Jumat, 12 Januari 2018

PUNTADEWA MOKTA RING INDRABHAWANA



Pilihan Kunti, Gandhari, dan Dristaratra untuk menghabiskan sisa hidup dengan menjadi sunyasa di hutan Jamurdipa, berakhir dengan dilalapnya tubuh ketiganya oleh kobaran api yang menghanguskan pertapaan mereka. Istri, ipar, dan saudara mendiang Prabhu Pandu itu sempurna menapaki jalan mokta: menuju ke hadapan Sang Maha Suci.

Di kedhaton Hastina, Prabhu Puntadewa telah lengser keprabon. Parikesit, cucu Arjuna, putra Abhimanyu dari wanita yang terhitung masih eyangnya: Dewi Uttari, dinobatkan sebagai Maharaja baru. Ia menabalkan diri dengan abhiseka Prabhu Krishna Dwipayana, menyamai abhiseka yang pernah dipakai kakek canggahnya.

Hastina memasuki zaman baru. Zaman di mana yang menduduki takhta bukan berasal dari dua kubu yang berseteru di Bharatayudha: Kurawa dan Pandawa. Perang besar sesama wangsa Bharata itu telah lama berakhir. Satu demi satu, kesatria yang dulu pernah berjuang hidup mati di tegal Kuru Setra, kini telah tiada. Warta terakhir, Prabhu Sri Bhatara Krishna juga mokta. Ia bahkan membawa seluruh bangsa Yadawa menuju alam sunyaruri.

Drupadi dan lima kesatria Pandawa telah berpamitan pula kepada Prabhu Parikesit. Tekad untuk menghabiskan sisa umur dengan menjadi pertapa di puncak gunung Mahameru telah bulat. Para putra Pandu dan menantunya itu ingin menebus dosa masa lalu dengan mendekatkan diri kepada Sang Maha Pengampun.

-oo0oo-

Belantara gunung Mahameru bagai kepala Hyang Bhatara Kala. Jurang-jurang yang menganga tak ubahnya seperti mulut Dewata penguasa waktu itu. Tebing-tebing yang berdiri menjulang, nampak menyerupai taring-taring tajam. Sepanjang pendakian menuju puncaknya, Drupadi, Puntadewa, Wrekudara, Arjuna, Nakula, dan Sadewa berjalan tertatih-tatih dengan sisa tenaga mereka yang telah renta.

Setelah berjalan selama empat hari empat puluh malam, Drupadi ambruk. Cuaca tak menentu di dalam belantara, membuat pertahanan tubuh perempuan dari Pancali itu jebol. Ia menolak dirawat suaminya, Puntadewa. Pun demikian dengan penawaran empat adik iparnya. Perempuan tua yang pernah ditelanjangi di Balai Manguntur Hastina oleh Kurawa itu kukuh dengan prinsipnya bahwa Pandawa harus bisa mencapai puncak Mahameru. 

Di kaki Mahameru, suksma Drupadi melesat meninggalkan raga, sebelum mencapai swargaloka di dataran tertinggi gunung itu.

Pendakian Pandawa berlanjut. Putra-putra Kunti dan Madrim menghadapi ujian yang kian berat. 

Malam ke empat puluh satu, hujan disertai ulur-ulur menghajar gunung Mahameru. Kabut tebal juga membekap setiap jengkal rimba. Sadewa terperosok ke jurang sedalam lima ratus tombak. Tubuhnya yang ringkih meluncur ke bawah, hancur menimpa bebatuan di dasarnya. Pun demikian dengan Nakula yang nekad menyelamatkan dengan terjun menyusul: ikut berpulang bersama kembarannya.

Puncak gunung Mahameru masih separuh perjalanan. Tekad Puntadewa, Arjuna, dan Wrekudara belum meredup. Kedhaton Bathara Indra ada di atas sana. Kedhaton yang dipercaya menjadi pintu gerbang menuju swarga. Dengan sisa tenaga yang kian rapuh, mereka kembali merangkak, menapaki tebing demi tebing.

Nahas, Arjuna ambruk pula pada malam ke empat puluh lima. Segala kedigdayaan di masa muda pemilik panah Pasoepati itu seakan tak berarti lagi. Jauh sebelum menginjakkan kaki di gerbang kedhaton Bhatara Indra, suksma lelanange jagad itu menyusul kedua adiknya.

Wrekudara berontak!

Ia tidak terima dengan amukan semesta alam. Kematian Drupadi, Sadewa, Nakula, dan terakhir Arjuna, menurutnya adalah ulah alam yang tidak bersahabat dengan Pandawa. 

Dengan sisa-sisa tenaga tuanya, ia menggunakan kekuatan Blabag Panganthol-anthol untuk merobohkan pepohonan untuk membalas rasa sakit hatinya. Batu-batu berukuran besar juga ia coba hancurkan. Namun, kekuatannya hanyalah tinggal kekuatan manusia yang telah ringkih dimakan usia. Tubuh Wrekudara justru terpelanting karena tidak mampu mengendalikan dahsyatnya ajian yang diterima dari ruh Kumbakarna itu, hingga ia terperosok ke jurang pula.

Kini, yang tersisa hanya Puntadewa. 

Ayah dari Pancawala itu nyaris putus asa. Tekad untuk mendaki ke puncak Mahameru ia urungkan. Pada sebatang pohon randu alas, ia sandarkan tubuhnya. Pupus sudah niatan untuk mokta bersama istri dan keempat adiknya.

Dalam keputus-asaan yang nyaris mengantarnya ke jalan belapati, Puntadewa dikejutkan lolongan Segawon Lanang, seekor anjing jantan piaraannya. Ia baru sadar, telah melupakan keberadaan binatang itu. Binatang yang menyertai perjalanan Drupadi dan Pandawa sejak dari Hastina hingga kini sampai di lereng Mahameru.

Segawon Lanang berlari-lari kecil menapaki tanjakan demi tanjakan. Anjing berbulu coklat itu terus meninggalkan Puntadewa. Sesekali binatang itu berhenti, lalu menoleh ke arah Puntadewa sambil mengibaskan ekornya.

Puntadewa beranjak dari pohon randu alas. Ia bisa menangkap bahasa tubuh Segawon Lanang. Kini, niat untuk menyelesaikan pendakian menuju puncak Mahameru tumbuh kembali. 

Anjing piaraan itu seolah memberinya pesan: meski Drupadi dan keempat adiknya telah mendahului pergi, Puntadewa harus tetap melanjutkan pendakian. Bersama anjing itulah, ia pupuskan duka di hatinya dengan melantunlangitkan mantra puja-puja kepada Hyang Jagad Nata. 

Puntadewa terus mendaki, hingga malam ke delapan puluh, ia sampai di sebuah hamparan tegal nan luas. Di hadapannya, terbentang nyala yang terang benderang. Nyala api kebenaran. Nyala yang menerangi jalan pada malam itu.  Sementara di kanan kiri jalan itu, tebing dan jurang nampak menganga dalam balutan kegelapan.

Dengan kilauan nyala api kebenaran itu pula, kini Puntadewa bisa membedakan dengan jelas: mana kegelapan, mana bayangan, dan mana jalan sejati. 

Puntadewa terus berjalan, ditemani anjing setia yang tak pernah selangkahpun menjauh dari sisinya.

Akhirnya ia tiba di pintu gerbang swarga dan disambut Bhatara Indra yang mempersilakannya naik ke atas sebuah kereta kencana. Namun, ketika Puntadewa hendak menggendong Segawon Lanang, justru perkataan Bhatara Indra sungguh di luar dugaannya.

"Tidak ada tempat bagi anjing di swarga," ucap Bhatara Indra.

"Kalau begitu, tidak ada tempat pula bagiku di swarga. Aku tidak mungkin meninggalkan anjing yang telah setia menemaniku sejak dari Hastina hingga ke puncak Mahameru ini dalam suka maupun duka," sanggah Puntadewa.

Sejurus kemudian, Puntadewa turun dari kereta bersama anjing piaraannya. 

Bhatara Indra memuji jawaban Puntadewa. Bagi Dewata penguasa langit dan gunung itu, Puntadewa telah menunjukkan kasih sayang, kesetiaan, dan penghargaan kepada teman hidupnya, meskipun hanya seekor anjing.

Bhatara Indra mempersilakan Puntadewa kembali naik ke kereta kencana. Kali ini, Segawon Lanang diizinkan ikut. Begitu naik ke kereta, anjing itu lenyap.

“Ketahuilah, kulup. Anjing itu sesungguhnya adalah penyamaran dari Bhatara Dharma.”

Puntadewa memasuki swarga dengan dituntun Bhatara Indra.

(Heru Sang Mahadewa)
Member of One Day One Post

#30DWC
Sumber gambar: album wayang Indonesia

8 komentar:

  1. Luar biasa mas HERU. Banyak pelajaran hidup bisa kita dapatkan dari kisah pewayangan ini. Apalagi ditulis dengan sangat indah dan dramatis oleh mas HERU. SUKSES Mas HERU!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Matur suwun, bapak.
      Tontonan yang bisa menjadi tuntunan.

      Hapus
  2. muantep, selalu suka tulisan Cak Heru nih, walaupun kening sy berkerut (maklum org swam ga tau dunia pewayangan)

    Sunyaruri itu apa tho Cak?

    BalasHapus
  3. Terima kasih mas heru, Sukses selalu buat mas heru...

    BalasHapus
  4. Mantap Cak. Ini kisah fiksi rekaan Cak Heru atau ada beneran dalam pewayangan? Saya awam. Baru tahu ada kisah seperti ini.

    BalasHapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *