Selasa, 03 Oktober 2017

KARNA BASUSENA





Pesanggrahan Randuwatang diselimuti suasana berkabung. Asap nampak membumbung tinggi di pelataran. Sebagian kepulannya menggulung jasad Raden Gatotkaca yang tercabik-cabik oleh lalapan bara api attiwa-tiwa.1 Membawa putra Bhimasena melesat meninggalkan kehidupan. Sukma kesatria Pringgodani itu melayang di atas mega-mega, melambaikan tangan ke arah ramanda, uwak dan paman-pamannya. Ia terbang menuju Sang Hyang Tunggal.

Petang tadi, matahari terasa tenggelam lebih cepat. Kawanan burung pemakan bangkai menyambutnya dengan pesta pora serpihan daging manusia. Kuru Setra masih tetap menyisakan kekelaman dari perseteruan berdarah antar sesama wangsa Bharata. Wajah bulan yang murung, seperti enggan menggantung di cakrawala. Sejak senjakala hingga malam itu, alam bagai ikut berbela sungkawa atas pralaya yang menimpa Pandawa.

Karna tak kuasa melihat pemandangan di depan matanya. Di antara adik-adiknya yang mengelilingi api attiwa-tiwa, putra sulung Kunti itu menyumpal mulut dengan telapak tangan. Menjelang senja tadi, senjata miliknya, Kunta Wijayandanu2 telah memecahkan dada Raden Gatotkaca.

Senopati Kurawa itu mundur beberapa langkah, lalu pelahan meninggalkan pesanggrahan Randuwatang. Ia memacu kuda menuju bengawan Bagiratri. Sampai di tepian, dibasuhnya muka dan kedua tangan, mencoba melakukan panglukatan----pembersihan, penebusan----terhadap dosa yang telah ia perbuat atas nama dharma perang.

Karna berjalan mendekati sebatang pohon genitri.3 Di bawah pohon suci itu, ia duduk bersila. Angin malam yang membawa aroma anyir darah dan bau bangkai dari Kuru Setra menyapu pepohonan yang tumbuh di sepanjang aliran bengawan Bagiratri. Membuat daun-daun yang sudah renta berguguran satu per satu. Namun, Karna tidak terusik sedikitpun oleh gemerisiknya. Adipati di Awangga itu justru kian larut ke dalam keheningan yang menghanyutkan batinnya. Ia mengambil posisi duduk padmasana.4 Tangannya membentuk sikap amusthikarana.5 Sejenak kemudian, seluruh indera dan pikirannya telah menyatu ke dalam alam suwung.6

Dalam kehampaan yang benar-benar kosong itu, Karna melihat dirinya sendiri sedang berdiri tak jauh dari tempat ia melakukan samadhi.7

“Apa yang telah engkau lakukan, Karna?”

“Siapa engkau?”

“Aku adalah engkau. Engkau adalah aku.”

“Tidak! Hanya ada satu Karna di dunia. Katakan, siapa sebenarnya engkau?”

“Aku adalah nafsumu. Watak yang kau umbar demi membela sifat angkara murka Doryudana!”

“Jangan dengarkan dia, Karna!”

Seseorang menyahut dari arah lain. Ketika menoleh, Karna melihat sosok yang juga dirinya sendiri berdiri menantang pula.

“Apa yang telah kaulakukan adalah bentuk dharma seorang kesatria. Di Kuru Setra, yang ada hanyalah dibunuh atau membunuh. Sudah menjadi garis dewata, hidup Gatotkaca akan berakhir di tanganmu, Karna!”

Engkau bisa merubahnya dengan mendharmakan hidup untuk ibu dan adik-adikmu. Seharusnya engkau tidak berada di bawah panji-panji Kurawa. Seharusnya engkau berperang sambil mengibarkan umbul-umbul Pandawa. Tetapi, yang ada justru cinta terhadap kedudukan yang diberikan Duryodana telah membuatmu sanggup membunuh anak keturunan Pandawa!”

Karna Basusena membisu. Ia memejamkan mata, sambil menutup kedua telinganya dari suara sahut menyahut dua sosok yang mirip dengan perwujudannya.

“Apa yang harus dibela dari Pandawa? Justru Duryodana yang telah memberikan kedudukan dan kemuliaan kepadamu, Karna. Tidakkah engkau ingat, bagaimana dulu perlakuan Kunti yang tega membuatmu nyaris celaka?”

Karna kembali terhenyak. Pikirannya melayang ke peristiwa saat ia bertatap empat mata dengan Kunti. Janda dari Pandudewanata itu mengaku bahwa sejatinya Karna adalah anak yang keluar dari rahimnya.

-o0o-

Dahulu, menjelang pernikahan dengan Pandudewanata, Pritha----Kunti muda----sempat mendapat ajaran mantra Aji Dipamanunggal dari Begawan Dwurasa. Jika doa itu dilantunlangitkan, maka akan datang kepadanya sosok dewata yang ia sebutkan dalam mantra.

Nahas, suatu malam ketika sedang tergolek di atas balai-balai biliknya, Pritha tak mampu mengontrol gejolak keingintahuan terhadap doa puja yang diajarkan sang guru. Dirapalkanlah Aji Dipamanunggal. Dalam sekejap, berdiri di hadapannya seorang dewata yang mengaku sebagai penguasa matahari. Sang Hyang Bathara Surya. Tak mampu menahan ketertarikannya kepada kecantikan Kunti, maka tertanamlah benih sang dewata ke dalam rahim putri penguasa negeri Boja.

Merasa kehamilan itu adalah aib, maka Begawan Dwurasa mengambil janin yang dilahirkan Pritha melewati lubang telinga atas kewaskitaan Bathara Surya. Janin yang kemudian dilarung ke bengawan Gangga. Janin yang pada akhirnya ditemukan seorang kusir kereta dan dibesarkan di wilayah kadipaten Awangga.

Pengembaraan mencari guru spiritual, akhirnya membawa Karna kepada perkenalan dengan Duryodana, pangeran dari Hastina.

Kini, janin malang yang dulu terbuang itu telah tumbuh menjadi seorang senopati perang Kurawa.

-o0o-

Dua sosok yang berdiri di hadapan Karna tiba-tiba lenyap. Senopati Kurawa itu menyipitkan mata. Pandangannya mencoba menangkap perawakan seorang lelaki yang berjalan dari sudut lain. Kian lama, jaraknya kian dekat dengan tempat ia bersamadhi. Segera Karna dapat mengenali wajah lelaki itu.

“Yayi Arjuna, kaukah itu?”

Sosok yang rupanya adalah Arjuna, tidak menjawab. Karna mencoba mengusap-usap kedua kelopak matanya. Memicingkan pandangan. Meyakinkan diri bahwa lelaki di hadapannya adalah Arjuna. Adiknya.

Tak ada sepatah katapun keluar dari mulut Arjuna. Kesatria Pandawa itu justru menatap tajam sambil merentangkan busur lebar-lebar. Sebatang anak panah bermata bulan sabit juga dibidikkan ke arah Karna. Panah Pasoepati. Beberapa kedip mata kemudian, anak panah pemberian Bhatara Indra itu melesat. Tepat mengenai dada Karna hingga pecah. Adipati Awangga tersungkur. Darah membasahi kain wastra8 yang menyampir di pundaknya.

Dalam pandangan mata yang ditaburi ratusan kunang-kunang, Karna masih sempat melihat Arjuna menjatuhkan busur, lalu menitikkan air mata. Di sudut lain, Kunti menjerit histeris memanggil-manggil namanya.

-o0o-

“Rupanya engkau ada di sini, menantuku.”

Ngger9 Karna, bangunlah!”

Sebuah guncangan di punggung, membuat Karna tersadar. Adipati Awangga itu bangun dari alam suwung. Ia mendongakkan kepala. Mencoba mengenali kembali alam kasunyatan10. Nampak mertuanya, Prabu Salyapati, telah berdiri di sampingnya.

“Bersiaplah, ngger. Arjuna telah menunggumu di Kuru Setra!”

Tubuh Karna menggigil. Ia bergidik mendengar nama Arjuna kembali disebut. Dalam hati ia berkata, ”Aku titip yayi Surtikanti, ramanda prabu. Hari ini, hidupku akan berakhir di Kuru Setra.”

(Heru Sang Mahadewa)
Member of One Day One Post

Tantangan menulis cerpen dengan menggunakan kata matahari, celaka, hidup, cinta dan berdarah.


Catatan:
1.Upacara penghormatan/pembakaran jenazah.
2.Nama senjata milik Karna Basusena, diperoleh dengan merebutnya dari Bathara Narada.
3.Elaeocarpus serratus, buahnya disebut juga dengan nama “Air Mata Dewa Syiwa”.
4.Posisi duduk bersila seperti bunga teratai.
5.Sikap kedua tangan membentuk kerucut dengan tangan kiri menggenggam tangan kanan, kedua ujung ibujari dan telunjuk tangan kanan saling bertemu.
6.Hampa, kosong.
7.Meditasi, tapa brata.
8.Kain penutup badan yang membelit pinggang hingga lutut, sebagian disampirkan pundak.
9.Kependekan dari Angger yang berarti Nak (bahasa Jawa).
10.Kenyataan, berasal dari kata dasar nyata.

7 komentar:

  1. Tuh kan. Mantap sangat. Ajari saya, Guru...

    BalasHapus
  2. Eh... Tantangannya bukannya pov 1 mas?

    BalasHapus
  3. Bhuahaha ... iya POV 1
    Saya nulis ya asal nulis aja, enggak tahu kalau tantangannya POV 1.

    BalasHapus
  4. Balasan
    1. Terima kasih, pak Bari.
      Saya masih harus banyak belajar.

      Hapus
  5. Jadi, Karna ini yang membunuh pandawa?

    BalasHapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *