Jumat, 15 Desember 2017

TRAGEDI 12 MEI






Tak pernah terbayangkan dalam pikirannya, negeri yang katanya paling toleran, menjunjung tinggi pluralisme, tempat ia lahir dan dibesarkan, mendadak tak ada bedanya dengan neraka. Harga sebuah nyawa, lebih murah dari seekor tikus got. Kota yang ditempatinya, ternyata lebih sadis dari Rakhine, Sarajevo dan kota-kota di Kamboja pada masa kekuasaan junta militer.

Dari pojok sebuah halte, ia memandang ke seberang jalan dengan tatapan mata hampa. Di depannya, juga di jalan-jalan lain di kotanya, sudah tiga hari ini dipenuhi orang-orang yang mengibarkan bendera, menenteng poster dan spanduk, lalu berteriak-teriak penuh amarah, “Hidup Pribumi … usir Aseng … usir Aseng!”

Di seberang jalan yang lain, ia melihat puluhan anak muda melempari sebuah pos penjagaan polisi. Papan kayu bertuliskan ‘Melindungi Dan Mengayomi Masyarakat’ mereka copot dari teras bangunan berukuran dua meter persegi itu, lalu diinjak-injak.

“Hancurkan ... hancurkan!” Teriak mereka bersahut-sahutan.

“Bakar saja!” Terdengar suara dari arah lain.

Nampak seorang lelaki memakai cadar  penutup mulut, berlari mendekat, lalu melemparkan bom molotov. Tak ayal lagi, dalam sekejap mata, pos yang sudah ditinggalkan penjaganya itu musnah dilalap si jago merah.

Hanya beralaskan sandal jepit buntung, ia berjalan meninggalkan halte, lalu menerobos kerumunan orang-orang yang meneriakkan kata-kata menuntut keadilan.

Kini, pandangan matanya menyorot tajam. Puluhan lelaki berbadan gempal, memukuli dua kuli toko milik seorang etnis yang dicap sebagai perebut kesejahteraan kaum pribumi. Sekedip kemudian, pelayan-pelayan yang sudah babak belur itu diseret ke jalanan. Belasan lelaki lainnya berhamburan masuk, mengangkat televisi, kulkas, dan benda apa saja yang bisa dijarah. Sebuah papan bertuliskan toko Pelangi Electronica tak luput dari amukan; dicopot lalu dibakar.

Lima lelaki menerobos masuk lebih ke dalam lagi. Terdengar jeritan minta tolong, mohon ampun, dan memelas dari mulut orang-orang bermata sipit. Satu-satunya lelaki yang ada di ruangan itu, dihujani dengan puluhan bogem mentah, lalu dikepruk kepalanya dengan sebatang balok hingga tersungkur tak berdaya.

“Enyah kalian, penjajah!”

“Ini tanah kami!”

“Pulanglah kalian ke negeri leluhurmu!”

“Pelorot celananya!”

“Gagahi ... gagahi ... gagahi!!!”

Dalam hitungan menit, ia melihat belasan lelaki menumpahkan nafsu binatangnya kepada dua perempuan yang menggigil ketakutan di kolong tempat tidur. Perempuan pertama telah paruh baya. Satu lagi, perempuan kedua, masih bau kencur. Berusia sekitar empat belas tahunan.

Apakah Tuhan telah meninggalkan kota ini?

Belasan binatang yang telah puas dengan lampiasan birahinya meninggalkan begitu saja dua perempuan yang telah terkapar. Perempuan pertama diakhiri hidupnya dengan sebuah keprukan pipa besi di tengkuk. Sementara, perempuan kedua, amoy yang tak tahu apa dosa dia dan keluarganya, meregang nyawa setelah kehabisan darah, akibat benda tumpul yang mengoyak organ intimnya paska ia digagahi bergantian.

“Biadab ... dasar anjing!”

Akhirnya ia mengeluarkan kata-kata makian juga.

Belasan orang menoleh, satu di antaranya bergumam, “Orang gila halte?”

Kerikil-kerikil berukuran sebiji salak menghujani tubuhnya. Dua orang mencoba menghalau sambil menyumpal hidung. “Pergi ... pergi kau, orang gila!” Satu orang lainnya mendorong dengan keras, “Sial ... tubuhnya lebih busuk dari bau tai di peternakan bebek pinggir kota!”

Setengah berlari, ia berjalan tertatih-tatih menuju halte. Kembali ke tempat tinggalnya. Halte yang sudah dihuninya selama bertahun-tahun. Yang lekat dengan aroma pesing bercampur busuk.

Jakarta, Mei 1998

Heru Sang Amurwabhumi
Member of One Day One Post

Catatan:
Kisah ini diangkat dari tragedi kelam Mei 1998. Krisis financial Asia merambah Indonesia. Ribuan orang turun ke jalan, lalu menduduki gedung parlemen untuk menuntut reformasi pemerintah dan pengunduran diri Presiden Soeharto.

Peristiwa itu dinodai oleh tewasnya tiga mahasiswa Universitas Trisakti paska pecahnya kerusuhan massa. Etnis Tionghoa menjadi sasaran penjarahan, pemerkosaan, dan pembunuhan ketika itu.

2 komentar:

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *