Kamis, 05 Mei 2016

PRALAYA DI LANGIT BUBAT 4



image google

GAJAH MADA

Adalah Ki Gede Sidowayah, seorang Empu yang malam itu sedang menempa Wesi Aji, membuat beberapa pesanan keris dan tombak. Ia mendengar jeritan tangis seorang bayi yang tidak lazim. Dipasang telinganya tajam-tajam untuk mencari arah suara itu. Ternyata berasal dari hutan gunung Ratu yang ada di tepian desanya.

“Nyai… Nyai Wora Wari. Kemarilah!” Teriak Ki Gede Sidowayah memanggil saudara perempuan yang tinggal bersebelahan dengan rumahnya. Ia hendak memastikan bahwa dirinya tidak sedang salah dengar.

“Pasang telingamu tajam-tajam. Dengarkan suara itu Nyai!” Ucapnya sambil menunjuk kearah puncak gunung Ratu. Perempuan tua yang dipanggilnya Nyai Wora Wari mendekat. Sebentar ia mengernyitkan dahi, mencoba menebalkan insting indera pendengarnya.

“Jeritan tangis bayi Ki?” Nyai Wora Wari terperanga. Ia segera menutup kedua bibirnya dengan telapak tangan. Tak percaya dengan suara yang baru ia dengar.

“Bayi siapa yang menangis di tengah hutan malam-malam begini Ki?” Ia masih belum percaya. Tak mungkin ada bayi diatas puncak gunung Ratu. Haripun sudah hampir tengah malam, ini mustahil pikirnya.

“Ini tidak lazim Nyai. Dengarkan lagi, dari jarak sedemikian jauh di puncak gunung Ratu bisa terdengar sampai Modo!” Jelas Ki Gede Sidowayah.

“Ia bukan sekedar menangis, tetapi memanggil kita. Jeritan minta tolong Nyai!” lanjut Ki Gede.

“Kita berangkat kesana, barangkali bayi itu membutuhkan kita.” Jawab Nyai Wowa Wari.

 “Tunggu sebentar Nyai, aku mengambil Oncor dulu!” Bergegaslah Ki Gede Sidowayah menuju ruang tempat ia biasanya menempa Wesi Aji. Tak lama ia keluar dengan menenteng sebuah Oncor yang sudah menyala.

Dua orang kakak beradik itu pun berjalan menuju hutan di tepian desa Modo. Dengan penerangan sebuah Oncor yang dibawa Ki Gede Sidowayah, mereka menembus gelapnya belantara gunung Ratu. Menuju asal suara tangisan bayi yang semakin terdengar melengking-lengking.

“Jangan cepat-cepat langkahmu. Aku tak sanggup mengikutimu, nanti aku ketinggalan. Oncornya Cuma satu Ki.” Ucap Nyai Wora Wari yang susah payah mengikuti langkah kakak lelakinya. Ki Gede Sidowayah berjalan dengan cepat. Tak sabar untuk segera tiba di puncak.  

Setelah menyusuri hutan beberapa saat, akhirnya sampailah mereka ke gunung Ratu. Ki Gede Sidowayah dan Nyai Wora Wari segera berlari menghampiri sumber suara tangisan bayi. Ternyata berasal dari sebuah gubuk kecil.

“Ya Dewata Agung, sungguh mulia karunia-MU terhadap anak ini?” Nyai Wora Wari segera merengkuh seorang bayi yang masih berlumur darah. Digendongnya anak tak berdosa itu. Ia bersihkan lumuran darah dengan baju dan kain jaritnya. Sesosok wanita tampak membujur kaku disamping sang bayi.

“Malang benar nasib wanita ini, semoga Dewata Agung memberi jalan yang terang menuju alam Sunyaruri.” Ucap Ki Gede Sidowayah.

“Nyai, kita kubur dahulu jenasah ibu bayi ini!”
“Iya Ki, biarlah nanti bayi ini aku yang merawatnya. Kita bawa pulang, Kita besarkan dia.” Jawab Nyai Wora Wari.

Jasad wanita sebatang kara yang lepas sukmanya ketika melahirkan jabang bayi itu akhirnya dikubur di puncak gunung Ratu. Sementara anak lelakinya diselamatkan oleh kakak beradik Ki Gede Sidowayah dan Nyai Wora Wari. Dibawa pulang dan dibesarkan di desa Modo (Mada).

Ki Gede Sidowayah memberi nama bayi itu Joko Modo (Jaka Mada). Yang berarti jejaka (kesatria) asal desa Modo.


*****


Baca kisah selanjutnya [ Disini ]
Kisah sebelumnya [ Disini ] 

#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
-------------------------
Catatan :
Empu = Pembuat pusaka dan senjata tradisional Jawa seperti keris, tombak, pedang dan sebagainya.
Oncor = Obor yang terbuat dari bambu.
Wesi Aji = Besi mulia (besi pilihan) sebagai bahan pusaka.
Sunyaruri = Alam keabadian setelah alam kematian.

Makam Nyai Andongsari (ibunda Gajah Mada) kini dikenal sebagai makam Ratu Dewi Andongsari. Masih terawat dengan baik di puncak sebuah bukit di gunung Ratu, wilayah Ngimbang Lamongan, Jatim.

Jalur ke makam Nyai Andongsari, gunung Ratu Lamongan - image google
 
Makam Nyai Andongsari - image google

18 komentar:

  1. Baru tahu kisah lahirnya gajah mada....kereeen

    BalasHapus
  2. Baru tahu kisah lahirnya gajah mada....kereeen

    BalasHapus
  3. Belajar sejarah dr Mas heru...

    BalasHapus
  4. Mas belajar sejarah yang menyenangkan. Hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kata Bang Syaiha yg guru, belajar itu harus menyenangkan.

      Hapus
  5. namanya Joko Modo? kok bisa berubah jadi Gadjah Mada mas?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tradisi di Majapahit, seorang kesatria menggunakan nama kebesaran hewan saat dewasa.
      Lembu, Kebo, Gajah, dll.

      Hapus
  6. Suka..jadi tahu kisah gajah mada tanpa rasa bosan

    BalasHapus
  7. Dari awal ngikutin cerita mas Heru, anehnya reaksi yang sama selalu muncul, merinding bukan karena horor, aku kagum si Mas bisa membuat pembacanya melibatkan perasaan.

    BalasHapus
  8. Iya nih...jadi belajar sejarah lewat cerita mas heru

    BalasHapus
  9. Terharu, si mada ditemukan orang yg besar hatinya...baik...

    BalasHapus
  10. Jadi dari kecil Gajah Mada sudah yatim piatu..., tapi besarnya benar2 menjadi orang hebat...

    BalasHapus
  11. Alhamdulillah Ki Gede punya pendengaran bagus.....meski udah aki2...
    Berarti Gajah Mada memang terlahir sbg sosok tangguh...buktinya masih baby aja bisa mempertahankan diri dg menangis kencang minta tolong (#abaikan koment ga jelasku...wkkwkw

    BalasHapus
  12. Alhamdulillah Ki Gede punya pendengaran bagus.....meski udah aki2...
    Berarti Gajah Mada memang terlahir sbg sosok tangguh...buktinya masih baby aja bisa mempertahankan diri dg menangis kencang minta tolong (#abaikan koment ga jelasku...wkkwkw

    BalasHapus
  13. Alhamdulillah.....untung ki gede pendengaran e bagus meski udah aki2....
    Gajahmada sejak baby udah tangguh yach... bisa menangis hingga terdengar di desa Modo...

    BalasHapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *