This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 09 Juni 2016

KRT SOSROKOESOEMO, ULAMA PENDIRI MASJID AL-MUBAROK BERBEK



image google

Runtuhnya Majapahit karena serangan kerajaan Demak membuat para penganut Hindu mengasingkan diri ke pedalaman gunung. Dua tempat yang menjadi pelarian para penganut animisme tersebut adalah bukit Tengger di kawasan Bromo, Semeru dan lereng gunung Wilis.

Mereka menetap berkelompok dan menyebarkan ajaran peninggalan jaman Majapahit itu disana.

Adalah Raden Sosrokoesoemo, seorang Tumenggung dari kerajaan Mataram Islam (Ngayogyakarta) yang kemudian diangkat menjadi Adipati di Berbek. Sebuah Kadipaten di kaki gunung Wilis. 

Kuatnya pengaruh Hindu kala itu membuat beliau terketuk untuk mengenalkan ajaran agama yang dibawa Nabi Besar Muhammad SAW kepada rakyat Berbek.

Tidak mudah. Penduduk lereng gunung Wilis yang sangat mempercayai agama peninggalan raja-raja terdahulu masih asing dengan Islam. Mereka lebih percaya kepada ajaran Hindu.

Adipati Sosrokoesoemo, yang lebih dikenal sebagai Kanjeng Jimat oleh rakyatnya, tetap gigih melakukan syiar Islam. Beliau tidak pernah menggunakan abuse of power untuk dakwahnya. Tetapi lebih mengedepankan sikap toleransi.

Dengan metode pendekatan inilah, satu per satu penduduk Berbek bisa beliau Islamkan. Semakin tahun semakin banyak rakyatnya yang berbondong-bondong masuk Islam. Hampir seluruh rakyat akhirnya memeluk agama baru itu.

Pada tahun 1745, Kanjeng Jimat pun mewakafkan sebidang tanah pekarangan miliknya yang dulu menjadi tempat peribadatan para pendahulunya di Desa Kacangan untuk didirikan sebuah Masjid.

Kepada rakyatnya yang tetap bersikukuh pada keyakinannya memeluk Hindu, Sang Adipati tetap menghormatinya. Dibukalah lereng gunung Wilis sebelah sisi timur untuk memberikan hak hidup dan menjalankan ibadah bagi penduduk Hindu itu. Di sebuah tempat yang kini dikenal sebagai Dusun Curik, Desa Bajulan, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk.

Sementara Masjid yang dibangun Kanjeng Jimat di Desa Kacangan dinamakan Masjid Al-Mubarok. 

Lokasinya sekarang berada sekitar 9 km kearah selatan dari pusat kota Nganjuk. Tepat berada di ibu kota Kecamatan Berbek.

Masjid pertama di Kadipaten Berbek (cikal bakal Kabupaten Nganjuk) itu hingga kini masih menyimpan peninggalan bersejarah di kompleksnya. Berupa batu Yoni, batu Asah dan Lingga. Menunjukkan bahwa dulunya adalah tempat ibadah agama para pendahulu Sang Adipati.

Arsitektur Masjid Al-Mubarok bercorak Hindu. Bentuknya pun unik. Lebih mirip menyerupai sebuah Pura. Di halaman Masjid yang kini sudah dibangun menjadi serambi, terdapat sebuah Jam Matahari. Penunjuk waktu adzan jaman itu, menggunakan tiang batu dan mengandalkan petunjuk sinar matahari.

Pada sisi kiri dan kanan Mihrab, terdapat Condro Kolo (tulisan yang menunjukkan watak bilangan) berbunyi "Adege Mesjid ing Toya Mirah" dengan Sengkalan "Toto Caturing Pandito Hamadangi" yang berarti Berdirinya Masjid di Tanah Ini 1745 H.

Ada cerita unik tentang Masjid yang didirikan Kanjeng Jimat Sosrokoesoemo ini. Pernah suatu ketika bedug yang ada di Masjid Al-Mubarok dipindahkan ke Masjid Jami' Nganjuk (Masjid Baitussalam). Namun keesokan harinya, bedug yang sudah ada sejak abad 17 itu kembali dengan sendirinya di Masjid Al-Mubarok. Wallahualam Bishawab.

Seperti halnya tempat-tempat religi bersejarah yang lain, Masjid Al-Mubarok sekarang selalu diserbu para jamaah, baik dari Nganjuk sendiri maupun dari luar kota. Mereka berbondong-bondong berziarah ke makam Kanjeng Jimat yang ada di komplek Masjid, lalu berdzikir dan berdo'a di Masjid.

Jika sahabat sekalian singgah ke kota Nganjuk, jangan lupa sempatkan Sholat di Masjid ini.

Betapa indahnya Islam yang toleran. Sebagaimana yang dilakukan oleh KRT Sosrokoesoemo dalam syiarnya dulu. 
.
.
- Heru Sang Mahadewa -




Rabu, 08 Juni 2016

MERCON BUMBUNG, MERIAM BAMBU KHAS RAMADHAN


Meriam bambu - image google

Siapa yang tidak bahagia bisa menjumpai lagi bulan Ramadhan. Rasanya tidak ada karunia yang nikmatnya melebihi kesempatan untuk dipertemukan lagi dengan bulan mulia ini.

Seluruh umat Muslim menyambutnya dengan suka cita. Penuh syukur atas datangnya bulan penuh ampunan. Bulan yang konon lebih mulia dari seribu bulan.

Bukan hanya kita yang sudah baligh, anak-anak kecil pun turut merasakan kebahagiaan Ramadhan. Nuansa kegembiraan meyelimuti seluruh aktivitas bocah-bocah yang belum kenal dosa selama bulan suci ini.

Di kampung halaman saya, kegembiraan yang hanya ada pada bulan Ramadhan selalu menjadi moment yang ditunggu anak-anak. 

Mulai dari permintaan kepada bapak dan ibu agar dibangunkan jam 3 pagi untuk ikut makan sahur, meski dari sisi umur sebenarnya belum diwajibkan menjalankan ibadah puasa. Hingga perjuangan belajar menahan lapar dan dahaga walau terkadang hanya puasa mbedhug (setengah hari).

Selepas sahur beramai-ramai menuju Langgar (Mushola) untuk berjamaah Subuh. Setelah itu, menunggu datangnya matahari terbit dengan kongkow-kongkow di hamparan persawahan yang terletak di pinggiran desa.

Siang harinya, anak-anak sibuk membuat mainan meriam dari bambu. Kebetulan dulu di jaman saya kecil selalu di beri kesempatan libur sekolah saat awal-awal Ramadhan.

Mercon bumbung. Begitu kami menyebutnya.

Terbuat dari batang bambu yang diambil di bagian bongkot (pangkal pohon) lalu dihilangkan lapisan pada setiap ruas tulangnya. Diberi lubang kecil untuk menyalakan pelatuk. Meriam ini menggunakan bahan bakar karbit.

Bongkahan karbit sebesar kerikil dimasukkan kedalam batang bambu, lalu diberi air secukupnya agar terjadi reaksi kimia. Kami menyebutnya omesh (keluar gelembung).

Nah, saat itulah meriam siap dinyalakan. Sebatang nyala api lalu dicolokkan ke lubang pemantik. Semakin banyak gelembung yang bereaksi, maka suara gemelegar yang dihasilkan juga makin keras.

Mereka akan berjingkrak-jingkrak meluapkan kegembiraan jika penyulutan meriam sukses. Ditandai dengan dentuman bak perang sungguhan.

Permainan ini akan usai jika salah satu pamong desa mendatangi. Perangkat yang biasanya disuruh Pak Kasun itu menegur agar anak-anak menghentikan aksi menyulut mercon bumbung.

Betapa indah. Saya tak pernah bisa menghapus nuansa kegembiraan seperti itu. Ingin rasanya kembali ke masa dimana kegembiraan anak-anak seusia saya kala itu hanya terjadi di bulan Ramadhan seperti sekarang.

Ah, betapa bulan suci ini selalu membawa kegembiraan dan kebahagiaan. Bagi usia anak-anak sekalipun. 

Selamat menunaikan ibadah puasa Ramadhan 1437 H.

Surabaya, 8 Juni 2016
(Heru Sang Mahadewa)

Selasa, 07 Juni 2016

PESAN DI BALIK TEMBANG TURI-TURI PUTIH



Kembang Turi - image google
Tidak bisa lepasnya masyakarakat Jawa dari seni dan budaya peninggalan nenek moyangnya, membuat para Walisongo menggunakan media ini untuk berdakwah. Salah satu ulama besar yang memasukkan syiar Islam ke dalam budaya tersebut adalah Kanjeng Sunan Giri. Beliau menggubah sebuah tembang Jawa berlabel Turi-Turi Putih.

Melalui maha karyanya itu, Kanjeng Sunan Giri memasukkan ajaran yang sangat dalam maknanya. Tentang pertanggungjawaban manusia setelah kematian. Bahwa sebelum menuju kesana, kita harus memiliki bekal yang cukup.

Bagi masyarakat Jawa, tembang Turi-Turi Putih sudah mendarah daging dalam seni tarik suara. Syairnya yang indah bahkan sangat dihapal diluar kepala oleh anak-anak kecil. Saat ini, tembang itu sudah di aransemen dalam berbagai genre music.

Turi-Turi Putih sebenarnya adalah bunga dari pohon Turi (sesbania grandiflora). Jenis pohon kecil yang mudah ditemukan di Indonesia, juga negara-negara Asia Tenggara dan Selatan pada umumnya.

Memiliki ranting yang menggantung, kuncup kembangnya berbentuk seperti sabit. Biasanya berwarna putih kemerah-merahan. Saat mekar, kelopaknya membesar hingga keluar dari ranting. Berwarna putih bersih dan berbentuk seperti kupu-kupu.

Di daerah asal saya, kembang turi dikonsumsi sebagai sayuran. Setelah dikukus atau direbus, bunga yang sudah masak itu diberi sambal pecel. Rasanya nyamleng banget.

Kembali lagi ke tembang Turi-Turi Putih.

Syair lagu karya Kanjeng Sunan Giri itu mengandung peringatan yang membuat bulu kudu kita berdiri jika menghayati baris demi baris liriknya.

Berikut lirik tembang sakral itu :

Turi-turi putih … Ditandur ning kebon agung
Turi-turi putih … Ditandur ning kebon agung
Cumleret tiba nyemplung
Gumlundhung kembange opo
Mbok Iro, mbok Iro
Mbok Iro kembange opo?


Jika saya translate ke bahasa Indonesia, artinya seperti ini :

TURI - TURI PUTIH  
Turi-turi berarti tak aturi (bahasa Jawa - saya beri tahu). Sedangkan putih adalah kiasan dari warna kain kafan. 

Baris syair ini memuat pesan bahwa saya beri tahu kalian, semua manusia pada akhirnya akan mati.

DITANDUR NING KEBON AGUNG
Ditanam di sebuah taman yang megah.

Setelah kematian itu, jasad kita akan di kubur di taman pemakaman.

CUMLERET TIBA NYEMPLUNG 
Seperti kecepatan cahaya, lalu jatuh ke lubang.

Gambaran bahwa kehidupan di dunia itu singkat, seperti laju cahaya cleret, cumleret (bahasa Jawa – kilat). Setelah itu, manusia akan mati dan dimasukkan ke liang lahat. 

GUMLUNDUNG KEMBANGE OPO 
Yang dijatuhkan itu membawa bunga apa?

Si mayat yang dimasukkan ke liang kubur itu akan ditanya, ia membawa amal perbuatan apa?
  
MBOK IRO KEMBANGE OPO 
Bu Ira (penokohan nama si jenazah), bunganya apa?

Baris terakhir syair ini menggambarkan bahwa setelah dikubur, manusia akan dimintai pertanggungjawaban.

Amal perbuatan apa yang telah kamu perbuat selama hidup di dunia? Bekal apa yang kamu kamu bawa ke alam kubur?

           
Tembang Turi-Turi Putih ini, terdengar semakin syahdu jika dibawakan dengan pendahuluan Bowo (acapela Jawa). Alunannya akan menyayat-nyayat hati pendengar. Dijamin dada kita bukan hanya berdebar, tetapi akan gemetaran hebat.

Ah, betapa indahnya syiar Islam melalui seni dan budaya.

Selamat menunaikan ibadah puasa Ramadhan 1437 H.


Surabaya, 7 Juni 2016
(Heru Sang Mahadewa)

Senin, 06 Juni 2016

MEGENGAN, EUFORIA MASYARAKAT JAWA MENYAMBUT RAMADHAN




Tumpeng dan Selamatan, tradisi Jawa yang tak lekang oleh jaman - image google
Pemerintah RI, melalui Menteri Agama Lukman Hakim Saefudin secara resmi mengumumkan 1 Ramadhan 1437 H jatuh pada hari senin, 6 Juni 2016. Seluruh umat muslim di Indonesia, bahkan mungkin di seluruh penjuru dunia serentak menjalankan ibadah puasa Ramadhan 1437 H.

Sehari sebelumnya, banyak tradisi yang dilakukan masyarakat di berbagai penjuru tanah air menyambut bulan penuh berkah ini. Salah satu budaya di tanah kelahiran saya (sebuah kampung di pelosok Nganjuk, Jatim) dari kesekian banyak tradisi nusantara adalah Megengan. Berupa acara tasyakuran dengan saling berbagi nasi tumpeng beserta jajanan pelengkap kepada tetangga sekitar rumah. Sangat khas warna Jawanya.

Meski nuansa kendurenan (selamatan) Jawa masih kental dalam tradisi Megengan, tetapi inilah bentuk euphoria masyarakat di tempat saya untuk menyambut bulan paling mulia diantara kesebelas bulan lainnya.

Salahkah? Menurut saya tidak.

Kita kesampingkan dulu berburuk sangka terhadap nuansa kendurennya. Berbagi rejeki dengan memberikan makanan kepada banyak orang, tentunya sebuah perbuatan yang terpuji. Ditambah lagi melakukan dzikir, sholawat, dan tahlil secara massal sebagai bagian dari acara Megengan, tentu juga merupakan amalan mulia.

Lantas, kenapa harus ada tradisi pemberian makanan dan jajanan tertentu yang mirip dengan ubo rampe orang selamatan dalam menyambut bulan Ramadhan ini?

Saya menyebutnya sebagai kekayaan kultur bangsa Indonesia. Kearifan budaya lokal yang sebenarnya sudah bermetaformosis dengan membaurkan diri terhadap syiar Islam.

Kenapa tidak salah?
Niatnya.
Ketika masyarakat Jawa beramai-ramai mengadakan acara Megengan, niat tulus mereka adalah menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Tidak ada niat lain. Apalagi niatan untuk Syirik. Seujung rambutpun tak terlintas dibenak mereka.

Tradisi Megengan sendiri berasal dari kata megeng (bahasa Jawa) yang berarti menahan. Secara luas, Megengan diartikan sebagai symbol dimulainya kewajiban kita untuk menahan diri dari segala hawa nafsu. Sebuah ritual budaya masyarakat pinggiran dengan nuansa Islam Jawanya.   

Adalah Kanjeng Sunan Kalijaga dan Kanjeng Sunan Giri, ulama besar di tanah Jawa kala itu memahami bahwa tradisi peninggalan nenek moyang masyarakat Jawa tidak mungkin bisa dihilangkan seutuhnya. Ritual bernuansa Animisme dan Hindu itu sudah mengakar dalam sendi kehidupan masyarakat Jawa Kuno.

Beliau-beliau para ulama besar itu menyisipkan syiar Islam ke dalam tradisi dan budaya tersebut. Kenduren dan Selamatan dimodifikasi sedemikian rupa dengan niat untuk berbagi rejeki (makanan dan jajanan) sebagai wujud syukur sang sohibul hajat atas segala nikmat dan karunia Allah SWT. Niatnya pun di doktrinkan sebagai sedekah makanan.

Sunan Kalijaga yang juga terjun ke dunia seni Jawa Kuno sebagai seorang dalang, memasukkan unsur dakwah Islam melalui karya-karya fiksi gubahannya dalam bentuk penokohan dan alur lakon (cerita) wayang kulit. Salah satunya adalah pengejawantahan lima rukun Islam dalam tokoh Pandawa Lima.

Bukan hanya itu, Kanjeng Sunan Kalijaga pula yang mengubah pakeliran wayang kulit dengan visual seperti sekarang ini. Dahulunya bentuk wayang kulit menyerupai wujud manusia. Beliau dengan sabar memberikan pengertian bahwa hal itu dilarang dalam ajaran Islam.

Baca juga tulisan tentang Pandawa Lima [Disini ]

Sementara Kanjeng Sunan Giri dikenal dengan syiar Islamya melalui karya-karya sastra yang digubah dalam bentuk tembang (lagu Jawa). Salah satu karya beliau yang hingga kini sangat sakral dengan pesan dakwah adalah tembang Turi-Turi Putih.

Melalui karyanya itu, Kanjeng Sunan Giri memberikan sentuhan sastra di jamannya (menurut saya) kepada masyarakat Jawa Kuno dengan ajaran bekal manusia untuk menghadapi hari pertanggungjawaban. Hari setelah kematian.

Baca tulisan selengkapnya tentang sakralnya pesan dakwah Tembang Turi-Turi Putih [ Disini ]

Nah, jika para ulama besar seperti Kanjeng Sunan Kalijaga dan Kanjeng Sunan Giri saja masih bisa memahami keberadaan tradisi dan budaya Jawa, kenapa kita yang kadar keimanannya masih jauh dari beliau-beliau itu terkadang mempersoalkan kleniknya budaya masyarakat pinggiran?

Mencoba menghormati tradisi nenek moyang, dengan sentuhan syiar Islamnya (Megengan, Colok-Colok Malem Songo, dll) sebagai bentuk luapan kebahagaian masyarakat Jawa menyambut bulan suci Ramadhan. Menurut saya tidak salah. Ketimbang kita terlalu bersemangat berlebihan dengan melakukan sweeping sana-sini.

Mengutip pernyataan budayawan Betawi Ridwan Saidi, “Masih banyak jalan indah menuju surga, daripada menempuh jalan fanatisme berlebihan, apalagi yang menjurus anarkis.” Jalan indah yang dimaksud babe adalah melalui pelestarian seni, budaya dan sastra para pendahulu kita.

Indonesia itu indah.
Selamat datang bulan suci. Marhaban Ya Ramadhan 1437 H.

.
Surabaya, 6 Juni 2016
(Heru Sang Mahadewa)

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *