This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 13 Februari 2018

HALTE (2)





berdiri di halte itu
tak kunjung nampak yang ia tunggu
hanya termangu menatap ujung aspal
yang berpangkal di dalam sesal

:ke mana kini wanita bermata sipit? Oh, dada ini sungguh sakit
lalu, terdengar roda-roda usang dicumbu rem hingga berderit

andai akulah halte itu
akan kuteduhi hati yang gulana
yang tersesat dalam gulita jiwa
mencari benih rasa yang pernah tumbuh di sana

halte dan aspal itu, bagai kau dan aku
selalu bertemu, tapi tak pernah bersatu
aku hanya bisa memandang
kau digilas roda-roda asmara yang lalu lalang

berdiri di halte itu
tak kunjung nampak yang ia tunggu
.
.
17:05
2018 02 13
Sidoarjo
Heru Sang Mahadewa
 photo: kendalljener.fun

Selasa, 06 Februari 2018

KARNA TANDING






Kuru Setra bagai sosok gembel tua: kotor dan menjijikkan. Tubuhnya menebar aroma busuk. Kelindaran aroma dari tumpukan bangkai manusia yang menjadikan tegal itu sebagai jalan kematian menapaki dharma kesatria.

Di Kuru Setra, darah tumpah tiada henti, bagai aliran bengawan Bagiratri. Siang menjadi saksi saling tumpas sesama wangsa Bharata. Malam akan menangisi kekelaman yang ditorehkan siang.

Hari itu adalah perang pada hari ketujuh belas. Sejak matahari menampakkan diri di cakrawala timur, sangkakala telah ditiiup senopati dua kubu yang bersetru: Kurawa dan Pandawa.

Dari sisi utara Kuru Setra, empat ekor kuda putih menari-menari dengan kibasan ekornya. Kuda-kuda yang tiga wuku sebelumnya dibawa dari kedhaton Dwarawati. Kuda yang menjadi penarik kereta Kyai Jaladara milik Kresna.

Tak kalah indah dengan kuda milik Kresna, dari arah berlawanan nampak pula empat ekor kuda coklat yang menarik kereta Kyai Jatisurya sedang memamerkan kelincahan kakinya. Mereka menyelinap di antara barisan Kurawa, menuju ke tengah tegal Kuru Setra.

Derap kaki kuda penarik Kyai Jatisurya dan Kyai Jaladara meninggalkan debu yang mengepul ke udara. Membuat kawanan burung pemakan bangkai terbang berhamburan. Disusul gegap gempita sorak-sorai pasukan Pandawa dan Kurawa yang membakar nyali senopati mereka: Arjuna dan Karna.

Kresna yang menjadi kusir Arjuna menghentakkan tali kekang kuda kuat-kuat. Pun juga dengan Salya, Maharaja Mandaraka yang rela menjadi kusir menantunya: Karna.

“Hentikan kereta, ramanda Prabhu.”

“Ada apa, Karna?”

Karna tidak serta menjawab. Ia menggeser posisi tubuhnya lebih dekat ke arah Salya yang dengan sigap menghentikan laju Kyai Jatisurya. Ditatapnya kelebatan panji-panji musuh yang terus bergerak dari jarak tak lebih dua ratus tombak.

“Hamba titip Yayi Surtikanti, ramanda.” Ucap Karna lirih.

“Apa yang ada dalam benakmu, sehingga mendadak nyalimu menciut, Karna? Tidakkah kau ingat, seandainya matahari tidak terbenam, leher Arjuna sudah tertebas oleh anak panahmu kemarin petang?”

Karna kembali tidak menjawab. Adipati Awangga itu hanya menarik napas panjang. Terlintas bayangan peristiwa dua malam setelah perang hari kelima belas.

Bayangan ketika ia baru saja melakukan penghormatan pada upacara Attiwa-tiwa jasad Gaototkaca yang tewas oleh lesatan anak panah miliknya. Karna diterpa penyesalan yang mendalam. Diam-diam, ia meninggalkan pesanggrahan Randuwatangan.

Karna berjalan mendekati sebatang pohon genitri. Di bawah pohon suci itu, ia duduk bersila. Udara malam yang membawa aroma anyir darah dan bau bangkai dari Kuru Setra menyapu pepohonan yang tumbuh di sepanjang aliran bengawan Bagiratri. Membuat daun-daun yang sudah renta berguguran satu per satu. Karna kian hanyut ke dalam hening yang menghanyutkan batin. Ia mengambil posisi duduk siddhasana. Tangannya sempurna tertangkup dalam sikap anjali murda. Sejenak kemudian, seluruh indera dan pikirannya telah menyatu ke jagad sonya.

Karna melihat dirinya sendiri sedang berdiri tak jauh dari tempat ia melakukan samadhi. Sepuluh tombak di hadapannya, seorang laki-laki yang tak asing baginya, berdiri pula dengan membentangkan busur. Laki-laki yang tak lain adalah Arjuna.

Ingin sekali Karna menjelaskan bahwa kematian Gatotkaca adalah garis Dewata yang tidak bisa ditolak. Kematian yang menjadi dharma kesatria, seperti halnya kematian Bisma Yang Agung, Begawan Drona, dan Abhimanyu. 

Namun, belum sempat Karna berucap, Arjuna telah melepaskan anak panah yang serta merta menyasar kepalanya. Dalam sekejapan, ia melihat kepala itu lepas dari tubuhnya.

Seketika, Karna sudah terjaga dari samadhi.

Kini, sosok lelaki yang hadir dalam pawisik samadhi akan bertarung dengan Karna untuk kedua kali di tegal Kuru Setra.

“Hamba sudah melihat Bathara Yamadipati melambai-lambaikan tangan kemari. Rasanya, hari kematian hamba telah tiba. Maafkan. Sekali lagi, sembah dan bhakti hamba terkahir kali untuk ramanda Prabhu Salya. Sampaikan salam hamba untuk Yayi Surtikanti.”

Karna mengangkat sembah.

Salya tak sanggup membalas ucapan menantunya. Ia hanya membiarkan air mata menggenang di pelupuknya.

Dua jurus kemudian, Salya kembali memacu kereta Kyai Jatisurya sekencang-kencangnya. Membelah barisan prajurit Kurawa. “Angkat panahmu, Karna!” 

Salya mencoba membakar semangat senopati Kurawa.

“Arjuna, aku datang!”

Kini, jarak kereta Kyai Jatisurya dan Kyai Jaladara semakin dekat. Kuda-kuda yang membawa mereka meringkik keras. Binatang-binatang itu seperti ngeri menyaksikan pertarungan dua kesatria besar yang sejatinya adalah sama-sama anak dari Kunti.

“Hari ini, ganti kamu yang akan nahas, Rakawi Karna!”

Arjuna ganti bersesumbar.

Tanpa aba-aba, Karna dan Arjuna langsung mencabut anak panah masing-masing. Lalu, keduanya terlibat saling serang, beradu ketangkasan memainkan warastra. Kuru Setra mendadak hujan oleh atusan anak panah.

“Terimalah ini, Arjuna!”

Karna berteriak lantang sembari merentangkan busur lebar-lebar. Anak panah pamungkasnya telah lepas.

Teriakan terakhir. Karena dalam waktu yang bersamaan, Arjuna juga melesatkan Kyai Pasopati. Anak panah bermata bulan sabit pemberian Bhatara Indra itu bukan hanya menangkis anak panah yang dilepaskan Karna, tapi lajunya terus melesat hingga memecahkan dada sang adipati Awangga.

Karna roboh dan terjatuh dari kereta Kyai Jatisurya. Tubuhnya tersungkur ke tanah. Darahnya berhamburan. Sebagian membasahi tubuh Salya. Beberapa saat lamanya, senopati Kurawa itu berkelonjotan menahan rasa sakit dari anak panah Pasopati.

Arjuna menjatuhkan busurnya. Ia berjalan mendekati tubuh Karna yang sedang berjuang melawan maut.

“Ar … ju … na,” tangan Karna menggapai-gapai ke arah Arjuna. “Sam … pai … kan … sem … bah … bhak … ti … ku … un … tuk … i … bu,”

Karna melihat darahnya sendiri membasahi tanah Kuru Setra di bawahnya. Perlahan, tatapan matanya seperti tertutup ribuan kunang-kunang. Sakit yang dirasakannya mendadak hilang. Berganti rasa hangat dan nyaman.

Dalam sekedipan mata kemudian, dari atas langit Kuru Setra, Karna bisa melihat Arjuna memeluk tubuhnya. Dari atas langit Kuru Setra pula, ia melihat seorang wanita menangis histeris. Wanita yang tiada lain adalah Kunti.

Heru Sang Mahadewa
Member of One Day One Post

Jumat, 02 Februari 2018

PUNTADEWA MOKTA ING INDRABHAWANA (2)





Berbeda dengan kereta di arcapada yang lazim ditarik sepasang kuda, kereta kencana yang membawa Puntadewa dari gerbang Indrabhawana menuju swarga ditarik oleh seekor gajah putih bernama Airawata. Ia adalah gajah penghuni Kahyangan Tejamaya. Kahyangan yang menjadi kedhaton Bhatara Indra.

Rupanya kedatangan Puntadewa telah ditunggu oleh Bhatara Narada di swarga. Turun dari kereta kencana, ia diajak menyusuri jalan yang dipenuhi kembang beraneka warna. Aroma harum tumbuhan swarga berkelindaran di udara.

Mata Puntadewa terbelalak, manakala melewati sebuah persimpangan, ia menangkap pemandangan menakjubkan. Sebuah puri berdiri kokoh, lengkap dengan Bale Witana. Di dalam wandapa yang lebih megah dari kedhaton Hastina dan Amarta itu, nampak sesosok manusia sedang duduk di atas singgasana bertahta emas. Tak jauh dari palinggih raja, pada hamparan meja besar, teronggok berlimpahnya makanan dan minuman nan lezat.

Serta merta Puntadewa menelan ludah. Jika ingatannya tidak memudar, sudah delapan puluh hari delapan puluh malam, semenjak berangkat dari Hastina menuju puncak gunung Jamurdipa, ia menjalani tirakat. Lahir maupun batin. Naluri dahaga manusiawinya terpantik seketika. Tetapi buru-buru lenyap, manakala ia bisa mengenali sosok yang ada di dalam puri. Sosok yang tak asing baginya.

Duryodhana?

Nama itu terlontar dari bibir Puntadewa. Iya, ia memang bisa melihat dengan jelas, Duryodhana sedang duduk dikelilingi banyak perempuan cantik. Bidadari tentunya, pikir Puntadewa.

Kenapa Duryodhana yang beperingai angkara murka, yang telah menabrak segala pagar batas kebolehan mengusik saudara, bahkan telah terang-terangan memutus dadung kerukunan wangsa Bharata untuk meuaskan ambisi duniawinya, sekarang justru duduk di singgasana itu dengan bergelimang kebahagiaan?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus membuncah di dada Puntadewa.

“Aku tahu, apa yang sedang bergelayut di pikiranmu, kulup. Di swarga, tidak ada perbedaan siapa pemenang dan siapa yang kalah pada Bharatayuda. Setiap manusia yang telah menjalankan dharma sebagai kesatria Kuru Setra, akan diangkat derajatnya. Mereka berhak hidup kekal di sini.”

Bathara Narada mengelus dagunya yang ditumbuhi jenggot ubanan.

Puntadewa mengangkat sembah, “Hamba, pukulun. Apakah Kurawa pantas disebut sebagai kesatria?”

“Duryodhana dengan gagah berani telah mampu mencapai tingkatan itu karena dharma kesatriaanya, meskipun dia berada di pihak Kurawa. Pihak yang menurut sudut pandang manusia mewakili watak angkara.”

Untuk kedua kalinya, Puntadewa menyembah. “Jika demikian, kenapa Dewata membiarkan Bharatayuda pecah? Kenapa darah sesama wangsa Bharata harus saling ditumpahkan?”

“Bharatayuda bukan sekedar perang antara dharma melawan angkara. Tetapi ia adalah inti dari perjalanan hidup manusia itu sendiri.” Bhatara Narada melanjutkan pituturnya, “Tinggallah di sini, kulup.”

Puntadewa tidak serta merta bisa menerima penjelasan Bhatara Narada. “Lalu, di mana sekarang istriku dan empat putra ramanda Pandu lainnya?”

“Drupadi, Wrêkudhara, Arjuna, Nakula, dan Sadewa sedang menjalani pembersihan jiwa atas dosa-dosa mereka selama menjalankan dharma di arcapada, kulup.”

“Hamba, pukulun. Tiada sejengkalpun tanah di swarga ini yang pantas hamba pijak, jika hamba tidak bersama mereka.”

Bhatara Narada mengangguk-angguk, lalu menebar senyuman ke arah Puntadewa.

“Baiklah. Kulup Puntadewa akan diantar Dewata untuk menemui mereka.”

Sekedipan mata kemudian, sosok Dewata bertubuh tambun itu berlalu dari hadapan Puntadewa. Kecepatan langkahnya bagai laju sinar bagaskara. Indera penglihatan Puntadewa tak mampu mengikutinya. Bhatara Narada seolah lenyap begitu saja.

-oo0oo-

Tak jauh dari sebatang pohon waringin, Puntadewa duduk sedemikian rupa hingga tubuhnya sempurna membentuk posisi siddhasana. Sementara, kedua telapak tangan putra tertua Prabhu Pandu itu tertangkup rapat dalam sikap Anjali Murda.

Dalam hitungan lima, sepuluh, dua puluh, dan tiga puluh hembusan napas kemudian, suksma Puntadewa kembali melesat meninggalkan alam kasunyatan.

Berbeda dengan perjalanan sebelumnya, kali ini Puntadewa disuguhi pemandangan yang sangat mengerikan. Jalan yang ia lalui bukan hanya licin dan sempit, namun juga gelap gulita tanpa sepercik cahaya pun. Hanya sesekali saja, dari ujung yang entah seberapa jauhnya, terlihat kilatan dari nyala api. Bau busuk yang lebih busuk dari bangkai juga menghajar indera penciumannya.

Puntadewa nyaris tidak mampu melihat apa-apa. Ia hanya mengandalkan kedua tangannya yang meraba-raba tebing di sisi jalan. Semakin lama ia berjalan, bau busuk kian menusuk hidungnya.

Setelah merayap sekian lama, Puntadewa sampai di ujung kegelapan. Di hadapannya terpampang sebuah mulut goa, di mana kobaran api yang seram menjilat-jilat seluruh ruangan dalam goa.

Puntadewa mundur beberapa langkah, manakala di balik benderangnya nyala api, matanya menangkap pemandangan yang memilukan. Bangkai-bangkai hewan bertumpang tindihan dengan mayat manusia di sana. Sebagian dari mayat-mayat itu, hanya tinggal tempurungnya. Sebagian lagi memamerkan isi perut yang terburai.

Mendadak terdengar jeritan dari balik kobaran api yang menyeramkan itu, “Samiaji … Samiaji … Samiaji!”

Puntadewa mencoba memasang indera pendengarannya lebih tajam. Samiaji adalah nama kecilnya. Siapa gerangan yang memanggilku?

“Tolonglah kami. Kehadiranmu telah mampu membuat derita kami berkurang. Lihatlah, Samiaji. Siksa yang kami jalani ini mendadak terhenti.”

Suara-suara itu terdengar bukan hanya satu orang. Tetapi ia diteriakkan oleh beberapa orang yang terus bersahut-sahutan.

Lambat laun, ingatan Puntadewa bisa menangkap bahwa suara itu adalah milik Drupadi, Wrêkudhara, Arjuna, Nakula, dan sadewa.

Seketika, Puntadewa menjerit!

Batinnya memberontak. Dharma hidup macam apakah yang ia jalani selama ini?

Bagaimana mungkin, Drupadi dan Pandawa yang senantiasa menjalani tirakat, mendekatkan diri kepada Sang Maha Suci sepanjang hidup mereka, justru berakhir di neraka?

Dalam puncak ketidakterimaan atas pemandangan yang terpampang di hadapannya, Puntadewa meratap, “Jagad Dewa Bhatara, jika semua dharma selama hidup hamba bisa menggantikan mereka di neraka, biarlah hamba yang menjalani siksaan. Angkatlah mereka dari penderitaan ini.”

Tubuh Puntadewa terjatuh dalam posisi bersimpuh.

“Bangunlah, kulup.” 

Sebuah tepukan di pundak, membangunkan Puntadewa dari samadhi. Ketika membuka mata, ia melihat Bhatara Yama, Bhatara Indra, dan Bhatara Narada telah berdiri di hadapannya. Samar-samar, ia juga mencium semerbak aroma harum yang tertebar dari tempat di sekelilingnya.

“Ketahuilah, kulup. Ada waktu, di mana perjalanan suksma para kesatria yang telah mokta, harus merasakan penderitaan dan siksaan beberapa saat di neraka. Itulah yang sedang kulup lihat atas semua yang dialami Kurawa di swarga, juga Pandawa di neraka.”

Bhatara Narada kembali bertutur. Yang diajak bicara hanya menghela napas panjang, sembari mengangkat sembah untuk kesekian kalinya.

“Hamba, pukulun.”

“Swarga dan neraka sejatinya hanyalah pralambang. Kewajiban manusia sekadar menjalankan dharma. Manakala kulup memikirkan itu, maka dharma kulup bukan tertuju kepada Sang Pencipta, melainkan terpasung pada tujuan swarga neraka semata, tempat yang sejatinya hanya hak Sang Hyang Tunggal untuk menetapkan penghuninya.”

Puntadewa kembali memejamkan mata. Untuk beberapa lama, ia biarkan air mata membasahi pipinya.

Heru Sang Mahadewa
Member of One Day One Post

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *