This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 29 Maret 2017

PESAN MORAL DI BALIK TEMBANG JAWA CUBLAK-CUBLAK SUWENG


CUBLAK-CUBLAK SUWÊNG

Cublak-cublak suwêng,
Suwêngé téng gêlèntèr,
Mambu kêtundhung gudêl,
Pak Êmpo léra-léré,
Sopo ngguyu ndhêlikaké,
Sir-sir pong dêlé kopong.

________

Translate:
Tempat anting (perhiasan wanita Jawa----harta berharga),
Harta itu berserakan,
Aromanya pun mengundang gudèl (anak kerbau),
Si bapak bergigi ompong (hanya) menggeleng-gelengkan kepala,
Siapa yang tertawa, dia yang menyembunyikan (harta),
Hati yang hampa (bagai) kedelai kosong (tanpa biji buah).


Tembang di atas adalah sebuah tembang Jawa yang sudah turun temurun dibawakan dalam sebuah dolanan bocah-----permainan anak-anak. Sama seperti judul tembangnya, dolanan ini juga disebut sebagai Cublak-Cublak Suwêng.

Dahulu, saya sering memainkan Cublak-Cublak Suwêng bersama teman-teman di kampung halaman. 

Permainan ini hanya bermodalkan sebutir kerikil. Seorang anak yang kalah dalam suit-----adu nasib dengan cara mengundi jari atau telapak tangan, wajib menjadi tokoh Pak Empo. Dia akan tengkurap, sementara teman-temannya meletakkan telapak tangannya di atas punggung Pak Empo.

Secara bersamaan, bocah-bocah itu akan melantunkan tembang Cublak-Cublak Suwêng. Pak Empo tetap tengkurap dan tidak diperbolehkan membuka mata hingga nyanyian selesai. Di akhir lirik, sebuah kerikil akan disembunyikan pada salah satu telapak tangan yang tadi terbuka di punggung Pak Empo.

Tugas Pak Empo adalah menebak dimana keberadaan kerikil itu. Jika benar, bocah yang menyembunyikan kerikil akan menggantikan posisi Pak Empo. Tetapi jika tebakannya salah, permainan akan terus diulang dengan pemeran yang sama sampai menemukan posisi persembunyian kerikil.

Pesan moral:
Ada sebuah tempat yang menjadi harta paling berharga bagi manusia. Dimana harta itu pada hakekatnya telah bertebaran dalam diri kita. Berupa kebahagiaan sejati. 

Hanya orang-orang yang buta akal dan tidak peka nuraninya (bodoh, diibaratkan gudêl-nya kerbau), yang tetap memburu harta semu (duniawi/materi) dengan mengumbar ambisi, ego dan keserakahan. Manusia yang tiada pernah berpikir akan tujuan akhir hidup: menemukan kebahagiaan sejati. 

Typikal manusia seperti ini, kelak ketika dimintai pertanggungjawaban terhadap asal usul harta dan untuk apa dibelanjakan, hanya akan menemui kebingungan. Seperti pak tua bergigi ompong yang hanya bisa menoleh kiri kanan.

Manusia yang kelak bahagia (sumèlèh, sarèh) adalah manusia yang bisa mengubur (menyembunyikan) ambisi, ego dan keserakahan terhadap pesona duniawi. Berupa godaan materi, derajat, pangkat dan syahwat.

Mereka adalah manusia bertypikal Sir Pong Dêlé Kopong. Manusia yang mampu mengosongkan hati nuraninya dari ke-CINTA-an duniawi.

Lalu, dimanakah tempat harta sejati itu dalam diri kita?

Tempat itu bernama Jiwa Mutmainah.


(Heru Sang Mahadewa)
Member of #OneDayOnePost

Lirik têmbang Jawa: Kanjêng Sunan Kalijaga - Kanjêng Sunan Giri

Sabtu, 25 Maret 2017

HIDUP SETELAH MATI (REINKARNASI)




Bukan hanya dalam legenda Tiongkok saja dikenal sebuah fase dimana seseorang yang telah meninggal, dia akan terlahir kembali ke dunia dalam jasad orang lain (Reinkarnasi). Moyang kami, orang-orang Jawa kuno sejak dulu juga mempercayai setiap manusia yang mati akan Njlémo/Ndlémo (menjelma) ke bayi yang baru lahir.

Lazimnya, bayi yang dipilih sebagai wadah untuk reinkarnasi adalah yang masih terhitung dalam garis keturunan (trah). Meski ada juga yang memutuskan Njlémo ke sosok anak yang bukan siapa-siapanya.

Kenapa seseorang bisa terlahir kembali ke bumi?

Untuk menyempurnakan lêlaku hidup sebelumnya. Menebus segala kesalahan yang pernah diperbuat. Menyelesaikan tugasnya yang masih tertunda sebagai makhluk yang di-kodrat-kan menjadi Khalifah di muka bumi.

Sinuwun Sri Aji Jayabhaya, Bathara Ring Panjalu Kapat (raja Kadhri/Kadiri/Kediri ke empat) diyakini sebagai reinkarnasi Sang Hyang Wisnu (Dewata Pemelihara Perdamaian Alam Semesta).

Dhandang Gêndis, Bathara Ring Panjalu Pungkasan (raja Kadhri/Kadiri/Kediri terakhir) mengklaim dirinya sebagai reinkarnasi Hyang Ning Lawang/Bathara Kala (Dewata Penguasa Waktu) dan merasa tidak bisa ditaklukkan siapapun, kecuali oleh Sang Hyang Manikmaya (Bathara Syiwa).


Muncul anak muda bernama Kèn Angrok yang mengklaim dirinya sebagai reinkarnasi Bathara Syiwa. Dhandang Gêndis pun dikirim ke alam Dewata (mati dibunuh) dalam level Moksa (fase kematian kedua/tidak bisa bereinkarnasi kembali).

-o0o-

Dulu ketika masih kanak-kanak, Simbah (nenek) saya pernah bertutur bahwa suatu hari ketika sedang terlelap tidur, beliau bermimpi di bangunkan mendiang suaminya (kakek saya) dengan digoncang-goncang punggungnya. Ketika terjaga, ternyata Simbah sedang ditendang punggungnya oleh saya yang masih bayi.

"Eling-elingono, kowé kuwi Njlémoné Mbah Djo-----ketahuilah, kamu itu reinkarnasi dari Mbah Djo," tutur beliau. Mbah Djo yang dimaksud adalah Djokarso, mendiang kakek saya.

"Nggih----Iya," jawab saya sembari tertawa terbahak-bahak, lalu berlari meninggalkan Simbah yang sewot oleh tanggapan saya.

-o0o-

Iya, begitulah kami, orang Jawa. Banyak mitologi dalam kultur ke-Jawa-an kami yang terkadang tidak bisa diterima oleh akal dan logika masyarakat modern. Apalagi dari sudut pandang agama. Tidak akan pernah ketemu landasan pemikirannya.

Tapi kami bangga menjadi salah satu penyumbang khasanah budaya nasional, yang InsyaAllah tidak akan merubah sejengkalpun keyakinan kami terhadap ajaran Rasulullah.

Ayu, hayu, rahayu wilujêng.

Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost

Senin, 20 Maret 2017

CAK CUK, KATA-KATA KOTA SURABAYA



www.twing.com


Jika kita datang ke Surabaya atau Sidoarjo, dua kota metropolis di Jawa Timur, lalu singgah di perkampungan padat penduduk dan nongkrong di warung kopi kelas kaki lima, jangan heran jika disuguhi kalimat pisuhan----umpatan----khas kota buaya seperti Jancuk/Jancok, Gathèl, Asu (anjing), Mbokné Ancok (induknya Jancok), Raimu (mukamu) dari orang-orang yang kita temui.

Umpatan itu sekilas bermakna jorok. Kata Jancuk misalnya, telah mengalami kenaikan level pisuhan menjadi Diancuk/Diancok (disetubuhi). Sebuah kata yang tentunya bagi orang-orang selain arèk Suroboyo (orang Surabaya) sangatlah ekstrim.

Uniknya, kata-kata pisuhan itu, sudah mendarah daging dalam percakapan sehari-hari arek Suroboyo.

Satu dasawarsa yang lalu, ketika pertama kali menginjakkan kaki sebagai perantau di kota Surabaya, saya juga sempat risih. Namun, lambat laun bisa memahami bahwa pisuhan bukanlah sejorok pemikiran awal saya.

Lantas, apakah orang-orang Surabaya/Sidoarjo adalah kumpulan dari manusia yang bermulut rusak, tidak sopan dan tak kenal etika?

Tentu saja tidak.

Berbeda dengan tempat lain di Indonesia, pisuhan Suroboyoan (khas Surabaya) justru menunjukkan tingkat keakraban dalam hubungan sosial. Antara seseorang dengan teman, sahabat dan komunitasnya. Semakin kasar pisuhan, berarti level keakraban mereka semakin kental.

Jadi, jangan heran jika dua arek Surabaya yang berteman akrab dan telah lama berpisah, maka kalimat pertama yang keluar dari mulut mereka saat bertemu adalah: “Mbokné ancuk, raimu sik orép tibaké----ternyata kamu masih hidup?”

Jawaban yang akan diucapkan si teman pun tak kalah kasar, “Asu, raimu déwé iku sing tak kiro wis ora orép, thèl----anjing, mukamu itu yang kukira sudah tidak hidup, brengsek!”

Biasanya, setelah saling misuh-misuh itu, keduanya lantas berangkulan dan berjabat tangan. Saling bertanya kabar masing-masing.

Iya, begitulah.

Masyarakat Surabaya tidak menjadikan umpatan sebagai sesuatu yang jorok dan tabu. Mereka tidak men-judge seseorang hanya dari luarnya. Bagi mereka, kualitas pribadi seseorang justru dinilai dari perilaku nyata di masyarakat. Bagaimana jiwa sosialnya kepada tetangga, kerabat dan sesama. 

Sejak kecil, mereka sudah disuguhi pisuhan-pisuhan yang justru menjadi simbol kedamaian dan keakraban orang Surabaya.

Kultur pisuhan itu pula yang memantik kreativitas anak muda Surabaya. Mereka memproduksi souvenir-souvenir seperti kaos, topi, jacket dan mug dengan desain kata-kata umpatan.

Kaos Cak Cuk - www.twing.com

Kini, produk cak-cuk (pisuhan) itu telah membanjiri pusat-pusat perbelanjaan di kota Surabaya. Boleh dibilang menyerupai Dagadu di Jogjakarta dan Jogger di Bali.


Jancuk bahkan juga dipakai sebagai label kedai makanan di kota Surabaya. Sego Goreng Jancuk namanya. Menunya adalah nasi goreng dengan rasa pedas yang siap membakar lidah penikmatnya. Tak ayal sehabis makan, si pembeli akan misuh-misuh karena kelezatan dan rasa pedas yang minta ampun.

Kedai makanan dengan menu Sego Goreng Jancuk kini sudah bertebaran di berbagai sudut kota Surabaya dan Sidoarjo. Bahkan sudah merambah Mall dan pusat-pusat perbelanjaan modern.

Nasi Goreng Jancuk - media.foody.id

Pisuhan yang disebut sebagai kata cak-cuk telah berevolusi makna dari konotasi negativ menjadi ikon yang menunjukkan jati diri arek Suroboyo. Sebuah kota yang identik dengan jiwa perjuangan.

Begitulah Surabaya, Cuk!


Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost

Selasa, 14 Maret 2017

MENGENAL NAMA HARI, BULAN DAN TAHUN JAWA SERTA PERHITUNGANNYA


foto dokumen pribadi


Masyarakat Jawa, sejak dahulu telah mengenal nama-nama hari, bulan dan tahun disamping nama yang telah lazim dipakai dalam kalender Masehi.

Jika sekarang masyarakat modern mengenal ada tujuh hari, maka nenek moyang orang-orang Jawa memiliki Wuku. Merupakan kumpulan siklus selama tujuh hari. Satu hari Wuku adalah tujuh hari masehi atau seminggu. Jadi, untuk menyelesaikan satu bulan Wuku, sama dengan dua ratus sepuluh hari masehi.

Sedangkan satu Wuku, terdiri dari tujuh hari Jawa sebagai berikut:

Minggu (Ngahad): Radithé.
Senin (Sênèn): Soma.
Selasa (Sêlasa): Anggara.
Rabu (Rêbo): Budha.
Kamis (Kêmis): Rêspati.
Jumat (Jêmuwah): Sukra.
Sabtu (Sêtu): Tumpak.

Selain nama-nama hari dalam satu Wuku, masyarakat Jawa juga mengenal lima wêton sebagai pengiringnya yang disebut pasaran (berasal dari kata sêpasar yang berarti lima), diantaranya:

Kliwon (Kasih).
Lêgi (Manis).
Pahing (Jênar).
Pon (Palguna).
Wagé (Cêmêngan).

Sedangkan nama-nama bulan yang dikenal oleh masyarakat Jawa adalah sebagai berikut:

1.Sura
2.Sapar
3.Mulud
4.Bakda Mulud
5.Jumadil Awal
6.Jumadil Akhir
7.Rêjêb
8.Ruwah
9.Pasa
10.Bada
11.Sêla
12.Bêsar

Nama-nama tahun dalam masyarakat Jawa adalah sebagai berikut:

1.Alip
2.Ehé
3.Jimawal
4.Jé
5.Dal
6.Bé
7.Wawu
8.Jimakir

NILAI HARI, WÊTON, BULAN DAN TAHUN JAWA.
Baik hari, wêton, bulan, maupun tahun, semuanya memiliki nilai yang biasa disebut Nêptu.

foto dokumen pribadi

Berikut adalah nilai dari hari, wêton, bulan dan tahun Jawa:

A.Dina (hari):
Minggu: Radithé, bernilai 5
Senin: Soma, bernilai 4
Selasa: Anggara, bernilai 3
Rabu: Budha, bernilai 7
Kamis: Rêspati, bernilai 8
Jumat: Sukra, bernilai 6
Sabtu: Tumpak, bernilai 9

B.Wêton/Pasaran:
Kliwon, nilainya 8
Lêgi, nilainya 5
Pahing, nilainya 9
Pon, nilainya 7
Wagé, nilainya 4

C. Wulan, Sasi (bulan):
Sura, bernilai 7
Sapar, bernilai 2
Mulud, bernilai 3
Bakda Mulud, bernilai 5
Jumadil Awal, bernilai 6
Jumadil Akhir, bernilai 1
Rêjêb, bernilai 2
Ruwah, bernilai 4
Pasa, bernilai 5
Bada, bernilai 7
Sêla, bernilai 1
Bêsar, bernilai 3

D.Warsa (Tahun):
Alip, nilainya 1
Ehé, nilainya 5
Jimawal, nilainya 3
Jé, nilainya 7
Dal, nilainya 4
Bé, nilainya 2
Wawu, nilainya 6
Jimakir, nilainya 3

-o0o-

Masyarakat Jawa yang masih memegang teguh tradisi moyangnya, hingga sekarang tetap menggunakan hitung-hitungan ini untuk menentukan baik buruknya sebuah hajatan tertentu. Misalnya memilih hari untuk mengkhitankan anak, melangsungkan pernikahan, membangun rumah, dan sebagainya.

Ada nilai tertentu dari penjumlahan hari, wepêton, bulan dan tahun yang menjadi pantangan bagi masyarakat Jawa. Konon, barang siapa nekad melanggar wêwalêr----larangan----tersebut, maka hidupnya akan senantiasa dirundung kesialan. Salah satu nêptu yang sangat dihindari adalah 25.

Kenapa bisa?

Masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi ucapan orang-orang tua, dengan cara hangugêmi----mematuhi, memegang teguh----segala nasehatnya. Jika kita menentang petuahnya, tentu bisa dikategorikan sebagai anak yang tidak patuh kepada beliau-beliau. Durhaka.

Jadi, kesialan yang menimpa pelanggar wêwalêr diatas lebih dikarenakan sebagai hukuman bagi manusia yang tidak patuh kepada orang tua. Bukan karena pelanggaran atas nilai-nilai hari, wêton, bulan dan tahun tersebut (nêptu).

Wallahu Alam Bishawab.

Betapa fakirnya ilmu dan pengetahuan kita.

TANCEP KAYON

Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *