|
sumber: wallhere |
Kampung itu berada jauh di sebelah utara pusat kota. Terhampar pada sebuah lembah yang luas dan panjang, di bawah gugusan Gunung Kendeng dan Pandan. Aliran sungai yang konon sudah ada sejak masa purba meliuk-liuk membelahnya, terbentang jauh hingga akhirnya jatuh bermuara di Kali Brantas.
Aku ingat tempat-tempat yang menjadi kegemaran pohon glagah bermusim di tepi sungai itu. Aku ingat kapan ratusan ekor ikan-ikan akan bermunculan pada musim penghujan—seperti apa bentuk dan warnanya—bagaimana kesibukan orang-orang kampung di musim yang sama. Bahkan kenangan tentang tempat aku mencuri ketela dan jagung karena kelaparan setelah bermain perang-perangan, masih begitu utuh.
Aku ingat dua gunung nun jauh di sebelah timur, Anjasmara dan Arjuna adalah gunung-gunung yang hanya bisa dilihat ketika langit di atas kampung tidak tertutup mendung. Gunung yang menurut cerita orang-orang tua adalah tempat Begawan Ciptaning bersamadi selama empat puluh hari sebelum mengalahkan raksasa bernama Ditya Kala.
Gunung Wilis menjulang di langit selatan, menyerupai raksasa tua yang konon menjadi pelindung bagi tanah moyang kami dari amukan badai laut dari samudera raya di penjuru tenggara.
Dari tempat-tempat di kampung itulah, lima belas tahun setelah keluar dari gua garba ibuku, kisah ini bermula.
***
Suatu pagi di penghujung bulan Juli.
Detak jantungku terasa acak-acakan, kian lama kian tidak beraturan. Adrenalin dipaksa meninggi semakin kencang. Gadis di pojok bangku angkot itulah penyebabnya. Sama-sama baru menjadi anak berseragam putih abu-abu, dan selalu bersama menunggu angkot.
Hampir setiap pagi, dengan seksama aku bisa mencuri lekuk demi lekuk wajahnya. Dari bangku seberang yang sengaja kupilih agak menjauh dari tempat duduknya, agar tak sedikitpun dia curiga akan fokus perhatianku. Kulit bersih, wajah cantik, perawakan lencir, dan lembut tutur katanya. Lengkaplah apapun yang diidamkan setiap lelaki ada padanya.
Mata kami beradu, saling bertatap sesaat. Sunggingan dari bibirnya yang nyigar jambe membuat aliran darah berhenti seketika. Aku tertunduk, lalu berpura-pura mengalihkan pandangan ke penumpang angkot yang lain tanpa membalas senyumnya.
Ah, aku seperti seorang maling yang kepergok massa. Kejadian yang sungguh memerahkan muka.
***
"Kamu berani memintaku dari ibu?” tanya perempuan lencir itu.
“Kenapa harus takut?!”
Aku balik menantangnya.
Pipi gadis itu nampak merona. Serta merta, dia tak lagi melanjutkan pertanyaannya. Hanya menyunggingkan senyum tersipu. Senyum yang semakin menguatkan keberanianku untuk menyuntingnya.
Tiga bulan setelahnya, aku mengikrarkan akad nikah di hadapan Penghulu dan Walinya. Hanya disaksikan orang tua dan keluarga dekat.
Tak ada pesta pernikahan, tak ada pula janur kuning dan kemegahan baju pengantin. Kami memang berasal dari keluarga dengan strata ekonomi rendah. Hanya ada komitmen di antara kami berdua untuk tetap bersama, meski kelak, raga sudah dimakan renta, dan ingatan telah digerogoti lupa.
(Bersambung)
Heru Sang Amurwabhumi