Kamis, 28 Desember 2017

ROMANTISME HYANG MANIKMAYA





Piye, Kang? Satu juta saja, kulepas untuk sampean.”

“Terlalu mahal untuk wayang seukuran itu.”

“Wayang ini bukan sekedar wayang biasa. Buyutku sudah mengoleksinya sejak jaman Belanda, Kang.”

“Benarkah?”

“Nanti sampean kembalikan saja, jika omonganku ini hanya bualan.”

Pada akhir percakapan melalui ponsel, Kang Wakhid menyetujui harga yang kutawarkan kepadanya, sembari mengatakan bahwa uang akan ia transfer malam itu juga.

Seminggu sudah aku tidak bekerja, dan akan menganggur paling singkat tiga bulan ke depan. Gedung tua di ujung jalan, tempatku mengais rejeki telah habis. Ia hanya menyisakan onggokan besi yang sudah menjadi arang karatan. Praktis, semenjak terbakar, semua buruhnya diliburkan. Bahkan, beberapa di antara mereka ada yang terkena pemutusan hubungan kerja.

Malam itu adalah malam ketujuh paska aku tidak lagi berpenghasilan. Keluhan orang-orang yang selama ini sering terdengar tentang betapa sulitnya mencari kerja, mulai menimpaku. Menyerah kepada tak kunjung adanya panggilan dari surat lamaran yang kukirim, akhirnya berjualan keripik singkong menjadi jalan pintas untuk memenuhi kewajiban sebagai tulang punggung keluarga.

Setiap hari, aku berkeliling dari satu warung ke warung lain. Nahas, pekerjaan semacam itu sangat tidak memihak kepada seseorang yang harus menghidupi istri, anak, dan orang tua di kampung halaman.

-oo0oo-

“Angsuran motor bulan ini sudah terlambat tiga hari,” wanita itu berkata pelan. “Uang sewa kamar kontrakan juga belum ada.” Kembali ia menegaskan.

Aku diam, tidak serta merta menjawabnya.

“Hutangku di warung Ning Minah juga kian menumpuk, Mas. Tak berani lagi aku datang ke lapaknya!” Suaranya terdengar kian meninggi.

Aku tetap diam, meski dalam hati sebenarnya sedikit tenang setelah Kang Wakhid menyanggupi harga yang kutawarkan untuk sebuah koleksi wayang peninggalan Mbah Buyutku. Iya, apa boleh buat; untuk menjaga agar dapur tetap mengepul, benda bersejarah itu terpaksa harus kujual.

Dari sebuah kotak kayu yang berdebu, aku mengeluarkan sebuah wayang yang ditatah dari kulit kerbau.

Ketika hendak mengemasnya, tiba-tiba perasaan ini nratab. Karya seni adiluhung itu seperti memandangku berlama-lama, seolah ia ingin berucap, “Kenapa kau tega memisahkan aku darimu?”

Tenggorokan seperti dicekik, mata terasa berarir dan memanas. Lidahku juga terasa kelu untuk sekedar berkata kepadanya, “Puluhan tahun kita bersama, percayalah ... aku tiada kan pernah melupakanmu.”

Tiba-tiba ponselku berbunyi. Ada sebuah pesan masuk di aplikasi messenger dari akun yang sangat kukenal.

“Maaf, setelah kupikir-pikir lagi, aku gak jadi ambil koleksi wayangmu. Aku merasa bersalah kalau membeli barang itu, karena ia benda warisan yang sudah turun temurun diamanahkan leluhurmu.” Begitu ucap Kang Wakhid melalui akun sosmednya, Suden Basayev.

“Tolonglah, Kang. Aku sangat membutuhkan uang itu.” Balasku.

“Tenang wae. Uangnya sudah kutransfer, pakai saja dulu gak apa-apa. Jangan dipikirkan; kapan kamu mengembalikan kepadaku.”

Sambil mengembalikan ke tempatnya, aku tersenyum penuh haru kepada wayang Hyang Manikmaya itu. Orang-orang menyebutnya sebagai Bhatara Guru, raja dari segala Dewa, sehingga dinamakan juga Sang Mahadewa.

Untuk mengenang kesetiaan yang romantis itu, aku menambahkan embel-embel Sang Mahadewa pada nama penaku.

Heru Sang Mahadewa
Member of One Day One Post

#DomesticDrama
#TantanganFiksi6

16 komentar:

  1. Mas Heru kok bilang2 ke orang2 sih. Ntar dibaca biniku berabe. Itu di luar sepengetahuan dia!

    BalasHapus
  2. sayang kalau dijual itu mas, jangan mas. apalagi itu disimpan turun temurun :(

    BalasHapus
  3. Sang Mahadewa untuk kesetiaan seorang sahabat, kisah nya so sweet

    BalasHapus
  4. Pamitran kang sejati , mangerti opa sing ana sakjroning ati sedulure sanajan durung kalahirake

    BalasHapus
  5. Kata-katanya duh dalem sangat kang 😂

    BalasHapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *