This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 26 Februari 2017

VANDALISME PENISTA SEPAKBOLA INDONESIA


Untuk kesekian kalinya, oknum penoda sepakbola Indonesia kembali mencoreng era kebangkitan olahraga paling merakyat di tanah air ini.

Oknum yang mendompleng nama besar Bonek (saya yakin ini suporter gadungan, karena secara struktural dan legalitas, Persebaya 1927 tidak berkait paut dengan pengerahan suporter anarkis di turnamen pra musim) dan Aremania (saya juga yakin ini ulah oknum, karena Aremania sejati tidak akan bertindak amoral) kembali bentrok.

Kali ini terjadi di pusat kota Nganjuk, sebuah kota kecil nan damai yang sebenarnya jauh dari anarkistis, minggu pagi 26 Februari 2017. Kedua kelompok oknum penista sepakbola itu 'crash' ketika berjumpa di kota angin yang menjadi titik pertemuan jalur dari Surabaya dan Malang menuju Solo.

Beruntung, kesigapan aparat Polres Nganjuk berhasil memisahkan massa kedua kubu.

Kelompok oknum Aremania digiring ke tanah kosong bekas halaman restoran La Bamboo (depan terminal Anjuk Ladang). Sedangkan kelompok oknum yang mencatut atribut Bonek diamankan di halaman Polres Nganjuk.

Saya tidak habis pikir, apa yang ada di benak mereka?

Baik pentolan Bonek maupun Aremania, saya yakin mereka tidak pernah mengajarkan anarkistis kepada anggota kelompok suporternya. 

Mirisnya lagi, kedua massa yang nyaris terlibat anarkistis pagi ini adalah anak-anak usia belasan. Bisa dipastikan mereka kebanyakan masih duduk di bangku SMP dan SMA.

Inikah wajah pemuda-pemuda Indonesia?

Seperti inikah moralitas generasi penerus negeri kita?

Semoga kejadian di kota Nganjuk pagi ini adalah yang terakhir kali. Tidak ada lagi penoda dan penista sepakbola Indonesia berkedok kelompok suporter.

Salam Merah Putih.

(Heru Sang Mahadewa)
Member of #OneDayOnePost

Selasa, 21 Februari 2017

BALADA SANG BIDUAN JAWA




Hujan tak kunjung berhenti mengguyur Anjuk Ladang, kota kecil yang berada di kaki gunung Wilis. Setelah beberapa hari tirta cakrawala enggan membasahi bumi, malam itu dia seperti membayar lunas tugasnya yang tertunda.

Hingga tengah malam, langit masih gelap gulita. Kudongakkan kepala ke atas. Tak tampak sebuah bintangpun berkelip di sana. Padahal, seharusnya rembulan bersolek dengan bentuk sempurna di angkasa.

Iya, malam itu adalah malam kelima belas dalam penanggalan Jawa. Malam purnama, dimana di pendopo kabupaten Nganjuk selalu terlihat kesibukan puluhan orang yang menjadi pengabdi seni. Mencurahkan hidupnya untuk berbhakti, demi lestarinya peninggalan adiluhung moyang kami.

“Ayo bangun, waktunya pulang,” samar-samar kudengar suara itu. Sedikit tergesa-gesa, tanganku digandengnya.

Dengan kantuk yang masih membekap dua kelopak mata, antara sadar dan tidak, aku bisa melihat orang-orang tampak bergegas meninggalkan pendopo. Sebagian berlari kecil menghindari guyuran gerimis. Beberapa menit sesudahnya, beberapa di antara mereka telah mengayuh sepeda onthel, melintas di depan kami sambil melambaikan tangan. Lalu melempar senyum yang bersahabat.

Pareng, Bu. Kulo rumiyin ---- Mari, Bu. Saya duluan,” sapa mereka.

Monggo ---- silahkan,” jawab wanita yang disapa.

“Ayo, itu Kang Man sudah datang,” lagi-lagi tanganku digandeng. Di depan pagar kantor kabupaten, seorang tukang becak ----- sebutan abang becak di kota asal saya ----- langganan meminggirkan kuda besi tua.

Iya, hampir setiap kamis malam, dan malam kelima belas dalam kalender Jawa, si tukang becak itu selalu menjadi langganan sang biduan. Mengantar dan menjemput dari rumahnya yang berada di pelosok desa, jauh dari pusat kota, menuju pendopo yang tepat berada di samping alun-alun Nganjuk.

Sebuah paguyuban karawitan rutin pentas di sana. Biasanya disiarkan langsung oleh Radio Khusus Pemerintah Daerah (RKPD) Nganjuk. Meski tak banyak yang mendengarkan siaran itu mungkin. Pada hari tertentu, mereka akan mengundang seorang dalang untuk wayangan.

Malam itu, sepanjang perjalanan dari pendopo menuju rumah, sang biduan tiada henti-hentinya menasehatiku.

Mbésok, ojo dadi wong sêni. Dadio wong pintêr. Ndang oncat saka kutha kéné. Golèko penggawèyan sing bisa kanggo nguripi anak lan bojomu ---- Kelak, jangan berprofesi sebagai seniman. Jadilah orang pintar. Merantaulah dari kota ini. Cari pekerjaan layak yang bisa kamu gunakan untuk menafkahi anak dan istrimu,” tuturnya.

Nggih ---- Iya,” jawabku singkat.

Kalimat yang terlontar dari sang biduan bukan tanpa alasan. Kehidupan seniman pinggiran, apalagi kelas kampung, penuh dengan kesusahan. Dalam hal penghasilan tentunya. Untuk sebuah pengabdian seni seperti malam itu, uang yang dia terima hanya cukup dipakai membeli beberapa kilo beras besok pagi. Sedangkan lauk pauknya, biasanya masih harus menghutang di toko pracangan ----- sembako ---- Yu Dami. Seorang taipan Jawa yang galaknya bukan kepalang saat menagih hutang.

Hidup dengan segala keterbatasan seperti itu sudah mendarah daging dalam keseharian sang biduan. Tetapi, semua tetap dia jalani tanpa berniat sedikitpun untuk berhenti dari me-nyinden ---- mendendangkan tembang Jawa. Menjual lantunan suara dari panggung ke panggung, mengais remahan rejeki dari sana. Jangan harap akan ada pundi-pundi uang berlebih.

Bagi sang biduan, ada nilai yang tak bisa dihargai dengan materi. Menjaga seni dan budaya agar tetap terpelihara. Itulah misi sejati dia.

Belasan tahun aku melewati malam-malam seperti itu bersama sang biduan.

Terkadang harus ikut berbasah kuyup saat hujan, karena plastik penutup becak milik Kang Man sudah compang-camping. Berlubang di sana-sini. Tak jarang pula menunggu berjam-jam, mencari tukang becak lain yang melintas depan pagar pendopo kabupaten, ketika becak langganan kami berhalangan.

Tiba-tiba rasa kantuk yang tadi menyelimuti kedua kelopak mataku telah sirna. Tujuh kilo dari pusat kota, jalan yang kami lalui mulai membelah hamparan sawah. Gerimis sudah tak lagi turun.

Sepanjang kanan kiri jalan, kawanan kodok ijo ----- katak hijau (fejervarya cancrivora) terdengar merdu bersahut-sahutan. Pertanda hujan sudah benar-benar reda. Dari kejauhan, terlihat sorot lampu para tukang suluh kodok ----- pemburu katak sawah ----- mulai berkilatan. Cuaca seperti ini, bagi mereka adalah berkah tiada tara. Bisa dipastikan, hasil buruan mereka akan melimpah.

Sungguh, Gusti Ingkang Murbeng Dumadi, Allah SWT senantiasa memberi banyak pintu rejeki bagi manusia yang mau berusaha dan bekerja.

Akhirnya, kami mulai memasuki gapura desa. Tak lama berselang, Kang Man yang sudah hapal dengan tujuan, menghentikan becaknya tepat di sebuah rumah tanpa pagar dan hanya berlantai tanah.

Matur suwun ---- terima kasih, Bu,” ucap Kang Man ketika menerima selembar uang sepuluh ribuan yang diulurkan sang biduan.

Tukang becak itu sempat mengusap kepalaku, sebelum akhirnya memutar haluan dan kembali mengayuh kuda besi tua miliknya. Sementara sang biduan sibuk membuka kunci pintu rumahnya. Aku masih diam berdiri di tengah halaman.

Kembali kudongakkan kepala ke atas cakrawala. Terlihat sebuah bintang yang bersinar terang di sana.

Lintang Panjerwengi. Bintang Alpha Centauri.

"Ah, alangkah indahnya malam ini," gumamku dalam batin.

-o0o-

Tiga dasawarsa telah berlalu. 

Kini, sang biduan sudah tidak lagi menjual lantunan suaranya. Paguyuban-paguyuban karawitan dan para dalang wayang sekarang lebih tertarik untuk menggunakan jasa biduan-biduan muda. Meninggalkan sinden-sinden pinggiran kelas kampung yang semakin renta.

Sebagai gantinya, untuk menafkahi hidup sang biduan, setiap minggu aku rutin menyisihkan sebagian rejeki, lalu mengirimkan kepadanya. Sebagai pengingat atas perjalanan membahagiakan setiap kamis malam di masa kecil dulu. Pengganti sepiring nasi rawon yang selalu kuterima dari pramu saji ---- pelayan ---- pendopo kabupaten saat manggung di sana.

Semoga sang biduan senantiasa dikarunia kesehatan dan umur panjang. 

Doakan juga aku tetap sehat, agar bisa terus bekerja. Demi menafkahi orang-orang tercinta. Istri, anak, dan tentunya sang biduan.

Aamiin Ya Robbal Alaamiin.

Ayu, Hayu Rahayu Wilujeng.

Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost

Catatan:
Tulisan ini saya dedikasikan untuk Ibu Siti Fatimah (nama udara pemberian Pak Gondo Sutrisno, penyiar RKPD Nganjuk), seorang sinden kabupaten ----- sebutan untuk biduan Jawa ----- di tahun 90-an yang biasa mengiringi pentas sebuah paguyuban karawitan binaan Pemda.

Sang biduan Jawa itu adalah ibu saya.

Sang biduan di masa muda, bersama Lik Karsih yang juga biduan
 
Sang biduan Jawa

Jumat, 17 Februari 2017

YANTRA

Yantra - image google

Kehidupan masyarakat Jawa kuno tidak bisa dipisahkan dari dimensi niskala (ghaib). Ajaran lelaku waskita dari moyangnya yang mendarah daging di sana (kelak pudar dengan masuknya agama Rasul/Islam yang marak di masa akhir Majapahit) membuat mereka semakin kuat mendalami mistis.

Percaya atau tidak, ketika pasukan Tartar (Kakawin Negarakertagama) atau Tatar (Serat Pararaton), tentara kiriman Kaisar Kubilai Khan, penguasa Tiongkok asal Mongol, pendiri Dinasti Yuan, mendarat di pelabuhan Kembang Putih (Tuban, Jawa Timur sekarang), Sanggramawijaya memerintahkan anak buahnya untuk menanam Yantra/Rajah Kalacakra di sepanjang Bengawan Mas dan Kali Pegirian. Jalur yang akan dilalui orang-orang bermata sipit.

Pasukan dari Atas Angin (sebutan untuk bangsa asing ketika itu) akan terkuras secara pelan-pelan kekuatan dan kedigdaannya. Semakin lama menginjakkan kaki di tanah Jawa Dwipa, jiwa mereka akan semakin diganggu energi niskala dari Yantra. Jika tidak kuat, pilihannya: sakit jiwa atau mati.

Anehnya, Yantra yang ditanam Sanggramawijaya (Radèn Wijaya) tidak berlaku bagi orang pribumi.

Yantra atau Rajah Kalacakra inilah yang konon membuat pasukan Tartar porak poranda oleh taktik cerdik Lembu Sora, Arya Wiraraja dan Ronggolawé. Mereka mundur dan meninggalkan tanah Jawa, hingga mengakibatkan Panglima Ikê Mèsê dihukum penggal sang Kaisar Kubilai Khan, karena dianggap gagal menghabisi raja Jawa.

Dua abad setelahnya, Bong Swie Ho (Radèn Sayyid Ali Rahmad), keponakan Amaravati (Putri Champa), istri dari Bathara Ring Wilwatikta Pamungkas----raja Majapahit terakhir---- Bhré Kêrthabumi (Prabu Brawijaya V) harus susah payah membersihkan kekuatan niskala Yantra yang banyak di tanam di pelabuhan Ujung Galuh (pelabuhan Kali Mas, Surabaya sekarang), ketika beliau mendirikan Tajuk (Masjid kuno) dan Pasraman (asrama pendidikan) di sana.

Kelak, pasraman bagi cantrik/murid itu dikenal sebagai Pesantren Ngampèldènta. Oleh orang-orang Jawa, Radèn Sayyid Ali Rahmad disebut Susuhunan (orang agung) Ngampèl. Kita mengenalnya sebagai Sunan Ampèl.


(Heru Sang Mahadewa)
Member of #OneDayOnePost

Pasukan Tartar - image google

BENARKAH CANDI SEWU - PRAMBANAN DIBANGUN HANYA SEMALAM?

Candi Prambanan - image google

Kesabaran Bandung Bondowoso akhirnya habis juga. Dua kali kesatria dari Pêngging itu diberi harapan palsu oleh Roro Jonggrang. Kembang kencana negeri Baka.

Setelah ditimbun di sumur Jalathunda, namun berhasil mendobrak keluar dari jebakan, pembunuh manusia setengah Danawa (Prabu Baka)/ramanda Roro Jonggrang itu kembali diberi tantangan impossible.

Kembang mustikaning Baka minta dibuatkan seribu candi dalam waktu semalam suntuk. Deadline yang diberikan kepada pemuda pemujanya hanya sampai pada kêluruké pithik kapisan (kokok ayam pertama).

Bukan Bandung Bondowoso jika tidak nekad menyanggupi tantangan Roro Jonggrang!

Konon, jauh sebelum kokok ayam pertama terdengar, sang ksatria Pêngging sudah mampu mendirikan sembilan ratus sembilan puluh sembilan candi. Satu candi lagi, maka syah Roro Jonggrang menjadi miliknya.

Nahas bagi Bandung Bondowoso, diam-diam sang gadis pujaannya dengan dibantu para cêthi (pelayan wanita) dan pariyanaka (emban senior) telah membangunkan ayam-ayam piaraan mereka dengan nuthu (menumbuk) lumpang kosong.

Sontak kêluruk pithik terdengar bersahut-sahutan!

Bandung Bondowoso yang mengetahui kebohongan Roro Jonggrang murka, "sungguh engkau cantik jelita, tapi kelakuanmu sebagai anak Danawa tak bisa diubah, maka candi keseribu ini adalah engkau sendiri!!!" kutuknya.

Roro Jonggrang pun berubah menjadi arca di ruang utama. Melengkapi sèwu candi malam itu.

-o0o-

Kisah diatas adalah forklore yang telah turun temurun memperkaya khasanah susastra Jawa.

Orang-orang Jawa kuno senantiasa menggunakan simbol dan perumpamaan dalam setiap menciptakan karya sastra baik berupa kidung, babat maupun kakawin.

Candi Sèwu - Prambanan, berdasarkan prasasti Siwaghra, sejatinya dibangun oleh Rakai Pikatan (Wangsa Sanjaya) pada 772 Saka/850 Masehi, namun tidak terselesaikan. Finishing dari candi Syiwa yang tujuan utamanya untuk menyaingi candi Budha Mahayana (Borobudur) buatan Wangsa Syailendra ini akhirnya diteruskan oleh Balitung Maha Sumbu.

Pembangunan satu masa pemerintahan raja yang gagal inilah yang diadopsi menjadi kegagalan membangun dalam semalam suntuk.

Lalu, negeri Pèngging dan Baka yang dikisahkan berseteru adalah pengéjawantahan dari persaingan Wangsa Syailendra dengan Wangsa Sanjaya. Dua kubu di abad 9 Masehi yang saling unjuk kekuatan untuk menguasai Jawa Dwipa kala itu.

Sedangkan arca di garbhagriha (ruang utama candi) yang selama ini dianggap sebagai Roro Jonggrang setelah dikutuk, sebenarnya adalah arca Durga Mahisasuramardini, istri dari Syiwa Sang Mahadewa. Bathari Durga ini dikisahkan dalam semua kitab kuno sebagai sosok yang memiliki watak tidak baik. Dia pernah dikutuk dan dihukum oleh Syiwa ke hutan Setrogondomayit. Sebelum akhirnya diruwat oleh Sadewa. Pandawa terakhir.

Roro Jonggrang pantas mempersonalitaskan sosok Bathari Durga, dengan watak pembohong dan tipu dayanya kepada Bandung Bondowoso.

Kesimpulannya, tidak ada forklore yang salah dalam kisah asmara Candi Sèwu - Prambanan. Semua disajikan dalam bentuk simbol yang harus dieksplore dan dipecahkan oleh generasi penerus sekarang.

(Heru Sang Mahadewa)
Member of #OneDayOnePost

KISAH BERDEBU

pixabay.com

terdiam, mengenang, pelahan bimbang
mengais remahan kisah lama
yang tiada bisa kutulis ulang
sinopsisnya bagai mencekat aksara

cerita apalagi yang hendak kucipta
jika pasir di tepi samudera
dan riak ombak yang membelainya
tak sudi lagi saling menyapa

lalu, debu melekat di lembar buku
menutup kisah satu demi satu
hingga segalanya memburam
menggampar kenangan hingga lebam

siapa engkau? tanyamu
ketika kubacakan kisah berdebu
kiranya, semua tlah kau hapus
: pupus!

rupanya, engkau berlupa diri
bagai bidadari
yang tiada hendak bereinkarnasi
: hingga nanti!
-
-
-
16:00
2017 02 17
Sidoarjo

(Heru Sang Mahadewa)
Member of #OneDayOnePost

Kamis, 16 Februari 2017

AKHIR BHARATAYUDHA DI TANAH PERANG PILKADA



devianart.com


Sang bagaskara telah naik satu tombak di cakrawala. Sinarnya menggampar tanah perang Kuru Setra yang belum kering sepenuhnya dari darah para ksatria. Menguapkan lapak-lapak embun di dedaunan kusam yang sebelumnya menjadi saksi bisu kekelaman. Kawanan burung pemakan bangkai sesekali mendekut. Bernyanyi ria menikmati serpihan bangkai manusia.

Begawan Abiyasa berjalan tertatih-tatih mengelilingi tegal yang menjadi ajang saling bunuh sesama anak keturunannya. Dadanya terasa dicabik-cabik ratusan anak panah melihat pemandangan mengerikan ini. Dalam pandangan kewaskitaan, terlintas bayangan pertempuran sia-sia antara kakek dengan cucu, paman dengan keponakan, kakak dengan adik, dan sepupu dengan sepupunya.

Air mata sang begawan pun tak terbendung. Bulir-bulir bening menggenang di pelupuk matanya, lalu perlahan membasahi pipi yang telah keriput.

Kuru Setra, tanah suci yang diberkati para Dewa kini telah koyak moyak. Dia menjelma menjadi jalan kematian para ksatria yang menghamba pada hawa nafsu duniawi. Nafsu untuk berebut tahta tertinggi antara Pandawa dan Kurawa.

Tidak ada yang pantas disebut sebagai pemenang dalam Bharatayudha, perang sesama wangsa Bharata ini. Pandawa kehilangan seluruh anaknya. Kurawa tumpas tak tersisa. Indraprasta dan Astina ludes harta bendanya.

Konsep manunggaling kawula praja lan sedulur-----bersatunya rakyat, pemimpin dan sesama anak bangsa-----yang telah dirintis oleh Kresna Dwipayana, abhiseka-----gelar natha/raja----sang Begawan Abiyasa, lalu diteruskan putranya Prabu Pandudewanata bukan hanya telah retak, tetapi sudah pecah berkeping-keping. Tak ada lagi prinsip mengedepankan persaudaraan yang tertanam pada jiwa Pandawa dan Kurawa.

Perebutan tahta tertinggi keduanya membawa mereka pada perpecahan sesama saudara.

Kini, Bharatayudha telah usai.

Sisa-sisa simpatisan pihak yang kalah perang, merasa dicurangi secara sistematis oleh raja Dwarawati, Prabu Kresna. Dialah aktor dibalik tumpasnya semua Kurawa. Seandainya sosok titisan Bathara Wisnu bisa berbuat adil dan tidak berpihak kepada Pandawa, tentu hasil akhir perang saudara ini akan berbeda.

Aswatama, Resi Krepa dan Kartamarma pun memprotes kecurangan Pandawa. Diam-diam mereka menyusun rencana balas dendam.

Putra Begawan Durna, Aswatama mengeluarkan kedigdayaannya nglandak. Dia menerobos masuk bumi, membuat terowongan menuju pesanggrahan tempat istirahat para Pandawa.

Bayi mendiang Abimanyu, cucu Arjuna, Raden Parikesti yang menjadi incaran untuk dihabisi. Nahas, ulah mereka justru bisa diselesaikan oleh si jabang bayi sendiri. Ketiganya tewas menyusul Kurawa.

Tahta tertinggi Astina, negeri yang menjadi rebutan Pandawa dan Kurawa dengan berdarah-darah, telah luluh lantak pula. Tak ada yang bisa dibanggakan dari hasil akhir perang saudara, Bharatayudha.

Puntadewa, Pandawa nomor satu menolak untuk menduduki tahta itu. Penyesalan atas pertumpahan darah di Kuru Setra telah membuka mata batinnya. Dia hanya bersedia menjadi wali raja bagi cucu keponakannya. Raden Parikesit. Satu-satunya penerus trah Pandawa yang tersisa.

Pelan-pelan, justru akhirnya Parikesit yang bisa membangun kembali Astina. Menyatukan kepingan-kepingan kebencian yang sebelumnya telah tertanam di antara para simpatisan Pandawa dan Kurawa.

Era baru Astina dimulai.

Di tangan Prabu Kresna Dwipayana II, abhiseka Raden Parikesit yang memilih meneruskan gelar buyutnya (Begawan Abiyasa), Astina tumbuh menjadi negeri yang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja------makmur, berlimpah pangan, aman tentram dan sentausa.

Astina bangkit dari perpecahan sesama saudara. Menjelma menjadi negeri damai nan penuh toleransi.

-o0o-

Akhir Perang Bharatayudha, pantas kita jadikan cermin dari berakhirnya Pilkada Serentak 15 Februari 2017 kemarin.

Usai sudah pesta demokrasi ini. Tidak ada yang boleh jumawa dengan hasil yang mungkin menyakitkan bagi sebagian pihak. Tidak boleh pula ada yang membabi buta dalam memprotesnya.

Seperti halnya Aswatama, Resi Krepa dan Kartamarma yang kecewa dengan ketidakadilan sikap Kresna, tentu setelah Pilkada ini ada pihak atau simpatisan yang merasa dicurangi saat proses kampanye, hari tenang, pencoblosan hingga penghitungan suara kemarin. Tetapi berkaca dari kisah akhir Bharatayuda, janganlah melakukan tindakan pembalasan yang inskonstitusional. Keluar dari jalur hukum.

Sampaikan protes dan keberatan hasil Pilkada ini secara prosedural. Ada Mahkamah Konstitusi yang Insya Allah akan memberikan penilaian seadil-adilnya terhadap nota kekecewaan kita.

Apapun hasilnya, baik dalam penghitungan suara hasil Pilkada maupun gugatan ke Mahkamah Konstitusi, meski tidak sesuai dengan harapan sebagian kubu, kita harus menghormatinya sebagai sebuah proses demokrasi.

Katakanlah yang menang nantinya adalah seorang terdakwa dan penista sekalipun.

Ingat, saat Bharatayudha, Prabu Kurupati, seorang penista yang berwatak angkara murka bersama Kurawa-nya juga berhasil mengalahkan kesatria berhati mulia. Gatotkaca dan Abimanyu tumbang di tangan koalisi mereka.

Jujur, secara langsung maupun tidak, Pilkada serentak, khususnya di ibu kota DKI Jakarta, telah mengoyak semangat persatuan dan kesatuan sesama anak bangsa.

Entah berapa banyak energi dan pikiran yang sudah tertumpah untuk mendukung paslon masing-masing. Tanpa sadar, terkadang dukungan itu membuat kita lupa mengedepankan arti pentingnya persatuan dan toleransi.

Seperti halnya Pandawa dan Kurawa dalam Bharatayudha yang sama-sama tidak menjadi pemenang, akhir dari Pilkada serentak ini adalah bukan kemenangan untuk satu paslon. Tapi kemenangan seluruh rakyat Indonesia.

Kemenangan akan datangnya masa damai bagi Indonesia. Kembali menjadi negeri yang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja.

Aamiin Ya Robbal Alaamiin.

Ayu, hayu, rahayu wilujeng.

Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *