Selasa, 08 Agustus 2017

GERHANA BULAN, MURKANYA SANG HYANG BATHARA KALA


photo: satujam




Kahyangan senja itu merekah. Aroma kembang wijayakusuma dari taman langit menyeruak. Mengelindap. Semerbak. Kemudian angin membawanya terbang mengelilingi dua dewa-dewi yang sedang kasmaran di sana. Bathara Guru, sang Mahadewa, raja dari para Dewa bercengkerama dengan permaisurinya, Bathari DurgaMeski jati diri aslinya adalah seorang danawa----raksasa, Bathari Durga memiliki paras yang cantik jelita.

Sekejap kemudian, keduanya berkelana di atas samudera dengan menaiki tunggangan bernama Lembu Andini. Dalam kelana itu, Bathara Guru terpesona oleh kecantikan sang permaisuri, sehingga timbul hasrat untuk berpadu asmara. Bathari Durga malu dan menolak. Jatuhlah benih dari Bathara Guru, lalu menetes ke lautan.

Samudera di Nusatembini bergolak! Gelombang pasang tiba-tiba datang mengamuki semua makhluk yang ada di sana.

Benih sang Mahadewa berubah menjadi bara api. Air laut seketika mendidih. Seluruh penghuni lautan gempar dan lari tunggang langgang.

Karena kedigdayaan Bathara Guru, benih yang jatuh di tengah lautan itu hidup dan tumbuh menjadi sosok makhluk menakutkan. Kian lama kian besar hingga berwujud raksasa. Naiklah ia ke Kahyangan Suralaya untuk menemui para Dewa.

Dia diterima oleh Bathara Guru dan diakui sebagai anaknya, lalu diberi nama Kalarandya karena lahirnya bersamaan datangnya candikkala----senjakala. Dia dipanggil dengan sebutan Bathara Kala.

Suatu hari ketika sedang memasak, jari Bathari Durga teriris hingga tak sengaja darahnya menetes ke makanan yang ia masak. Bathara Kala segera menolong membalut luka itu, lalu sebisanya membersihkan darah yang tercampur masakan.

Ketika makanan itu disajikan ke putranya, Bathara Kala melahapnya tak tersisa.

“Masakan ibunda hari ini terasa istimewa, ada sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya.”

“Oh, aku tahu ini karena tetesan darah tadi!” Berarti darah itu rasanya enak! Mulai sekarang aku akan memangsa manusia!” muncul niat buruk dari Bathara Kala.

“Jangan putraku! Kamu tidak boleh memangsa manusia!” Cegah Bathari Durga.

Bathara Kala tetap bersikukuh ingin segera turun ke bumi untuk mencari mangsa manusia. Bathari Durga pun melaporkan kejadian itu kepada Bathara Guru.

Untuk mengelabuhi dan mencegah tindakan putranya, Bathara Guru memberi nasehat dan syarat bahwa tidak semua manusia boleh dimangsa. Hanya manusia yang termasuk jenis sukerta yang boleh dimakan oleh Bathara Kala. Sang penguasa Kahyangan juga memberi tanda dengan menuliskan rajah pada dahi, punggung dan rongga mulut putranya sebelum turun ke bumi.

“Engkau boleh memangsa manusia sukerta hanya saat surya tumumpang arka----matahari tepat diatas kepala atau tengah hari!” tutur Bathara Guru.

"Ingat-ingat Kala, jika ada seseorang yang bisa membaca rajah yang telah kutulis di dahi, punggung dan rongga mulutmu, engkau harus tunduk, karena dia adalah utusanku. Sekarang pulanglah ke Nusatembini, tempatmu dilahirkan. Tinggallah disana!" tutur Bathara Guru.

Budhal----berangkat!”

Bathara Kala menyanggupi wewaler----aturan----yang disyaratkan kepadanya. Dia pun langsung melesat turun ke bumi untuk memburu jenis-jenis manusia sukerta yang disebutkan oleh Bathara Guru.

Menyadari bahwa tindakan putranya salah, Bathara Guru menyuruh Bathara Narada agar memerintahkan Bathara Wisnu menyusul turun ke bumi untuk mencegah tindakan Bathara Kala. 

Bathara Wisnu menyamar menjadi seorang dalang wayang kulit dengan nama Kandhabuana, Sejati, dan SampurnajatiDia juga ditemani oleh Bathara Narada yang menyamar sebagai panjak kendang----penabuh kendang----dan Bathara Brahma yang menyamar sebagai panjak gender----penabuh salah satu jenis gamelan Jawa.

Sampai di Arcapada, dalang Khandabuana bersama rombongan mempromosikan diri sebagai orang yang bisa menolak bala atau kala----kesialan, bencana, musibah----bagi siapa saja yang membutuhkan pertolongan mereka.

-o0o-

Tersebutlah mbok rondo----janda tua----yang tinggal di desa Medang Kawit. Dia memiliki seorang anak tunggal bernama Joko Jatusmati. Pada surya tumumpak arka----tengah hari, atas perintah ibunya, pergilah Joko Jatusmati ke danau Madirda.

Di tengah perjalanan, Joko Jatusmati bertemu Bathara Kala. Karena termasuk jenis manusia sukerta, Bathara meminta agar Joko Jatusmati bersedia dijadikan mangsa.

Joko Jatusmati pun lari tunggang langgang menyelamatkan diri. Dalam pelarian, pemuda Medang Kawit itu bersembunyi diantara sekelompok orang-orang yang sedang bekerja mendirikan rumah. Tetapi Bathara Kala bisa menemukan. Lalu terjadi kejar-kejaran di dalam rumah itu hingga roboh.

Joko Jatusmati kembali melarikan diri. Pemuda itu bersembunyi di sebuah dapur orang, disinipun kembali terjadi kejar-kejaran sehingga menyebabkan dandang----panci untuk menanak nasi----roboh.

Kembali Joko Jatusmati lari keluar rumah. Dalam usahanya mengejar pemuda itu, Bathara Kala terjatuh karena terlilit batang waluh----jenis tanaman sayuran----yang tumbuh di halaman. Dia pun kehilangan jejak buruannya.

Bersamaan dengan itu, tak jauh dari Medang Kawit ada sebuah pertunjukan wayang kulit oleh dalang Kandhabuana. Dia sedang menggelar pentas atas permintaan seorang penduduk bernama Buyut Wangkeng yang sedang meruwat----membersihkan bala atau kesialan----putrinya bernama Rara Pripih yang baru saja cerai dari suaminya di saat usia pernikahannya baru terhitung beberapa hari.

Pada pagelaran wayang kulit itu, banyak sekali orang yang menonton. Diantara kerumunan penonton, tampak pula Joko Jatusmati dan juga Bathara Kala.

Misi dari Bathara Wisnu untuk menarik perhatian Bathara Kala berhasil. 

Bathara Kala hendak memangsa Joko Jatusmati, tetapi dicegah oleh dalang Kandhabuana. Terjadi debat antara jelmaan Bathara Wisnu dengan putra Bathara Guru,”Kau boleh memakan manusia itu, tetapi berikan aku waktu untuk memberitahumu tentang satu hal!”

“Apa itu?”

“Di dahimu tertulis kawruh sejatine urip----pelajaran tentang hakikat kehidupan, rajah itu adalah penanda bahwa engkau tercipta dari hawa nafsu yang tidak bisa dikendalikan. Akibatnya, engkau tumbuh menjadi sosok yang senantiasa membikin musibah di muka bumi, karena mengedepankan nafsu angkara. Pulanglah sekarang, kulup!”

Bathara Kala ingat pesan Bathara Guru. Dia menyadari bahwa sedang berhadapan dengan utusan ayahnya dari Kahyangan.

Sesaat kemudian, turun pula Bathari Durga ikut membujuk putranya agar mau kembali ke asalnya. Samudera di Nusatembini.

Aku jaluk sangu----aku minta bekal!” ucap Bathara Kala sebelum lenyap meninggalkan Medang Kawit.

-o0o-

Sekembalinya dari Bumi memburu manusia jenis sukerta, Bathara Kala berhasrat mendapatkan Tirta Amerta Sari----air keabadian, karena ingin menjadi Dewata yang hidup kekal seperti yang lain.

Keinginan Bathara Kala tidak disetujui oleh ayahnya, Bathara Guru. Alasan sang penguasa kahyangan itu adalah putranya tercipta dari sifat buruknya yang tidak mampu mengendalikan hawa nafsu atas pesona Bathari Durga, sehingga Bathara Kala berperingai buruk pula.

Bathara Kala kecewa. Diam-diam, dia menyusup ke telaga Tirta Amerta Sari yang terletak di tengah jarak matahari dan bulan.

Bathara Kala berhasil mendapatkan air keabadian. Nahas, di tengah perjalanan, Bathara Surya dan Bathari Candra memergokinya. Dewata penguasa matahari dan bulan itu langsung melaporkan perbuatan Bathara Kala kepada ayahnya.

Bathara Guru segera memerintahkan Bathara Wisnu untuk merebut Tirta Amerta Sari sebelum Bathara Kala meminumnya.

Tak mau menunda-nunda waktu, Bathara Wisnu segera menyisir seluruh wilayah kahyangan dan akhirnya bertemu Bathara Kala di balik awan hitam.

Saat itu Bathara Kala baru saja meminum Tirta Amerta Sari. Sebelum air keabadian sampai di tenggorokan dan tertelan, Bathara Wisnu melemparkan senjata Cakra dan tepat mengenai leher Bathara Kala.

Maka terpenggallah kepala Bathara Kala. Tubuhnya jatuh ke bumi dan hancur berkeping-keping, sedangkan kepalanya gentayangan di langit dan abadi karena sudah sempat terkena Air Keabadian. Sejak saat itu hingga sekarang, Bathara Kala di-visual-kan sebagai sosok kepala tanpa leher dan badan.

Bathara Kala lalu bersumpah akan memangsa Bathara Surya dan Bathari Candra jika kelak bertemu. Namun, ketika matahari atau bulan ditelan melalui mulut Bathara Kala, keduanya akan dapat keluar lagi melalui leher yang sudah putus.

Heru Sang Mahadewa
Member of One Day One Post

Catatan :
Samudera Nusatembini, kini dipercaya sebagai wilayah Karimun Jawa. 

Saat terjadi gerhana, konon Bathara Kala sedang melampiaskan murkanya kepada dewata penguasa bulan atau matahari. Dia menelan utuh-utuh ketika bertemu salah satu dari Bathara Surya dan Bathari Candra. Namun, karena hanya tinggal kepala, mereka pun akan keluar lagi melalu leher Bathara Kala yang telah terpotong.

gambar: petouring

Ketika bulan atau matahari mengalami fase penumbra, saat itulah Bathara Kala mulai menggigit, disusul fase umbra, di mana bulan atau matahari telah tertelan ke mulut putra sang Bathara Guru.

Sedangkan fase akhir umbra dan fase akhir penumbra adalah momen ketika bulan atau matahari telah keluar dari leher Bathara Kala.

Belive it or not?

Banyak makna siningit----tersembunyi----dari mitologi orang-orang Jawa.

0 komentar:

Posting Komentar

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *