This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 01 Oktober 2018

MIMPI ITU BERNAMA PIALA DUNIA





Satu malam menjelang babak delapan besar AFC U16 Championship 2018, aku sengaja menemui kembali seorang sahabat lama di Kota Udang, Sidoarjo. Seperti waktu-waktu sebelumnya, perawakan lelaki tambun dengan model rambut gondrong itu masih saja mirip mendiang W.S. Rendra ketika beliau masih sugeng. Tidak hanya sekedar gaya rambut, bicaranya yang ceplas-ceplos dan terkadang dibumbuhi Cak-Cuk, membuat pria paruh baya yang akrab kupanggil Cak Rendra (meski nama sebenarnya adalah Abdul Muis) itu jiannn persis dengan penyair si Burung Merak.

Malam itu, kami duduk berhadap-hadapan di sebuah kedai, Rolag Café, di pusat kota yang disebut sebagai Tanah Sakral oleh Binder Singh—komentator sepak bola, setelah untuk kali kedua, di Sidoarjo, lagi-lagi tim nasional sepak bola Indonesia menjadi Raja Asia Tenggara.

“Indonesia mbois!” ucap Cak Rendra.

“Apanya yang mbois, Cak? Musibah gempa dan tsunami Donggala Palu yang digoreng menjadi komoditi politik oleh para simpatisan capres? Atau berita tentang pencekalan Imam Besar justru oleh negara yang konon menjamin segala kebutuhan hidupnya, Arab Saudi?” tanyaku.

“Tentu saja bukan. Ini tentang sepak terjang Garuda Muda—julukan timnas U16, yang tiba-tiba melesat seperti laju meteor, hingga menapakkan kaki di babak quarter final Piala Asia,” jawabnya, sembari meneguk cappucino yang baru saja diantar seorang pelayan kafe cewek, dengan dandanan ala artis K-Pop Korea.

“Mirip aktris drama Oh My Ghost, Park Bo Young, Cak,” bisikku.

Cocot-mu!” Pisuh Cak Rendra. “Aku justru mebayangkannya sebagai Via Vallen saat tampil di launching Liga Satu,” lanjutnya sembari pringisan.

Aku tertawa terpingkal-pingkal. Beruntung si mbak pelayan kafe yang entah lebih pantas dimiripkan Park Bo Young atau Via Vallen itu tidak menyadari sedang menjadi tema pembicaraan dua lelaki yang baru saja dihampirinya.

Aku mengeluarkan sebungkus lintingan daun nikotin keluaran pabrik asal Kota Tahu, Kediri, Surya International, lalu menyodorkan sebatang isinya kepada Cak Rendra. Tentu saja lengkap dengan korek api bensol. Beberapa detik kemudian, bibir Cak Rendra nampak menghisap dalam-dalam batangan itu. Kepulan demi kepulan asap menari-nari dengan gemulai di atas meja kami. Serupa dengan lenggak-lenggok langkah si mbak pelayan kafe tadi.

“Ini generasi emas Indonesia setelah lima tahun silam kita pernah memiliki Evan Dimas dan kawan-kawan, Cak,” timpalku.

Iya, begitulah. Indonesia akhirnya tampil sebagai juara grup C kualifikasi Piala AFC U16 di Malaysia. Setelah sebulan sebelumnya menjadi jawara Piala AFF U16 di Sidoarjo, kali ini di negerinya Mahatir Muhammad itu anak asuh Fachri Husaini bersama India sukses memenangi persaingan ketat Laskar Khoemini, Iran, dan pasukan The Golden Star, Vietnam.

“Satu kaki kita sudah menginjak rumput Piala Dunia Peru tahun depan. Meski impossible, mengalahkan Australia bukan pula mustahil kita lakukan,” lanjut Cak Rendra.

“Kalau begitu, namanya sudah kepalang tanggung. Kenapa tidak sekalian saja kita geber terus laju ini menuju Peru, Cak?” Aku mengamini.

“Jangan lupa bahwa ketika turnamen serupa dulu digelar pada tahun 1990, kita berhasil lolos ke semifinal, meski akhirnya dihentikan Uni Emirat Arab. Sayangnya, jatah tiket ke Piala Dunia kala itu hanya untuk negara yang berhasil menyabet gelar juara pertama, kedua, dan ketiga.” Cak Rendra kembali membuka memori indah ketika Indonesia berhasil menjadi semifinalis juara Piala AFC U16 tahun 1990.

Kami berdua sama-sama menghela napas panjang. Menyesap capuccino di cangkir masing-masing, lalu berlomba menghisap batangan rokok yang tinggal separuh.

Iya, Sore ini, 1 Oktober 2018, bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila, Indonesia akan mencoba mencetak sejarah untuk negeri tercinta yang sedang dilanda duka. Sejarah bahwa bangsa yang sedang terkoyak tirai kerukunannya akibat suhu politik pilpres yang mulai menghangat, juga bangsa yang sedang bercucuran air mata akibat bencana tsunami yang meluluhlantakan Donggala Palu ini, mengukir nama sebagai kontestan Piala Dunia di Peru tahun depan.

Raksasa sepakbola yang akan menghadang laju Garuda Muda adalah Australia. Dalam pertemuan terakhir, negeri Kanguru berhasil mengalahkan kita dengan skor telak 7-3.

“Kenapa ya, Cak, lagi-lagi kita harus ketemu tim besar?”

Aku sedikit merasa pesimis.

“Fase ini memang sudah memasuki babak delapan besar. Wajar kalau yang tampil adalah tim-tim besar. Tetapi, jangan remehkan Merah Putih. Sekecil apapun, justru feeling-ku kok tahun ini adalah tahunnya olah raga Indonesia bangkit,” sanggah Cak Rendra.

“Kenapa sampean bisa mengatakan demikian?”

“Iya feeling saja. Puncak ujian olah raga Indonesia sudah lewat, yaitu ketika berhasil menjadi tuan rumah Asian Games sebulan silam. Bukan hanya sukses sebagai penyelenggara lho. Kita juga berhasil mendulang tiga puluh satu medali emas dan menduduki peringkat empat. Ini bukan kebetulan!” Tegas Cak Rendra.

“Masuk akal juga analisa sampean,” pujiku.

Kembali kami membakar satu lagi lintingan daun nikotin. Menyesap sisa cappuccino terasa agak pahit karena hanya tinggal ampas. Obrolan terus berlanjut hingga ngetan ngulon tak jelas jluntrungnya. Sesekali, aku sempatkan melirik Park Bo Young kawe yang sedang duduk di depan loket kasir kafe.

Tepat pukul sembilan malam, aku mengajak Cak Rendra menyudahi obrolan. Setelah melambaikan tangan kepada si mbak pelayan kafe sebagai isyarat pamit, kuantarkan sahabat yang sepemikiran dalam menyikapi hitam putih sepakbola nasional itu sampai di parkiran motornya.

Dengan menyisakan harapan yang mudah-mudahan sore ini menjadi kenyataan, tak lama kemudian aku juga memacu sepeda motor, membelah simpang empat alun-alun Sidoarjo, lalu berbelok arah ke utara, menuju Kota Buaya.

Sepanjang perjalanan pulang, harapan yang tersisa itu terus mengusik pikiranku. Harapan tentang terukirnya sejarah bagi bangsa Indonesia. Sejarah yang bernama Piala Dunia.

Ah, maju terus Garuda Mudaku.

( Heru Sang Mahadewa)
Member Of One Day One Post

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *