Jumat, 12 Mei 2017

WAHYU PURBO SEJATI (5-TAMAT)


devianart.com



Hari yang dinanti-nanti Prabu Godayitma tiba. Raden Bregakumara dan seluruh punggawa Tawanggantungan berkumpul di pendopo. Tak lama lagi, Dewi Bratajaya akan dikeluarkan dari persembunyian untuk dipersembahkan.

Para cethi dan paricaraka melaporkan bahwa mereka telah siap mengabdi kepada Dewi Bratajaya. Wanita-wanita pelayan itu kini menunggu di puri kaputren. Tempat dimana calon istri Prabu Godayitma akan tinggal.

“Bregakumara, cepat keluarkan Bratajaya. Rasanya sudah tidak sabar lagi aku ingin memperistri wanita titisan Bathari Sri Wedawati itu!” Perintah Prabu Godayitma.

“Baiklah, Kakang Godayitma,” jawab Raden Bregakumara. Pelan-pelan, dia menarik kancing gelung rambutnya. Sejurus kemudian, rambut panjang senopati Tawanggantungan terurai.

“Asu!” Teriak Bregakumara ketika tiba-tiba rambutnya yang terurai dijambak seseorang.

Raden Bregakumara terseret beberapa tombak. Tubuhnya berguling-guling, mencoba menahan tarikan dari makhluk yang tidak tampak oleh pandangan kasat mata. Suasana pendopo menjadi ricuh.

Belum sempat kegaduhan itu reda, tiba-tiba dari kancing gelung rambut Raden Bregakumara keluar seekor kera berbulu putih.

“Ka ... pi ... Ha ... no ...man?” Ternganga mulut Prabu Godayitma.

“Kali ini aku tak akan membiarkanmu lolos, danawa!” Sesumbar Kapi Hanoman.

Pendopo Tawanggantungan seketika gempar!

Raden Bratasena menyeret tubuh Raden Bregakumara. Senopati berwujud dedemit itu tak sempat membalas. Rambutnya dijambak, perut, dada dan kakinya diinjak-injak oleh kesatria Pandawa kedua. Darah bercucuran dari bibirnya. Tak ayal, dia pun menyerah tanpa ingin berlama-lama merasakan amukan lawan.

Di sudut lain, Prabu Godayitma terlibat perkelahian dengan Kapi Hanoman. Sukma Prabu Dasamuka yang menyatu di raga penguasa Tawanggantungan itu masih setangguh yang dulu. Pukulan dan tendangan kera putih yang dulu menguburnya hidup-hidup di gunung Ungrungan bisa dia tangkis. Bahkan, pukulan balasan sempat juga mengenai dada musuhnya.

Namun, kedigdayaan yang dimiliki sebuah sukma pada kehidupan keduanya, tentu tak seperti raga aslinya dahulu. Prabu Godayitma bukanlah Prabu Dasamuka, meski sukma penguasa Alengka ada padanya. Kapi Hanoman tetaplah sosok yang ditakdirkan Dewata menjadi penakluknya.

Dalam sebuah pergumulan, kesatria besar dalam Brubuh Alengka berhasil mengunci tubuh Prabu Godayitma. Sang raja danawa tak berkutik oleh sang kera putih. Tubuhnya diseret meninggalkan istana Tawanggantungan.

Raden Bratasena juga melakukan hal yang sama, dia menyeret tubuh Raden Bregakumara dengan menjambak rambutnya.

Dengan menggunakan Aji Sepi Angin, kedua kesatria utusan Prabu Kresna membawa tawanan mereka, Prabu Godayitma dan Raden Bregakumara menuju gunung Gandamadana.

-o0o-

“Kapi Hanoman, Permadi dan Bratasena, kalian telah menyelesaikan tugas mulia ini. Makhluk-makhluk berwatak ahangkara ini pantas mendapat hukuman yang setimpal,” ucap Prabu Kresna, ketika Dewi Bratajaya, Prabu Godayitma dan Raden Bregakumara dihadapkan kepadanya.

“Sudah menjadi kewajibanku untuk mengabdi kepada titisan Sang Hyang Wisnu,” jawab Kapi Hanoman.

“Begitu pula dengan kami, Kakang Kresna. Keselamatan Dewi Bratajaya juga menjadi tanggung jawab Pandawa,” sela Raden Permadi.

“Semoga kebaikan kalian mendapat balasan dari para Dewata,” imbuh Prabu Kresna.

Semua yang hadir di puncak gunung Gandamadana melakukan sembah dada. Mengharapkan sabda dari penguasa Dwarawati didengar oleh Dewata.

“Sinuwun Prabu Kresna, ijinkan aku untuk menghabiskan sisa umur panjangku ini dengan mengabdi kepadamu. Berbhakti kepada Sang Hyang Wisnu di masa tuaku,” tiba-tiba Kapi Hanoman menyembah kepada Prabu Kresna.

“Tanpa engkau minta, garis takdir Dewata sebenarnya akan membawamu untuk menerima tugas mulia dariku, Kapi Hanoman. Kubur kembali sukma Dasamuka yang saat ini berada pada raga Gondayitma. Begitu pula dengan Bregakumara. Bawalah Dua makhluk dari bangsa danawa dan dedemit ini ke gunung Kendali,” perintah Prabu Kresna.

“Singgih, pukulun,” sembah Kapi Hanoman. Melalui indera niskala, dia bisa melihat bahwa sosok penguasa Dwarawati yang berdiri di hadapannya saat itu berwujud sebagai Sang Hyang Wisnu.

“Engkau akan ditemani kedua Pandawa ini,” Prabu Kresna menunjuk ke arah Raden Permadi dan Raden Bratasena.

“Sendika dawuh, Kakang Kresna,” jawab dua kesatria Pandawa nyaris bersamaan.

“Punten dalem sewu, pukulun. Hamba belum mengetahui, dimana letak gunung Kendali?” tanya Kapi Hanoman.

Prabu Kresna tersenyum. Tangannya meraih sebatang sada yang berasal dari daun kelapa kering, tak jauh dari tempatnya berdiri. Dengan kedigdayaannya, penguasa Dwarawati titisan Sang Hyang Wisnu itu melesatkan sada jauh ke cakrawala.

“Segera ikuti sada itu. Titik dimana ia berhenti, di sanalah letak gunung Kendali!” jelas Prabu Kresna.

Kapi Hanoman, Raden Bratasena dan Raden Permadi seketika juga melesat meninggalkan gunung Gandamadana. Ketiganya masing-masing menenteng tubuh Patih Prahastayitma, Prabu Godayitma dan Raden Bregakumara, sambil mengejar batang sada yang terbang menuju arah barat. 

Di sebuah gunung yang berada di pinggiran wilayah Dwarawati, sada yang dilesatkan Prabu Kresna menukik tajam dan menancap ke tanah.

"Pasti inilah gunung Kendali," ucap Kapi Hanoman.

"Cabutlah, Kakang Hanoman. Kubur tiga danawa ini seperti titah Kakang Prabu Kresna," balas Raden Permadi.

Kapi Hanoman mencabut gunung Kendali dari akarnya dengan satu tangannya. Sementara Raden Permadi dan Raden Bratasena melemparkan tubuh tiga danawa ke kaki gunung yang telah terangkat.

Sekejap mata kemudian, Kapi Hanoman menghempaskan kembali gunung Kendali. Mengubur tubuh Patih Prahastayitma, Prabu Godayitma dan Raden Bregakumara.

Raden Permadi dan Raden Bratasena pamit pulang. Kapi Hanoman bertapa di puncak gunung Kendali, sambil menjaga sukma Dasamuka.

Sejak itu, gunung Kendali dinamakan pertapaan Kendalisada.

TAMAT

Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost

Baca cerita sebelumnya [ DI SINI ]

Catatan:
Sada = batang lidi

3 komentar:

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *