Selasa, 06 Februari 2018

KARNA TANDING






Kuru Setra bagai sosok gembel tua: kotor dan menjijikkan. Tubuhnya menebar aroma busuk. Kelindaran aroma dari tumpukan bangkai manusia yang menjadikan tegal itu sebagai jalan kematian menapaki dharma kesatria.

Di Kuru Setra, darah tumpah tiada henti, bagai aliran bengawan Bagiratri. Siang menjadi saksi saling tumpas sesama wangsa Bharata. Malam akan menangisi kekelaman yang ditorehkan siang.

Hari itu adalah perang pada hari ketujuh belas. Sejak matahari menampakkan diri di cakrawala timur, sangkakala telah ditiiup senopati dua kubu yang bersetru: Kurawa dan Pandawa.

Dari sisi utara Kuru Setra, empat ekor kuda putih menari-menari dengan kibasan ekornya. Kuda-kuda yang tiga wuku sebelumnya dibawa dari kedhaton Dwarawati. Kuda yang menjadi penarik kereta Kyai Jaladara milik Kresna.

Tak kalah indah dengan kuda milik Kresna, dari arah berlawanan nampak pula empat ekor kuda coklat yang menarik kereta Kyai Jatisurya sedang memamerkan kelincahan kakinya. Mereka menyelinap di antara barisan Kurawa, menuju ke tengah tegal Kuru Setra.

Derap kaki kuda penarik Kyai Jatisurya dan Kyai Jaladara meninggalkan debu yang mengepul ke udara. Membuat kawanan burung pemakan bangkai terbang berhamburan. Disusul gegap gempita sorak-sorai pasukan Pandawa dan Kurawa yang membakar nyali senopati mereka: Arjuna dan Karna.

Kresna yang menjadi kusir Arjuna menghentakkan tali kekang kuda kuat-kuat. Pun juga dengan Salya, Maharaja Mandaraka yang rela menjadi kusir menantunya: Karna.

“Hentikan kereta, ramanda Prabhu.”

“Ada apa, Karna?”

Karna tidak serta menjawab. Ia menggeser posisi tubuhnya lebih dekat ke arah Salya yang dengan sigap menghentikan laju Kyai Jatisurya. Ditatapnya kelebatan panji-panji musuh yang terus bergerak dari jarak tak lebih dua ratus tombak.

“Hamba titip Yayi Surtikanti, ramanda.” Ucap Karna lirih.

“Apa yang ada dalam benakmu, sehingga mendadak nyalimu menciut, Karna? Tidakkah kau ingat, seandainya matahari tidak terbenam, leher Arjuna sudah tertebas oleh anak panahmu kemarin petang?”

Karna kembali tidak menjawab. Adipati Awangga itu hanya menarik napas panjang. Terlintas bayangan peristiwa dua malam setelah perang hari kelima belas.

Bayangan ketika ia baru saja melakukan penghormatan pada upacara Attiwa-tiwa jasad Gaototkaca yang tewas oleh lesatan anak panah miliknya. Karna diterpa penyesalan yang mendalam. Diam-diam, ia meninggalkan pesanggrahan Randuwatangan.

Karna berjalan mendekati sebatang pohon genitri. Di bawah pohon suci itu, ia duduk bersila. Udara malam yang membawa aroma anyir darah dan bau bangkai dari Kuru Setra menyapu pepohonan yang tumbuh di sepanjang aliran bengawan Bagiratri. Membuat daun-daun yang sudah renta berguguran satu per satu. Karna kian hanyut ke dalam hening yang menghanyutkan batin. Ia mengambil posisi duduk siddhasana. Tangannya sempurna tertangkup dalam sikap anjali murda. Sejenak kemudian, seluruh indera dan pikirannya telah menyatu ke jagad sonya.

Karna melihat dirinya sendiri sedang berdiri tak jauh dari tempat ia melakukan samadhi. Sepuluh tombak di hadapannya, seorang laki-laki yang tak asing baginya, berdiri pula dengan membentangkan busur. Laki-laki yang tak lain adalah Arjuna.

Ingin sekali Karna menjelaskan bahwa kematian Gatotkaca adalah garis Dewata yang tidak bisa ditolak. Kematian yang menjadi dharma kesatria, seperti halnya kematian Bisma Yang Agung, Begawan Drona, dan Abhimanyu. 

Namun, belum sempat Karna berucap, Arjuna telah melepaskan anak panah yang serta merta menyasar kepalanya. Dalam sekejapan, ia melihat kepala itu lepas dari tubuhnya.

Seketika, Karna sudah terjaga dari samadhi.

Kini, sosok lelaki yang hadir dalam pawisik samadhi akan bertarung dengan Karna untuk kedua kali di tegal Kuru Setra.

“Hamba sudah melihat Bathara Yamadipati melambai-lambaikan tangan kemari. Rasanya, hari kematian hamba telah tiba. Maafkan. Sekali lagi, sembah dan bhakti hamba terkahir kali untuk ramanda Prabhu Salya. Sampaikan salam hamba untuk Yayi Surtikanti.”

Karna mengangkat sembah.

Salya tak sanggup membalas ucapan menantunya. Ia hanya membiarkan air mata menggenang di pelupuknya.

Dua jurus kemudian, Salya kembali memacu kereta Kyai Jatisurya sekencang-kencangnya. Membelah barisan prajurit Kurawa. “Angkat panahmu, Karna!” 

Salya mencoba membakar semangat senopati Kurawa.

“Arjuna, aku datang!”

Kini, jarak kereta Kyai Jatisurya dan Kyai Jaladara semakin dekat. Kuda-kuda yang membawa mereka meringkik keras. Binatang-binatang itu seperti ngeri menyaksikan pertarungan dua kesatria besar yang sejatinya adalah sama-sama anak dari Kunti.

“Hari ini, ganti kamu yang akan nahas, Rakawi Karna!”

Arjuna ganti bersesumbar.

Tanpa aba-aba, Karna dan Arjuna langsung mencabut anak panah masing-masing. Lalu, keduanya terlibat saling serang, beradu ketangkasan memainkan warastra. Kuru Setra mendadak hujan oleh atusan anak panah.

“Terimalah ini, Arjuna!”

Karna berteriak lantang sembari merentangkan busur lebar-lebar. Anak panah pamungkasnya telah lepas.

Teriakan terakhir. Karena dalam waktu yang bersamaan, Arjuna juga melesatkan Kyai Pasopati. Anak panah bermata bulan sabit pemberian Bhatara Indra itu bukan hanya menangkis anak panah yang dilepaskan Karna, tapi lajunya terus melesat hingga memecahkan dada sang adipati Awangga.

Karna roboh dan terjatuh dari kereta Kyai Jatisurya. Tubuhnya tersungkur ke tanah. Darahnya berhamburan. Sebagian membasahi tubuh Salya. Beberapa saat lamanya, senopati Kurawa itu berkelonjotan menahan rasa sakit dari anak panah Pasopati.

Arjuna menjatuhkan busurnya. Ia berjalan mendekati tubuh Karna yang sedang berjuang melawan maut.

“Ar … ju … na,” tangan Karna menggapai-gapai ke arah Arjuna. “Sam … pai … kan … sem … bah … bhak … ti … ku … un … tuk … i … bu,”

Karna melihat darahnya sendiri membasahi tanah Kuru Setra di bawahnya. Perlahan, tatapan matanya seperti tertutup ribuan kunang-kunang. Sakit yang dirasakannya mendadak hilang. Berganti rasa hangat dan nyaman.

Dalam sekedipan mata kemudian, dari atas langit Kuru Setra, Karna bisa melihat Arjuna memeluk tubuhnya. Dari atas langit Kuru Setra pula, ia melihat seorang wanita menangis histeris. Wanita yang tiada lain adalah Kunti.

Heru Sang Mahadewa
Member of One Day One Post

3 komentar:

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *