Selasa, 19 Desember 2017

MAKAR DHARMAPUTRA (REVIEW NOVEL LANGIT KRESNA HARIADI)




Judul Buku: Makar Dharmaputra (Serial Mahapatih Gajah Mada)
Penulis: Langit Kresna Hariadi
Penerbit: Tiga Serangkai
Ukuran: 14×21 cm.
Sampul: soft cover.
ISBN:
978-979-0848-34-4 
Genre: Novel Sejarah
Berat: 450 gram


Bagaskara Manjêr Kawuryan. Sandi rahasia itu terasa begitu lekat dalam novel besutan maestro fiksi bercitarasa sejarah: Langit Kresna Hariadi. Matahari memancarkan kemuliaan, begitu arti sandi yang akan membawa imajinasi pembaca terus menerka-nerka saat membaca babak demi babak novel ini.

Ada empat tokoh sentral yang diangkat penulis dalam serial novel Mahapatih Gajah Mada ini.

Tokoh utama tentu saja Gajah Mada. Ia seorang prajurit berpangkat bêkêl yang membawahi pasukan Bhayangkara (pasukan khusus Majapahit, semacam Kopassus sekarang).

Jika merujuk pada catatan-catatan kuno yang menceritakan sosok Gajah Mada seperti Nêgarakêrtagama dan Sêrat Pararaton, maka Langit Kresna Hariadai bisa dikatakan sangat berhasil dalam menciptakan karakter Gajah Mada. Penggambaran fisik yang kekar, tinggi besar, sifatnya yang tegas, penuh perhitungan, jeli dalam mengambil keputusan, semua dituturkan dengan tehnik telling dan showing yang tepat.

Tokoh kedua adalah Sri Jayanegara, raja muda Majapahit yang naik tahta menggantikan ayahnya, Kertarajasa Jayawardhana.

Berbeda dengan tokoh utama, Langit Kresna Hariadi justru terkesan bermain aman untuk menciptakan karakter Jayanegara. Dalam berbagai literatur kuno, raja yang masih belia ini diceritakan sebagai sosok yang doyan bermain perempuan, gemar bermabuk-mabukan, dan senang berfoya-foya. Namun, dalam novel ini, ada kesan bahwa karakter seperti itu sangat tabu untuk diangkat. Pun juga dalam hal tabiat Jayanegara yang kontroversi; ingin menikahi dua saudara tirinya: Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat.

Tokoh ketiga, yang juga menjadi aktor sentral adalah Ra Kuti. Ia adalah satu dari lima dharmaputra (pejabat tinggi setingkat menteri sekarang) yang menjadi orang kepercayaan Jayanegara, namun akhirnya justru berkhianat.

Seperti halnya dalam menciptakan karakter Gajah Mada, penulis kelahiran Banyuwangi, Jawa Timur ini juga sangat piawai mengangkat hitam putinya karakter pimpinan pemberontak itu. Ra Kuti yang temperamental, memiliki ilmu kanuragan mumpuni, namun berperingai mirip Jayanegara; doyan bermain perempuan, dituturkan dengan gaya yang dapat menyihir imajinasi pembaca seolah-olah bertatap muka langsung dengan tokoh ini.

Tokoh terakhir adalah kunci dari keberhasilan Langit Kresna Hariadi untuk menghipnotis pembaca: terus membuka halaman demi halaman untuk menemukan jawaban siapa sebenarnya tokoh misterius yang diceritakan selalu muncul dan menghilang secara tiba-tiba dalam novel ini. Bagaskara Manjer Kawuryan.

Novel Makar Dharmaputra dituturkan dengan alur maju. Kisah dimulai ketika Bagaskara Manjêr Kawuryan terus menghantui Gajah Mada. Dalam berbagai segmen yang diceritakan Langit Kresna Hariadi, bêkêl prajurit ini mendapatkan peringatan dari si tokoh misterius bahwa ada sebuah gerakan bawah tanah yang ingin menggulingkan kekuasaan Jayanegara.

Konflik semakin menjadi-jadi, ketika Bagaskara Manjêr Kawuryan tidak mau menunjuk sebuah nama dari pelaku makar. Saling curiga antar punggawa tinggi Majapahit pun terjadi. Puncaknya, mereka terpecah menjadi dua kubu. Diam-diam, Ra Kuti, otak dari rencana makar dharmaputra berhasil mendapatkan dukungan dari salah satu kubu yang berseteru. Ia pun merasa berada di atas angin; kekuatan antara kubu pemberontak dan loyalis Jayanegara sudah berimbang. Hari untuk menghabisi raja Majapahit pun sudah ditentukan.

Malam terakhir menjelang kudeta, tokoh misterius Bagaskara Manjêr Kawuryan kembali memberi peringatan bahwa para dharmaputra sudah bergerak. Gajah Mada memutuskan tetap bertahan di kêdhaton untuk menjaga keselamatan Jayanegara. Nahas, ada seorang prajurit Bhayangkara yang ternyata berkhianat dengan menjadi teliksandi Ra Kuti. Jayanegara nyaris terbunuh, kêdhaton jatuh ke tangan pemberontak.

Bersama sebagian kecil pasukan Bhayangkara, Gajah Mada melarikan Jayanegara ke arah barat. Sebagian besar pasukan Bhayangkara lagi, diperintahkan melakukan tipuan kepada pasukan pengejar dengan bergerak menuju Krian, sebelah timur kotaraja Trawulan.

Sampai di sini, selanjutnya pembaca akan disuguhkan romantisme kesetiaan dan loyalitas Gajah Mada dalam menyelamatkan nyawa rajanya. Mereka hanya berdua, karena sang bekel tahu bahwa pasukannya sudah tidak bisa dipercaya lagi. Dalam tubuh Bhayangkara saat itu, sulit dibedakan siapa kawan dan siapa lawan, sehingga ia perintahkan semua anak buahnya untuk pergi dan menunggu di suatu tempat.

Dari satu desa ke desa lain, Gajah Mada membawa Jayanegara dalam penyamaran. Meski, dalam hati ia tahu bahwa Jayanegara bukanlah pemimpin yang baik. Tetapi, jiwa patriotnya tidak bisa berpaling.

Di sebuah desa bernama Kudadu, akhirnya Gajah Mada menitipkan Jayanegara kepada seorang lurah. Ia pamit kembali ke Trawulan, untuk membuat perhitungan dengan Ra Kuti. Makar dharmaputra berhasil ditumpas oleh Gajah Mada bersama pasukan Bhayangkara yang setia (ada dua prajurit yang terbongkar kedoknya sebagai pengkhianat, akhirnya dihabisi Gajah Mada selama pelarian Jayanegara).

Ending dari kisah ini saya katakan: memukau!

Iya, Jayanegara yang telah selamat dari percobaan pembunuhan dalam pemberontakan Ra Kuti, kambuh lagi kegemarannya bermain perempuan. Istri salah satu dharmaputra yang tersisa, Ra Tanca, adalah perempuan yang pernah menjadi korban perilaku tak senonoh raja itu.

Dikisahkan pada epilog novel ini: Jayanegara sedang menderita bisul. Ra Tanca, dharmaputra yang ahli dalam pembuatan racun dan pengobatan, dipanggil ke bilik raja. Dibalut rasa dendam yang lama terpendam akibat perlakuan Jayanegara kepada istrinya, Ra Tanca bukannya memberikan obat, tetapi justru memasukkan racun sekelas sianida ke dalam minuman yang harus ditenggak Jayanegara.

Dalam hitungan detik, Jayanegara menggelepar dan meregang nyawa di atas tempat tidur. Gajah Mada yang melihatnya, langsung menusukkan sebilah keris ke jantung Ra Tanca. Di luar dugaan, pada penghujung ajalnya, Ra Tanca berucap, “Akulah Bagaskara Manjêr Kawuryan.”

Sedikit koreksi terhadap muatan sejarah, lurah yang membantu Gajah Mada dan Jayanegara adalah pemangku desa Bedander (sebuah desa di daerah Jombang utara sekarang), bukan desa Kudadu (sebuah desa di daerah Pasuruan utara). Langit Kresna Hariadi rupanya sedikit rancu menggunakan setting tempat antara pelarian Jayanegara dengan pelarian ayahnya, Sanggramawijaya (Raden Wijaya/Kertarajasa Jayawardhana) yang bersembunyi di desa Kudadu saat Singhasari digempur pasukan Jayakatwang dari Kediri.

Terlepas dari kesalahan kecil di atas, meski anda bukan pecinta sejarah, novel Makar Dharmaputra sangat layak untuk anda baca. Ada pelajaran mulia yang ingin disampaikan penulisnya: Siapapun pemimpinnya, jika ibu pertiwi sudah memanggil, wajib hukumnya bagi kita untuk bela negara, meski nyawa taruhannya.


(Heru Sang Mahadewa)
Member of One Day One Post

2 komentar:

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *