This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 27 Januari 2017

PENDADARAN SOKALIMA DKI 1


Dang Hyang Kumbayana - katalog wayang

Sang Bagaskara baru saja naik sepenggalan. Burung-burung telah berhenti bercericit. Mereka mulai membuari terbang ke angkasa, membentuk kawanan-kawanan di cakrawala. Kuru Setra dijejali orang-orang yang datang dari segala penjuru Astina dan negeri-negeri tetangga.

Hari itu, Dang Hyang Kumbayana menggelar pendadaran (adu kepintaran, adu kedigdayaan) untuk mencari siapa di antara murid-muridnya yang telah sekian tahun berguru di pedepokan Sokalima menjadi yang terbaik.

Seluruh ksatria yang akan mengikuti pendadaran pun telah bersiap di Kuru Setra. Sebuah panggung berdiri megah di tengah-tengah, dikelilingi ratusan pengunjung. Ada yang hanya ingin sekedar menonton, ada pula yang turut memberikan dukungan kepada ksatria pilihannya.

Satu hari sebelum pendadaran itu, diam-diam Destarastra memanggil Harya Sangkuni dan Dang Hyang Kumbayana. Penguasa Astina itu menginginkan agar putra mahkotanya, Raden Suyudana dimuluskan langkahnya untuk menjadi ksatria terbaik dalam ajang Pendadaran Sokalima nanti.

Guru Durna, nama lain Dang Hyang Kumbayana menolak keras!

Putra Resi Baratwaja itu mengatakan bahwa sebagai penguji, dia akan bersikap netral dan tidak boleh memihak kepada salah satu calon ksatria. Meski seorang putra mahkota sekalipun.

Adu kepandaian dan kesaktian dimulai.

Harya Sangkuni yang menjadi moderator, melempar buah dadu untuk mengundi. Keluar nama Raden Bratasena dan Raden Dursasana. Keduanya langsung naik panggung.

Hanya butuh dua gerakan, Raden Dursasana terpental jatuh dari panggung. Segmen kesatu ini menobatkan Raden Bratasena menjadi pemenang.

Buah dadu dilempar lagi oleh Harya Sangkuni. Keluar nama Raden Surtayu dan Raden Bratasena. Keduanya langsung melompat naik ke atas panggung. Nahas, Raden Surtayu mengalami nasib serupa dengan saudaranya, Dursasana.

Kembali buah dadu dilempar, berturut-turut keluar nama Raden Bratasena lagi. Kali ini berhadapan dengan Raden Citraksa. Nasibnya sama seperti pendahulunya. Terjungkal dari panggung. Diundi kembali. Lagi-lagi nama Raden Bratasena yang keluar. Kstaria Pandawa itu berhadapan dengan Raden Citraksi. Menang lagi.

Paman Yamawidura, politisi Partai Pandawa  mulai curiga, sang moderator, Harya Sangkuni sepertinya bermain curang. Dia sengaja memunculkan nama Raden Bratasena terus-menerus untuk bertarung.

Pasti ada maksud tersembunyi dari politisi kontroversi Partai Kurawa Astina itu, protes Yamawidura. Namun Harya Sangkuni menyangkal. Dia mempersilahkan siapa pun melihat buah dadu yang digunakan untuk mengundi nama para ksatria.

Hingga akhirnya, tersisa Raden Kartamarma dan Raden Suyudana bersama lawan-lawannya dari ksatria Pandawa.

Tak beda dengan ksatria-ksatria Kurawa lainnya, Raden Kartamarma dipaksa kalah telak oleh ksatria Pandawa. Raden Bratasena.

Bratasena Adu Tanding dengan Raden Suyudana.
Undian kembali dilakukan. Kali ini keluar nama Raden Bratasena dan sang putra mahkota Astina, Raden Suyudana, alias Raden Duryudana, alias Raden Kurupati.

Raden Suyudana pun bertarung melawan Raden Bratasena. Mereka beradu ketangkasan memainkan senjata gada. Kali ini ksatria Pandawa mendapatkan lawan seimbang.

Adu kepintaran memanas ketika ada provokasi dari Raden Suyudana. Dia meledek dengan berkata bahwa para Pandawa adalah hasil perselingkuhan Dewi Kunti dengan para Dewa. Ayah mereka, Prabu Pandudewanata telah mendapat kutukan Resi Kindama tidak bisa memiliki keturunan selamanya.

Raden Bratasena termakan omongan Raden Suyudana. Ia marah lalu memukul mulut Raden Suyudana hingga robek dan berdarah. 

Para simpatisan Partai Kurawa Astina tidak terima!

Puluhan kader partai yang syarat dengan tindakan korupsi itu beramai-ramai naik ke panggung untuk mengeroyok Raden Bratasena. Arena adu kepintaran pun menjadi ricuh. Keadaan menjadi tak terkendali.

Melompatlah naik ke atas panggung seorang pemuda berkulit bule. Semua kaget melihat ada pemuda desa tiba-tiba membantu Raden Bratasena sambil mulutnya memaki-maki dengan kasar atas tindakan curang dan tidak sportiv anak-anak Kurawa.

Tak lama, menyusul naik panggung dua anak muda, lelaki dan wanita. Mereka melerai keributan di arena adu kepintaran. Tubuh Kakrasana, pemuda bule tadi segera ditarik turun oleh adik wanitanya, yang ternyata bernama Rara Ireng. Sementara kakaknya, Narayana meminta maaf kepada Dretarastra atas ulah kakaknya itu. Kelak, mereka dikenal sebagai Baladewa, Sembadra dan Kresna.

Dretarastra tidak terima!

Dia memerintahkan prajurit Astina menangkap pemuda yang berani memukuli anak-anak Kurawa. Namun, dalam sekejap, Narayana segera membawa kakaknya Kakrasana, dan adiknya Rara Ireng menjauhi panggung lalu tiba-tiba menghilang dari kerumunan penonton. Para prajurit mencari ke mana-mana tetapi tidak berhasil menemukan.

RADEN PERMADI MENGALAHKAN RADEN PUNTADEWA.
Dang Hyang Kumbayana men-diskualifikasi Raden Bratasena karena telah menyebabkan mulut cablak Raden Suyudana robek. 

Rencana Harya Sangkuni berjalan mulus. Para ksatria Kurawa gagal menguras tenaga Raden Bratasena. Siasat pun diubah, Raden Suyudana memancing kemarahannya agar dikeluarkan dari pertandingan.

Kembali Harya Sangkuni melemparkan buah dadu undian. Kali ini yang muncul adalah nama Raden Permadi (Pandawa nomor tiga) dan Raden Nakula (Pandawa nomor empat). Prediksi politisi Partai Kurawa Astina tepat, Raden Nakula mundur bertanding karena tidak mau melawan kakak sendiri.

Buah dadu selanjutnya kembali memunculkan nama Raden Permadi, dan yang menjadi lawannya adalah Raden Sadewa (Pandawa nomor lima). Sama seperti Raden Nakula, Raden Sadewa juga mundur karena tidak mau bertarung dengan kakaknya.

Kini tinggal ada tiga nama ksatria yang tersisa. Raden Suyudana, Raden Puntadewa, dan Raden Permadi. 

Sejak tadi Harya Sangkuni selalu memainkan akal bulusnya sebagai moderator. Dia mengatur undian agar nama Raden Bratasena selalu muncul, dan kini mengatur nama Raden Permadi supaya muncul terus pula. Sebagai lawannya, kali ini adalah Raden Puntadewa (Pandawa nomor satu).

Raden Puntadewa dan Raden Permadi telah berhadapan di atas panggung. Harya Sangkuni menyindir Raden Permadi sebaiknya mundur sebagai bhakti kepada saudara tua. Seperti Nakula dan Sadewa tadi. 

Raden Puntadewa dikenal sebagai Ajitasatru, ksatria yang tidak mau membalas pukulan saat bertarung. Tentunya tidak pantas jika Raden Permadi mempermalukan kakaknya itu di hadapan ratusan penonton.

Prediksi Harya Sangkuni, jika Raden Permadi mundur, maka Raden Puntadewa tinggal berhadapan dengan Raden Suyudana. Skenario ini akan membuat putra mahkota Astina melenggang kangkung sebagai pemenang Pendadaran Sokalima.

Di luar dugaan, Raden Puntadewa melarang Raden Permadi termakan hasutan Harya Sangkuni. Dia memerintahkan adiknya agar menunjukkan kepandaian memanah dengan sungguh-sungguh.

Di antara murid-murid Padepokan Sokalima, Raden Puntadewa adalah yang paling pandai melempar lembing. Dia pun langsung melemparkan lembing-lembingnya kepada Raden Permadi. Jika nanti Raden Permadi mampu mengalahkannya, itu bukan berarti seorang adik mempermalukan kakaknya, tetapi justru sang adik membuat kakaknya bangga.

Raden Permadi kini merasa mantap.

Satu persatu panah-panahnya melumpuhkan lemparan lembing kakaknya. Setelah lembing Raden Puntadewa habis, Raden Permadi ganti menghujani sang kakak dengan ratusan panah. 

Semua yang ada di Kuru Setra tercengang!

Tak ada satu panah pun yang melukai Raden Puntadewa. Lesatan-lesatan senjata dari busur Raden Permadi justru tersusun rapi membentuk sebuah kursi.

Raden Permadi menyembah Raden Puntadewa, lalu mempersilakan kakaknya itu untuk duduk di atas kursi panah. Raden Puntadewa pun duduk sambil mengumumkan bahwa dirinya dengan bangga menyatakan kalah di tangan sang adik.

Sontak semua prnonton bersorak memuji kehebatan Raden Permadi yang berhasil mengalahkan Raden Puntadewa tanpa mempermalukan kakaknya itu. 

Sementara sang moderator, Harya Sangkuni sangat kecewa karena skenarionya gagal total. Dia sadar, tak mungkin Raden Suyudana mampu melanjutkan pendadaran dengan menghadapi kesaktian Raden Permadi, alias Arjuna!

*****

Kisah Pendadaran siswa Sokalima diatas adalah refleksi dari Debat Cagub dan Cawagub dalam Pilkada DKI.

Ada tiga kandidat yang sedang diuji kepandaiannya dalam debat. Layaknya para ksatria murid-murid Dang Hyang Kumbayana, ketiga pasangan calon akan saling menunjukkan kedigdayaannya. Dalam hal visi dan misi tentunya.

Semua pasti berharap bahwa dalam debat dan Pilkada nanti, tidak ada Destaratra yang rela berbuat apa saja untuk memuluskan langkah putra mahkota, Raden Suyudana. Juga tak boleh ada Harya Sangkuni di ibu kota. Biarlah semua kandidat bertarung secara ksatria. Jangan ada provokasi menyerang lawan dengan masalah pribadi atau kasus pribadi yang sedang menjeratnya, seperti ledekan Suyudana kepada Bratasena.

Kita lihat, siapa diantara ketiga kontestan Pilkada DKI 2017 yang layak menjadi murid terbaik padepokan Sokalima Jakarta.

Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost

Rabu, 25 Januari 2017

CANDI TEGOWANGI, PENDHARMAAN BHRE MATAHUN


Candi Tegowangi


Matahari baru naik sepenggalan. Burung-burung masih bercericit di atas ranting-ranting pohon bambu yang banyak tumbuh di dekat rumah saya. Hujan baru saja berhenti menjelang Subuh, setelah hampir sehari semalam mengguyur kampung halaman saya. Menguapkan aroma khas tanah yang basah.

Hari itu saya kebetulan sedang mudik ke kampung halaman di Nganjuk, sebuah kota kecil berjarak sekitar 150 km dari kota tempat saya mengais rejeki, kota udang Sidoarjo.

Setelah membersihkan diri sesaat, saya menyantap se-pincuk sego pecel godhong jati---seporsi nasi pecel dengan bungkus daun jati---yang sudah disiapkan ibu. Menu favorit saya sejak dulu. Setiap kali berkunjung ke tanah kelahiran, makanan itu wajib hukumnya untuk tidak dilewatkan.

Bersama jagoan kecil saya, pagi itu rencananya kami akan menjelajahi situs-situs sejarah yang ada di tetangga kota. Kediri.

Perjalanan saya mulai dengan mengambil rute jalan utama Nganjuk - Surabaya. Tiga puluh menit kemudian, setelah memacu laju motor matic butut satu-satunya yang saya miliki, sampailah kami di simpang Mengkreng (Braan). Selanjutnya, jalan yang mengarah ke Purwoasri menjadi pilihan jalur alternativ. Salah satu kota kecamatan di kabupaten Kediri yang terletak di tepian sungai Berantas itu saya capai sekitar lima belas menit.

Sejenak saya mampir ke sebuah mini market di daerah Ketawang, perbatasan antara kecamatan Purwoasri dan Plemahan. Keduanya sudah ikut wilayah kabupaten Kediri. Sekedar membeli soft drink dan cemilan untuk jagoan kecil saya, lalu perjalanan kami lanjutkan lagi menuju Bogo, ibu kota kecamatan Plemahan.

Dari simpang empat Bogo, laju kuda besi saya pacu ke arah timur (kota Pare). Desa Tegowangi yang menjadi tujuan pertama. Berjarak sekitar tiga kilometer dari Bogo, tepatnya di pertigaan desa Mejono (keduanya masih masuk wilayah kecamatan Plemahan), kami berbelok dengan menyusuri jalan kampung yang berpaving.

Setelah melewati sebuah peternakan lebah madu, kurang lebih satu kilometer dari pertigaan desa Mejono di jalur Bogo – Pare tadi, tampaklah sebuah situs sejarah, peninggalan dari Majapahit tempo dulu. Candi Tegowangi.

Tentang Candi Tegowangi
Situs peninggalan abad ke 14 era pemerintahan Majapahit ini berada di desa Tegowangi, kecamatan Plemahan, kabupaten Kediri.

Berdasarkan catatan yang saya baca di Serat Pararaton РPupuh X bait 5 (Kitab yang mengisahkan raja-raja Singasari dan Majapahit), candi ini dibangun sebagai pendharmaan Radjasawardhana/Bhre Matahun Kapisan (Raden Larang), suami dari Radjasadhuhita Indhudewi/Bhre Las̻m Kapisan/Bhre Daha Kat̻lu, dua belas tahun setelah dia mangkat di tahun 1310 Saka (1388 M).

Radjasadhuhita Indhudewi adalah adik dari Bathara Ring Majapahit Kapat (raja Majapahit ke empat), Maharaja Sri Radjasanagara/Hayam Wuruk.

Berbeda dengan candi-candi peninggalan Majapahit yang kebanyakan berbahan batu bata merah, candi Tegowangi dibuat dari bahan batuan andesit. Meski sebagian badan candi telah rusak karena dimakan usia, secara umum kondisi situs ini sangat terawat. Lokasi sekitar candi tampak sangat bersih.

Untuk hal ini, saya patut memberikan apresiasi yang tinggi kepada pemerintah kabupaten Kediri dan masyarakat desa Tegowangi, atas kepedulian mereka merawat warisan benda purbakala.

Padi sekeliling dinding candi Tegowangi terdapat relief Kisah Sudamala. Sebuah cerita dalam pewayangan yang biasa dibawakan saat acara ruwatan, ritual masyarakat Jawa untuk menghapus kesialan, bencana atau musibah.

Kisah Sudamala selengkapnya silahkan [ Baca Disini ]

Kisah Sudamala pada relief Candi Tegowangi

Pada masa hidupnya, Bhre Matahun (Raden Larang) pernah terjangkit sebuah penyakit parah. Di desa Tegowangi, dia di-ruwat oleh Dang Hyang Mpu Smaranatha, seorang berilmu tinggi dari kota raja Majapahit. Itu sebabnya, sebelum mangkat, dia berpesan agar kelak di dharmakan di tempat itu.

Dang Hyang Mpu Smaranatha, selanjutnya dikenal masyarakat Majapahit dengan nama Sabda Palon. Beliau dipercaya sebagai Sang Pamomong Nusantara yang setia mengabdi kepada raja-raja Majapahit.

*****

Jika sahabat sekalian berkunjung ke kota tahu Kediri, tidak ada salahnya singgah ke situs bersejarah peninggalan kerajaan Majapahit ini.

Selain lokasinya yang sangat terawat, untuk memasuki area candi Tegowangi, kita tidak dipungut biaya alias gratis. Hanya membayar parkir kendaraan. Inipun tidak  dipatok taripnya, hanya seikhlas kita.


Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost

Kamis, 19 Januari 2017

KAMIS, MALAM, BERGERIMIS!


Kamis, malam, bergerimis ...

Tak bisa lagi kubaca
Dengan kasat mata
Kemana engkau pergi mengembara
Lantas menorehkan jejak luka
Nyaris di setiap helai sukma

Lalu, di setiap pilu
Tak mampu lagi menebar sendu
Pun saat nadi berdiam tiada laju
Perih pada petak-petak bilik qalbu
Segala terbeku. Tiada sanggup walau sekedar layu

Kembali kubaca, nyaris dalam rasa pasrah
Engkau menyingkap tirai
Kulihat guntur menjulur-julurkan lidah
Gerimis tak jua berhenti
Kamis, pada sepenggal malam, ia bagai tak pernah lelah

Petang yang indah
Kenapa hati gundah?
Tatap mata bersorot merah
Kenapa disana aku melihat darah? 
Wajah berurat penuh amarah

Kutatap catatan usang
Aksaranya nampak pudar dan membayang
Lembar-lembarnya tak lagi menulis kata sayang
Setiap halaman yang kupandang
Tiada kenangan, tlah sempurna hilang

Sungguh, tak bisa lagi kubaca
Dengan kasat mata 
Kemana engkau pergi mengembara
Lantas menorehkan jejak luka
Nyaris di setiap helai sukma

--------

20 : 50
19 01 2017
Sidoarjo

(Heru Sang Mahadewa)
Member of #OneDayOnePost

Sabtu, 14 Januari 2017

WAHYU CAKRANINGRAT PILKADA DKI




Raden Lesmana Mandrakumara muntah darah!

Seberkas cahaya melesat keluar melalui mulutnya. Serta merta membawa sisa-sisa makanan dari dalam lambung. Bercampur cairan kental berwarna merah. Tubuh Lesmana roboh di dekat sebatang pohon randu alas.

Putra Mahkota Astina itu baru saja turun dari puncak gunung Ganggang Warayang, ditemani Begawan Durna dan Patih Harya Sangkuni. Setelah tujuh hari tujuh malam lamanya bertapa brata di sana, ambisi dia untuk mendapatkan Wahyu Cakraningrat, anugerah Sang Hyang Jagat Nata untuk para calon pemimpin negeri terkabul.

Belum jauh mereka meninggalkan pertapaan, seorang lelaki tua renta yang berjalan sambil memanggul sekantong barang usang lewat. “Wooey, berhenti kamu!” teriak Lesmana. Yang dipanggil tidak menoleh sedikitpun. Merasa ada rakyat jelata yang melecehkan dirinya sebagai putra mahkota Astina, dengan tidak membungkuk hormat, dia langsung mengejar.

Lesmana menendang lelaki bertubuh ringkih hingga terjungkal. Tidak berhenti sampai di situ, datang pula Patih Harya Sangkuni ikut melayangkan pukulan bertubi-tubi.

Tanpa merintih sedikitpun, sosok lelaki tua mendadak berubah menjadi seberkas cahaya, melesat masuk ke tubuh Lesmana, lalu keluar lagi melalui mulut.

Begawan Durna yang melihat kejadian itu sadar, Wahyu Cakraningrat yang di dapat Lesmana telah hilang. Lelaki tua bertubuh ringkih tadi adalah perwujudan dari sang wahyu.

*****

Sementara di puncak gunung Ganggang Warayang sisi yang lain, Raden Setya Boma, pangeran negeri Dwarawati masih khusyu’ dalam tapa bratanya.

“Putraku, keinginanmu untuk menjadi pemimpin negeri telah terwujud. Buka matamu sekarang. Ingat Setya Boma, jangan tergoda sedikitpun ... jangan tergoda sedikitpun ... jangan tergoda sedikitpun!” Terdengar suara Dewi Jembawati, ibundanya, dari dimensi lain yang nyaring masuk ke telinga batin Setya Boma.

Ketika membuka mata, Setya Boma yakin bahwa dirinya telah mendapatkan Wahyu Cakraningrat. Dia pun langsung bergegas turun dari puncak gunung Ganggang Warayang. Pulang ke Dwarawati.

“Hahaha ... sekarang akulah calon pemimpin negeri pilihan Dewata!” teriak Setya Boma lantang.

Belum jauh langkahnya meninggalkan tempat bertapa brata tadi, lewat seorang perempuan cantik jelita sembari menuntun lelaki renta bertubuh ringkih.

“Sembah bhakti kami untukmu, Raden Setya Boma, calon pemimpin kami,” ucap gadis berkulit kuning langsat dengan mata bulat. Rambutnya berkibas-kibas diterpa angin.

Seketika putra mahkota Dwarawati terkesima menatapnya. Kecantikan gadis itu sungguh memikat hatinya. “Dengan senang hati kuterima sembahmu, dan memang sudah sepatutnya calon pemimpin harus disembah rakyatnya.” Ucap Setya Boma.

“Kami berdua sengaja menemuimu untuk mengajukan diri sebagai abdi,” lelaki tua bertubuh ringkih berucap seraya bersembah dada.

Setya Boma menggelengkan kepala. Dia tidak mau mengabulkan permohonan si lelaki tua. Hanya si gadis jelita yang dia terima sebagai abdi, “Engkau akan kumuliakan di istanaku, gadis cantik,” ucapnya. “Sedangkan engkau bapa tua, tubuhmu sudah renta, tak mungkin sanggup bekerja untukku. Pulanglah, kembali ke rumahmu!” pungkasnya.

“Baiklah, aku pulang!”

“Aku juga ikut pulang, bapa!”

Dalam sekejap, lenyap tubuh lelaki tua dan gadis jelita dari hadapan Setya Boma. Dia mencari-cari ke sekeliling, tetapi tak terlihat sedikitpun jejak keduanya.

“Setya Boma, aku tidak akan menempati tubuh pemimpin yang suka menghujat. Engkau tidak pantas mengemban Wahyu Cakraningrat!” terdengar suara tanpa rupa yang membuat Setya Boma menyesal. Ternyata dua sosok yang ditemuinya tadi adalah perwujudan dari wahyu yang dia buru selama ini.

*****

Raden Angkawijaya tak bergerak sedikitpun. Dia duduk bersila di atas sebongkah batu lempeng, di sisi lain puncak gunung Ganggang Warayang.

“Raden Angkawijaya, sudah saatnya lelaku---menjalani tirakat (puasa, mengheningkan) --- ini raden akhiri. Ijinkan aku menyatu dalam tubuhmu sekarang,” terdengar suara lirih yang berbisik ke telinga batin Raden Angkawijaya.

Putra Arjuna dan Dewi Sembadra itu masih belum membuka mata. Ketika sebuah sinar melesat dari cakrawala, lalu masuk ke tubuhnya, dia baru merasakan sebuah rasa hangat menjalar ke wajahnya.

Seketika, Raden Angkawijaya membuka mata.

Melihat kejadian itu, segera datang Kiai Lurah Semar Badranaya, Bagong, Gareng dan Petruk yang telah menunggui tujuh hari tujuh malam selama Raden Angkawijaya bertapa brata. Mereka bersuka cita, melihat wajah bendara-nya (majikannya) mengeluarkan sinar terang.

“Wahyu Cakraningrat telah menyatu ke dalam tubuh ndara Abimanyu,” ucap Kiai Semar. Abimanyu adalah panggilan akrab Raden Angkawijaya.

Dikawal punakawan, Raden Angkawijaya turun dari puncak gunung Ganggang Warayang. Mereka menuju ke Amarta, untuk mengabarkan berita gembira itu kepada Pandawa.

Perebutan Wahyu Cakraningrat oleh ketiga ksatria, Raden Lesmana Mandrakumara, Raden Setya Boma dan Raden Angkawijaya berakhir dengan kemenangan sang putra Arjuna.

*****

Kisah turunnya Wahyu Cakraningrat di atas adalah refleksi dari Pilkada DKI Jakarta saat ini.

Ada tiga kandidat yang sedang berebut tampuk pimpinan tertinggi. Agus Harimurti Yudhoyono, Basuki Tjahana Purnama dan Anis Baswedan. Kursi DKI Jakarta 1 ibarat Wahyu Cakraningrat. Wilayah ibu kota itu bagai puncak gunung Ganggang Warayang, tempat ketiga ksatria menempa diri.

Raden Lesmana Mandrakumara gagal karena bertindak arogan terhadap seorang rakyat jelata. Pun demikian dengan Raden Setya Boma, anugerah yang sudah di depan mata lepas gara-gara tidak bisa menjaga sikap dan ucapan. Raden Angkawijaya pun mulus memenangkan perebuatan wahyu.

Dalam kisah pewayangan, untuk mendapatkan Wahyu Cakraningrat tidaklah mudah. Banyak syarat yang harus bisa dipenuhi agar dia bisa manjing---menyatu atau sejiwa dengan ksatria terpilih.

Adapun syarat yang harus dipenuhi adalah: bisa memberi teladan yang baik kepada rakyat (handayani), berpegang teguh pada kejujuran, mampu memberikan rasa tenteram kepada rakyat, mampu memberi rasa kasih sayang pada rakyat, mempunyai perilaku amanah, mampu menjaga persatuan dan kesatuan rakyat tanpa memandang latar belakang suku, agama, ras dan budaya.

Kita lihat, siapa diantara ketiga kontestan Pilkada DKI 2017 yang akan menjadi Lesmana Mandarakumara, Setya Boma dan Angkawijaya.

Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *