Senin, 01 Mei 2017

SEMBILAN BELAS TAHUN REFORMASI, BENANG KUSUT PERBURUHAN YANG TAK JUA TERURAI



Jakarta, Mei 1998.    
Atas nama rakyat, gedung parlemen diduduki ribuan massa. Mosi tidak percaya kepada para senator berimbas ke tuntutan mundurnya presiden RI ke-2, Pak Harto. 

Pemimpin orde baru itu dianggap sebagai orang yang paling bertanggungjawab dengan terpuruknya ekonomi tanah air. Ketika itu, nilai tukar rupiah terhempas. Dolar Amerika melejit empat kali lipat. Inflasi tak terbendung lagi.

Ibu kota membara. Kerusuhan pecah dimana-mana. Penjarahan harta dan kehormatan wanita mewarnai aksi yang berlabel reformasi itu. Ras mata sipit berkulit kuning menjadi bulan-bulanan massa, bagai anak domba yang dikepung ribuan ekor singa lapar. Singa-singa yang mendapat moment lepas dari kandang. Lalu, melampiaskan dahaganya atas belenggu kebebasan. Memuaskan rasa laparnya atas ketidakadilan dan kesenjangan.

Pak Harto lengser. Kerusuhan reda.

Tokoh-tokoh baru pasca reformasi muncul silih berganti. Harapan baru akan datangnya era keadilan, baik di sisi hukum maupun ekonomi tumbuh pula. Salah satu kaum yang mendambakan keadilan itu adalah buruh. Golongan warga negara yang menganggap selama rezim orde baru berkuasa, mereka tertindas oleh kaum kapitalis.

Berbagai kebijakan dan payung hukum yang dikeluarkan pemerintah, senantiasa berpihak kepada pengusaha. Tentunya, ini dari sudut pandang buruh.

Runtuhnya rezim orde baru, membangkitkan lagi semangat buruh untuk menggelorakan tuntutan perubahan. Diantara sekian banyak point yang diperjuangkan, pemberian upah layak dan penghapusan sistem kerja kontrak (kini berganti outsourcing) adalah permintaan yang menjadi prioritas. Disamping pemberian jaminan kesehatan, serta penyediaan perumahan murah bagi buruh.

Kini, reformasi telah bergulir selama sembilan belas tahun, tepat pada bulan Mei. Bagaimana progress harapan baru tentang keadilan yang pernah didambakan buruh itu? 

Bagai pungguk yang merindukan bulan. Lupakan saja mimpi itu, kawan. Negeri ini dibangun dengan sokongan pertumbuhan ekonomi yang dimotori kaum kapitalis. Mustahil, pemerintah akan mengeluarkan regulasi yang memberatkan pengusaha.

Angin segar sempat berhembus, ketika pada era Menakertrans Muhaimin Iskandar, sistem tenaga kerja alih daya (outsourcing) dihapus. Keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 2012 yang melarang penggunaan karyawan outsourcing bagi proses inti sebuah perusahaan atau institusi, sontak membuat buruh bersujud syukur.

Tapi, kebijakan Menakertrans dan putusan MK benar-benar menjadi angin segar yang sekedar berhembus sesaat, lalu pergi. Jauh panggang dari api. Alih-alih sistem tenaga kerja alih daya dihapus, yang ada justru hampir seluruh perusahaan di Indonesia, baik swasta maupun milik negara (BUMN), kian marak menggunakan tenaga kerja outsourcing.

Sistem perburuhan di Indonesia, memang telah carut marut. Buruh, merasa menjadi obyek penindasan dengan adanya sistem outsourcing. Sementara, pemerintah dan pengusaha juga berada pada pilihan yang tidak mudah. Dengan kondisi ekonomi seperti sekarang, tidak mungkin mereka berani membuka kran perekrutan tenaga kerja permanen dalam jumlah ribuan.

Lalu, bagaimana mengurai benang kusut itu?

Harus ada win-win solution. Sistem outsourcing mustahil dihapus. Tetapi, harus ada jalan tengah bagi kedua pihak. Baik buruh maupun pengusaha, harus bisa menempatkan hak dan kewajiban dalam keseimbangan.

Bagi para buruh, kewajiban mereka tentu memberikan seluruh kemampuan terbaiknya untuk perusahaan tempatnya bekerja. Memegang teguh kedisiplinan karyawan, menjadi harga mati.

Kenapa? Apakah ada buruh yang tidak seperti itu?

Jujur, banyak saya menemukannya. Skill dan kompetensi pas-pasan, namun berharap mendapatkan reward yang seharusnya tidak layak untuk kemampuannya. Etos kerja yang buruk, juga terkadang masih melekat pada sebagian pekerja.

Bagi pengusaha, kewajiban mereka adalah memberikan hak-hak buruh. Pemberian gaji layak sesuai UMK, upah lembur bagi yang bekerja melebihi batas jam kerja normatif, layanan kesehatan untuk buruh dan keluarganya adalah point-point yang menjadi harga mati. Apapun statusnya. Baik karyawan tetap, kontrak maupun outsourcing, semua harus mendapatkannya.

Apakah ada perusahaan yang tidak menunaikan kewajibannya seperti itu?

Jujur, banyak saya menemukannya. Praktek kenakalan (jika tidak mau disebut pelanggar Undang Undang) oleh sebagian perusahaan yang merugikan buruh masih sering terjadi.

Mulai hari ini, seyogyanya semua itu diakhiri. Baik buruh maupun pengusaha, harus bisa menciptakan paradigma baru. Saling menghormati hak dan kewajiban masing-masing.

Jika itu terjadi, hubungan kerja yang industrial Pancasila niscaya akan tercipta.

Selamat Hari Buruh Sedunia, 1 Mei 2017.

Salam solidaritas,
(Heru Sang Mahadewa)
Member of #OneDayOnePost
Anggota Serikat Pekerja RTMM-SPSI

9 komentar:

  1. Dampak orde baru masih kerasa yah Mas ?

    BalasHapus
  2. Suka banget bacanya. Tulisan semacam jurnalistik sastrawi. Mewah mas

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, mbk Naz.
      Ini mah masih acak adul.

      Hapus
  3. Wuih.. Keren tulisannya Mas Heru.

    BalasHapus
  4. Saya baru baca, keren Mas Her

    BalasHapus
    Balasan
    1. Matur suwun, mbk.
      Saya banyak belajar dari sampeyan.

      Hapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *