This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 26 Mei 2017

MEGENGAN, SLAMETAN DAN APEM DALAM RAMADHAN MUSLIM JAWA




Jauh sebelum Islam masuk ke Jawadwipa, masyarakat Nusantara khususnya orang-orang Jawa, sudah memiliki tradisi kirim doa kepada arwah leluhurnya. Ritual itu dilakukan pada penghujung bulan Ruwah (bulan ketujuh dalam penanggalan Jawa) atau bertepatan dengan Sya'ban dalam kalender Islam, sehingga disebut juga sebagai Ruwahan atau Arwahan.

Ritual kirim doa itu, ditandai dengan memberikan sêsajên berupa makanan sêgo golong dan jajanan apem pada tempat-tempat yang dianggap memiliki energi niskala (ghaib). Di antaranya adalah makam sebagai rumah arwah leluhur, pohon sebagai simbol alam semesta, serta sumur pundên sebagai sumber air atau sumber kehidupan.

Beratus-ratus tahun, tradisi Ruwahan lekat dengan kehidupan masyarakat Jawa kuno sebagai penganut Syiwa Sogata*.

Di akhir masa kejayaan Majapahit, sekitar abad XV, Islam mulai marak di pesisir utara Jawadwipa. Pelan namun pasti, mayoritas orang Jawa telah memeluk ajaran Kanjêng Rosul (Islam). Namun, tradisi dari leluhur mereka tetap saja masih dilakukan.

Seorang Ulama asal Tuban, putera dari Adipati Arya Tedja, bernama Rahadyan Santi Kusuma, dikenal juga sebagai Raden Sahid, anggota Majelis Wali (Wali Sangha, Wali Songo) termuda, berusaha masuk ke sendi kehidupan leluhurnya dengan menyisipkan syiar Islam.

Ulama yang kemudian dikenal dengan gelar Kanjêng Susuhunan (manusia mulia, dipendekkan menjadi Sunan) Kalijaga itu memahami bahwa tradisi peninggalan leluhur masyarakat Jawa tidak mungkin bisa dihilangkan seutuhnya. Ritual Ruwahan yang bernuansa animisme itu sudah mengakar dalam sendi kehidupan orang Jawa.

Beliau pun memasukkan unsur syiar Islam ke dalam setiap tahapan tradisi Ruwahan. 

MEGENGAN.
Penyebutan kata ruwahan, kemudian digubah menjadi Megengan (menahan, bahasa Jawa). Definisinya adalah menahan diri dari segala hawa nafsu, makan, minum dan syahwat, mulai terbit fajar hingga matahari terbenam.

Megengan kemudian menjadi tradisi masyarakat Jawa Islam setiap menyambut datangnya bulan Ramadhan/Pasa hingga sekarang.

SLAMETAN.
Esensi dari sêsajên atau pemberian persembahan kepada arwah dan alam semesta, kemudian dibelokkan menjadi slametan dan sedekahan.

Slametan diambil dari bahasa Arab 'salima-yaslamu-salaman' yang memiliki arti damai dan selamat.

Sedekah mengadopsi kata shadaqah yang berarti memberi sesuatu, berupa rejeki. Dalam hal ini adalah makanan.

Perubahan mendasar lainnya adalah jika dulu segala sêsajên diberikan hanya untuk persembahan, maka semenjak tersentuh syiar Islam, makanan dan jajanan itu akan dinikmati ramai-ramai oleh orang-orang yang mengikuti ritual slametan. 

Dengan demikian, slametan yang saat ini tetap dilakukan orang Jawa memiliki makna berbagi rejeki (makanan dan jajanan) sebagai wujud rasa syukur atas segala nikmat dan karunia Allah SWT. Niatnya pun di doktrinkan sebagai shadaqah makanan.

APEM.
Jajanan pelengkap dalam tradisi Megengan adalah kue apem. Makanan khas nusantara yang berbahan dasar tepung beras, santan, gula dan garam.

Kata apem mengadopsi bahasa Arab 'afwum' yang artinya memberi maaf. Karena lidah kolot orang Jawa tidak bisa melafalkan huruf 'F', penyebutan afwum lebur menjadi apwum. Kemudian biasa diucapkan apem.

Jajanan apem pada megengan memiliki makna bahwa menjelang bulan Ramadhan inilah moment tepat untuk saling memberi dan meminta maaf. Sehingga tiada dosa dan kesalahan belum termaafkan, yang bisa mengganjal langkah beribadah di bulan suci.

Tepung beras yang warnanya putih adalah simbol kesucian. Bulan Ramadhan adalah bulan suci. Bulan yang paling mulia di antara sebelas bulan lainnya.

Santan adalah intisari dari buah kelapa. Simbol dari pohon yang mulai batang, daun dan buahnya banyak memberi manfaat bagi kehidupan. Memiliki makna sebagai sebuah pesan, agar manusia senantiasa menebar manfaat bagi sesama.

Sedangkan gula dan garam adalah simbol dari hati atau sifat manusia. Ada yang bijak, ada pula yang berwatak ahangkara.

SÊGO GOLONG.
Sêgo (nasi, bahasa Jawa) golong adalah nasi yang ditanak dengan air santan dan garam. Golong berasal dari kata Gemolong yang artinya terus berdatangan atau berlimpah ruah.

Ubo rampe (komponen pelengkap, bahasa Jawa) dalam tradisi slametan ini memiliki makna sebuah pengharapan atau Doa, agar Gusti Ingkang Makarya Jagat, Allah SWT senantiasa memberikan rejeki yang berlimpah ruah.

-o0o-

Nah, ketika kini masyarakat Jawa beramai-ramai mengadakan acara Megengan, niat tulus mereka adalah menyambut datangnya bulan suci Ramadhan dengan ber-shadaqah makanan. Tidak ada niat lain. Apalagi niat untuk Syirik. Seujung rambut pun tak terlintas di benak mereka.

Mencoba menghormati tradisi leluhur, dengan sentuhan napas Islam sebagai bentuk luapan kebahagaian masyarakat Jawa menyambut bulan suci Ramadhan, tentu tidak salah. Ketimbang terlalu bersemangat berlebihan dengan mengumbar teriakan mengagungkan asma-Nya sembari melakukan sweeping sana-sini.

Masih banyak jalan indah menuju surga, ketimbang menempuh jalan fanatisme berlebihan, apalagi yang menjurus anarkis dan menebar kebencian. Jalan indah itu adalah melalui pelestarian budaya para pendahulu kita.

Indonesia itu indah.

Selamat datang bulan suci. Marhaban Ya Ramadhan 1438 H.


Surabaya, 26 Mei 2017

(Heru Sang Mahadewa)
Member of #OneDayOnePost

Catatan:
Seiring waktu, sêgo golong kini sudah diganti dengan nasi putih biasa. Jajanan apem juga telah dikembangkan menggunakan berbagai bahan dan rasa.

*Syiwa Sogata = sinkretisme antara Hindu, Buddha Wajrayana dan ajaran leluhur Jawa.

Jumat, 19 Mei 2017

MENGUAK TABIR SABRINA DI USIA 27 TAHUN


thecockpit.org.uk


Minggu ini, tepatnya 15 Mei 2017, seorang penulis muda, salah satu member di komunitas gerakan menulis setiap hari, One Day One Post, genap berusia dua puluh tujuh tahun. Wanita ini adalah pemilik wêton Selasa Pon dan wuku Marakeh. Sabrina Anggraeni Lasama namanya.

Sahabat sekalian ingin mengetahui seperti apa watak dan kepribadian Sabrina? 

Berikut adalah ulasan saya, berdasarkan mitologi Jawa.

Watak wêton selasa pon dalam mitologi Jawa.
Wêton adalah penggabungan antara hari dan pasaran dalam penanggalan Jawa. Ada lima hari dalam siklus perputaran pasaran.

Sabrina lahir pada 15 Mei 1990, jika dirunut ke belakang, waktu itu bertepatan dengan hari anggara palguna atau selasa pon dalam kalender Jawa.

Seseorang yang lahir pada hari selasa pon, pada umumnya cenderung menyukai kemewahan. Meski tidak selalu bergaya hidup boros, namun wêton ini memiliki keinginan yang kuat untuk menjadikan dirinya berada pada level strata sosial menengah ke atas.

Golongan wêton ini adalah tipikal orang yang setia kepada pasangan, ramah, murah hati kepada teman, keluarga dan masyarakat sekitar dimana dia tinggal.

Pencemburu adalah tabiat yang melekat pada wêton selasa pon. Dan, yang paling menonjol dari karakter mereka adalah kuat dan teguh dalam pendirian.


Tabiat wuku Marakeh dalam mitologi Jawa.
Wuku adalah perhitungan hari Jawa, dimana satu hari wuku sama dengan tujuh hari Masehi atau satu minggu. Ada tiga puluh wuku, sehingga memerlukan 210 hari Masehi untuk menyelesaikan siklus 30 wuku.

Hari di mana Sabrina lahir, dalam perhitungan kalender Jawa kuno, ikut dalam wuku marakeh.

Seseorang yang termasuk dalam wuku ini, disimbolkan dengan Dewa Bumi, Bathara Surenggana.

Wuku marakeh, memiliki aura positiv yaitu senantiasa menjadi pusat perhatian ketika menghadiri suatu pertemuan. Daya ingatnya kuat, sehingga umumnya dia adalah manusia cerdas dan cepat meraih kesuksesan di usia muda.

Karakter negativ wuku marakeh disimbolkan dengan gêdhong disunggi----gedung diangkat----yang artinya suka pamer.

Pantangan yang harus dihindari adalah berganti pasangan, pindah-pindah pekerjaan dan mencari usaha sampingan.


Filosofi Angka Dua Tujuh Dalam Mitologi Jawa.
Dua puluh tujuh, angka yang menunjukkan usia Sabrina tahun ini, jika ditulis merupakan gabungan angka 2 dan 7.

Dua, dalam bahasa Jawa disebut Loro. Terdiri dari dua suku kata, la dan ra yang merupakan kependekan dari kalimat Lakokno Ragamu. Artinya gerakkan ragamu. Belajar dan bekerjalah, jangan hanya diam. Agar engkau memperoleh ilmu, sebagai bekal hidup di dunia dan akherat.

Tujuh, dalam bahasa Jawa disebut Pitu. Kata pitu ini adalah kependekan dari nampa pituduh dan nampa pitulungan. Artinya mendapat petunjuk dari pertolongan. Jika jiwa kita sedang goncang, butuh pegangan agar mampu mengarungi bahtera cobaan kehidupan, maka memohonlah kepada Sang Pencipta. Niscaya, DIA akan memberi petunjuk dan pertolongan.

Dua puluh tujuh, dalam perhitungan angka Jawa dinamakan pitulikur. Masuk dalam kelompok likur yang merupakan kependekan dari lingguh kursi. Artinya duduk di kursi. Pada usia 27 tahun inilah, Sabrina sudah seharusnya memperoleh kursi atau kedudukan. Bisa didefinisikan bahwa dia telah memperoleh sebuah pekerjaan tetap.


Iya, begitulah watak, tabiat dari wêton selasa pon, wuku marakeh dan filosovi dua puluh tujuh berdasarkan mitologi orang-orang Jawa.

Believe it or not?

Betapa fakirnya ilmu dan pengetahuan kita.


Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost

Senin, 15 Mei 2017

PANGERAN LORING PASAR



Syiar Islam yang berdarah-darah oleh Panembahan Trenggana, akhirnya berakhir dengan terbunuhnya Sultan ketiga Demak itu di Panarukan, Brang Wétan (Jawa belahan timur), oleh sisa-sisa loyalis Majapahit generasi terakhir.

Mangkatnya Trenggana, kian meruncingkan konflik perebutan tahta kesultanan Islam  pertama di Jawa. Demak dibumihanguskan oleh Arya Jipang/Arya Penangsang, adipati Jipang Panolan karena dendam atas kematian ayahnya, Raden Kikin/Pangeran Surawiyata/Pangeran Sêkar Sédo Ing Lèpèn (bunga yang gugur di tepi sungai).

Ayah dari Arya Penangsang tewas oleh Keris Setan Kober, sebuah senjata berkekuatan niskala buatan Mpu Supo Mandrangi, pembuat keris asal Kambang Putih (Tuban, Jatim sekarang), diduga atas konspirasi Raden Mukmin/Sunan Prawoto dan Pangeran Hadiri/Tjie Bin Tang (istri R.A. Retna Kencana/Ratu Kalinyamat, puteri Trenggana). Motivnya adalah memuluskan Trenggana menggantikan Pati Unus/Pangeran Sabrang Lor, putera sulung Sultan Fattah/Panembahan Jin Bun/Jimbun yang tewas setelah menyerang bangsa rambut jagung (Portugis) di Melaka.

Arya Penangsang, murid kinasih Sunan Kudus juga aktor dari tewasnya Sunan Prawoto dan Pangeran Hadiri. Keduanya dibunuh juga dengan Keris Setan Kober. Dengan senjata itu pula, putera Raden Kikin itu berhasil menguasai Kesultanan Demak, sekaligus memindahkan keraton ke Jipang Panolan (Cepu, Blora, Jateng sekarang).

Kesaktian Arya Penangsang dengan Keris Setan Kober-nya seolah tak tertandingi lagi.

Tapi, ternyata di atas langit masih ada langit!

Sunan Kudus, guru sekaligus perisai Arya Penangsang juga memiliki seorang murid lain, yaitu Jaka Tingkir/Raden Mas Karebet, suami Ratu Mas Cempaka (puteri Trenggana). Dia adalah adipati Pajang yang bergelar Sultan Hadiwijaya, penobatan yang diterimanya saat tahta Demak berada dalam status quo.

Upaya serangan berkali-kali pasukan Jipang Panolan ke Pajang, juga percobaan pembunuhan terhadap Sultan Hadiwijaya, akhirnya membuat saudara seperguruan Arya Penangsang itu habis kesabaran.

Namun, Sultan Hadiwijaya sungkan jika berhadapan langsung dengan murid kinasih gurunya. Dia pun membuat sayembara: Siapa yang sanggup menghadapi kesaktian Arya Penangsang dan menghabisinya, akan dihadiahi tanah perdikan Pati dan Mataram.

Di luar dugaan, putera angkat Sultan Hadiwijaya sendiri, Danang Sutawijaya yang masih berusia sebelas tahun maju sebagai peserta sayembara. Dia tinggal di puri yang terletak di utara pasar Pajang, sehingga disebut juga dengan panggilan Pangeran Loring Pasar.

Danang Sutawijaya, sejatinya adalah anak kandung dari Nyai Sabinah (canggah/keturunan keempat Sunan Giri) dan Ki Ageng Pemanahan, serta keponakan Ki Juru Martani (senopati Pajang). Ki Ageng Pemanahan adalah cicit dari Raden Bondan Kejawan. 

Raden Bondan Kejawan (suami Nawangsih) adalah menantu Ki Ageng Tarub (Jaka Tarub/suami bidadari Nawang Wulan), juga putera Bathara Ring Majapahit Raden Kêrthabumi (Prabu Brawijaya V) dari garwa sinelir asal Pulau Wandan (Banda), Bondit Chamara.

Karena tidak tega melihat putera angkatnya yang masih anak-anak harus bertarung dengan Arya Penangsang, Sultan Hadiwijaya/Jaka Tingkir meminjamkan senjatanya berupa sebuah tombak bernama Kyai Plered.

Pangeran Loring Pasar  beradu tanding dengan Arya Penangsang!

Tak pernah diperhitungkan oleh penguasa Jipang Panolan, sabetan tombak Kyai Plered berhasil merobek perutnya. Seluruh ususnya terburai keluar. Namun, karena kedigdayaannya, Arya Penangsang masih sanggup bertarung. Dia menyelipkan usus-ususnya ke warangka Keris Setan Kober, sebagian dibelitkan sebagai ikat pinggang. Bahkan, dia mampu menghajar bocah ingusan yang menjadi lawannya.

Nahas, ketika berniat menghunus senjata untuk menghabisi Pangeran Loring Pasar, usus-usus Arya Penangsang justru tersayat oleh Keris Setan Kober hingga putus.

Sang Adipati Jipang Panolan tewas di atas kuda legendarisnya, Gagak Rimang.

Pangeran Loring Pasar mendapat hadiah tanah Mataram dan diwalikan kepada ayah kandungnya. Setelah Ki Ageng Pemanahan mangkat, dia baru meneruskan sebagai pemangku wilayah yang terletak di hutan Mentaok itu.

Mataram tumbuh pesat menjadi sebuah kekuatan baru. Konon, prajuritnya bukan hanya dari bangsa manusia, tetapi juga pasukan makhluk halus/jin dari Laut Selatan/Samudera Indonesia. Pangeran Loring Pasar mulai berani menaklukkan kadipaten-kadipaten di sekitarnya.

Mendengar sepak terjang itu, setelah mendapat laporan dari teliksandi, Sultan Hadiwijaya akhirnya memutuskan menyerang Mataram. Pangeran Loring Pasar menolak bertarung dengan ayah angkatnya. Namun pertempuran kedua kubu tetap terjadi. Pasukan Pajang berhasil dipukul mundur.

Dalam perjalanan pulang, Sultan Hadiwijaya mangkat. Peristiwa ini menjadi tonggak berdirinya negeri Mataram. Pangeran Loring Pasar menasbihkan diri sebagai penguasa baru tanah Jawa. Demi menghormati ayah angkatnya, dia menolak pemakaian gelar Sultan.

Pangeran Loring Pasar/Danang Sutawijaya ber-abhiseka sebagai Panembahan Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama Kalifatullah Ing Tanah Jawa.

Sesuai ramalan Sabda Palon, abdi setia Raden Kêrthabumi (Prabu Brawijaya V), kelak keturunannya dari garis Raden Bondan Kejawan yang akan menjadi tonggak bumi Jawa, meneruskan kejayaan Majapahit dengan keyakinan (agama) baru. Menjadi raja-raja hingga jaman berganti-ganti.

Kini, kita mengenal Mataram sebagai Ngayogjakarta Hadiningrat. Daerah Istimewa Jogjakarta.


(Heru Sang Mahadewa)
Member of #OneDayOnePost

Sabtu, 13 Mei 2017

HILANG



Oleh: Heru Sang Mahadewa


Kupanggil kalian, tiada jawaban!
Barangkali tak mendengar, kuulang dengan bibir bergetar.
Barangkali bersembunyi, mengajakku bermain-main lagi.
Kucari kalian, hanya ada kesunyian!

Ke mana kalian, yang dulu menyapa, tawarkan canda?
Ke mana kalian, yang dulu menari, sajikan dolanan penentram hati?
Ke mana kalian, yang dulu mengajak, jingkrak yang tiada bisa kutolak?
Ke mana kalian, yang dulu bersuntuk, jika sehari saja tak kujenguk?

Kupanggil kalian, tiada jawaban!
Lalu, aku jatuh bersimpuh.
Ketika nyaris senja, kita tak jua bersua.
Kucari kalian, hanya ada kesunyian!

Aku berdiri, lalu melangkah, 
:pasrah.
Meninggalkan kalian, yang entah ke mana,
:tiada 

"Kami di sini," kudengar suara lirih,
Merintih, bagai menahan rasa perih.
"Oh, kawan," kudengar lagi ratapan,
Tertahan, bagai memohon lindungan.

Air mata kalian berlinang.
Berkilauan luka, disengat Nur sang jingga.
Angin surup ikut berduka,
semilirnya bagai tangis pralaya.

Kini, aku menyaksikan, ahangkara menggilas kalian. 
Aku menyaksikan, keserakahan terbahak kegirangan. 
Aku menyaksikan, kalian saling berpelukan,
:menyambut kematian.

22 : 20
13.05.2017
Anjuk Ladang  

------------------
Sajak ini saya tulis sebagai ungkapan keprihatinan atas lenyapnya sawah dan sungai di kampung halaman saya. Tempat di mana dulu anak-anak desa bergumul dengan lumpur, bermain, mencari ikan dan mandi di sana. Kini, mereka telah berganti urug-urug proyek pembangunan kawasan industri. Menjadi pelampiasan ahangkara para penguasa.

Jumat, 12 Mei 2017

WAHYU PURBO SEJATI (5-TAMAT)


devianart.com



Hari yang dinanti-nanti Prabu Godayitma tiba. Raden Bregakumara dan seluruh punggawa Tawanggantungan berkumpul di pendopo. Tak lama lagi, Dewi Bratajaya akan dikeluarkan dari persembunyian untuk dipersembahkan.

Para cethi dan paricaraka melaporkan bahwa mereka telah siap mengabdi kepada Dewi Bratajaya. Wanita-wanita pelayan itu kini menunggu di puri kaputren. Tempat dimana calon istri Prabu Godayitma akan tinggal.

“Bregakumara, cepat keluarkan Bratajaya. Rasanya sudah tidak sabar lagi aku ingin memperistri wanita titisan Bathari Sri Wedawati itu!” Perintah Prabu Godayitma.

“Baiklah, Kakang Godayitma,” jawab Raden Bregakumara. Pelan-pelan, dia menarik kancing gelung rambutnya. Sejurus kemudian, rambut panjang senopati Tawanggantungan terurai.

“Asu!” Teriak Bregakumara ketika tiba-tiba rambutnya yang terurai dijambak seseorang.

Raden Bregakumara terseret beberapa tombak. Tubuhnya berguling-guling, mencoba menahan tarikan dari makhluk yang tidak tampak oleh pandangan kasat mata. Suasana pendopo menjadi ricuh.

Belum sempat kegaduhan itu reda, tiba-tiba dari kancing gelung rambut Raden Bregakumara keluar seekor kera berbulu putih.

“Ka ... pi ... Ha ... no ...man?” Ternganga mulut Prabu Godayitma.

“Kali ini aku tak akan membiarkanmu lolos, danawa!” Sesumbar Kapi Hanoman.

Pendopo Tawanggantungan seketika gempar!

Raden Bratasena menyeret tubuh Raden Bregakumara. Senopati berwujud dedemit itu tak sempat membalas. Rambutnya dijambak, perut, dada dan kakinya diinjak-injak oleh kesatria Pandawa kedua. Darah bercucuran dari bibirnya. Tak ayal, dia pun menyerah tanpa ingin berlama-lama merasakan amukan lawan.

Di sudut lain, Prabu Godayitma terlibat perkelahian dengan Kapi Hanoman. Sukma Prabu Dasamuka yang menyatu di raga penguasa Tawanggantungan itu masih setangguh yang dulu. Pukulan dan tendangan kera putih yang dulu menguburnya hidup-hidup di gunung Ungrungan bisa dia tangkis. Bahkan, pukulan balasan sempat juga mengenai dada musuhnya.

Namun, kedigdayaan yang dimiliki sebuah sukma pada kehidupan keduanya, tentu tak seperti raga aslinya dahulu. Prabu Godayitma bukanlah Prabu Dasamuka, meski sukma penguasa Alengka ada padanya. Kapi Hanoman tetaplah sosok yang ditakdirkan Dewata menjadi penakluknya.

Dalam sebuah pergumulan, kesatria besar dalam Brubuh Alengka berhasil mengunci tubuh Prabu Godayitma. Sang raja danawa tak berkutik oleh sang kera putih. Tubuhnya diseret meninggalkan istana Tawanggantungan.

Raden Bratasena juga melakukan hal yang sama, dia menyeret tubuh Raden Bregakumara dengan menjambak rambutnya.

Dengan menggunakan Aji Sepi Angin, kedua kesatria utusan Prabu Kresna membawa tawanan mereka, Prabu Godayitma dan Raden Bregakumara menuju gunung Gandamadana.

-o0o-

“Kapi Hanoman, Permadi dan Bratasena, kalian telah menyelesaikan tugas mulia ini. Makhluk-makhluk berwatak ahangkara ini pantas mendapat hukuman yang setimpal,” ucap Prabu Kresna, ketika Dewi Bratajaya, Prabu Godayitma dan Raden Bregakumara dihadapkan kepadanya.

“Sudah menjadi kewajibanku untuk mengabdi kepada titisan Sang Hyang Wisnu,” jawab Kapi Hanoman.

“Begitu pula dengan kami, Kakang Kresna. Keselamatan Dewi Bratajaya juga menjadi tanggung jawab Pandawa,” sela Raden Permadi.

“Semoga kebaikan kalian mendapat balasan dari para Dewata,” imbuh Prabu Kresna.

Semua yang hadir di puncak gunung Gandamadana melakukan sembah dada. Mengharapkan sabda dari penguasa Dwarawati didengar oleh Dewata.

“Sinuwun Prabu Kresna, ijinkan aku untuk menghabiskan sisa umur panjangku ini dengan mengabdi kepadamu. Berbhakti kepada Sang Hyang Wisnu di masa tuaku,” tiba-tiba Kapi Hanoman menyembah kepada Prabu Kresna.

“Tanpa engkau minta, garis takdir Dewata sebenarnya akan membawamu untuk menerima tugas mulia dariku, Kapi Hanoman. Kubur kembali sukma Dasamuka yang saat ini berada pada raga Gondayitma. Begitu pula dengan Bregakumara. Bawalah Dua makhluk dari bangsa danawa dan dedemit ini ke gunung Kendali,” perintah Prabu Kresna.

“Singgih, pukulun,” sembah Kapi Hanoman. Melalui indera niskala, dia bisa melihat bahwa sosok penguasa Dwarawati yang berdiri di hadapannya saat itu berwujud sebagai Sang Hyang Wisnu.

“Engkau akan ditemani kedua Pandawa ini,” Prabu Kresna menunjuk ke arah Raden Permadi dan Raden Bratasena.

“Sendika dawuh, Kakang Kresna,” jawab dua kesatria Pandawa nyaris bersamaan.

“Punten dalem sewu, pukulun. Hamba belum mengetahui, dimana letak gunung Kendali?” tanya Kapi Hanoman.

Prabu Kresna tersenyum. Tangannya meraih sebatang sada yang berasal dari daun kelapa kering, tak jauh dari tempatnya berdiri. Dengan kedigdayaannya, penguasa Dwarawati titisan Sang Hyang Wisnu itu melesatkan sada jauh ke cakrawala.

“Segera ikuti sada itu. Titik dimana ia berhenti, di sanalah letak gunung Kendali!” jelas Prabu Kresna.

Kapi Hanoman, Raden Bratasena dan Raden Permadi seketika juga melesat meninggalkan gunung Gandamadana. Ketiganya masing-masing menenteng tubuh Patih Prahastayitma, Prabu Godayitma dan Raden Bregakumara, sambil mengejar batang sada yang terbang menuju arah barat. 

Di sebuah gunung yang berada di pinggiran wilayah Dwarawati, sada yang dilesatkan Prabu Kresna menukik tajam dan menancap ke tanah.

"Pasti inilah gunung Kendali," ucap Kapi Hanoman.

"Cabutlah, Kakang Hanoman. Kubur tiga danawa ini seperti titah Kakang Prabu Kresna," balas Raden Permadi.

Kapi Hanoman mencabut gunung Kendali dari akarnya dengan satu tangannya. Sementara Raden Permadi dan Raden Bratasena melemparkan tubuh tiga danawa ke kaki gunung yang telah terangkat.

Sekejap mata kemudian, Kapi Hanoman menghempaskan kembali gunung Kendali. Mengubur tubuh Patih Prahastayitma, Prabu Godayitma dan Raden Bregakumara.

Raden Permadi dan Raden Bratasena pamit pulang. Kapi Hanoman bertapa di puncak gunung Kendali, sambil menjaga sukma Dasamuka.

Sejak itu, gunung Kendali dinamakan pertapaan Kendalisada.

TAMAT

Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost

Baca cerita sebelumnya [ DI SINI ]

Catatan:
Sada = batang lidi

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *