Selasa, 22 Mei 2018

WANABAYA





Dada pemangku Kabuyutan Mangir itu berdegup kencang. Masih terlintas dengan jelas dalam ingatannya, siang tadi ia mengusir dua utusan Mataram yang mengirimkan nawala kepadanya. Nawala dari Panêmbahan Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa yang menginginkan Mangir takluk.

Sebagai pemangku kabuyutan yang telah diakui sebagai sebuah tanah perdikan oleh Demak dan Pajang, Wanabaya merasa berhak menolak keinginan Mataram. Mangir, sejak dipimpin kakek buyutnya, tak pernah diusik sedikitpun oleh campur tangan penguasa. Apalagi diminta untuk bertekuk lutut.

Seharusnya, memang demikianlah hak sebagai sebuah tanah perdikan.

Keringat bercucuran membasahi pelipis, wajah, hingga leher Wanabaya. Napas yang berhembus kian memburu, membuat tubuhnya gemetar hebat.

“Kau tak pantas disebut sebagai menantu, Wanabaya. Bagaimanapun juga, garwa-mu adalah putri dari Ngarsa Dalêm. Sudah menjadi kewajibanmu untuk patuh dan menyembah kepadanya.”

“Tidak. Aku tidak salah! Apa yang aku lakukan adalah dharma dalam menjunjung kedaulatan Mangir. Tanah leluhurku ini tidak boleh kehilangan jati dirinya sebagai perdikan agung, sejak masa Demak Bintoro hingga Pajang!”

Dua sisi batin Wanabaya bertikai. Pemangku Kabuyutan Mangir itu dihadapkan pada dua pilihan yang sangat sulit. Antara memenuhi panggilan Panembahan Senopati untuk menghadap ke Mataram, atau tetap bersikukuh tinggal di Mangir.

Dalam kegamangan yang kian meraya di pikirannya itu, Wanabaya melangkahkan kaki menuju Sanggar Pamujan.

***

Pertikaian antara Pajang dan Mataram telah usai. Hadiwijaya mangkat karena jatuh sakit, seminggu setelah pasukannya dipukul mundur oleh Danang Sutawijaya. Pengakuan Pangeran Benowo, pewaris takhta Pajang atas kedaulatan Mataram sekaligus mengukuhkan tanah perdikan di bekas alas Mentaok itu sebagai penguasa baru tanah Jawa.

Panembahan Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa, begitu abhiseka yang dipakai Raden Mas Loring Pasar, atau Danang Sutawijaya.

Pelan namun pasti, Mataram berhasil memperluas wilayah kekuasaan dengan menaklukkan kadipaten-kadipaten, kademangan, dan kabuyutan di Brang Tengah dan Wetan. Namun, sebuah kabuyutan yang tak jauh dari pusat kedhaton, Kotagedhe, justru membangkang. Mangir, melalui pemangkunya, Wanabaya, terang-terangan menolak menghadap, apalagi menyembah Panembahan Senopati.

Bukan tanpa alasan Wanabaya bersikap demikian. Selain Mangir adalah tanah perdikan, Wanabaya merasa tidak perlu gentar sedikitpun bersikukuh mempertahankan keyakinannya. Keyakinan bahwa hanya Hyang Jagad Nata yang patut disembah. Bukan raja mereka. Pun juga soal adu kedigdayaan, tak perlu ada yang ditakuti dari Mataram dan Panembahan Senopati.

“Wanabaya memiliki senjata, berupa tombak yang tak kalah mumpuni dibandingkan Kyai Plered, Anakmas,” ucap Ki Juru Mertani.

“Benarkah, Paman?”

Kyai Baru Klinting namanya.”

“Apa yang menjadi peluruh kedigdayaan tombak itu?”

“Tali Kemben!”

Panembahan Senopati tersentak. Namun sekejap kemudian ia manggut-manggut. Ucapan Ki Juru Mertani yang sudah kenyang makan asam garam peperangan, termasuk mengatur siasat untuk dirinya ketika berhasil menghabisi nyawa Arya Penangsang, tak perlu diragukan lagi.

“Lalu, menurut paman, apa yang harus kulakukan?”

“Wanabaya adalah seorang perjaka. Sudah barang tentu, kelemahan ia terletak pada hatinya. Kirimlah seorang wanita yang seusia untuk membuatnya kasmaran, sekaligus melunturkan kedigdayaan Kyai Baru Klinting dengan tali kemben,” tutur Ki Juru Mertani sambil mengangkat sembah.

"Jangan ditunda lagi, anakmas," imbuh Ki Ageng Pemanahan.

Pasamuan di Kotagedhe hari itu diakhiri dengan sebuah siasat untuk menaklukkan Mangir.

Sehari kemudian, sebuah rombongan kecil bergerak dari Kotagedhe menuju Mangir. Rombongan yang terdiri dari putri Panembahan Senopati sendiri; Retno Pembayun yang berdandan layaknya seorang waranggana; Adipati Martalaya yang menyamar sebagai Ki Dalang Sandiguna; Ki Jayasupanta; Ki Sandisasmita; dan Ki Suradipa yang ketiganya berpura-pura menjadi penabuh kendang, kempul, dan gênder. Ikut pula bersama mereka adalah seorang senopati wanita Mataram; Nyai Adirasa.

Syahdan, menjelang senja, iring-iringan rombongan itu memasuki kabuyutan Mangir. Bak gayung bersambut, tanah perdikan itu sedang mengadakan sesembahan puja syukur kepada Sang Pencipta dalam wujud Merti Dusun. Puja syukur itu dihaturkan sebagai ungkapan terima kasih penduduk Mangir atas hasil panen yang berlimpah.

Sang pemangku kabuyutan Mangir dengan sukacita menerima rombongan Ki Dalang Sandiguna. Mereka diminta menginap sekaligus mementaskan pagelaran wayang kulit di sana. 

Retno Pembayun melemparkan tatapan liar ke arah Wanabaya. Sekar Kedhaton Mataram itu merasa satu jurus telah berhasil menyasarkan siasat ramandanya; Panembahan Senopati.

Wanabaya menunduk, serta merta mengalihkan pandangan dari mata Retno Pembayun. Sementara yang empunya tatapan liar hanya tersenyum kecil penuh kemenangan. Malam harinya, lenggak-lenggok tarian gemulai dari waranggana jejadian itu benar-benar telah menghabisi benteng pertahanan sukma Wanabaya.

Tanpa menunggu berlama-lama, keesokan harinya Wanabaya meminang Retno Pembayun untuk menjadi pendamping hidupnya dalam memimpin kabuyutan Mangir.

Malam pertama Wanabaya dan Retno Pembayaun menjadi titik balik dari kedigdayaan tombak Kyai Baru Klinting, ketika Sekar Kedhaton Mataram itu menanggalkan tali kemben di atasnya.

***

Sesaat setelah membersihkan wajah, kedua tangan dan kaki, Wanabaya memasuki sebuah ruang yang beratap anyaman daun siwalan. Ia dekati prapen yang ada di sudut Sanggar Pamujan itu. Lalu, ia bakar segumpal kemenyan ke dalamnya. Seketika, asap dupa mengepul disertai aroma wangi asthanggi.

Wanabaya menanggalkan seluruh pakaian satu demi satu, hanya tersisa lilitan cawat di bawah pinggang. Asap dupa yang kian mengepul, turut menggulung sekujur tubuh pemangku kabuyutan Mangir itu. Beberapa jurus kemudian, Wanabaya mengambil posisi duduk Siddasana, kedua tangannya sempurna tertangkup dalam sikap Anjali Mudra. Segala pikiran, ia pusatkan pada satu titik hampa. Hingga seiring hembusan napasnya yang kian datar, akhirnya Wanabaya hanyut ke Jagad Sonya.   

Dalam ambang batas antara alam bawah sadar dan jagad kasunyatan, samar-samar Wanabaya melihat rambutnya dijambak oleh Panembahan Senopati, lalu, serta merta penguasa Mataram itu membenturkannya ke palinggihan yang terbuat dari batu padas. 

Darah mengalir begitu deras. Disusul gerakan dua punggawa Mataram yang dengan sigap menyabetkan tombak, menjebol dadanya hingga pecah menjadi dua.

Tubuh Wanabaya menggelepar. Namun, sebuah jerit kesakitan pun tak mampu ia keluarkan dari mulutnya.

Sebuah kecupan lembut di kening, membangunkan Wanabaya dari samadhi. Ketika membuka mata, sosok pertama yang ia lihat adalah Retno Pembayun.

Sekar Kedhaton Mataram itu tersenyum. “Ayo Kangmas, ikuti aku. Kita berangkat. Tak perlu ada yang kaurisaukan lagi. Percayalah, kematian adalah jalan kembali yang paling indah.”

Wanabaya bangkit. Ia ikuti langkah istrinya. Tiada lain yang bisa ia lihat, kecuali sebuah lorong yang dipenuhi lautan cahaya putih. Jalan menuju rumah Sang Maha Suci.


(Heru Sang Mahadewa)
Member of One Day One Post

0 komentar:

Posting Komentar

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *