Selasa, 10 April 2018

SENJA DI BANDAR ALIM (SEBUAH REINKARNASI)





Parnnaha nikanan imah unwana san hyan prasada atehera jaya stambha
wiwit matewekniranlahakan satrunira hajjan ri malayu.
(Di sini, di tempat yang terpilih, didirikan sebuah bangunan suci sebagai tugu kemenangan. Di sinilah aku mengalahkan musuh-musuhku dari kerajaan Melayu – Prasasti Anjuk Ladang)

-o0o-

Bandar Alim, 851 Saka.
Senjakala mulai merayap di atas langit gunung Pandan. Sejauh tatapan mata, hamparannya hanya memampangkan semburat warna jingga. Pada setiap jengkal tawang di penghujung senja itu, tiada selain kepak-kepak sayap kawanan burung pemakan bangkai saja yang akan dijumpai. Bulan paruh Kresnapaksa yang telah renta, nyaris tak mampu memendarkan sisa-sisa cahaya di akhir masa edarnya.
Senja itu adalah senja menjelang malam Anggara Lêgi, wuku Watugunung, di mana Hyang Bathari Candra akan meredupkan sinarnya dari hamparan langit.
Sepasang kekasih sedang berdiri di tepi dermaga tua. Sang gadis matanya sembab, menatap ke arah seberang bengawan Brantas. Dari dermaga tua itu ia hanya bisa menangisi upacara atiwa-tiwa prajurit Sriwijaya. Dermaga Bandar Alim.
“Aku ingin melihat jenasah saudaraku untuk terakhir kali. Izinkan aku menyeberang, Kangmas!” Rara Paramesywari Sri Mangibhit memohon dengan nada memelas.
“Maafkan aku, Yayi. Untuk kali ini, aku tidak bisa mengabulkan permohonanmu,” jawab Rakryan I Hino Mpu Sindok. “Aku harus membunuh sepupumu, agar mereka segera mundur ke Watu Galuh.”
Rara Paramesywari Sri Mangibhit tidak menjawab. Gadis itu kembali tenggelam dalam isak tangis. Ia terduduk lemas di rerumputan sambil memeluk lutut, tak menghiraukan sedikitpun bujukan lelaki yang berdiri mematung di sampingnya.
Lama mereka tidak beranjak, hingga senjakala benar-benar ditelan pekatnya malam. Perlahan mendung mulai menggelayut di atas Bandar Alim. Tetap seperti keadaan semula, Rara Paramesywari Sri Mangibhit masih enggan beranjak meninggalkan tepi dermaga. Cakrawala kian menggelap, tetesan gerimis mulai membasahi punggung mereka. Sesekali petir menggampar angkasa, menyombongkan diri dengan kilatan cahayanya. Lalu, disusul gelegar suara bersahut-sahutan.
“Ayo kita pulang ke pesanggrahan, Yayi. Sebentar lagi mereka juga akan mundur ke Watu Galuh.” Mpu Sindok mengulurkan tangannya.
Tak ada kata-kata yang keluar dari bibir Rara Paramesywari Sri Mangibhit. Ia berdiri, lalu bergelayut pasrah dalam rengkuhan lelaki di sampingnya.

-o0o-

Lembah Gunung Wilis, Sehari Sebelumnya.
“Paman Mpu Danghil, Dimas Brapa Baruk, Sriwijaya telah sampai di Watu Galuh. Orang-orang Melayu tidak akan pernah berhenti mengobarkan api permusuhan dengan ramanda Prabu Dyah Wawa dan keturunannya, meski kotaraja kita sudah hancur sekarang. Mereka akan terus memburuku sebagai orang yang diberi titah untuk menyelamatkan trah Mataram. Sandibhaya kita juga mengatakan bahwa sebagian dari mereka mulai bergerak menyusuri bengawan Brantas. Bahkan, sekarang prajurit Melayu telah membuat pesanggrahan di seberang Bandar Alim, tak jauh dari bengawan Widas. Jumlah mereka sekitar sepuluh ribu prajurit. Lima ratus di antaranya adalah pasukan kuda.”
Mpu Sindok sedang dihadap dua orang punggawanya.
“Sedikitpun kami tidak gentar, Kangjeng!” Jawab seorang lelaki sambil mengangkat sembah.
“Paman Mpu Danghil, aku titipkan harga diri Medang di kabuyutanmu!”
“Sendika, Kangjeng. Seluruh rakyat Margo Anung siap mempertahankan setiap jengkal tanah Jawa!” Jawab lelaki lainnya yang dipanggil dengan sebutan Mpu Danghil. Dari penuturannya, bisa dipastikan bahwa ia adalah pemangku kabuyutan Margo Anung.
“Bertahanlah selama mungkin di Margo Anung. Habisi pasukan Sriwijaya sebanyak-banyaknya. Semakin jumlah mereka berkurang, akan memudahkan siasat kita di kaki gunung Wilis ini!”
Mpu Sindok meraba gagang keris. Ada perasaan tidak sabar dari dalam dadanya untuk segera menyambut kedatangan pasukan Sriwijaya.
“Lalu, tugas apa yang harus hamba emban, Kangjeng?”
“Perang tak akan terelakkan, Dimas Brapa Baruk. Tugas dimas adalah memimpin pasukan pendem. Bawa prajuritmu ke kabuyutan Gejag. Aku dan paman Mpu Danghil akan menggiring orang-orang Melayu ke lembah Wilis. Saat kekuatan mereka sudah terkuras, pasukan dimas keluar dan menghabisi prajurit Sriwijaya di ladang pembantaian. Kita sambut kedatangan mereka dengan banjir darah di sana!”
Mpu Sindok mencabut keris, lalu mengacungkan tinggi-tinggi.
“Sendika, Kanjeng!”
Bergidik Brapa Baruk dan Mpu Danghil. Keduanya menyembah kepada Mpu Sindok. Pasamuhan di lembah gunung Wilis diakhiri.

-o0o-

Tepat pada hari yang diperkirakan prajurit sandibhaya, pasukan Sriwijaya bergerak dari Bandar Alim ke arah barat, menuju lembah gunung Wilis. Ribuan pasukan panah, tombak, pedang, serta kuda, dengan Dwaja Bagaskara benar-benar akan menyerbu Rakryan I Hino Mpu Sindok beserta sisa prajurit Mataram yang ikut menyingkir dari kotaraja Mataram di Brang Tengah.
Kedatangan pasukan Sriwjaya dihadang oleh pasukan kuda Mataram yang berjumlah sekitar dua ratus prajurit ketika mendekati Margo Anung. Sisa-sisa kesatria Mataram itu sudah menanti di sana untuk memberikan perlawanan.
Mpu Danghil mengamuk. Ia menjelma bak Dewa Kematian. Dengan sebuah tombak panjang, kudanya menari-nari di antara pasukan Sriwijaya. Bunyi denting senjata disertai jeritan manusia yang meregang nyawa mengiringi  setiap gerakan pemangku kabuyutan Margo Anung itu. Satu per satu prajurit kuda Sriwijaya tumbang.
“Garudha wyuha ... garudha wyuha ... garudha wyuha!” Teriak senopati Sriwijaya.
Sontak, pasukan kuda dari tanah Swarna Dwipa langsung membentuk gelar tempur menyerupai burung garuda. Sang senopati berada di posisi paruh burung, sementara ratusan prajuritnya menyebar di bagian sayap dan ekor. Gerakan mereka seperti kepakan sayap burung raksasa disertai patukan paruh yang mengerikan. Tak sedikit prajurit Margo Anung yang roboh berkalang tanah.
“Wukir jaladri ... wukir jaladri ... wukir jaladri!” Mpu Danghil tak kalah lantang berteriak. Serentak, pasukan Margo Anung membentuk gelar tempur menyerupai sebuah gunung.
Cukup lama gelar tempur wukir jaladri membendung gelombang serangan pasukan kuda Sriwijaya yang dilapisi pasukan berjalan kaki di belakangnya. Namun, karena kalah dalam jumlah, Mpu Danghil beserta prajurit-prajurit Margo Anung terdesak hingga keluar kabuyutan.
“Kinepung wakul binaya mangap ... kinepung wakul binaya mangap ... kinepung wakul binaya mangap!” teriak Mpu Danghil, memerintahkan pasukannya untuk mundur dari Margo Anung.
Prajurit Margo Anung di barisan paling belakang merangsek maju. Sementara barisan lainnya bergerak mundur dengan menjaga jarak sekitar seratus tombak dari pasukan yang telah menggantikan posisi mereka. Kini, mereka telah terbagi dalam dua pasukan kecil. Lalu, secara bergantian dua kelompok itu saling melindungi saat salah satu menjauh dari kabuyutan.
Margo Anung berhasil diduduki Sriwijaya. Sorak kemenangan menyertai iring-iringan pasukan yang terus bergerak ke arah selatan, menuju lembah gunung Wilis. Sekitar lima puluh prajurit tetap berada di Margo Anung. Mereka mengumpulkan mayat-mayat kawannya dan membawa kembali ke pesanggrahan di Bandar Alim untuk dibakar.
 Ribuan pasukan kuda dan prajurit berjalan kaki Sriwijaya sampai di kaki gunung Wilis, saat matahari tepat di atas kepala. Kedatangan mereka sudah ditunggu oleh pasukan yang dipimpin langsung oleh Mpu Sindok. Perang langsung pecah.
Gelar tempur wukir jaladri masih digunakan pasukan Mataram dengan ditopang sisa-sisa prajurit yang telah bertempur di Margo Anung. Mpu Sindok dan Mpu Danghil mengamuk seperti banteng ketaton. Tombak di tangan keduanya membabat habis setiap berjumpa dengan prajurit Sriwijaya yang mendekat. Tak terhitung berapa banyak yang meregang nyawa di tangan dua kesatria Mataram itu.
Strategi wukir jaladri cukup membuat Sriwijaya terpancing amarahnya. Senopati mereka memacu kuda ke tengah barisan pasukan.
“Samudera rob ... samudera rob ... samudera rob!” Teriaknya sambil mengacungkan pedang tinggi-tinggi.
Seketika ratusan pasukan kuda Sriwijaya memutar posisi, mencari kawan untuk membentuk gelar tempur yang diperintahkan senopati. Hal yang sama juga dilakukan barisan pasukan berjalan kaki. Mereka menghentikan serangan sesaat, lalu berlari mencari kawan untuk ikut bergabung dengan gelar tempur Samudera Rob.
Belum sempat gelar tempur Sriwijaya itu terbentuk, Mpu Sindok sudah bergerak lebih cepat.
“Gelatik neba ... gelatik neba ... gelatik neba!” Perintah Mpu Sindok.
Sontak ratusan pasukan kuda Mataram berhamburan ke barisan pasukan berjalan kaki Sriwjaya yang lengah sesaat ketika hendak membentuk gelar tempur Samudera Rob. Serangan seperti kawanan burung gelatik yang terbang mencuri butiran padi menguning itu membuat pasukan Sriwjaya kelabakan. Jerit kesakitan mewarnai porak-porandanya gelar tempur mereka.
Mpu Sindok memutar kudanya, lalu memacu mendekati kuda Mpu Danghil.
“Paman Mpu Danghil, inilah saatnya kita pancing mereka untuk bergeser ke ladang pembantaian. Perintahkan semua pasukan Mataram mundur!” bisik Mpu Sindok.
“Sendika, Kangjeng!” Jawab Mpu Danghil.
Bekas senopati Mataram yang kini menjadi pemangku kabuyutan Margo Anung itu langsung memacu kuda ke tengah pasukan. Tangannya di angkat tinggi-tinggi lalu dikibaskan ke arah utara palagan.
“Mundur ... kita mundur ... kita mundur!” Teriak Mpu Danghil.
Pemandangan itu membuat senopati Sriwjaya terbahak-bahak. Saat pasukan yang dipimpinnya mulai porak poranda oleh gelar tempur Gelatik Neba, justru Mpu Sindok dan sisa-sisa pasukan Mataram lari dari palagan.
“Kejar ... kejar mereka!” Perintah senopati Sriwijaya. Matanya membelalak, mukanya memerah, menggambarkan ambisi untuk segera mengakhiri perlawanan Mpu Sindok.
Sekitar dua ribu tombak pasukan Sriwijaya mengejar pasukan Mataram, terdengar gegap gempita sorakan dari balik lebatnya hutan Kepuh.
“Mereka datang ... habisi orang-orang Melayu!” Teriak Brapa Baruk yang menjadi senopati barisan pasukan pendem.
Belum sempat pasukan Sriwijaya mencari asal suara, muncul ribuan pasukan tak dikenal dari balik persembunyian. Teriakan dan kehadiran mereka sontak membakar semangat pasukan Mataram yang bergerak mundur. Kini, jumlah prajurit kedua kubu yang berperang sudah berimbang.
Saat itulah, Mpu Sindok memacu kudanya di barisan paling depan. Dia menghunus keris. Lalu mengacungkan tinggi-tinggi ke cakrawala.
“Para kesatria Mataram, inilah saatnya kita menyambut Sriwjaya dengan banjir darah mereka sendiri!”
Bergidik seluruh pasukan Mataram yang mendengarnya.
“Wahai orang Melayu, aku Rakryan I Hino Mpu Sindok bersumpah ... kalian akan menyesal telah menginjakkan kaki di tanah Jawa!”
Sesumbar dari Mpu Sindok terdengar lantang hingga menggetarkan kabuyutan Gejag. Ribuan pasukan Mataram seperti mendapatkan kekuatan berlipat. Mereka mengamuk dan menghabisi setiap prajurit Sriwijaya yang terlihat.
Di luar dugaan pasukan Sriwijaya maupun Mataram, tiba-tiba dari segala penjuru datang bergelombang ratusan lelaki, tua dan muda bersenjata ala kadarnya. Mereka membawa parang, golok, celurit, lalu ikut bergabung ke medan perang.
“Kami datang untuk membela tanah Jawa, Kangjeng Mpu Sindok!” Teriak ratusan penduduk. Dengan membabi buta, mereka ikut menyerang pasukan Sriwijaya.
Senja itu, tanah di kabuyutan Gejag seketika menjadi merah oleh tumpahan darah pasukan Sriwijaya. Bumi Jawa Dwipa telah menjadi neraka bagi orang-orang Swarna Dwipa.

-o0o-

Sudut Anjuk Ladang, 9 April 2018.
Senja mulai merayap di atas langit kota Nganjuk. Sejauh tatapan mata, hamparannya hanya memampangkan semburat warna jingga. Pada setiap jengkal tawang di penghujung senja itu, tiada keindahan selain gemerlapnya lampu penjor yang menghiasi seantero kota. Bulan paruh Suklapaksa yang telah renta, nyaris tenggelam sinarnya oleh kerlipan itu.
Senja itu adalah senja menjelang senin malam.
Aku sedang menemui seorang gadis yang sebulan ini terus berkeliaran di benak setiap malam.
Vhellyn membuka percakapan sambil memainkan poni, seperti sengaja meledek aku yang dari tadi belum berani angkat bicara, walau sepatah kata. Kami duduk berhadap-hadapan di sebuah meja yang terletak di pojok kafe di pinggir kota.
“Aku ... ingin ... berterus terang ... kepadamu,” jawabku terbata-bata. Kusedot dalam-dalam segelas es Coca Cola. Padahal, sedikitpun aku tidak merasa haus.
“Oh ya. Tentang apa, Raf?”
“Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”
“Sepertinya tidak.”
“Aku seperti pernah mengenalmu.”
“Tidak, Raf.”
Singkat jawaban Vhellyn. Ia tersenyum, meyipitkan mata, mengernyitkan dahi, lalu menatapku dengan mimik datar.
Mata kami bertemu, saling bertatap sesaat. Sunggingan dari bibir indahnya membuat detak jantung terasa berhenti. Aku tertunduk, lalu berpura pura mengalihkan perhatian dengan kembali menyedot minuman, tanpa membalas senyumnya.
“Aku lupa, kapan dan di mana? Tapi perasaanku mengatakan kita pernah kenal." Suaraku melirih.
“Ehm, masa sih?”
“Jujur ya, Raf. Sebenarnya aku juga merasakan ada yang aneh. Sepertinya aku tidak asing dengan wajahmu.”
Berbeda dengan ucapan sebelumnya, kali ini mimik wajah Vhellyn nampak lebih serius.
“Tapi ya sudahlah. Itu gak penting, Vhel. Senang sekali rasanya bisa jalan-jalan bersamamu hari ini,” ucapku.
“Trims ya, Raf. Aku juga senang kok.”
Suasana menjadi lebih mencair, obrolan kami jauh lebih mengalir dari pada awal pertemuan tadi. Dari bangunan kafe yang terbuka ini, aku bisa melihat pemandangan senja di bentangan langit seberang barat. Meski mendung nampak bergelayut di sana, namun perasaanku sangat bahagia sore itu.
“Sebentar lagi hujan. Ayo kita pulang,” ajakku saat gerimis mulai turun.
Dari kafe di pinggir kota, perjalanan kami lanjutkan ke arah selatan, membelah jalan raya A. Yani, berburu waktu yang sudah semakin petang. Sepuluh menit dari alun-alun, akhirnya kami sampai di simpang empat Candirejo. Hari telah senja.
Gerimis turun perlahan. Tetesanya terasa membasahi punggung kami. Tiba-tiba kepalaku terasa berputar, dan pandangan mata berkunang-kunang. Semakin lama kian kabur. Wajah Vhellyn yang ada di sebelahku sudah tak bisa kulihat dengan jelas.
Mendadak pula, terlintas bayang-bayang kejadian di masa lalu yang membuat aku seperti terseret dalam kehidupan lampau.
Dari jarak dua ratus meter ke arah barat simpang empat Candirejo, aku sudah bisa mencium aroma kejayaan di masa silam. Seperti ada yang bergejolak dalam hatiku untuk segera mempercepat laju kendaraan, ke arah taman Candi Lor.
“Vhel, aku bisa mencium aroma kemenangan disini.” ucapku ketika kami memasuki halaman Candi Lor.
“Maksudmu apa, Raf?”
“Lihatlah Jaya Stambha itu. Apakah kau masih ragu? Kita telah dipertemukan lagi, Yayi,” lanjutku.
Vhellyn tampak berkaca-kaca, suaranya sedikit bergetar.
Entah kekuatan apa yang merasuki diriku saat itu, sehingga dengan reflek aku berani mengulurkan tangan ke arah wanita di sampingku.
“Rara Parameswari Sri Mangibhit, engkaukah ini, Yayi?” aku berbisik kepadanya.
Vhellyn tersentak, menghentikan langkahnya, lalu menjauh mundur satu depa dariku. Ia menutup bibirnya dengan telapak tangan. Seolah tak percaya dengan ucapanku.
“Kangmas, benarkah kamu adalah Kangmas Mpu Sindok?” Vhellyn nampak belum percaya dengan kejadian ini.
Sesaat kami berpelukan, melepas kerinduan yang terpendam selama seribu tahun ini. Seribu tahun pula Isanawikrama Dharmatunggadewa harus menunggu untuk reinkarnasi, demi menemukan kembali Rara Parameswari Sri Mangibhit yang lebih dulu menitis ke raga seorang gadis bernama Vhellyn.
Kugandeng tangan Vhellyn. Kugenggam erat jemari lentiknya. Sekejap kemudian,  warna jingga di atas Jaya Stambha memudar, menenggelamkan bagaskara di kaki cakrawala Anjuk Ladang.

(Tamat)

Heru Sang Amurwabhumi
Member Of One Day One Post

Catatan :
Margo Anung = Desa Ganung Kidul, Kecamatan kota Nganjuk, Jatim sekarang.
Gejag = Desa Gejagan, Loceret, Kabupaten Nganjuk, Jatim sekarang.

Kata-kata yang disebut dalam awal kisah diatas kini dikenal dengan nama desa Senjayan (senja) dan desa Ketawang (tawang) di Kec. Gondang, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.

Desa Demangan di kecamatan Tanjunganom, Kabupaten Nganjuk dahulu adalah dermaga pelabuhan Bandar Alim. Letusan dahsyat gunung Kelud selama berabad-abad mengubah jalur aliran bengawan Brantas (sungai Brantas) seperti sekarang.

Tepian bengawan Brantas di sisi sebelah timur (seberang pelabuhan Bandar Alim) yang dijadikan persinggahan dan markas pasukan Melayu dari pangkalan Jambi, kini dikenal dengan nama Desa Jambi, berada di Kecamatan Baron, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.

Rara Prameyswari Sri Mangibhit adalah istri dari Sri Maharaja Isana Wikrama Dharmatunggadewa.

Delapan tahun setelah kemenangan gemilang pasukan Mataram atas Sriwijaya, di kabuyutan Gejag didirikan tugu Jaya Stambha atas perintah Mpu Sindok. Kini, tugu itu dikenal sebagai Candi Lor di desa Candirejo, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk. Meski kondisi fisiknya sudah aus terkikis jaman selama seribu tahun, namun bangunan itu masih berdiri megah hingga sekarang.

Pengucapan kata Anjuk Ladang seiring jaman berubah menjadi Nganjuk. Sementara hari didirikannya tugu kemenangan (Candi Lor) itu diperingati sebagai hari jadi Anjuk Ladang (Nganjuk) setiap tanggal 10 April.

7 komentar:

  1. Belum pernah baca kisah ini.
    Ada rasa penasaran Cak.
    Dalam buku sejarah yang pernah ku baca.
    Mpu sendok patih kerajaan Mataram Kuno. Yang mengungsi dan mendirikan dinasti Isyana.
    Dalam kisah di atas juga menyebutkan raja Wawa (raja terakhir Mataram)
    Berarti Mpu Sendok belum menjadi raja ya Cak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul. Karena kemenangan gemilang di Anjuk Ladang itu pula, ia diberi kepercayaan untuk meneruskan tahta atas tanah Jawa.

      Hapus
  2. Huaaahhh... keren.
    The best 😇👍

    BalasHapus
  3. Kereen alur ceritanya.
    Semoga nantinya dipublish jadi buku seri.

    BalasHapus
  4. Ketawang, senjayan, demangan, itu deket sama rumah mbahku semua wkwk. Brarti itu pelabuhannya deket rumah mbahku desa karangsemi juga ya?? Di ganung ada makam yg namanya makam mbah enggot, tau sejarahnya gak min??

    BalasHapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *