Rabu, 26 April 2017

AKHIR DARI UPHARAJA BONEKA


Girindrawardhana Dyah Ranawijaya - jawatimuran.net


Sesaat setelah Bathara Ring Wilwatikta Pungkasan (raja terakhir Majapahit), Bhre Kertabumi "dikudeta" oleh puteranya sendiri, Panembahan Jin Bun/Jimbun/Sultan Fattah dari Demak, Antawulan sebagai ibu kota Majapahit dipimpin oleh Nyo Lay Wa. Upharaja ini adalah seorang Tionghoa.

Tampilnya Nyo Lay Wa sebagai Upharaja Antawulan menimbulkan konflik di Brang Wétan. Pertama, dia bukan berasal dari etnis pribumi Majapahit. Kedua, pengukuhan dirinya sebagai pemimpin kotaraja----ibu kota negara----hanya pemberian Sultan Fattah, bukan berdasarkan garis pewaris trah Bathara Ring Wilwatikta. Ketiga, keyakinan yang dianutnya tergolong masih baru dan berbeda dengan keyakinan sisa-sisa loyalis Bhre Kertabumi yang notabene adalah pemeluk Syiwa Sogata.

Gejolak penolakan terhadap Nyo Lay Wa mencapai puncaknya ketika bekas punggawa-punggawa Majapahit melakukan ontran-ontran di Antawulan. Pemberontakan yang mendapat dukungan mayoritas rakyat ini memaksa Upharaja Tionghoa itu lengser keprabon dan tewas.

Girindrawardhana Dyah Ranawijaya yang terhitung sebagai trah Bathara Ring Wilwatikta ditunjuk oleh Demak untuk menggantikan Nyo Lay Wa. Dia menjadi pemimpin melalui tradisi yang benar, tidak seperti pendahulunya.

Tetapi, kehadiran Girindrawardhana sebagai pemimpin baru juga tak mampu mengembalikan era damai di Antawulan. Upharaja ini memilih pindah ke Dahanapura.

Nahas, ketika Demak dipimpin Panembahan Trenggana, perang besar dengan latar belakang syiar membumihanguskan kaum kafir peninggalan Majapahit, menjadikan Dahanapura sebagai penutup perjalanan panjang negeri Wilwatikta.

Setali tiga uang, kejayaan Demak sebagai penguasa baru di Jawa Dwipa juga hanya seumur jagung. Pertikaian sesama anak bangsa (perebutan kekuasaan sesama keturunan Sultan Fattah) mengakibatkan kesultanan bercorak Islam itu turut hancur pula.

Akhir dari kisah sebuah negeri yang pernah berjaya di Nusantara, namun hancur ketika isu perbedaan etnis dan keyakinan dijadikan komoditi perjuangan.

-o0o-

Sejarah bisa terulang.

Nyo Lay Wa adalah upharaja boneka Demak. Dia menjadi pemimpin karena menerima limpahan kedudukan dari Sultan Fattah. Posisinya nyaris sama dengan pemimpin ibu kota RI sekarang yang mendapat limpahan jabatan dari Pak Jokowi tiga tahun silam, ketika beliau terpilih menjadi Presiden.

Hari ini, berdasarkan Quick Count, Nyo Lay Wa-nya DKI bisa dipastikan akan lengser keprabon. Pak Anis Baswedan akan tampil sebagai Girindrawardhana-nya DKI.

Moment suksesi kepemimpinan di ibu kota RI juga tidak jauh berbeda dengan kondisi Antawulan dahulu. Sama-sama diwarnai gejolak massa, isu perbedaan etnis dan keyakinan.

Namun, seluruh rakyat DKI, juga Indonesia umumnya, pasti berharap bahwa tampilnya pemimpin baru kali ini tidak bernasib seperti Upharaja di Antawulan. Impian akan berakhirnya era konflik yang hampir setahun telah menguras energi dan emosi sesama anak bangsa harus diwujudkan.

Mari berkaca dari perjalanan para penguasa Jawa Dwipa di masa lampau.

Selamat kepada pemimpin baru DKI. Yang menang jangan jumawa, yang kalah harus legawa.

Ayu, hayu, rahayu wilujêng.


Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost

Catatan:
Antawulan = Trowulan, Mojokerto, Jatim sekarang
Dahanapura = Daha, sekitar kota Kediri, Jatim sekarang
Upharaja = Raja bawahan
Brang Wétan = Jawa belahan timur
Syiwa Sogata = Sinkretisme ajaran leluhur Jawa, Syiwa dan Buddha Wajrayana
Wilwatikta = Majapahit (bahasa Sanskerta)

2 komentar:

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *