This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 31 Oktober 2016

MENGENAL SOSOK PANDAWA, TOKOH PROTAGONIS DALAM PERANG BHARATAYUDA (Bagian 21)


Pandawa - image google


4-5. NAKULA - SADEWA

Bilik Kedaton Astina, jelang kelahiran Nakula-Sadewa.

“Sepertinya umurku hanya sampai disini.” ucap Prabu Pandudewanata yang terbaring dengan kaki bersimbah darah.

Luka akibat tusukan Keris Kalanadah cukup parah. Pusaka yang terbuat dari taring  Bathara Kala itu mengandung racun yang mematikan. Tidak salah jika Prabu Tremboko begitu besar sesumbarnya untuk mengalahkan sang guru.

Kedua istri Prabu Pandudewanata, Ratu Dewi Kunti dan Dewi Madrim hanya bisa menangis disamping tubuh raja Astina. Ketiga anaknya, Puntadewa, Werkudara dan Arjuna pun demikian.

Kyai Lurah Semar Badranaya yang ada di dalam bilik istana akhirnya ikut andil bicara,”Lole-lole … mbegegeg ugeg-ugeg … hemel-hemel … sadulit-dulita … Ndara Kusumaratu Kunti, gusti Ratu Madrim bersabarlah, memohon petunjuk yang terbaik terhadap garis takdir Dewata ini. Apa yang pernah diucapkan gusti Prabu Pandudewanata saat menghadap Bathara Guru tentu akan tetap ditagih.” tuturnya.

Maksud dari Kyai Lurah Semar Badranaya adalah mengingatkan bahwa ketika menemui Bathara Guru di Kahyangan, Prabu Pandudewanata pernah bersumpah rela diberi umur pendek dan dimasukkan ke neraka, asal permintaannya meminjam Lembu Andini dikabulkan.

Mendengar itu, Dewi Madrim menangis histeris,”Duh kakang Badranaya, kumohon tolonglah suamiku, mohonkan ampun kepada Bathara Guru.” Pintanya sambil menangis sesenggukan.

Prabu Pandudewanata yang semakin terkapar oleh racun Keris Kalanadah mengusap kepala istri selirnya,”Adinda Madrim, garis kematianku sudah ditakdirkan jauh hari sejak aku belum lahir. Jika jalan menuju alam sunyaruri itu harus kutempuh melalui peristiwa ini, itu tak lepas dari kehendak Dewata. Tabahkan hatimu, jaga anak kita yang masih berada di rahimmu.” ucapnya.

*****

Kahyangan Jonggringsaloka, jelang kelahiran Nakula – Sadewa.
“Bathara Yamadipati, jemput sukma Pandudewanata sekarang!” perintah Bathara Guru.

“Masukkan ke dalam dasar Nerakaloka. Kawah Candradimuka!” lanjutnya.

“Sebentar, pukulun!” Bathara Kamajaya memotong ucapan sang Mahadewa.

“Pandudewanata memang bersalah, telah melakukan perbuatan memalukan saat membawa Lembu Andini, sapi Kahyangan. Tetapi hendaknya kita tidak melupakan jasanya ketika menjadi jago para Dewata mengalahkan Prabu Nagapaya yang hendak mengobrak-abrik Kahyangan.” jelas Bathara Kamajaya.

“Ini bukan masalah balas jasa, Kamajaya. Tetapi soal sabda atas ucapan Pandudewanata sendiri. Juga kutukan Resi Kindama yang telah dikabulkan para Dewa ketika itu.” jelas Bathara Guru.

“Ini titahku! Temanilah Bathara Yamadipati turun ke Arcapada. Ajak pula Bathara Aswan dan Bathara Aswin untuk membantu janin yang ada dikandungan Dewi Madrim. Keluarkan bayi itu sebelum sukma Pandudewanata pergi!” lanjutnya.

Sendika dhawuh, pukulun!” jawab Bathara Kamajaya dan Bathara Yamadipati serempak.

Hari itu, Dewa Pencabut Nyawa (Yamadipati), Dewa Asmara (Kamajaya), Dewa Penyembuh/Tabib Kahyangan (Aswan dan Aswin) melesat turun ke Arcapada. Menembus tujuh lapis langit. Mereka mendarat di istana Astina. Tempat Prabu Pandudewanata sedang dikerumuni istri dan anak-anaknya.

*****

Kedaton Astina, kelahiran Nakula – Sadewa.

“Berbaringlah, kami akan mengeluarkan jabang bayimu, Dewi Madrim!” ucap Bathara Aswan yang ditemani Bathara Aswin.

“Terima kasih, pukulun.” sembah Dewi Madrim.

Dengan kedigdayaan Dewa, benih dari Prabu Pandudewanata yang dulu disempurnakan dua Dewa Kembar itu dikeluarkan tanpa melalui persalinan. Lahirlah jabang laki-laki yang kembar pula.

Tangisnya membahana ke seluruh penjuru istana Astina. Prabu Pandudewata yang masih terbaring tak berdaya segera meminta kedua putra kembarnya yang baru lahir itu didekatkan kepadanya,”Pukulun Bathara Aswan dan Bathara Aswin, aku ingin menimang putra-putraku.” ucapnya.

Dengan penuh haru karena mengetahui ajalnya sudah tiba (Bathara Yamadipati berdiri menunggu di dalam bilik itu juga), Prabu Pandudewanata menciumi bayi kembarnya. Ia juga memberi nama keduanya Pinten dan Tingsen.

“Pandudewanata, telah tiba waktunya aku menjemput sukmamu!” ucap Bathara Yamadipati yang berjalan mendekat ke arah tubuh raja Astina.

“Silahkan, pukulun. Aku sudah siap.” jawab Prabu Pandudewanata. Dalam hitungan sekejap, ia telah menghembuskan napas terakhirnya. Matanya terpejam dengan bibir tersenyum. Kedua tangannya masih memeluk tubuh dua bayi  kembarnya. Pinten dan Tingsen.

Melambai-lambai tangan sang raja Astina, seolah-olah pamit kepada istri dan anak-anaknya, ketika ia terbang bersama Bathara Yamadipati, Bathara Kamajaya, Bathara Aswan dan Bathara Aswin.

Pecah tangis Dewi Kunti, Dewi Madrim dan ketiga putra Pandu. Yudhistira, Bimasena dan Arjuna. Melihat pemandangan yang memilukan itu.

“Ini semua salahku …. !” jerit Dewi Madrim.

“Andai aku tidak mengidam Lembu Andini, pasti kakanda Prabu Pandu tidak meninggalkan kita!” suara tangisnya semakin terdengar histeris.

“Biarlah aku menemani sukma Prabu Pandudewanata di Nerakaloka!” tutupnya. Tanpa diduga siapa pun yang ada di tempat itu, tiba-tiba Dewi Madrim mencabut sebuah keris yang terselip di pinggang sang suami, lalu menancapkan ke jantungnya.

Dewi Madrim roboh bersimbah darah, ikut menghembuskan napas terakhir. Meninggalkan dua bayi kembar yang baru dilahirkannya. Pergi ke alam sunyaruri untuk selama-lamanya. Ia mengejar sukma Prabu Pandudewanata yang terbang bersama empat Dewa.

Menuju gunung Jamurdipa. Pintu gerbang Nerakaloka.

Kawah Candradimuka!


~ BERSAMBUNG ~

(Heru Sang Mahadewa)
Member Of OneDayOnePost

Baca cerita sebelumnya [ Disini ]

Catatan :
Pukulun = panggilan kepada Dewa
Sendika dhawuh = siap laksanakan
Alam Sunyaruri = alam keabadian, setelah kematian

Lole-lole, mbegegeg ugeg-ugeg, hemel-hemel, sadulit-dulita = kata latah Semar.
Lole-lole = wahai manusia
mbegegeg = diam
ugeg-ugeg = bergerak
hemel-hemel = mencari makan
sadulit-dulita = sedikit

Kalimat ini mengandung pesan moral "Wahai manusia, jangan hanya diam. Bergerak dan berusahalah mencari makan (nafkah), meskipun hasilnya sedikit tidak apa-apa."
 
Kyai Lurah Semar Badranaya - image google
 
Prabu Pandudewanata - image google
 
Dewi Madrim - image google
 

Minggu, 30 Oktober 2016

JANTURAN ASTINA




Sebuah kisah yang dibawakan dalam pagelaran wayang kulit, tak jauh beda dengan tulisan. Ada karakter tokoh, alur cerita, konflik dan pendeskripsian suasana.

Salah satu bagian yang tak terpisahkan dari pementasan warisan budaya adiluhung ini adalah Janturan. Yaitu pendeskripsian adegan di suatu tempat dengan diiringi gamelan (musik latar). Menggunakan sebuah syair.

Berikut adalah contoh janturan Astina. Menggambarkan pertemuan di pendopo Astina antara Duryudana bersama Kurawa dan Patih Sengkuni.

Swuh rep data pitana! 
Anenggih nagari pundi ingkang kaeka adi dwi purwa. 
Eka sawiji adi linuwih dwi kaloro purwa kawitan. 
Sanadyan katah titahing dewa kasongan ing angkasa, sinangga ing pertiwi, kaideng ing samudra, tebih ing parang muka, dasar negara Indraprasta yo Astinapura silokane jero tancebe, jembar laladane, gede obore, duwur kukuse, padang jagate, adoh kakoncarane. 

Sigeg ingkang murweng kawi paparab kang dadi nalendra, inggih kang ngarenggani pura, jejeneng Prabu Duryudana, Prabu Suyudana saweg dipun adep dening ingkang rayi Dursasana, Kartamarma, Durmagati, Citraksa, Citraksi lan ingkang paman Patih Harya Sengkuni. 

-

Di sebuah istana yang memiliki dua nama, kisah ini diawali. Meskipun banyak garis takdir dewata yang tersangkut dalam bentang langit,  tertinggal di atas bumi, tenggelam pada dasar samudera, tertimbun di dalam bebatuan, dasar negara Indraprasta alias Astinapura tetap saja berjaya, sebuah negeri yang luas, bersinar terang benderang, tersohor hingga jauh.
Tersebutlah yang menjadi raja disana adalah Prabu Duryudana, disebut juga Prabu Suyudana. Kala itu sedang dihadap oleh adik-adiknya, Dursasana, Kartamarma, Durmagati, Citraksa, Citraksi dan sang paman, Harya Sengkuni.

(dirangkum dari berbagai pagelaran wayang kulit)


Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost

Sabtu, 29 Oktober 2016

MENGENAL SOSOK PANDAWA, TOKOH PROTAGONIS DALAM PERANG BHARATAYUDA (Bagian 20)



Pandawa - image google


4-5. NAKULA - SADEWA

Pasukan Pringgodani datang menyerang … pasukan Pringgodani datang menyerang!

Gegap gempita bala tentara Astina dipimpin tiga senopati segera menghadang kawanan bangsa raksasa. Arya Banduwangka, Arya Bargawa dan Arya Bilawa. Mereka adalah kesatria pilih tanding yang telah mengabdi lama kepada Prabu Panudewanata.

“Bargawa, Bilawa, lindungi istana kaputren!” perintah Arya Banduwangka.

“Biar aku menahan mereka disini!” lanjutnya.

“Sendika dhawuh, kakang!” jawab Arya Bargawa dan Arya Bilawa serempak. Mereka segera meninggalkan senopati tertua Astina yang telah menjadi panglima perang sejak era pemerintahan Prabu Krisnadipayana. Arya Banduwangka.

Arya Bargawa dan Arya Bilawa melesat ke istana kaputren. Dengan sigap mereka segera memerintahkan para prajurit menutup rapat-rapat gerbang tempat tinggal Ratu Dewi Kunti dan Dewi Madrim. Formasi bertahan pun disiagakan mengelilingi istana itu.

Sementara di Alun-Alun, Arya Banduwangka langsung menggeber pasukannya. Meski sudah tua, tetapi kegesitan senopati senior Astina itu tetap seperti saat ia masih belia. Senjatanya menari-nari diantara kawanan bangsa raksasa. Menumbangkan satu per satu pasukan Pringgodani.

“Keroyok!” perintah pangeran Arimba. Putra Mahkota sekaligus panglima perang Pringgodani.

Sontak empat raksasa maju mengepung Arya Banduwangka. Mereka adalah senopati Pringgodani yang juga adik Prabu Tremboko. Raden Brajadenta, Raden Brajamusti, Raden Brajalamatan, dan Raden Brajawikalpa.

Bukan Arya Banduwangka jika gentar menghadapi keroyokan empat senopati Pringgodani. Satu langkah pun ia tidak mundur. Kesatria tua Astina itu terus memainkan ilmu kanuragan. Membuat cukup keteteran empat raksasa yang mengepungnya.

Beberapa saat imbang dalam pertarungan satu lawan empat, akhirnya tenaga Arya Banduwangka mulai menurun. Dalam sebuah pergumulan, Raden Brajadenta berhasil menyambar  kaki sang senopati tua Astina.

Arya Banduwangka terjungkal, belum sempat jatuh ke tanah, Raden Brajamusti dan Raden Brajalamatan mengunci kedua tangan dan kakinya. Disusul Raden Brajawikalpa yang menyambar kepala lalu menggigit urat lehernya.

Putus!

Arya Banduwangka roboh dengan leher bersimbah darah. Gugur sebagai kesatria Astina.

“Gusti Arya Banduwangka meninggal … Gusti Arya Banduwangka meninggal!” teriakan para prajurit Astina bersahut-sahutan terdengar hingga ke istana kaputren.

Prabu Pandudewanata yang sejak tadi masih tenang dan menetap di dalam istana bersama kedua istrinya, akhirnya keluar menemui para penjaga kaputren,”habisi mereka, Bargawa, Bilawa. Nanti aku menyusul!” perintahnya.

“Sendika dhawuh, gusti prabu!” jawab keduanya serempak, lalu melesat ke alun-alun Astina.

Melihat Arya Banduwangka terkapar di tengah palagan dengan darah bercucuran dari leher, dua senopati muda Astina mengamuk.

Arya Bargawa dan Arya Bilawa seperti kesetanan. Keduanya menjelma seperti Dewa Kematian bagi pasukan Pringgodani. Empat raksasa yang tadi mengeroyok Arya Banduwangka dihajar habis-habisan.

Raden Brajadenta dan Raden Brajamusti babak belur oleh Arya Bargawa. Sementara Raden Brajalamatan dan Raden Brajawikalpa jatuh bangun melawan Arya Bilawa.

“Mundur!” teriak Pangeran Arimba dari belakang barisan pasukannya.

“Jangan mundur!” potong Prabu Tremboko. Raja Pringgodani itu tiba-tiba sudah berdiri di hadapan Arya Bargawa dan Arya Bilawa.

Sesaat dua senopati Astina ternganga melihat sosok yang menghadang mereka. Prabu Tremboko bukanlah lawan tanding yang mudah dikalahkan. Ia adalah murid kesayangan dari Prabu Pandudewanata.

“Keluar engkau, Prabu Pandu!” teriak Prabu Tremboko.

“Lawan aku, muridmu. Kita buktikan siapa yang lebih hebat antara Astina dan Pringgodani!” sesumbarnya.

Prabu Tremboko tersentak ketika seseorang menepuk-nepuk pundaknya. Entah datang darimana, orang yang ditantangnya telah berdiri di belakangnya.

“Sungguh mulia perbuatanmu, Tremboko.” ucap Prabu Pandudewanata.

“Maafkan aku, guru. Hari ini kita harus bertarung hingga titik darah penghabisan. Anggap saja kita adalah dua kesatria yang sama-sama mempertahankan harga diri dan kehormatan bangsanya!” balas Prabu Tremboko.

“Apa maksud ucapanmu?” tanya sang guru.

“Semua sudah jelas, tidak ada lagi yang perlu dibahas, guru!” jawab murid.

“Jika aku kalah, ini adalah cara seorang guru mengirim muridnya ke swarga loka. Sebaliknya, andai guru yang kalah, ini adalah bhaktiku untuk mengirimmu ke swarga loka!" tutup Prabu Tremboko. Tanpa basa-basi lagi, raja Pringgodani dengan berani melayangkan serangan kepada gurunya. Prabu Pandudewanata.

Kedigdayaan dan kehebatan raja Astina yang sudah tersohor bukanlah hanya omong kosong. Tanpa kesulitan ia menangkis pukulan demi pukulan muridnya.

Prabu Tremboko mencabut pusaka pamungkasnya, Keris Kalanadah. Tak kalah gertak, sang guru Prabu Pandudewanata juga mengeluarkan Keris Pulanggeni. Dua senjata ampuh itu saling beradu.

Prabu Pandudewanata tidak mau berlama-lama menguras tenaga. Ia ingin menyelesaikan lebih cepat pertarungan sekaligus memberi pelajaran kepada murid yang dianggapnya durhaka. Meski sebenarnya pertarungan itu adalah hasil adu domba Harya Suman.

Dengan sebuah gerakan yang belum pernah diajarkan kepada sang murid, Prabu Pandudewanata berhasil mengecoh Prabu Tremboko. Disusul hunjaman Keris Pulanggeni yang ia tancapkan tepat ke jantung raja Pringgodani.

Prabu Tremboko terkapar tak berdaya. Berjuang melawan maut oleh pusaka gurunya.

Prabu Pandudewanata tersenyum,”tenanglah dalam istirahat panjangmu di alam sunyaruri, Tremboko!” ucapnya lirih. Ia puas bukan sekedar bisa mengalahkan murid durhakanya,  tetapi juga karena kutukan Resi Kindama tak terbukti.

Prabu Pandudewanata dan Dewi Madrim telah melakukan adu asmara ketika membawa Lembu Andini berkeliling jagat raya seharian tadi.  

“Hahaha .. aku masih hidup, Kindama! Kutukanmu tak berlaku untukku!” tertawa puas Prabu Pandudewanata. Ia tidak menyadari bahwa Prabu Tremboko dengan sisa-sisa tenaganya bangkit lagi. Lalu menancapkan Keris Kalanadah ke arahnya.

Prabu Pandudewanata masih sempat mengelak. Serangan Prabu Tremboko gagal menembus jantung sang guru. Tetapi tendangan kaki raja Astina yang menangkis sabetan Keris Kalanadah membuat pusaka yang terbuat dari taring Bathara Kala itu justru menancap di kakinya.

Sang guru pun ikut roboh, bersamaan dengan tumbangnya Prabu Tremboko yang menghembuskan napas terakhir.

Melihat rajanya tewas, kocar-kacir pasukan bangsa raksasa dari Pringgodani berlarian tunggang langgang menyelamatkan diri. Mereka meninggalkan Astina.

Prabu Pandudewanata yang kesakitan segera dibawa masuk ke istana Astina.


~ BERSAMBUNG ~

(Heru Sang Mahadewa)
Member Of OneDayOnePost

Baca cerita selanjutnya [ Disini ]
Cerita sebelumnya [ Disini ] 

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *