Kamis, 17 Maret 2016

PETRUK - Kesatria Pecuk Pecukilan




Asal Usul. 

Suatu hari, Bambang Pecruk Panyukilan putra Begawan Salantara dari Padepokan Kembang Sore meminta ijin ayahnya untuk pergi berkelana. Tujuannya adalah ingin menempa ilmu kedigdayaan yang sudah ia peroleh dengan mengujinya di kehidupan luar padepokan.

Di tengah jalan ia bertemu dengan Bambang Sukskati , putra Resi Sukskadi dari Padepokan Blubluktiba. Bambang Sukskati pergi dari padepokannya juga untuk mencoba ilmu kekebalannya.

Karena mempunyai tujuan yang sama, maka terjadilah perang tanding. Perkelahian keduanya berlangsung cukup lama. Adu kesaktian dan kekebalan terjadi. Mereka saling berhantam, bergumul, tarik-menarik, tendang-menendang, injak-menginjak, hingga tubuh Bambang Sukskati dan Bambang Pecruk Panyukilan penuh luka / cacat. Fisik keduanya berubah dan berbeda sama sekali dari wujud asli yang tampan.

Perkelaian mereka berhenti setelah lewat seorang tua bernama Kyai Lurah Semar (Sang Hyang Ismaya / Bethoro Ismoyo yang turun ke bumi, menyamar sebagai rakyat jelatah). Setelah diberi banyak nasehat, Bambang Sukskati dan Bambang Pecruk Panyukilan berhenti berkelahi, lalu mengabdi kepada Sang Hyang Ismaya.

Karena perubahan wujud tersebut, Semar (Bethoro Ismoyo) mengganti nama keduanya. Bambang Sukskati menjadi Nala Gareng, sedangkan Bambang Pecruk Panyukilan menjadi Petruk.

Gareng diangkat sebagai putra angkat tertua, sementara Petruk menjadi putra kedua. Diantara ketiga putra Semar (Gareng, Petruk, dan Bagong), Petruk merupakan putra yang paling cerdas dan pandai bicara.

Petruk dikenal juga dengan nama Kanthong Bolong, artinya suka berderma. Juga disebut Doblajaya, yang berarti pintar.

Ia menikah dengan Dewi Undanawati, putri Prabu Ambarasraya, raja negeri Pandansurat yang didapatnya melalui sayembara perang tanding. 

Para kompetitornya ketika itu antara lain Kalagumarang dan Prabu Kalawahana, raja raksasa di Goa Siluman. Petruk dapat mengalahkan mereka semua dan keluar sebagai pemenang. Dewi Ambarawati kemudian diboyong ke Girisarangan dan menikah disana. Dari perkawinan ini mereka mempunyai seorang anak lelaki bernama Bambang Lengkung Kusuma.


Petruk Dadi Ratu (Menjadi Raja).
Suatu waktu Pandawa (majikan Petruk) kehilangan jimat Kalimasada. Kehilangan jimat ini artinya Pandawa lumpuh karena hilang kebijaksanaan dan kemakmuran. Kejahatan dan angkara murka timbul dimana-mana.

Jimat ini dicuri oleh Mustakaweni. Mengetahui hal itu, Pandawa menugaskan Bambang Irawan (anak Arjuna) dengan disertai Petruk untuk merebut kembali jimat tersebut. Singkat cerita akhirnya jimat tersebut berhasil direbut dan dititipkan kepada Petruk.

Dalam perjalanan pulang, Petruk bertemu Adipati Karna yang ternyata juga berhasrat memiliki jimat tersebut. Terjadi pertarungan memperebutkan jimat, Petruk ditusuk dengan keris Kyai Jalak yang ampuh. 

Petruk pun mati.

Datanglah ayahnya, Begawan Salantara (Gandarwa). Dengan kesaktiannya, Petruk dihidupkan lagi. Ayahnya juga ingin menolong Petruk mendapatkan lagi jimat Kalimasada. Ia berubah wujud menjadi Prabu Duryudana (raja Astina, kerabat Karna).

Ketika bertemu Adipati Karna, Duryudana meminta jimat Kalimasada. Karnapun menyerahkannya. Betapa terkejutnya Karna mengetahui telah diperdaya oleh Gandarwa. Akhirnya jimat tersebut oleh Gandarwa dibawa lari dan diserahkan kembali kepada Petruk.

Dia berpesan agar  sepeninggal ayahnya nanti, Petruk meletakkan jimat Kalimasada di atas kepala. Ternyata setelah menuruti nasehat tersebut, Petruk menjadi sakti mandraguna, tidak mempan senjata apapun.

Ia mencari Karna dan mengalahkannya. Dalam usaha pencarian Karna, tak terasa Petruk terpisah dengan tuannya Bambang Irawan. 

Petruk pun mengembara ke berbagai negeri dan menaklukkan setiap negeri yang disinggahi. 

Salah satu negeri yang ditaklukkan adalah Ngrancang Kencana. Petruk menjadi raja disana dan bergelar Prabu Wel Keduwelbeh. Segmen ini menjadi lakon Petruk Dadi Ratu dalam pagelaran wayang kulit.

Saat akan diadakan pelantikan menjadi raja Prabu Wel Keduwelbeh, semua raja negeri yang pernah ditaklukkan diundang. Hanya tiga negeri Amarta, Dwarawati, dan Mandura yang tidak mau hadir karena belum pernah dikalahkan. Petruk pun menaklukkan Amarta dan Mandura.

Mendengar berita itu, Prabu Krisna (raja Dwarawati, reinkarnasi Dewa Wisnu) menyerahkan kepada Semar untuk menaklukkan Prabu Wel Keduwelbeh. Oleh Semar, Gareng dan Bagong diutus untuk menyelesaikan masalah ini.

Maka setelah sampai dihadapan Prabu Wel Keduwelbeh, terjadilah peperangan sengit antara Prabu Wel Keduwelbeh dengan Gareng dan Bagong.

Peperangan berlangsung alot, belum ada yang keluar sebagai pemenang, sampai ketiganya berkeringat. Gareng dan Bagong akhirnya bisa mengenali bau keringat itu. Keduanya yakin bahwa orang yang sedang bertarung dengan mereka itu sesungguhnya adalah Petruk.

Maka mereka tidak lagi bertarung kesaktian tetapi justru bercanda, berjoged bersama, dengan berbagai lagu dan tari. 

Prabu Wel Keduwelbeh merasa dirinya kembali ke habitatnya, lupa bahwa dia memakai pakaian kerajaan. Setelah ingat, ia segera lari meninggalkan Gareng dan Petruk. Wel Keduwelbeh dikejar oleh Gareng dan Bagong. Sang prabu dipeluk Gareng dan digelitik oleh Bagong sampai Petruk kembali ke wujud aslinya.

Datanglah Prabu Krisna lalu menginterograsi Petruk, mengapa ia bertindak seperti itu?

Petruk beralasan bahwa tindakan itu untuk mengingatkan tuannya bahwa segala perilaku harus diperhitungkan terlebih dahulu. Semisal saat majikannya para Pandawa membangun candi Sapta Arga, kerajaan ditinggal kosong sehingga kehilangan jimat Kalimasada.

Juga kepada Bambang Irawan, jangan mudah percaya kepada siapa saja. Kalau diberi tugas sampai tuntas jangan dititipkan kepada siapapun.

Petruk pun meminta maaf kepada semua punggawa Pandawa, mengakui atas semua ulahnya selama ini salah. Ia pun kembali lagi ke Amarta, menjadi abdi Pandawa bersama ayahnya Kyai Lurah Semar dan dua saudaranya, Gareng dan Bagong


Pesan Moral.
Pesan moral yang bisa diambil dari kisah Petruk adalah :
  • Kekurangan fisik seseorang (cacat) tidak mencerminkan tingkat kepribadiannya. Level budi pekerti itu terletak pada hati dan perilaku. 
  • Jika mendapat tugas, kita harus bertanggung jawab dan menyelesaiaknnya hingga tuntas.
  • Jangan mudah percaya kepada siapa pun.
  •  Jika sudah mulia, tetaplah waspada dan jangan terlena.


Dan setiap selesai Goro-goro, saya pun kembali menikmati hidangan makan nasi rawon, nasi soto, lalu lagi-lagi ndlosor turu (berbaring tidur) disela-sela kolong Bonang dan Kendang.


#ODOP
#PostingHariKeempatBelas

16 komentar:

  1. Aku kok nggak telaten baca tulisan genre begini ya...tapi pesan terakhirnya bagus

    BalasHapus
  2. Ini namanya genre apa, bang heru... hehehe
    Pandai lah buat macam nih... mungkin kalau saya bukan bidangnya. :)

    Hu'um, pesan moralnya keren...

    BalasHapus
  3. Saya sendiri juga gak tau ini Genre apa ..
    Asal nulis aja,
    Heheee

    BalasHapus
  4. Nama tokohnya mas heru yang buat sendiri? Atau anbil dari sejarah? Hebat ih bikin cerita begini. Ini namanya drama kolosal bukan?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nama2 tokoh itu asli mbak Vinny, bukan sejarah, tetapi ada dalam pagelaran wayang kulit ...
      Drama kolosal?? betul sekali.

      Hapus
  5. Yeay bener. Jaman single suka nonton drama kolosal tapi yg korea. Hehehe. Padahal indonesia punya banyak cerita drama kolosal yah..

    BalasHapus
  6. pagelaran Wayang, dalam khzanah budaya Jawa, disamping menjadi tontonan, juga sarat tuntunan.
    Saya senang tokoh Petruk. Abdi Pandawa berhidung panjang ini, kalau saya menggambarkannya sebagai sosok yg berjiwa merdeka. Ia bicara apa adanya. Berani mengkritik siapa pun sepanjang yg disampaikan benar. Petruk juga tidak takut digertak dan diancam oleh siapapun yg ingin merendahkan harga dirinya.
    Suatu ketika, Petruk pernah meladeni tantangan Begawan Durna,yg dikenal sbg Resi atau guru besar di Padepokan (semacam Universitas) Solalima. Dalam debat terbuka, Sang Durna pun tidak berkutik.dst...
    (... dalang ora kurang lakon yo mas....)
    Sip Mas Heru...

    BalasHapus
  7. Begawan Durna atau Drona, yang tinggal di Sokalima, menjadi mahaguru keluarga Pandawa dan Kurawa...

    BalasHapus
  8. betul sekali pak Parto ...
    banyak puluhan bahkan ratusan lakon sudah di improvisasi dalang dari pakemnya.

    terima kasih sudah mampir di gubug saya ini

    BalasHapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *