Jumat, 04 November 2016

KISAH SEMBADRA LARUNG – REFLEKSI DEMO 4 NOVEMBER 2016



 
Wara Sembadra - image google

“Rasa cinta ini tumbuh sejak pandangan pertama kita.” ucap Burisrawa di hadapan Wara Sembadra.

“Ah, lagu lama.” elak istri Arjuna.

Diam-diam, Burisrawa, putra Salya (raja negeri Mandaraka) menyelinap ke taman kaputren. Tempat Wara Sembadra sedang menikmati musim kembang. Srikandi, prajurit wanita yang kelak akan menjadi madunya, sedang berjaga di depan pintu gerbang. Kedatangan penyelinap pun tidak diketahuinya.

Wara Sembadra menggeser posisi berdirinya. Berjalan sedikit menjauh dari Burisrawa yang cengar-cengir dengan sajak-sajak rayuan kelas penulis pemula.

“Kamu telah gagal memenangi sayembara dari kakakku Kresna. Arjunalah yang kini menjadi pemilik hatiku. Terimalah takdir ini, Burisrawa. Cinta tak harus memiliki.” jelas wanita yang semasa kecilnya bernama Roro Ireng itu. Ia memang terlahir sebagai gadis berkulit coklat kehitaman. Namun tak mengurangi seujung kukupun kecantikannya.

“Aku rela menjadi yang kedua, Sembadra.” masih ngotot juga pemabuk cinta dari Mandaraka.

“Sembadra, hati ini menjadi hampa sejak kekalahan di sayembara. Masih ada perih luka, dari duri ilalang yang kau campakkan.” Sok puitis pula pemuda berambut gimbal itu. Lagi-lagi, mirip penulis pemula yang belajar bersyair.

Bukannya klepek-klepek, Wara Sembadra semakin gregetan dengan Burisrawa. Sejak pertama kali bertemu, ketika ia menjadi pattah (pendamping) pengantin dalam upacara pernikahan kakaknya Baladewa dengan Dewi Erawati, putri Prabu Salya juga, Roro Ireng memang sudah risih dengan sikap pemuda “si anak mama” ratu Setyowati, permaisuri Mandaraka itu.

Lagak Burisrawa yang kemlethe (sok) dan petentang-petenteng (arogan) tentu saja tidak disukai anak-anak gadis bertipikal anggun dan kalem semacam Wara Sembadra.

“Berikanlah, setidaknya satu tempat kecil di hatimu untuk cintaku ini.” lanjut Burisrawa.

“Oh, No!” tegas Wara Sembadra.

“Atau … aku akan mengambil jalan pintas?” ancam Burisrawa.

Tangannya mencabut sebilah belati. Satu dua langkah, ia mendekati wanita pujaannya yang mulai ditumbuhi perasaan takut. Setangguh-tangguhnya wanita, bila menghadapi lelaki yang nekad seperti Burisrawa, menciut juga nyali Wara Sembadra.

Sebenarnya pemuda berambut gimbal ala rasta mania, si Burisrawa itu hanya bermaksud menakut-nakuti Sembadra. Tak mungkin ia melukai wanita yang teramat dicintainya.

Tetapi Wara Sembadra terlanjur ketakutan. Ia berniat berlari meninggalkan taman. Naas, Burisrawa yang mencoba menghadang justru menyebabkan istri Arjuna itu menubruk belati yang dipegangnya.

Jatuh bersimbah darah Wara Sembadra sembari berteriak,”Srikandi … tolonglah aku!”

Burisrawa ketakutan, ia lari bersembunyi di balik semak. Berlari pula seorang prajurit wanita yang sebenarnya sudah menjadi selingkuhan suami Wara Sembadra (Arjuna), menuju  asal suara sang majikan. Tetapi kedatangannya terlambat. Nyawa bendaranya telah melayang.

“Siapa yang telah melakukan ini? Keluarlah!” teriak Srikandi lantang. Mencoba mencari ke sekeliling taman. Ia menjadi marah mengetahui ada penyusup yang berani membunuh Wara Sembadra.

“Aku.” jawab seorang pemuda yang bersembunyi dibalik rerimbunan semak belukar.

“Suaramu seperti Patih Sucitra?”

“Iya, aku Sucitra.”

“Lho? Sekarang suaramu kok berubah menjadi Patih Surata?”

“Eh, iya … aku Patih Surata.”

Dasar Burisrawa, dia memang pemuda bebal. Tak pernah mau mengenyam pendidikan di padepokan manapun. Beruntung ayahnya mendatangkan beberapa Begawan untuk menjadi guru privat di istana Mandaraka. Itu pun hanya mengajarkan ilmu kanuragan, olah fisik tanpa membekali pengetahuan budi pekerti (akal).

“Mati kau!” sesumbar Srikandi sembari melepaskan anak panah ke arah sumber suara.

Meleset!

Burisrawa melompat pagar taman, lari tunggang langgang meninggalkan komplek kaputren. Srikandi berteriak-teriak ada pembunuh. Datanglah Arjuna, suami Wara Sembadra bersama para kerabatnya.

“Larung jasad Roro Ireng ke bengawan Yamuna agar terkuak siapa pembunuhnya.” ucap Kresna.

Raja negeri Dwarawati itu sebenarnya memiliki kembang Wijaya Kusuma, sebuah pusaka yang bisa menghidupkan orang mati. Tapi entah mengapa ia justru menyarankan jasad adik kandungnya dilarung (dihanyutkan) ke sebuah sungai.

“Gatot Kaca, jaga jasad Wara Sembadra!” perintahnya.

Sendika dhawuh!” jawab putra Werkudara (Bima).

Gatot Kaca pun mengkuti dari kejauhan, kemanapun jasad Wara Sembadra hanyut oleh aliran bengawa Yamuna.

*****

Antareja sedang bercengkerama dengan ibunya, Dewi Nagagini dan kakeknya, Bathara Antaboga.

Pemuda yang sejak lahir hanya dirawat oleh ibunya itu, berniat ingin mencari siapa sebenarnya sosok ayahnya.

“Ibu, siapa sebenarnya ayahku? Aku ingin bertemu dengannya.” Tanya Antareja.

Dewi Nagagini diam tak menjawab. Ia masih ragu, apakah ini saatnya memberitahu putranya perihal sosok suami yang sejak ia hamil, telah meninggalkannya demi memperjuangkan hak keluarga dan saudara-sudaranya.

Bathara Antaboga menepuk-nepuk pundak Dewi Nagagini, pertanda ia telah mngisyaratkan bahwa saatnya Antareja mengetahui siapa sebenarnya ayahnya.

“Ketahuilah anakku, sebenarnya engkau adalah putra dari Werkudara. Seorang kesatria Pandawa yang sekarang tinggal di Indraprasta.” jelas Dewi Nagagini.

“Aku ingin pergi ke Indraprasta, mengabdi kepada ayahku.” lanjut Antareja.

“Berangkatlah Antareja. Garis takdirmu memang menjadi prajurit Indraprasta.” Tegas sang kakek, Bathara Antaboga. Ia membekali cucunya dengan Aji Ambles Bumi (ilmu menembus tanah), Aji Kawastraman (ilmu merubah wujud) dan Tirta Purwitasari. Air suci dari Kahyangan yang bisa menghidupkan orang yang mati diluar takdir kematian oleh Dewa.

Dengan menggunakan Aji Ambles Bumi, Antareja berjalan di dalam tanah menuju Indraprasta. Sampailah ia di bawah bengawan Yamuna.

Ketika menyembul keatas, Antareja melihat jasad seorang wanita sedang hanyut di sungai itu. Firasatnya mengatakan bahwa ia harus menolongnya. Tanpa berpikir panjang, tubuh Wara Sembadra pun didekatinya.

Gatot Kaca yang melihat gerak-gerik Antareja dari kejauhan yakin bahwa orang yang memiliki wajah mirip dengannya itu adalah pembunuh Wara Sembadra. Ia langsung menghampiri Antareja.

Terjadi adu mulut antara Gatot Kaca dan Antareja.

“Ketahuan sekarang, kamulah pembunuh bibi Wara Sembadra!” bentak Gatot Kaca.

“Apa maksudmu?” jawab Antareja yang tidak mengerti dengan tuduhan Gatot Kaca.

“Jangan banyak bicara!” lanjut Gatot Kaca.

Perkelahian pun tak terhindarkan. Baik Gatot Kaca maupun Antareja, sama-sama mewarisi watak ayah mereka, Werkudara yang bertipikal keras dan berangarasan. Keduanya terlibat jual beli pukulan dan adu ilmu kesaktian.

Datang Bathara Narada yang sedang melewati bengawan Yamuna,”Prokencong-prokencong … pakpakpong-pakpakpong … waru doyong ditegor uwong … Hentikan!” teriaknya.

“Kalian ini bersaudara. Sama-sama putra dari kesatria Pandawa, Werkudara. Tidak ada untungnya berkelahi dengan sesama saudara kandung.” Jelasnya.

Antareja dan Gatot Kaca menghentikan perkelahian. Sesaat mereka memberi salam kepada Dewa yang melerai kesalah pahaman sesama putra Werkudara tadi.

Panjang lebar Bathara Narada menceritakan kalau mereka masih bersaudara. Keduanya pun akhirnya saling berpelukan dan meminta maaf.

Antareja mengeluarkan Tirta Purwitasari, lalu memercikkan ke wajah Wara Sembadra. Atas  kehendak Dewa, maka Dewi Wara Sembadara hidup kembali. Mereka bertiga pun mengantar pulang ke Indraparasta. Kerabat Pandawa sangat bahagia melihat Wara Sembadra hidup kembali.

Istri Arjuna itu pun menceriterakan apa sebenarnya yang telah terjadi, hingga ia tewas.  Burisrawalah yang telah membunuhnya.

Mendengar itu, Antareja murka.

Ia segera meninggalkan Pandawa dan Wara Sembadra tanpa pamit. Dengan bekal Aji Kawastrawam, Antareja berubah wujud menjadi Wara Sembadra. Lalu pergi mencari Buriswara.

“Kejar Antareja! Jangan sampai ia bertindak main hakim sendiri!” tutur Bathara Narada.

Gatot Kaca dan para Pandawa berangkat pula menyusul Antareja.

*****

Terkejut Burisrawa melihat Wara Sembadra menemuinya. Berkali-kali ia mengucek kelopak matanya. Memastikan tidak sedang salah lihat.

“Sembadra, engkau masih hidup?” tanya Burisrawa.

“Iya sayang. Kemarin aku hanya pura-pura pingsan.”

Duh, seperti mimpi ketiban bulan mendengar dirinya dipanggil sayang oleh Wara Sembadra. Burisrawa berguling-guling diatas tanah. Meluapkan kebahagiaannya.

“Sayang, lihatlah rambutmu yang tak pernah kamu keramasi itu, kotor sekali! Pasti banyak kutunya pula!” ejek Wara Sembadra.

Ia pun ingin membersihkan rambut gimbal yang penuh kutu itu. Perasaan Buriswara semakin melambung tinggi melihat Wara Sembadra sangat perhatian kepadanya.

“Tetapi ada syaratnya!” tegas Wara Sembadra.

“Setiap mendapat seekor kutu, kutampar mukamu, karena ini pertanda rambutmu jorok. Kalau sudah berlipat menjadi tiga ekor kutu, kujotos kepalamu yang terlalu jorok itu. Dan seterusnya!” jebak Wara Sembadra.

“Hahaha … silahkan. Kuterima dengan senang hati, pujaan hatiku.” Jawab Burisrawa.

Plak!

Sebuah tamparan dari Wara Sembadra mendarat di muka Burisrawa ketika ia berhasil mendapat seekor kutu.

Plak!

Satu ekor lagi. Sebuah tamparan dilayangkan lagi oleh Wara Sembadra.

Plak!

Kutu rambut ketiga membuat Wara Sembadra mengacungkan kepalan tangannya,”Bersiaplah sayang.” Ucapnya.

Bruakkkkkkk!

“Aduhhhhhhhhhh ….. !” Burisrawa menjerit sekeras-kerasnya.

Tubuh pemuda berambut gimbal terjengkang hingga jatuh terlentang. Ia terkejut merasakan jotosan Wara Sembadra sangat bertenaga seperti seorang laki-laki.

Ketika bangun, dilihatnya sosok yang memukulnya ternyata bukan Wara Sembadra. Tetapi seseorang yang memiliki wajah mirip Gatot Kaca.

“Keparat! Siapa kamu?” tanya Burisrawa.

“Tidak penting siapa aku. Kedatanganku kesini untuk menghukummu. Atas semua perbuatan nistamu, Burisrawa!” sesumbar Antareja.

Terjadilah perkelahian antara keduanya. Tanpa ampun, putra Werkudara langsung menghajar si mulut cablak, Burisrawa. Babak belur wajah putra Salya itu oleh pukulan bertubi-tubi dari Antareja.

Jeritan mohon maaf dan ampun dari Burisrawa tak dihiraukan lagi oleh Antareja. Datanglah para Pandawa bersama Kresna.

“Hentikan, Antareja!” seru Kresna.

“Orang ini harus dihukum. Biar dia mendapat ganjaran setimpal dengan perbuatan nistanya!” jawab Antareja.

Buriswara lari ketakutan dan bersembunyi di belakang tubuh Kresna. Kepada raja Dwarawati itu, ia menyatakan menyesal atas perbuatan nistanya. Ia juga meminta maaf kepada Arjuna dan Pandawa.

“Burisrawa telah menyatakan bersalah, sepatutnya kita memaafkan dia, Antareja. Mengenai hukuman yang harus dijatuhkan, biarlah kita menyerahkan kepada Prabu Salya. Aku yakin, raja Mandaraka akan mengambil keputusan bijak.” Lanjut Kresna.

Pandawa dan Kresna pun menyerahkan Burisrawa kepada Prabu Salya. Raja Mandaraka berjanji akan menjatuhkan hukuman yang setimpal atas perbuatan nista putranya.

*****

Kisah Sembadra Larung diatas merupakan sebuah refleksi dengan peristiwa yang terjadi hari ini, 4 November 2016.

Puluhan ribuan massa berdemo di ibu kota Jakarta demi membela Agama yang ditengarai telah dinistakan oleh Basuki Tjahaya Purnama. Gubernur DKI (ibarat Burisrawa) menjadi tokoh viral beberapa minggu terakhir karena tidak bisa menjaga lisannya. Mirip Burisrawa.

Luar biasa gerakan jihad umat Islam!

Meski ada yang pro dan kontra terhadap aksi demo bela agama ini (bukan pro kontra terhadap Ahok, karena siapapun tentu satu pendapat bahwa Ahok memang salah dan harus dihukum), tetapi tidak boleh peristiwa penistaan Al-Qur’an justru membuat sesama Muslim terpecah belah. Saling menghujat di berbagai media antar umat Islam. Sesama anak bangsa.

Seperti kesalahpahaman antara Antareja dan Gatot Kaca yang sejatinya adalah saudara kandung dan sama-sama berniat mulia. Yang satu bermaksud baik kepada Wara Sembadra, yang satu juga berniat menjaga/membela Wara Sembadra.

Sama seperti kita, anak bangsa saat ini. Yang satu ingin membela agama karena kitab suci Al-Qur’an dinistakan. Yang satu ingin menjaga agar persatuan dan kesatuan negeri ini tidak tercerai berai.

Bahwa Ahok (Burisrawa) salah, itu sudah harga mati. Tetapi kita tidak boleh menghakiminya sendiri. Kita hormati proses hukum yang sedang berjalan di Bareskrim Polri. Kita serahkan Burisrawa kepada Salya.

Seperti penuturan Kresna, raja Mandaraka (Presiden RI, Pak Jokowi dan Polri) pasti akan bersikap bijaksana. Salya berjanji akan berbuat seadil-adilnya dalam menjatuhkan hukuman kepada Burisrawa.

Pertanyaannya, siapakah tokoh di negeri ini yang bisa diibaratkan sebagai Kresna, sosok arif dan bijaksana dalam meredam gejolak yang nyaris membawa perpecahan sesama anak bangsa sekarang?

Siapa?

Ah, semoga segera muncul tokoh bangsa, ulama dan negarawan yang bisa menyatukan lagi tirai persatuan negeri yang mulai terkoyak ini.


Surabaya, 4 November 2016

Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost

Burisrawa - image google

5 komentar:

  1. Ah, semoga segera muncul tokoh bangsa, ulama dan negarawan yang bisa menyatukan lagi tirai persatuan yang mulai terkoyak ini.

    Amiin allohumma amiin

    BalasHapus
  2. Refleksi yang mantap Bang... NKRI harga mati (didunia saja).. Al-quran harga akhirat...

    BalasHapus
  3. ngawur...bedo banget burisrowo karo ahok..
    burisrowo ping bola bali lan diniati jahate,
    ahok mung sakecap salahe, lan ugo ono wong liyan sing nafsirke podho ngono...

    ning kasus ahok, ontran-ontrane mergo ono peran sengkuni...ojo dilaleke.

    BalasHapus
  4. Suka analisa lapangannya, menunggu pemersatu umat, siapa dia?
    Kasus terbaru ulama diburu orang gila, semoga rezim ini segera terganti..

    BalasHapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *