Selasa, 25 April 2017

PAMOKSAN SANGGRAMAWIJAYA DHARMAPRASADA UTUNGGADEWI




Hari belum memasuki surup. Perjalanan saya dari Surabaya menuju tanah kelahiran di bumi Anjuk Ladang masih separuhnya. Sengaja, saya singgah di sebuah wilayah yang banyak menyimpan jejak-jejak Bathara Erlangga (Airlangga), pendiri kerajaan Kahuripan. Wilayah ini ada di perbatasan dua Kabupaten di Jawa Timur. Jombang dan Lamongan.

Saya berhenti di pertigaan Kudu, Jombang, ketika mendung tampak bergelayut di atas Cakrawala. Setiap bentangannya hanya memampangkan warna pekat. Ia seperti mengingatkan bahwa tak lama lagi akan menjatuhkan jutaan kubik tirta amerta. Sontak, saya memacu sepeda motor lebih kencang. Berpacu dengan hujan yang nyaris turun.

Tempat yang saya tuju adalah pertapaan gunung Pucangan. Berjarak sekitar sepuluh kilometer dari jalan raya Kudu. Secara administrasi, situs religi ini masuk Desa Cupak, Kecamatan Ngusikan, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.

Jalanan yang saya tempuh cukup menantang. Meski beraspal, namun lubang yang menganga di sana sini membuat adrenalin berpacu lebih cepat. Belum lagi ditambah tanjakan dan turunan curam. Kewaspadaan dituntut senantiasa berada pada level tertinggi.

Sampai di pertigaan Desa Cupak, jalur menuju puncak gunung Pucangan lebih ekstrim lagi. Selain sepi, hanya rerimbunan belukar dan lebatnya hutan tropis yang terpampang di kanan kiri jalan. Kondisi jalan berbatu makadam juga menambah nyali kian diuji. Beruntung, setiap jarak sekitar lima ratusan meter, terdapat warung-warung yang penjualnya senantiasa menyapa dengan ramah. Meski saya tidak sempat singgah dan bercakap-cakap, namun dari gestur wajah dan tubuh mereka, bisa dipastikan para penjual itu siap menjadi penolong jika ada orang yang buta jalur menuju puncak gunung Pucangan.

Setelah melewati hutan tropis yang lumayan lebat, akhirnya saya menjumpai sebuah lahan parkir yang cukup luas. Beberapa warung makan dan minum ada di sana. Tempat itu adalah titik persinggahan terakhir sebelum menuju pertapaan gunung Pucangan.

GUNUNG PUCANGAN DI MASA LAMPAU
Pertapaan gunung Pucangan, sebenarnya adalah tempat dimana dahulu sinuwun Bathara Erlangga bertapa-brata, ketika beliau menjalani pelarian selama dua tahun.

Pada malam pernikahannya dengan Dewi Galuh Sekar Kedahaton, puteri Bathara Ring Medang----raja di Medang----Dharmawangsa Teguh, kota Watan (Maospati, Magetan, Jawa Timur sekarang) diserang oleh pasukan Aji Wura Wari, penguasa Lwaram (Ngloram, Blora, Jawa Tengah sekarang).

Dalam tragedi yang disebut Pralaya Medang (prasasti Pucangan/Calcutta Stones) itu, Dharmawangsa Teguh beserta permaisuri dan seluruh punggawanya tewas. Kota Watan menjadi lautan api. Istana Medang diratakan dengan tanah. Pasangan pengantin, Erlangga muda dan Galuh Sekar Kedhaton berhasil lolos dari pembunuhan setelah diselamatkan abdi kinasihnya, Narottama dan Ken Bayan.

Selama pelarian, Erlangga keluar masuk hutan dan gunung. Dari Watan, mereka menuju gunung Lawu, Wonogiri, gunung Wilis, gunung Klotok, gunung Mas Kumambang, gunung Tunggorono hingga akhirnya sampai di kabuyutan Sidayu di Girisik (Sedayu, Gresik, Jawa Timur sekarang).

Dewi Galuh Sekar Kedhaton dititipkan di rumah Ki Buyut Sidayu, pemangku wilayah itu. Ken Bayan diperintahkan kembali ke Watan untuk mengumpulkan sisa-sia loyalis mendiang Bathara Dharmawangsa Teguh. Sementara Erlangga dan Narottama melanjutkan perjalanan ke sebuah tempat yang menurut pawisik niskala----bisikan ghaib----adalah tempat suci. Gunung Pucangan.

Bathara Erlangga menjalani tapa brata di puncak gunung yang merupakan rangkain dari pegunungan kapur Kendeng. Dua tahun kemudian, dia menjelma menjadi sosok kesatria digdaya, konon adalah titisan Sang Hyang Wisnu (Dewata pemelihara perdamaian dan kelestarian alam semesta). Lwaram ditaklukkan, kemudian menantu Bathara Dharmawangsa Teguh itu mendirikan negeri baru di Watan Mas, daerah lereng gunung Pawitra, bernama Kahuripan.

Dari lereng gunung Pawitra (Penanggungan, Mojokerto dan Pasuruan, Jawa Timur sekarang), ibu kota Kahuripan pernah mengalami beberapa kali pemindahan. Diantaranya ke utara Bengawan Porong (Sidoarjo, Jawa Timur sekarang), Patakan (desa Pataan, kecamatan Sambeng, Lamongan, Jawa Timur sekarang) hingga terakhir di Dahanapura/Daha (sekitar kota Kediri, Jawa Timur sekarang).

Saat bertahta di kota Daha inilah, pada Saka Warsa 964 (1042 Masehi), Bathara Erlangga turun dari Singgasana. Pendiri Kahuripan itu memutuskan meninggalkan segala pesona duniawi dan menjalani sisa hidup menjadi seorang Brahmana di tempat dahulu dia bertapa brata. Gunung Pucangan.

Dalam Serat Calon Arang, Bathara Erlangga kemudian dikenal sebagai Resi Gentayu. Menurut Babad Tanah Jawi, dia disebut dengan nama Resi Erlangga Jatiningrat. Sedangkan pada prasasti Gandhakuti, namanya ditulis sebagai Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.

Berdasarkan urutan trah pewaris tahta, putri mahkota yang bernama Rakryan I Hino Sanggramawijaya Dharmaprasada Utunggadewi, anak Bathara Erlangga dari permaisuri Dewi Galuh Sekar Kedhaton adalah yang berhak menduduki singgasana Kahuripan.

Di luar dugaan, Sanggramawijaya Dharmaprasada Utunggadewi menolak naik tahta. Dia mengikuti jejak ramandanya menjadi seorang pertapa. Meninggalkan segala pesona duniawi. Keadaan ini membuat dua anak Batara Erlangga yang lain, berebut kekuasaan. Mereka adalah Sri Samarawijaya, adik Sanggramawijaya Dharmaparasada Utunggadewi dengan Mapanji Garasakan, anak dari garwa selir.

Seorang Brahmana bernama Mpu Bharada ditugaskan untuk membagi Kahuripan menjadi dua wilayah. Bengawan Brantas dan Gunung Kawi dijadikan batas. Jenggala (Sidoarjo, Jawa Timur sekarang) diberikan kepada Mapanji Garasakan dan Panjalu/Kadhri/Kadhiri (Kediri, Jawa Timur sekarang) diberikan kepada Sri Samarawijaya (Kakawin Negarakertagama).

Sementara, Sanggramawijaya Dharmaprasada Utunggadewi bertapa dari satu tempat ke tempat lain. Terakhir, puteri Bathara Erlangga itu menetap di puncak gunung Pucangan. Meneruskan ramandanya yang telah mangkat pada Saka Warsa 971 (1049 Masehi).

Hingga akhir hayatnya, Sanggramawijaya Dharmaprasada Utunggadewi menjadi pertapa wanita di puncak gunung Pucangan. Orang-orang mengenalnya dengan nama Dewi Kili Suci.

PERTAPAAN GUNUNG PUCANGAN SEKARANG
Kini, tempat moksa----sirna jiwa dan raga, kembali ke Sang Pencipta----Sanggramawijaya Dharmaprasada Utunggadewi itu dinamakan Situs Makam Dewi Kili Suci.

Sejak era Islam, tempat-tempat moksa para leluhur orang Jawa sengaja di-visual-kan dalam bentuk makam. Hal ini untuk mengikis sifat musyrik dan menggantinya dengan tradisi ziaroh.

Saat ini, di situs gunung Pucangan, selain makam Dewi Kili Suci, kita juga bisa menjumpai beberapa makam lain. Diantarnya makam Maling Cluring, makam Maling Adiguna dan makam Eyang Ronggo.

Cungkup kecil di belakang saya adalah makam Eyang Ronggo


Berpose di depan makam Maling Cluring

Tidak jelas apa hubungan makam-makam itu dengan Sanggramawijaya Dharmaprasada Utunggadewi atau Dewi Kili Suci. Analisa saya, kemungkinan mereka adalah para abdi dan pengawal sang putri ketika meninggalkan kota Daha menuju gunung Pucangan.

Ketika menginjakkan kaki di kompleks situs itu, saya langsung disambut dengan ramah oleh seorang laki-laki tua. Mbah Sadi, sang Pakuncèn (juru kunci) itulah yang memberi tahu saya keberadaan makam-makam lain di gunung Pucangan.

Bersama Mbah Sadi, juru kunci situs gunung Pucangan
  
Monggo pinarak, badhé ngêrsakakên punapa----silahkan masuk, mau menginginkan apakah gerangan?” sapa Mbah Sadi.

Matur suwun. Dalêm amung padhos warta damêl nyêrat, Mbah----Terima kasih. Saya hanya memburu data untuk bahan menulis, Kek,” jawab saya seraya menjabat tangan Mbah Sadi.

Dalam hati, saya paham apa yang maksud oleh Mbah Sadi. Tetapi, tujuan awal saya ke tempat itu memang sekedar memburu data jejak sejarah. Tiada niat yang lain.

Saya juga sempat melihat dua orang yang sedang menjalani ritual khusus di pendopo makam Dewi Kili Suci. Mereka tampak khusyu’. Entah apa yang sedang dibacakan. Mungkin mantra, atau doa dengan bahasa khusus.

Ah, itu urusan mereka dengan Tuhannya.

Dari pendopo, saya melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki ke puncak tertinggi gunung Pucangan, berjarak sekitar dua ratus meter. Kondisi jalan cukup menanjak. Napas dijamin ngos-ngosan jika tidak biasa mendaki gunung, seperti saya.

Sampai di puncak, dimana dahulu Bathara Erlangga menjalani tapa brata, saya bergidik, merinding dan bergetar.

Subhanallah!

Sebuah Musholla berdiri megah tepat di puncak gunung Pucangan. 

Kondisi Musholla itu sangat bersih dan terawat. Seorang lelaki paruh baya yang entah siapa, manusia sungguhan atau makhluk niskala (maklum, tempat itu berada di belantara rimba yang sangat jauh dari jamahan penduduk) tampak tak kalah khusyu’ dari dua orang sebelumnya. Dia sedang berwirid. Tentu habis menjalankan Shalat Ashar, pikir saya.

Tepat di depan Musholla, terdapat sebuah Lingga. Lambang kesuburan suatu wilayah yang disimbolkan dengan Planangan (organ laki-laki). Biasanya, Lingga berpasangan dengan Yoni yang disimbolkan dengan organ wanita. Tetapi, di puncak gunung Pucangan ia berdiri tunggal. Analisa saya, Lingga ini adalah pengejawantahan dari Resi Gentayu/Resi Erlangga Jatiningrat (Bathara Erlangga) setelah menjadi pertapa. Beliau menasbihkan diri meninggalkan segala kenikmatan dunia, termasuk wanita.

Tak jauh dari Lingga, masih di halaman Musholla, terdapat reruntuhan sebuah Candi. Terbuat dari susunan batu bata merah berukuran besar. Kemungkinan, bangunan ini dibuat pada Saka Warsa 963 (1041 Masehi). Berdasarkan prasasti Pucangan (Calcutta Stones) yang kini tersimpan di Museum Calcutta, India, Bathara Erlangga membangun pertapaan di gunung Pucangan pada tahun itu.

Lingga di gunung Pucangan. Di balik pohon belakang saya adalah makam Maling Adiguna


Reruntuhan Candi di puncak gunung Pucangan. Nun jauh di bawah sana, Lamongan tampak samar


Sang Bagaskara kian merunduk di kaki Cakrawala. Jingga mulai merona di ufuk barat. Saatnya saya harus kembali. Sebelum turun dari puncak gunung Pucangan, kembali saya menoleh ke dalam Musholla.

Ya Jagad Natha----Sang Pengatur Alam Semesta, Allah SWT----Lelaki yang tadi saya lihat sedang ber-wirid di dalam Musholla sudah tidak ada!

Kembali saya bergidik.

Buru-buru saya berjalan setengah berlari menuruni puncak tertinggi gunung Pucangan. Meninggalkan Musholla yang didirikan tepat di atas titik dimana Bathara Erlangga bertapa ribuan tahun silam.

Musholla Al-A'liy (Maha Tinggi), begitu saya menamakannya dalam hati. Karena Musholla itu memang tiada memiliki papan nama.

Musholla di puncak gunung Pucangan


Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost

Catatan:
Jika sahabat ingin mengunjungi situs gunung Pucangan, juga Musholla yang saya sebut Al-A'liy itu, hendaknya tidak seorang diri. Jangan pula menelusuri sudut demi sudut pertapaan tanpa pengawalan khusus.

1 komentar:

  1. Sungguh suatu pengalaman spiritual yag amat bagus
    Matur sembah nuwun

    BalasHapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *