawa sedang merakit sebuah antena televisi.

Saya hapal betul garis wajah bapak itu.

Meski kini tampak sudah jauh lebih tua dari masa kami SMP dulu, namun wajah galak Pak Pri belum berubah. Kumisnya masih setebal Pakde Karwo. Gubernur kami sekarang (Jawa Timur).

Sama seperti Pak Markos, Pak Pri juga menyambut kami dengan penuh suka cita. Beliau juga berjanji akan menyempatkan hadir pada acara temu kangen alumni SMP kami.

Hari semakin siang.

Masih ada beberapa undangan yang masih harus kami distribusikan.

Sowan ke toko Pak Pri, guru Fisika kami semasa SMP - Dok. Pribadi

PAK SUYADI
Perjalanan kami lanjutkan ke kawasan Nganjuk Selatan. Kampung saya, Pak Markos dan Pak Pri berada di wilayah Nganjuk Utara.

Kini kediaman Pak Suyadi menjadi tujuan. Beliau adalah Wakil Kepala Sekolah kami dulu. Kami sempat bersedih begitu melihat kondisinya.

Pak Yadi, panggilan beliau, kini susah untuk berjalan. Sudah dua tahun ini beliau mengalami sakit akibat terjadi pergeseran ruas tulang ekor dan punggung.

Beliau menghaturkan permohonan maaf kepada kami karena tidak bisa hadir pada acara temu kangen yang kami gagas. Selain kondisi kesehatan yang tidak mendukung, ada keperluan ke Jogjakarta yang tidak bisa ditangguhkan oleh Pak Yadi.


PAK BUANG
Kami pun melanjutkan misi sowan dan silaturrahmi ke rumah Pak Buang Sampa. Guru kami dari etnis Madura tulen yang dulu mengajar Biologi. Rumah beliau tak jauh dari kediaman Pak Yadi.

Sama seperti Pak Yadi, Pak Buang juga meminta maaf tidak bisa memenuhi undangan kami. Beliau harus mudik ke kampung halaman di Jember, Jawa Timur hingga waktu yang melewati hari saat kami mengadakan acara temu kangen.

Kami langsung tancap gas! Berburu dengan waktu yang semakin sore.


PAK EKO
Tujuan selanjutnya adalah rumah Pak Eko. Guru Elektronika sekaligus pembimbing kami di ekstra kurikuler Pramuka dulu. Kediaman beliau berada di Desa Sumberwindu, Kec. Berbek, Kabupaten Nganjuk. Sekitar 10 km kearah selatan dari pusat kota.

Lagi-lagi kami disambut dengan penuh kegembiraan. Beliau juga menyatakan akan ikut membantu menghubungi guru-guru yang lain agar menyempatkan diri menghadiri undangan kami.

Dua undangan untuk guru lainnya, Pak Taslam (guru Agama Islam) dan Pak Satiyo (guru Pembukuan) yang rencananya akan kami antar bahkan dimintanya.

Pak Eko sendiri yang akan menyampaikan dua undangan tersebut. Luar biasa dukungan guru yang satu ini. 

Sowan ke rumah Pak Eko, guru Elektronika SMP kami dahulu - Dok. Pribadi
 
Distribusi undangan hari itu pun kami akhiri. Saat perjalanan pulang, kami masih sempat mampir ke kediaman Ibu Dyah (guru Seni Musik) yang berada di tengah kota. Rumah beliau ada di gang Raung, Kauman, Kota Nganjuk.

*****

Sore harinya, masih di tanggal 4 Juli 2016 seluruh panitia reuni (temu kangen) alumni SMPN 4 Nganjuk angkatan 1995 berkumpul dirumah Triono.

Selain acara berbuka puasa bersama, panitia akan membahas kesiapan akhir setiap seksi.

Setelah semuanya memaparkan progres seksi masing-masing, terakhir giliran saya bersama Nina Eko dan Nowot Raharjo yang membidangi seksi acara menyampaikan run down saat hari H nanti.

Pertemuan petang hingga malam hari itu ditutup dengan kesepakatan bahwa seluruh panitia harus berkumpul dilokasi satu jam sebelum acara dimulai.

Khusus untuk panitia laki-laki, disepakati malam sebelum acara akan bergotong-royong mendesain panggung dan perlengkapan lainnya.


MALAM H-1

Dekorasi panggung sudah selesai. Backdrop keren hasil desain Nowot Raharjo terpasang dengan megah. Saya salut dengan Triono yang seorang diri menyelesaikan tugasnya sebagai seksi perlengkapan. Partnernya, Menot Priyono terlambat datang karena masih bekerja.

Layar lebar yang kami sewa dari kantor BKKBN Kabupaten Nganjuk juga telah dipasang oleh petugas dari instansi tersebut.

Media yang akan digunakan untuk penayangan slide video rekam jejak alumni itu kami dapatkan atas bantuan seorang teman alumni wanita yang kini menjadi PNS di kantor tersebut. Hanik Retno W. Biasa dipanggil Nana.

Kursi untuk undangan pun juga sudah tertata rapi. Kali ini hasil jerih payah saya bersama Jack Frangky.

Namun, ada satu masalah yang membuat panitia malam itu sedikit jantungan.

Sond System!

Hingga tengah malam, peralatan utama itu belum juga datang. Setelah berkali-kali kami hubungi, akhirnya pemilik persewaan sound system berjanji besok pagi alat sudah ready sebelum jam tujuh.

Saya tetap saja masih sport jantung!

Semoga si pemilik sound system itu memiliki jiwa tanggung jawab yang tinggi. Harapan saya dalam hati.

*****
Sabtu, 9 Juli 2016.

Hari itu saya bangun pagi-pagi sekali.

Setelah melaksanakan kewajiban dua rakaat, saya buru-buru mencari kemeja dan celana yang hendak saya pakai ke acara temu kangen.

Istri dan jagoan saya belum bangun. Malam itu saya menginap di rumah mertua. Kebetulan kami bertetanggaan desa.  

Pukul enam lebih seperempat, setelah sebelumnya menyetrika sendiri pakaian (karena tidak tega membangunkan istri yang masih terlelap bersama jagoan kecilnya), saya sudah rapi sekali.

Sempat menunggu beberapa menit, akhirnya istri saya bangun. Kecup kening sebentar, langsung tancap gas ke TKP. Balai Desa Begadung, Kota Nganjuk. Tempat acara berlangsung.

Sepi!

Belum ada satu makhluk pun disana. Pasti semua masih asyik dengan selimutnya. Semalam memang kami begadang sampai larut. Gara-gara menunggu sound system yang tak kunjung datang.

Akhirnya yang saya tunggu-tunggu muncul. Seperangkat sound system hampir bersamaan dengan kru musisi tiba. Beruntung pula mereka sangat cekatan. Hanya beberapa menit, semua peralatan sudah terpasang.

Cek sound pun tak butuh waktu lama! Alat musik telah ready juga.

Namun, masalah baru muncul lagi.

Salah satu anggota tim seksi acara, Nowot Raharjo yang rencananya akan menjadi MC bersama saya dan Nina Eka belum tampak batang hidungnya. Waktu terus bergulir. Beberapa undangan bahkan sudah memasuki gedung balai desa Begadung.

Saya dan Nina Eka pun memutuskan melakukan gladi bersih lebih dahulu.

Si bandel Nowot Raharjo akhirnya datang juga. Sontak kami bertiga segera bersiap perform diatas panggung. Seiring dengan tamu undangan yang kian memadati gedung balai desa Begadung.

Sebuah tembang lawas dari grup legendaris Koes Plus, berjudul Kembali saya lantunkan berduet dengan Nowot Raharjo.

Lanjut ke opening song!

Lagu Kebyar-Kebyar dari almarhum Gombloh kami bawakan dengan penuh semangat. Menandai dimulainya gelaran acara temu kangen alumni SMPN 4 Nganjuk angkatan 1995.

Trio pemandu acara , saya, Nina Eka dan Nowot Raharjo menyanyikan Kebyar-Kebyar bersama pembaca puisi adik Nisa (jilbab) - Dok. Pribadi

Lumayan bisa menggiring hadirin ke nuansa nasionalis.

Suasana menjadi semakin khidmat saat lagu kedua, Tanah Airku kami nyanyikan dengan lancar. Disusul dua pembawa bendera Merah Putih, Muryanto dan Menot Priyono memasuki ruangan. Diikuti 15 anak kecil yang membagi-bagikan bunga mawar kepada guru.

Merinding!

Pembawa bendera Merah Putih, Muryanto dan Menot - Dok. Pribadi

Setelah kirab bendera pusaka selesai, kami lanjut ke acara inti. Ada tiga sambutan yang kami jadwalkan.

Pertama atas permintaan Pak Taslam, guru Agama Islam kami dahulu. Beliau sempat membisiki saya untuk disediakan waktu berbicara di hadapan para mantan anak didiknya. Saya menyanggupinya.

Dalam sambutannya, Pak Taslam memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada kami, para mantan murid. Beliau menyadari termasuk salah satu diantara beberapa guru yang berkarakter keras dalam mendidik. Kami menyebutnya galak!

Selain masih bulan syawal, dimana suasana saling meminta maaf masih kental, beliau juga akan pergi ke tanah suci bulan Agustus nanti. Pak Taslam berharap semua murid yang dulu pernah di jewer (dicubit) telinganya membuka lebar-lebar pintu maaf untuk mantan guru Agama Islam kami itu. Sebelum beliau berangkat menunaikan ibadah Haji.

Sambutan yang kedua dari mantan wakil Kepala Sekolah, Pak Jaswadi.

Sosok berwibawa yang masih terlihat bugar di usia senja itu memaparkan bahwa kami alumni SMPN 4 Nganjuk angkatan tahun 1995 adalah generasi yang lahir di era delapan puluhan. Era awal tumbuhnya teknologi.

Beliau berpesan agar kami menjadi benteng bagi anak-anak kami agar moralitas mereka tidak tergerus oleh kemajuan teknologi. Terutama bahaya narkoba dan pergaulan bebas. Sebagai dampak negativ yang tak bisa terhindarkan dari pesatnya teknologi informasi.

Terakhir, Pak Jaswadi mengharapkan agar acara reuni seperti hari itu terus diadakan setiap tahun. Sehingga tali silaturrahmi diantara sesama alumni tidak putus.

Selanjutnya adalah sambutan dari Ketua Panitia, sekaligus Ketua Ikatan Alumni SMPN 4 Nganjuk angkatan 1995. Anang Shintaka.

Dalam sambutannya, Ketua Panitia menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi menyukseskan acara itu. Terutama para alumni yang telah menjadi donatur, hingga dana yang terkumpul bisa menutup semua biaya.

Juga kepada jajaran dewan guru yang telah mendidik kami hingga bisa menjadi manusia-manusia tangguh seperti sekarang ini.

Diakhir sambutannya, Ketua Panitia menyerahkan cinderamata kepada seluruh jajaran guru yang hadir.

Penyerahan cinderamata kepada para guru - Dok. Pribadi

Tampak Pak Jaswadi (Wakasek), Pak Raras Winardi (guru Seni tari), Pak Markos (guru BP), Pak Satiyo (guru Pembukuan), Pak Taslam (guru Agama Islam), Ibu Hesti (guru Sejarah), Ibu Asrianik (guru Matematika), Ibu Dyah (guru Seni Musik) dengan gembira menerima kenang-kenangan dari kami.

Suasana haru terlihat jelas ketika para guru yang sudah purna, Pak Taslam, Pak Satiyo dan Pak Markos saling berpelukan dengan deraian air mata. Ternyata beliau-beliau ini baru bisa bertemu lagi sejak mengakhiri masa pengabdiannya.

Bertahun-tahun mereka terpisahkan oleh aktivitas masing-masing menikmati masa pensiunnya.

Saya tidak sanggup melihat pemandangan itu. Memilih berbalik badan, menahan rasa panas dari sudut pelupuk mata saya.

Setelah suasana haru mereda, jajaran panitia mengajak para guru untuk menikmati hidangan prasmanan ala kadarnya. Seksi konsumsi sudah menyiapkan menu Bakso, Siomay dan Nasi Campur lengkap dengan Urap-Urap untuk acara siang hari itu.

Acara kami lanjutkan dengan pembagian 50 paket door price (saat sesi acara ini, para guru sudah berpamitan pulang).

Malam sebelumnya, panitia telah menempelkan voucher hadiah di bawah tempat duduk para undangan. Bagi para hadirin yang beruntung (yang kursi tempat duduknya ada sticker voucher hadiah), bisa langsung menukarkannya kepada panitia.

Sesi ini cukup membuat suasana menjadi penuh luapan kegembiraan. Nowot Raharjo memandunya dengan sempurna. Kocak abis.

Foto bersama para dewan guru di akhir acara - Dok. Pribadi
Dari kiri, Pak Taslam, Pak Satiyo, Pak Jaswadi, alumni Siti Rukayah - Dok. Pribadi
Dari kanan, Ibu Hesti, Ibu Dyah, Ibu Asrianik, alumni Siti Rukayah - Dok. Pribadi
Dari kiri, Triono, Ibu Marfu'ah (guru Agama Islam), saya, Nina Eka, Saci - Dok. Pribadi


Selanjutnya adalah segmen gila-gilaan. Kami memberikan kesempatan para alumni untuk bergembira bersama Mahadewa Elektone. Mereka bernyanyi dan berjoget ria.

Tepat pukul setengah dua siang, saya menutup serangkaian acara  temu kangen tahun 2016 ini.

Lelah, capek, haru dan bahagia bercampur jadi satu. Semua saling berjabat tangan, berangkulan, berfoto ria. Satu per satu pamit meninggalkan gedung yang menjadi saksi pertemuan kami.

Esok, mereka kembali lagi ke peradaban masing-masing. Berjuang lagi menyambung hidup. Menafkahi anak-anak dan istri mereka.

Ah .... Saya mencintai moment ini. Semoga tahun depan kami masih bisa bersama lagi.


Nganjuk, 10 Juli 2016

(Heru Sang Mahadewa)

Sabtu, 02 Juli 2016

KELAK ANAK-ANAK TIDAK MENGENAL COLOK-COLOK MALEM SONGO




Tak terasa hari ini seluruh umat Muslim dari berbagai penjuru belahan bumi sudah memasuki penghujung bulan suci Ramadhan, bulan penuh ampunan dan berkah.

Tepatnya adalah hari kedelapan pada sepertiga terakhir di bulan mulia ini. Dimana saat malam-malam ganjil, bagi siapa yang memperbanyak amalan ibadah, maka akan mendapatkan berkah pahala yang nilainya lebih mulia dari ibadah selama seribu bulan.

Konon semua malaikat akan diturunkan ke bumi.

Ingatan saya jadi kembali ke puluhan tahun silam, saat saya masih kanak-kanak. Pada moment seperti inilah (sepertiga terakhir di bulan Ramadhan) ada tradisi unik di tanah kelahiran saya. Tradisi yang mungkin tidak bisa dijumpai di tempat lain.

Tanah kelahiran saya adalah sebuah desa di pedalaman Kota Angin, jauh dari keramaian pusat kota. Tepatnya berada di lembah gunung Wilis dan gunung Renteng. Masuk wilayah Kabupaten Nganjuk, Jatim.

Dalam catatan saya ada dua tradisi luhur moyang kami yang seharusnya bisa menjadi kekayaan budaya lokal bahkan budaya nasional, andai selama ini dilestarikan dan dikelola lebih serius.

Tradisi pertama adalah Apeman.
Selamatan atau kendurenan jajanan apem. Sebuah ritual kirim doa untuk keluarga yang sudah meninggal dunia, disertai dengan saling berbagi ke tetangga sekitar rumah, berupa kue khas nusantara yang berbahan tepung beras.

Jika dilihat sekilas dari sisi jajanan apemnya,  mungkin orang akan menganggap bahwa itu sudah biasa dilakukan di daerah manapun saat menyambut Ramadhan.

Nah, disinilah letak keunikan di desa saya. 

Masyarakat Indonesia pada umumnya, dan di tanah Jawa khususnya, beramai ramai membuat jajanan apem saat menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Selama ini lebih dikenal dengan Megengan. 

Tetapi tidak di desa saya.

Jajanan Apem justru baru dibuat saat puasa Ramadhan sudah menginjak hari kedua puluh delapan.

Kenapa?

Jajanan apem dibuat sebagai pelengkap tradisi Colok-Colok Malem Songo. Tradisi unik kedua setelah Apeman.

Malem Songo (bahasa Jawa-malam sembilan) sebenarnya adalah bentuk penyambutan kami terhadap malam ke sembilan di sepuluh hari terkhir pada bulan ramadhan.

Pada malem songo,  kata mbah-mbah kami dulu, ada Nini Towok yang akan turun semalam suntuk hingga fajar tiba untuk melimpahkan berkah kepada para penduduk. 

Untuk menyambutnya, para penduduk desa akan memasang dan menyalakan Colok (Obor) di segala penjuru halaman rumah.

Tempat yang biasanya dipasang adalah Pawan (kubangan tempat sampah) dan Pawon (tungku memasak yang terbuat dari tanah liat). 

Waktu menyalakan Colok adalah ketika hari sudah petang atau menjelang buka puasa. Sehingga pemandangan indah dari kilauan ratusan obor pun akan tampak di sepanjang jalanan desa. 

Pesta lampion ala kampung saya!

Sekian tahun saya mengalami masa dimana Colok-Colok Malem Songo masih menjadi tradisi yang rutin digelar. Namun justru baru beberapa tahun terakhir ini, saya baru menyadari arti dari Malem Songo dan Nini Towoknya. 

Malem Songo adalah sebuah pengejawantahan masyarakat desa saya terhadap malam Lailatul Qadar. Sedangkan Nini Towok tidak lain adalah simbol dari para Malaikat yang turun ke bumi hingga datangnya fajar. 

Budaya ini sudah berkembang ratusan tahun di tanah kelahiran saya.

Hari ini kebetulan saya sudah mudik dan berada di kampung halaman. Tetapi ada kejanggalan yang membuat saya merasa sedih. Sebuah tradisi yang dulu kental dengan nuansa keindahan itu kini sudah hilang, bahkan mungkin telah punah. 

Seharusnya,  petang ini saat menjelang waktu buka puasa, penduduk desa saya beramai-ramai melakukan tradisi Malem Songo. Namun saya tidak menjumpai satu obor pun menyala. 

Betapa pilu!

Semenjak era Listrik Masuk Desa, banyak perubahan dan kemajuan teknologi yang justru mengikis peninggalan luhur moyang kami.

Terang benderangnya lampu di berbagai sudut jalan dan gang-gang kecil telah menenggelamkan Colok (obor) saat Malem Songo

Entah dimana sekarang Nini Towok yang semasa kanak-kanak dulu saya bayangkan adalah sosok nenek-nenek jahat dan menakutkan yang akan berkeliling di desa saya sepanjang malam.

Jangan terkejut jika kelak anak saya dan seluruh anak-anak di desa saya tidak mengenal apa itu Colok-Colok Malem Songo

Sebuah budaya yang mungkin hanya akan  tinggal legenda dan cerita semata.


Heru Sang Mahadewa
#OneDayOnePost

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *