Selasa, 09 Mei 2017

WAHYU PURBO SEJATI

devianart.com




Surup belum sepenuhnya datang. Namun, sejak siang hari, mendung telah bergelayut di atas Gandamadana. Membuat gunung yang dianggap suci itu tampak gulita. Sejauh tatapan mata, hamparan langit hanya memampangkan warna gelap. Dari setiap bentang cakrawala pada candikkala itu, hanya pekat saja yang terlihat. Puncak gunung yang menjadi tempat pendharmaan abu jenazah Prabu Kunti Boja, pendiri negeri Mandura bagai ditutup layar hitam yang membentang di seluruh atap langit. Sesekali, terdengar suara guntur menggelegar.

Seorang kesatria bertubuh lencir dan wajah rupawan mendatangi cungkup Prabu Kunti Boja. Dia tidak masuk ke garbhagriha, tetapi berjalan ke belakang bangunan.

Sejenak, kesatria yang tak lain adalah Raden Permadi, putra Pandudewanata dan Dewi Kunti itu menghampiri sendang kecil di dekat cungkup. Dia membersihkan tangan, lalu membasuhkan air ke mukanya. Sang Pandawa ketiga ingin menghabiskan malam dengan bertapa brata untuk mendapatkan ketenangan batin, menuruti pawisik yang diterimanya. Pawisik bahwa dirinya menjadi manusia terpilih Dewata, sebagai penerima sebuah anugerah niskala.

Setelah bersuci, Raden Permadi bersila dalam sikap padmasana. Tangannya membentuk sembah, diangkat ke atas ubun-ubun. Dia berusaha memusatkan kesadarannya di titik ajna, untuk lebur bersama alam semesta. Mulutnya membaca mantra-mantra penyejuk batin.

Sejurus kemudian, tangannya yang bersembah ketika merapalkan mantra tiba-tiba diturunkan. Kini, tangan itu membentuk amusthikarana. Napasnya diatur mengikuti alunan mantra dalam hati. Dia merapalkan asma para Dewa, seiring napas yang keluar dan masuk melalui hidungnya.

Dalam keheningan yang menghanyutkan, batinnya tersadar. Kesadarannya membentang tanpa batas. Tiba-tiba dia melihat dirinya sendiri berdiri di depannya. Sosok itu tampak lebih tampan, lebih tenang, selalu tersenyum dan bercahaya.

Ketika Raden Permadi kian tenggelam dalam keheningan yang menghanyutkan, dua kesatria lain mendatangi cungkup Prabu Kunti Boja. 

Kesatria pertama berkulit kemerah-merahan. Pandangan matanya jelalatan, menoleh ke sekeliling bangunan suci. Seolah memastikan bahwa tiada manusia lain yang menginjakkan kaki di puncak gunung Gandamadana, selain dia dan kesatria yang bersamanya. 

Kesatria kedua, berkulit hitam legam. Bibirnya senantiasa mengumbar senyum. Tatapan matanya tampak teduh.

Dua kesatria itu adalah Prabu Baladewa, penguasa Mandura dan Prabu Kresna, penguasa Dwarawati. Mereka adalah cucu dari mendiang Prabu Kunti Boja sendiri. Keduanya juga mendapat pawisik dari Dewata agar melakukan tapa brata di puncak gunung Gandamadana. Tepat di astana----pemakaman----eyang dan leluhurnya.

-o0o-

Jauh dari puncak gunung Gandamadana, terjadi pertemuan dua penguasa bangsa danawa. Ditya Kunjanawresa dan Prabu Gondayitma. 

Ditya Kunjanawresa, sosok danawa berkepala kuda yang menjadi penguasa Mregapati pernah dikalahkan oleh Raden Narayanana----nama muda Prabu Kresna----ketika dia bersama dua kakaknya, Kunjarakresna dan Yudakalakresna mengeroyok kesatria Dwarawati. Nahas, dua kakaknya tewas, sedangkan Ditya Kunjanawresa berhasil melarikan diri ke gunung Mregapati dan mengumpulkan prajurit dari bangsa brekasakan di sana.

Sementara Prabu Godayitma adalah reinkarnasi dari roh Prabu Dasamuka, penguasa Alengka. Dahulu, setelah menculik Rakryanwara Sinta, terjadi perang besar antara pasukan Alengka melawan Prabu Sri Rama, suami Sinta, Raden Lesmana yang dibantu pasukan kera dari gua Kiskenda. Ketika itu, Sugriwa, Subali dan Kapi Hanoman, para panglima perang bersosok kera, menjadi aktor kunci dibalik tewasnya Dasamuka.

Prabu Sri Rama adalah titisan Bathara Wisnu. Kini, setelah ratusan tahun berlalu, Prabu Godayitma menemukan kembali Dewata itu telah menitis ke raga Prabu Kresna. Maka, dendam kematian masa lalu ketika dia masih menjadi Dasamuka, patut dibalaskan kepada sang penguasa Dwarawati.

Prabu Godayitma tak jauh dari peringai Dasamuka yang tergila-gila dengan Rakryanwara Sinta. Telah lama pula, dia mengagumi kecantikan Dewi Bratajaya. Beberapa kali dia mencoba menculik adik dari Prabu Baladewa dan Prabu Kresna itu, tetapi selalu gagal. Prabu Baladewa senantiasa menjadi penlindung bagi Dewi Bratajaya yang memang tinggal di istana Mandura, ikut sang kakak.

Hari itu, antara Ditya Kunjanawresa dan Prabu Godayitma sepakat bersatu untuk melampiaskan dendam kesumat mereka. Berangkatlah pasukan gabungan Mregapati dan Tawanggantungan ke Dwarawati. Patih Prahastayitma dan Raden Begakumara menjadi senopati pasukan hantu.

Hari itu pula, Dewi Bratajaya sedang berkunjung ke Dwarawati bersama Prabu Baladewa, sebelum penguasa Mandura pergi bertapa ke gunung Gandamadana bersama Prabu Kresna.

Raden Setyaki, senopati Dwarawati bersama seorang Patih muda bernama Pragota menghadang ribuan pasukan danawa di alun-alun. Mereka juga ditopang punggawa senior Arya Udawa dan Arya Prabawa.

Asu! Brekasakan dari mana, kalian?” Umpat Raden Setyaki.

“Minggir!” Jawab Patih Prahastayitma, senopati Tawanggantungan.

Dedemit edan! Kurobek-robek mulut besarmu!”

Sejurus kemudian, Raden Setyaki langsung menghajar Patih Prahastayitma. Namun, senopati Dwarawati sekaligus ipar Prabu Kresna itu bagai bertarung melawang gugusan karang. Pukulan demi pukulan yang dia layangkan ke tubuh lawan seperti membentur besi baja.

Dalam sebuah gerakan, Patih Prahastayitma bahkan nyaris meringkus tubuh kecil Raden Setyaki. Beruntung, kesatria dari Lesanpura itu ingat sebuah Aji Panglimunan yang dulu pernah diajarkan Raden Permadi, Pandawa ketiga. Tanpa menunggu musuh menyerang lagi, dia segera membacakan mantra pengabur raga.

“Aku harus segera ke gunung Gandamadana. Dwarawati dalam bahaya,” batin Raden Setyaki. Dalam wujud tak kasat mata, dia menghampiri tiga punggawa Dwarawati.

“Bertahanlah sekuat tenaga, musuh kita bukan bangsa manusia. Aku akan segera kembali bersama sinuwun Prabu Kresna,” ucapnya kepada Patih Pragota, Arya Udawa dan Arya Prabawa. Sejurus kemudian, dia melesat menggunakan Aji Sepi Angin, menuju puncak gunung Gandamadana, tempat Prabu Kresna dan Prabu Baladewa sedang bertapa.

Kini, Patih Pragota, Arya Udawa dan Arya Prabawa yang bertarung melawan Ditya Kunjanawresa, Prabu Godayitma dan Raden Begakumara. Tiga lawan tiga. Tiga kesatria Dwarawati menghadapi tiga danawa.

“Menyerahlah, kalian bukan lawan kami!” Sesumbar Ditya Kunjanawresa, sambil memamerkan gigi taring yang mencuat dari sudut mulutnya. Wajahnya memerah, bibirnya mendesis-desis, siap memangsa siapaun yang berada di hadapannya.

“Keluar, kau Kresna dan Baladewa!” Imbuh Prabu Godayitma. Sorot matanya tak kalah beringas dari Ditya Kunjanawresa. Sepasang gigi runcing juga menyeruak keluar dari mulutnya.

“Langkahi dulu mayat kami!” Balas Arya Udawa. Tangan kanannya telah mengangkat sebilah pedang. Hal yang sama juga diikuti oleh Arya Prabawa. Keduanya sadar, menghadapi dua raja bangsa danawa tidak boleh lengah sedikitpun. Tangan, leher dan kepala mereka senantiasa jadi incaran gigi-gigi taring Ditya Kunjanawresa dan Prabu Godayitma. Sementara, Patih Pragota bergerak menjauh, membantu pasukan Dwarawati di sisi lain.

Alun-alun Dwarawati beruban menjadi palagan perang.

Pasukan niskala Mregapati dan Tawanggantungan maupun para prajurit Dwarawati saling unjuk kedigdayaan. Suara jerit kesakitan mengiringi percikan darah yang bersahut-sahutan dari kedua pasukan.

“Suruh keluar Kresna dan Baladewa!” Ucap Patih Prahastayitma yang menjadi marah karena Raden Setyaki mendadak lenyap dari hadapannya. Dia mengamuki barisan prajurit Dwarawati yang sedang bertarung dengan pasukan dedemit Mregapati dan Tawanggantungan.

“Sinuwun Prabu Kresna dan Prabu Baladewa sedang bertapa di gunung Gandamadana!” Jawab Patih Pragota yang tiba-tiba telah berdiri menantang Patih Prahatayitma. Kini, kedua patih dari masing-masing kubu telah berhadap-hadapan.

Namun, kesatria belia Dwarawati itu dengan polosnya terpancing ucapan lawan. Tanpa disadarinya, Patih Prahatayitma telah mengeluarkan Aji Pameling.

“Kresna dan Baladewa tidak ada di Dwarawati. Keduanya berada di gunung Gandamadana,” bisik sang senopati pasukan danawa melalui kontak batin dengan Ditya Kunjanawresa dan Prabu Godayitma.

“Hahahaha ..... hahahaha ... akhirnya Bratajaya menjadi milikku! Bratajaya sebentar lagi menjadi istriku!” Tertawa terbahak-bahak Prabu Godayitma.

Sejurus kemudian, penguasa Tawanggantungan itu langsung melesat menerobos istana Dwarawati. Disusul Raden Begakumara, pengawal setianya. Sementara, Ditya Kunjanawresa dengan mudah menahan gempuran Arya Udawa dan Arya Prabawa yang berusaha mengejar Prabu Godayitma.

Jerit tangis dan ketakutan pecah dari istana kaputren. Para dayang dan Dewi Bratajaya tak kuasa menahan tarikan tangan Prabu Godayitma dan Raden Begakumara yang dengan beringas membopong tubuh puteri satu-satunya mendiang Prabu Basudewa.

Sekedip kemudian, sosok dua danawa telah melesat meninggalkan Dwarawati, membawa lari Dewi Bratajaya.

BERSAMBUNG

Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost

Catatan:
Surup = senja.
Candikkala = senjakala, sinonim surup.
Cungkup = bangunan pelindung makam.
Garbhagriha = ruang utama bangunan suci, candi, pendharmaan.
Sendang = kolam yang terbuat akibat aliran sebuah mata air.
Pawisik = bisikan.
Niskala = ghaib.
Padmasana = Posisi duduk bersila seperti bunga teratai.
Ajna = mata ketiga, mata batin.
Amusthikarana = sikap tangan kanan mengepal dibungkus oleh tangan kiri yang masing-masing ibu jarinya bertemu dan ujung-ujungnya mengarah ke atas,  ditempatkan di depan hulu hati.
Danawa = makhluk raksasa
Brekasakan = makhluk yang tidak jelas wujud dan asal-usulnya.
Asu = Anjing, bahasa Jawa.
Dedemit = demit, golongan jin jahat.
Aji Panglimunan = ilmu kesaktian yang bisa mengaburkan pandangan orang lain.
Aji Sepi Angin = ilmu kesaktian yang bisa membawa tubuh pemiliknya menuju suatu tempat dalam sekejap.
Aji Pameling = ilmu kesaktian untuk berkontak batin.

7 komentar:

  1. Udah baca tulisanmu Kang...manis menyegarkan...seperti sirup marjan

    BalasHapus
  2. Keren ini kang...

    Mengingatkan Sastra Jawa...

    BalasHapus
  3. Selalubasik baca tulisan kang heru. Jadi nambah vocab bahasa jawa.

    BalasHapus
  4. ceritanya bagus, kapan bisa menulis seindah ini
    dengan memasukkan bahasa daerah dan terjemahannya jadi bisa mengikuti alur ceritanya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Matur suwun, saya juga masih belajar mbk May.

      Hapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *