Senin, 10 April 2017

MURKA ALAM DI TANAH KEMENANGAN



Longosr di Dlopo, Kepel, Ngetos, Nganjuk - http://cdn2.tstatic.net


Surup belum sepenuhnya datang. Mendung juga tidak bergelayut di cakrawala gunung Wilis. Sejauh tatapan mata, hamparannya hanya memampangkan warna biru yang bersih. Dari setiap bentang tawang pada candikkala itu, hanya cerah saja yang akan terlihat. Sekalipun guntur tiada menggelegar. Sang bagaskara sempurna bersinar tanpa penghalang di penghujung Mangsa Kasadasa.

Hari itu adalah radithé cêmêngan. Dalam sekejap, mendadak segalanya berubah. Cakrawala menggelap dengan begitu cepat. Setiap sudut bentangannya, kini telah tertutup pekat. Gunung Wilis bagai dibekap sebuah jubah hitam yang membentang di seluruh atap langit.

Mendadak terdengar suara menggeram, seperti gemuruh ombak samudera selatan yang sedang pasang diterpa badai. Suara mirip lolongan singa lapar yang membuat seluruh penduduk Dlopo, sebuah kabuyutan di lereng gunung Wilis bergidik. Suara itu entah berasal dari mana. Ada yang merasa sumbernya dari cakrawala. Ada yang merasa dari dalam tanah perbukitan di pinggir kabuyutan.

Dalam sekejap pula, seluruh penghuni kabuyutan Dlopo dihadapkan pada pemandangan mengerikan. Gugusan gunung yang dianggap sebagai pijakan Dewata saat turun dari Kahyangan menuju Arcapada itu runtuh. Hempasannya menyapu jutaan kubik tanah, pohon dan bebatuan yang dilaluinya.

Kabuyutan Dlopo luluh lantak. Sukma dari manusia-manusia tak berdosa melesat meninggalkan jasad mereka yang terkubur ke dalam longsoran gunung.

Dlopo menangis. Gunung Wilis ikut menangis. Kepal dan Ngetos berduka. Air mata Bunda pertiwi di Anjuk Ladang tiada usai jatuh berderai.

Dalam kengerian yang menakutkan itu, tak ada seorangpun manusia yang menatap ke atas cakrawala. Di atas sana, tampak sebuah perwujudan samar makhluk niskala. Sosok itu terpampang sedemikian rupa dengan bentangan angkasa menjadi layarnya. Sosok dari sebuah kepala yang sangat besar, seluruh penjuru sudut cakrawala bahkan tertutup olehnya. Kedua mata makhluk itu memandang Dlopo dengan tatapan mengerikan. Mata yang membelalak lebar. Mulutnya menyeringai bengis. Gigi taring yang runcing keluar di sudut bibir yang menyeringai.

Seorang lelaki tua berusia sekitar tiga perempat abad gemetar. Dia baru saja selamat dari amukan guguran gunung. Dalam kondisi tubuh penuh luka, tanpa sadar dia mendongak ke cakrawala. Dengan lirih dan bergetar hebat, bibirnya menyebut sebuah nama, “Hyangning Lawang!”

-o0o-

photo: MTSN Lengkong

Sepuluh ribu tombak dari Dlopo, setengah hari sebelum murka alam mengamuki gunung Wilis, boyongan kadipaten yang telah beratus-ratus tahun dilakukan Bathara Ring Anjuk Ladang (pemimpin di Nganjuk/Adipati/Bupati) sedikit ternoda.

Hari itu, radithé cêmêngan, Wuku Kulawu pada bulan Caitra Saka Warsa 1939, prosesi pemindahan pusat pemerintahan dari pendopo Berbek ke pendopo Nganjuk tidak dilakukan oleh sang Adipati.

Sejak ratusan tahun silam, ketika Raden Tumenggung Sosroskoesoemo memindahkan kotaraja dari Berbek ke Nganjuk, semua Adipati penerusnya senantiasa melakukan napak tilas itu di hari jadi kadipaten. Hari untuk memperingati kemenangan besar Rakryan I Hino Mpu Sindok ketika berhasil menggempur pasukan Sriwijaya di kabuyutan Gejag (Desa Gejagan, Loceret sekarang). Mpu Sindok pula yang mendirikan sebuah Candi sebagai tugu kemenangan, sekaligus menjadi cikal bakal Anjuk Ladang pada 12 Caitra Saka Warsa 859 (Candilor sekarang).

Entah apa yang ada dalam benak Adipati Anjuk Ladang kemarin, sehingga beliau memutuskan tidak ikut prosesi boyongan. Pemangku wilayah Anjuk Ladang itu hanya melakukan Mapak Pusaka----menjemput pusaka----di alun-alun kota. Menyambut iring-iringan peserta napak tilas yang kini dikenal sebagai Pawai Alegoris.

Para budayawan meradang. Selama berabad-abad, baru tahun ini tradisi budaya leluhur kami ditinggalkan. Sungguh berani!

Leluhur kami di Sela Matangkêp pasti akan sedih dan menangis melihat peristiwa minggu pagi kemarin. Bisa jadi, para pendiri kadipaten Anjuk Ladang itu akan murka.

Jangan lupa, leluhur kami, orang-orang yang menyerahkan segala hidupnya untuk berjuang di jalan Sang Pencipta, dengan banyak menjalani tirakat----puasa lahir batin----itu, jika memohon kepada penciptanya, doa mereka selalu didengar. Permohonan mereka, meski dengan lidah kolot Jawa, lebih sering dikabulkan, daripada manusia modern yang fasih berbahasa Ngatas Angin (baca: Arab), tetapi jiwanya penuh dengan tebaran kebencian.

Jangan salahkan jika leluhur kami memohon murka dari Sang Pencipta Alam. Allah SWT.

Dan senja itu, murka leluhur kami didengar oleh Zat Yang Maha Suci. Pralaya----duka----di lereng Wilis menjadi simbol murkanya para pendiri kadipaten Nganjuk. Tanah kemenangan yang dibangun dengan darah dan air mata oleh Mpu Sindok dan pengikutnya. Tanah yang kini telah berubah menjadi ajang pengumbaran Ahangkara. Nafsu buas yang tiada mengenal puas untuk mencuri, merampok dan menggarong harta rakyat, dengan modal kekuatan dan kekuasaan.

Dirgahayau Anjuk Ladang. Kota Seribu Jaranan. Bumi Sejuta Bidadari.

Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost.

Tulisan ini saya dedikasikan untuk seluruh rakyat Anjuk Ladang (Nganjuk), kota kelahiran saya yang genap berusia 1080 tahun pada 10 April 2017.

Khususon untuk warga Dusun Dlopo, Desa Kepel, Kecamatan Ngetos, yang kemarin tertimpa musibah bencana longsor, saya turut menyampaikan duka yang sedalam-dalamnya. Semoga seluruh korban yang meninggal diterima di sisi-NYA, bersama arwah para Syuhada’. Bagi keluarga yang ditinggalkan, mudah-mudahan diberi kesabaran dan kekuatan Iman. Untuk korban luka, semoga segera diberi kesembuhan.

Akan ada banyak hikmah yang bisa kita petik dari bencana alam ini.

Catatan :
Surup = senja
Candikkala = senja kala, sinonim dari surup
Mangsa Kasadasa = masa kesepuluh dalam bulan Jawa, sekitar 27 Maret – 19 April
radithé cêmêngan = hari minggu wage
Hyangning Lawang = Bathara Kala, Dewata penguasa waktu, bencana, musibah
Wuku Kulawu = hari kedua puluh delapan dalam perhitungan Wuku (hari Jawa)
Caitra Saka Warsa 1939 = April 2017 Masehi
Wuku Kulawu Caitra Saka Warsa 1939 = 9 April 2017 Masehi
12 Caitra Saka Warsa 859 = 10 April 937 Masehi
Sela Matangkep = Gerbang Akherat
Anjuk Ladang = tanah kemenangan, kini disebut Nganjuk

6 komentar:

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *