Jumat, 11 Agustus 2017

NAWARUCI (BHIMA SUCI) – Pupuh II



Wrekudhara (Bhima) - Dewaruci: photo seni wayang


Bau wangi yang timbul dari kepulan asap kemenyan menusuk ke lubang hidung. Setiap hari, aroma asthanggi itu senantiasa memenuhi seluruh ruangan rumah yang terletak di seberang kedhaton Astina. Sebuah prapen yang ada di sudut halaman, tak pernah padam sebentar pun.

Seorang lelaki paruh baya duduk bersila di tengah wandapa rumah itu. Dia bertelanjang dada, hanya mengenakan selembar kain wastra berwarna kuning yang tersampir di pundak.  Rambutnya nampak rapi, digelung di atas ubun-ubun. Dari jumlah lingkaran gelungan rambut itu, terlihat bahwa dia sudah mencapai takaran ilmu tingkatan Begawan. Iya, semakin banyak jumlah gelungan, menandakan semakin tinggi tingkat lelaku batin seseorang. Lelaki itu diam sembari memejamkan mata. Seuntai tasbih dari biji kayu cendana berputar-putar di jemari tangan kanannya.

“Masuklah kemari. Duduk di dekatku, Wrekudhara.”

“Iya, begawan.”

Sungguh mencengangkan. Dengan mata terpejam pun, lelaki paruh baya yang tak lain adalah Begawan Drona itu dapat mengetahui kedatangan Wrekudhara, meski sang murid masih berada di depan gapura rumahnya. Pelan-pelan, dia membuka mata, lalu merapikan kain wastra yang sedikit bergeser dari pundaknya.

“Apakah kau sudah mendapatkan tirta perwita sari, Wrekudhara?”

“Maafkan muridmu, begawan. Aku belum menemukan air suci kehidupan itu di gunung Candramuka. Seisi belantara sudah kuobrak-abrik. Tetapi setetes pun ia tidak ada di sana.”

“Terlambat, Wrekudhara.”

“Maksud Begawan?”

“Saat engkau tiba di hutan Tikbrasara, sesungguhnya tirta perwita sari telah lenyap dari lereng gunung Candramuka itu.”

“Lalu, kemana lagi aku harus mengejarnya, Begawan?”

“Saat ini, tirta perwita sari telah berada di pusar samudera Minang Kalbu. Jika engkau mampu menembus gelombangnya, maka di sanalah air suci kehidupan itu akan kaudapatkan, Wrekudhara.”

“Mohon restumu, Begawan. Aku berangkat!”

Tanpa menunggu sepenggalan waktu, Wrekudhara langsung berdiri dari wandapa. Berpamitan. Dia melakukan sembah dada, lalu melesat meninggalkan kediaman Begawan Drona.

-o0o-

Samudera Minang Kalbu terhampar luas di belahan bumi selatan. Sejauh mata memandang, hanya gulungan ombak setinggi gunung Jamurdipa yang nampak. Ombak-ombak itu terus membabi buta menabrakkan diri ke kiri dan kanan, menghantam batu karang dan ombak yang lain. Akibatnya, benturan-benturan dahsyat gelombang samudera Minang Kalbu menimbulkan deburan yang bergemuruh. Suara yang ditimbulkannya pun bagai auman makhluk paling seram di jagad raya. Jalma moro jalma mati. Siapapun manusia yang berani datang ke sana, pasti kehilangan nyawa.

Wrekudhara menapakkan kaki di bibir pantai Minang Kalbu. Sejurus kemudian, dia berjalan mengampiri hempasan gelombang yang tiada henti menggampar pasir putih di tepi samudera.

Selangkah demi selangkah, Wrekudhara terus berjalan ke tengah samudera Minang Kalbu. Hantaman ombak yang datang silih berganti menerpa tubuhnya, sedikitpun tidak membuat kesatria Pandawa itu terhempas. Namun, dia nyaris terseret ketika tiba-tiba kakinya merasakan ada sesuatu yang membelit.

Wrekudhara menjejakkan kaki, lalu menendangkan ke deburan ombak sekuat tenaga. Seketika, gelombang samudera Mianang Kalbu terpecah. Di tengah hamparan lautan yang tersingkap itu, nampak seekor naga meliuk-liuk memamerkan tubuh besarnya. Mata sang naga berwarna merah menyala. Lidahnya menjulur-julur sepanjang sepuluh depa manusia. Sepasang taring yang tajam juga menyeringai di kedua sudut mulutnya.

“Siapa kau, manusia malang?”

“Aku tidak punya urusan denganmu, naga tua.”

“Besar juga nyalimu, berani menceburkan diri ke samudera Miang Kalbu. Rupanya engkau telah bosan hidup, manusia!”

“Siapa juga, kau, naga sombong. Jangan berpikir Wrekudhara takut dengan gertakanmu!”

“Aku Naga Percola, penguasa samudera raya!”

Naga Percola mendesis-desis sambil menjulurkan lidahnya. Air liur berkeliaran dari juluran lidah berwarna merah itu. Rupanya, ia sudah tak sabar memangsa sosok manusia yang ada di hadapannya. Tanpa menunggu berlama-lama, Naga Percola langsung menerkam Wrekudhara. Tubuhnya meliuk-liuk dengan garang, lalu membelit kaki dan tangan Wrekudhara.

Beberapa saat, Wrekudhara berusaha berontak dari kepungan tubuh Naga Percola. Tetapi semakin keras dia melawan, semakin kuat pula lilitan binatang buas penguasa samudera Minang Kalbu itu. Kini, mulut sang naga bahkan telah terbuka lebar-lebar di atas kepala Wrekudhara.

Wrekudhara adalah kesatria yang di dalam tubuhnya menyatu kekuatan Dasamuka. Berbagai lawan dari berbagai makhluk sudah pernah dia hadapi. Mengalami ancaman situasi seperti belitan Naga Percola, tentu membuat putra angkat Bathara Bayu yang sudah banyak memiliki pengalaman bertanding itu segera bertindak.

Sekedip mata sebelum mulut Naga Percola menyasar kepala Wrekudhara, Aji Blabag Panganthol-Anthol membuat lilitan tubuh binatang buas itu terlepas. Dengan kekuatan sebesar gunung Jamurdipa, Wrekudhara membanting tubuh lawannya.

Naga Percola mengaum kesakitan!

Tak pernah terbayangkan sebelumnya, musuh yang sudah tak berdaya dan tinggal ditelannya justru mampu membuat ia terhempas. Dengan menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya, Naga Percola kembali menerjang Wrekudhara. Tetapi kali ini sang kesatria Pandawa telah siap menangkis.

Hantaman Naga Percola bertabarkan dengan tubuh Wrekudhara yang telah dilambari Aji Blabag Panganthol-Anthol. Gemelegar suara terdengar dari benturan dua kekuatan yang dahsyat itu. Seketika, ombak di samudera Minang Kalbu terhenti.

Wrekudhara semakin terpancing amarahnya. Kuku Pancanaka pemberian Bathara Bayu, dia keluarkan dari kedua ibu jari. Ketika Naga Percola menyeringai memamerkan taring dengan membuka mulut lebar-lebar, saat itulah Wrekudhara menghunjamkan Kuku Pancanaka. Sang penguasa samudera Minang Kalbu menjerit, darah mengucur dari rongga mulut yang terluka. Dia mengerang kesakitan.

Tidak berhenti sampai di situ. Wrekudhara menarik ekor  Naga Percola yang menggelepar-gelepar kesakitan. Dengan Kuku Pancanaka pula, dia merobek mulut binatang buas yang tadi nyaris memangsanya.

Gerakan Wrekudhara yang mengakhiri hidup Naga Percola itu memantulkan bayangan hingga ke cakrawala. Kekuatan bayangan itu pula yang seketika membentur  matahari, bulan, dan jutaan bintang  di atas sana.

Tubuh Naga Percola tersobek menjadi dua bagian, mulai dari mulut hingga ujung ekornya. Begitu kuatnya Wrekudhara merobek mulut musuhnya, membuat tubuhnya ikut terpental pula. Dia terhempas tepat ke pusaran samudera Minang Kalbu.

Wrekudhara berusaha melawan tarikan pusaran samudera. Namun, kekuatannya seperti hilang ketika tubuhnya tenggelam semakin dalam ke dasar samudera Minang Kalbu. Hanya gelap yang dia lihat. Setelah itu, dia tak bisa lagi melihat apa-apa.

-o0o-

Ketika membuka mata, Wrekudhara melihat sesosok makhluk kerdil sedang berdiri di hadapannya. Ukuran tubuh makhluk itu tak lebih besar dari telapak tangan Wrekudhara. Anehnya, wajah, pakaian dan perhiasan yang dikenakannya semua sama dengan Wrekudhara.

“Siapa engkau?”

“Tidak perlu kautahu, siapa aku, kulup.”

“Kenapa engkau berada di sini?”

“Engkau yang membawaku, kulup.”

“Aku tidak mengerti dengan ucapanmu. Aku sedang mencari tirta perwita suci. Menurut Begawan Drona, guruku, ia ada di pusaran samudera Minang Kalbu ini. Apakah engkau juga penghuni tempat ini?”

“Tidak. Aku tinggal dan hidup ke mana pun engkau pergi.”

“Kenapa engkau mengenakan pakaian seperti aku? Kain Poleng Bang Bintulu, Sumping dan .... engkau juga memiliki Kuku Pancanaka?”

“Ketahuilah, kulup Wrekudhara. Aku adalah Hyang Acintyapranesa. Perwujudan suksma sejatimu dalam sosok Hyang Nawaruci. Apa yang sedang engkau cari, ada dalam dirimu sendiri.”

Wrekudhara mengangkat sembah, ketika sosok kerdil di hadapannya mengaku sebagai sebagai perwujudan seorang Dewata.

“Aku benar-benar tidak mengerti, pukulun.”

“Tirta perwita sari adalah air untuk membersihkan jiwa-raga manusia, menyingkapkan tirai besar yang menutupi suksma sejati. Saat ini, engkau masih hidup dengan suksma dan nafs semata. Belum menyatu dengan suksma sejati. Air suci itu sendiri, akan kaudapatkan jika telah kautemukan jejak angsa di dalam air, dan kaupetik kembang yang tumbuh mekar di cakrawala.”

“Kemana aku harus mencarinya, pukulun?”

“Masuklah ke tubuhku, kulup.”

“Bagaimana caranya? Tubuhmu hanya sebesar telapak tanganku.”

“Bumi pun sanggup aku tampung ke dalam tubuhku. Sekarang masuklah melalui telingaku.”

Tak kuasa menolak kehendak Sang Hyang Nawaruci, Wrekudhara melesat ke dalam telinga kiri Dewata yang ada di hadapannya. Sekejap kemudian, Wrekudhara menyatu dengan tubuh perwujudan Hyang Acintyapranesa dalam sosok Nawaruci. Dia kembali melihat samudera Minang Kalbu terhampas luas di hadapannya. Aneh. Tak ada segulung pun ombak yang menakutkan di sana. Rupanya inilah yang tadi diwejangkan kepadanya.

Kejadian itu menjadi penanda bersatunya Wrekudhara ke dalam jiwanya sendiri. Dia telah berhasil menemukan tirta perwita sari, berupa kecermelangan awal. Kecermelangan hati yang sebelumnya redup karena tertutup nafs saat Wrekudhara terlahir ke dunia. Ketika menyatu dengan Nawaruci itulah, maka nafs-nya telah melebur ke dalam suksma sejatinya.

(Heru Sang Mahadewa)
Member of One Day One Post.

Catatan:
Asthanggi = kemenyan dengan ramuan khusus sehingga berbau harum
Prapen = tempat membakar dupa
Wastra = kain selempang tubuh
Jalma moro jalma mati = manusia datang manusia mati, peribahasa Jawa
Kulup = nak, panggilan Dewata kepada manusia
Pukulun = panggilan kepada Dewata
Suksma = jiwa
Nafs = nafsu
Suksma sejati = ruh manusia

Kisah Nawaruci, dikenal juga sebagai Dewaruci, Bhimasuci, adalah momen penganugerahan gelar Wrekudhara sebagai Sang Angkusprana (sang pendorong napas kehidupan). Kisah klasik ini adalah lakon carangan----pegembangan cerita----dari epos Mahabharata oleh Mpu Syiwamurti di masa-masa akhir Majapahit. 

Dalam mitologi Jawa, gugusan galaksi Bimasakti terbentuk karena kekuatan bayangan pertarungan Wrekudhara (Bhima) dengan Naga Percola yang memantul ke cakrawala dan membentur benda-benda langit di atas sana.

Kisah ini juga dipercaya sebagai penuturan perjalanan spiritual Syech Malayakusuma ketika bertemu dengan Nabi Kidlir di tengah samudera, sehingga Syech Malayakusuma mendapatkan mukasyafah yang luar biasa. Berupa wejangan penyingkapan tabir jati diri manusia. 

Syech Malayakusuma tak lain adalah Susuhunan (manusia mulia, biasa dipendekkan menjadi Sunan) Kalijaga.


0 komentar:

Posting Komentar

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *