Asal-usul.
Sepeninggal Bethoro
Ismoyo, raja di istana Taman Langit (Kahyangan, Suralaya) mewariskan tahta
kepada putranya Sang Hyang Tunggal.
Sebelum mukso (melepaskan sukma dan raga
ke alam Sunyaruri, alam ghaib, alam metafisika), Bethoro Ismoyo bersabda
bahwa kelak ia akan bereinkarnasi kepada salah satu cucunya.
Siang berganti malam, pagi pun datang menyirnakan
petang. Perjalanan waktu dari hari ke bulan terus berjalan hingga berganti tahun.
Anak-anak dari Sang Hyang Tunggal pun telah tumbuh dewasa.
Suatu hari Sang Hyang Tunggal bersama permaisurinya Dewi Rakti memanggil ketiga putranya yaitu Sang
Hyang Antogo, Sang Hyang Ismoyo,
dan Sang Hyang Manikmoyo. Ia mengatakan
bahwa belum bisa memutuskan siapa diantara putra-putranya kelak yang akan
mewarisi tahta istana.
Ia menceritakan bahwa dulu ketika Dewi Rakti
melahirkan mereka sejatinya adalah bersamaan, yaitu dalam bentuk sebutir telur
bercahaya. Sang Hyang Tunggal lalu menyiramkan Tirta Amerta Sari (air keabadian) ke telur tersebut sehingga pecah
menjadi tiga bagian.
Kulit / cangkang telur berwujud Sang Hyang Antogo.
Putih telur menjadi Sang Hyang Ismoyo. Sementara kuning telur berubah menjadi
Sang Hyang Manikmoyo. Karena itulah sang ayah belum memutuskan siapa sebenarnya
mereka yang tertua dan berhak mewarisi tahta istana Taman Langit.
“Kulit telur ditakdirkan untuk melindungi isinya,
putih dan kuningnya!” tutur Sang Hyang Antogo menanggapi wejangan itu.
“Sudah seyogyanya, cangkang telurlah yang tertua
ayahanda.” lanjutnya
Sang Hyang Ismoyo membantah pendapat itu. Menurutnya
antara kulit telur dan isinya adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan.
“Tak mungkin telur tercipta hanya cangkangnya, tanpa
isi maka kulit telur hanyalah rangka yang kosong!” sanggah Sang Hyang Ismoyo.
“Kulit tak bisa sempurna tanpa isinya, putih dan
kuning telur adalah cikal bakal dari tanda-tanda adanya kehidupan!”
Sang Hyang Antogo tersinggung dengan pendapat
saudaranya itu. Ia bersikeras bahwa kulit yang berwujud keras tentu paling kuat
dibandingkan putih dan kuning. Sementara Sang Hyang Ismoyo juga tetap
bersikukuh bahwa tanpa isi, cangkang akan sangat rapuh dan mudah pecah.
“Kita buktikan siapa yang terkuat!” tantang Sang
Hyang Antogo.
“Diatas langit masih ada langit!” jawab Sang Hyang
Ismoyo menerima tantangan saudaranya.
Sang Hyang Tunggal segera melerai. Namun kedua
putranya itu sudah terbakar amarah, dan tak menghiraukan nasehat ayahnya.
“Apakah kalian tidak akan menyesal bertikai dengan
saudara sendiri!” sabda Sang Hyang Tunggal.
Guntur menggelegar, petir menyambar
bersahut-sahutan. Seketika istana Taman Langit menjadi gelap gulita. Perkataan
dari Sang Hyang Tunggal, raja dari para dewa telah menjadi sabda dan kutukan.
Sementara itu Sang Hyang Antogo segera melesat
meninggalkankan Kahyangan, dan secepat kilat disusul Sang Hyang Ismoyo.
Mereka beradu kesaktian dan kekuatan. Terjadi
pertarungan maha dahsyat antara dua kesatria dewa itu. Saling mencabut pusaka,
saling menusukkan, saling memukul dan menghantam, serta saling membanting satu
sama lain. Hingga dikisahkan ketika itu terjadi gempa dimana-mana.
Gunung-gunung longsor dan meletus. Hujan badai melanda seluruh isi bumi.
Pertempuran mereka berlangsung cukup lama, pada hari
keempat puluh akhirnya Sang Hyang Tunggal turun melerai keduanya. Ia mengadakan
sayembara bahwa siapa yang sanggup menelan gunung Mahameru lalu memuntahkannya
lagi, maka akan dianggap terkuat dan tertua, sehingga berhak mewarisi tahta.
Sang Hyang Antogo dan Sang Hyang Ismoyo menyanggupinya!
Pertama yang mencoba adalah Sang Hyang Antogo. Ia
segera bertiwikrama dan berubah wujud
menjadi Berholo Sewu (raksasa). Lalu
dicabutnya gunung Mahameru dari akarnya dan memakannya.
Sang Hyang Antogo kesusahan memasukkan
gunung Mahameru kedalam mulutnya. Karena ternyata gunung itu masih lebih besar
dari mulutnya. Namun karena nafsunya sangat besar, ia tetap memaksakan masuk hingga
mulutnya robek besar. Ia pun tak kuat lagi dan tubuhnya roboh, lalu kembali mengecil.
Melihat kejadian itu, Sang Hyang Ismoyo segera bertiwikrama dan berubah wujud menjadi
Berholo Sewu pula. Tetapi kali ini bentuk dan ukuran Reksa Denawa (raksasa) jelmaan Sang Hyang Ismoyo jauh lebih besar.
Tinggi dan besarnya tujuh kali lipat dari gunung Mahameru.
Segera disambarnya gunung itu dan ditelan masuk
kedalam perut. Namun sampai didalam perut ia merasa kesulitan untuk
memuntahkan.
Sang Hyang Ismoyo mengeluarkan seluruh kekuatannya, tapi gunung Mahameru tetap
tak bergerak didalam perutnya. Tenaga dan kekuatannya pun habis, tubuhnya roboh
seperti Sang Hyang Antogo, dan kembali mengecil pula.
Cukup lama keduanya tak sadarkan diri. Hingga ketika
siuman, mereka heran dan kebingungan.
“Kamu siapa?” tanya Sang Hyang Ismoyo kepada sosok
di depannya.
“Aku Sang Hyang Antogo.”
Sang Hyang Ismoyo terperanga tak percaya. Saudaranya
adalah seorang kesatria dewa berwajah tampan dan gagah perkasa. Tetapi sosok
yang ada didepannya kini berwujud fisik seperti makhluk jadi-jadian. Wajah dan
tubuhnya tidak seimbang. Ia pendek dan buncit, sementara mulutnya sangat lebar
menyerupai mulut angsa.
“Kamu sendiri siapa?” Sang Hyang Antogo balik
bertanya.
“Sang Hyang Ismoyo.”
Terkejut pula Sang Hyang Antogo. Saudaranya
seharusnya berwajah sangat elok dan bersinar seperti matahari. Tapi kini
menjadi gendut dan sangat tua.
Mereka berdua baru menyadari kejadian itu dan saling
berpelukan, lalu menangis sejadi-jadinya. Menyesal telah bertikai dengan
saudara. Dan kini mereka terkena kutukan Sang Hyang Tunggal.
Sang Hyang Antogo dan Sang Hyang Ismoyo pun terbang
kembali ke istana Taman Langit untuk menemui ayahnya. Dihadapan Sang Hyang
Tunggal dan sudara-saudaranya yang lain, mereka kembali menangis dan menyesali
perbuatannya. Memohon agar ayahnya mengembalikan mereka ke wujud asli.
“Ini sudah takdir wahai putra-putraku tercinta,
wujud kalian tidak bisa dikembalikan lagi ke bentuk aslinya.” ucap Sang Hyang
Tunggal.
“Semua peristiwa ini menjadi pelajaran berharga bagi
kalian semua, bertikai dengan saudara itu hanya akan membawa malapetaka!”
“Apalagi tidak mengindahkan nasehat orang tua,
sungguh hanya penyesalan yang akan kalian terima!”
“Tahta dari istana ini aku wariskan kepada Sang
Hyang Manikmoyo.” sabda Sang Hyang Tunggal.
Sang Hyang Manikmoyo pun dinobatkan sebagai
raja di Kahyangan, Suralaya. Ia lebih dikenal dengan nama Bethoro Guru. Sementara
ayahnya juga bersabda lagi bahwa tak lama lagi ia akan mukso.
Selama mengemban tugas di Kahyangan nantinya Sang
Hyang Manikmoyo akan didampingi saudara mereka, putra Sang Hyang Tunggal yang
lain yaitu Bethoro Narodo (Dewa Narada). Kelak para keturunan Bethoro Guru akan
diturunkan ke bumi untuk menjalani peradaban dan kehidupan disana.
“Kepada putraku Sang Hyang Antogo, namamu kuganti
menjadi Togog Wijomantri! Kamu ditugaskan
turun ke bumi, menjadi pengasuh dan penasehat keturunan Manikmoyo dari golongan
Raksasa!”
“Dan kau Sang Hyang Ismoyo, ketahuilah setelah aku
mukso nanti, ayahku Bethoro Ismoyo, kakek kalian akan menitis kepadamu!” lanjut
Sang Hyang Tunggal.
“Namamu kuganti menjadi Semar Bodronoyo! Kamu ditugaskan turun ke bumi, menjadi pengasuh
dan penasehat keturunan Manikmoyo dari golongan Kesatria dan Brahmana!”
“Semar siap
menjalankan tugas mulia ini.” jawab Sang Hyang Ismoyo.
“Ingat Semar, tugasmu tidaklah mudah, kekuatan dan
sukma ayahku, yang juga kakekmu Bethoro Ismoyo sejatinya adalah dirimu! Tugasmu
menjadi guru sejati di bumi, pencerah
dari kegelapan, meluruskan segala tindak kejahatan dan angkara murka!” tutup
Sang Hyang Tunggal.
Semar Bodronoyo pun ngejowantah (turun ke bumi). Ditampilkan
sebagai sosok yang sangat arif dan bijaksana. Ia dikenal sebagai Kiai Lurah
Semar Bodronoyo. Menjadi bapak dari anak-anak angkatnya dalam Panakawan, yaitu
Gareng, Petruk dan Bagong.
Mereka hidup selama ribuan tahun. Sejak jaman
Lokapala, Ramayana, Baratayudha, Parikesit hingga jaman Madya.
Semar ditakuti seluruh makhluk dari semua golongan,
baik kesatria, brahmana, jin maupun reksa denawa. Bahkan kalangan para dewa pun
sangat takut kepada Semar. Dalam keadaan tertentu, wujud Semar berubah sebagai
Bethoro Ismoyo, kakeknya yang juga merupakan kakek dari para dewa.
*****
Nama Semar Bodronoyo dalam filosovi jawa disebut
Bodronoyo. Berasal dari dua suku kata Bebodro
dan Noyo.
Bebodro artinya membangun sarana dari dasar.
Sedangkan Noyo atau Nayoko berarti utusan. Sehingga bisa di definiskan bahwa
Semar Bodronoyo artinya Utusan ke bumi yang mengemban tugas untuk membangun dan
melaksanakan perintah Sang Pencipta.
Banyak versi cerita tentang asal-usul Semar, tetapi
semua menyebutkan bahwa Semar adalah penjelmaan dewa (Bethoro Ismoyo, Sang Hyang Ismoyo) yang turun ke bumi.
Pesan Moral.
Pelajaran yang bisa dipetik dari kisah Semar ini
adalah :
- Bertikai dengan saudara sendiri hanya akan membawa malapetaka (keburukan bagi keluarga). Perpecahan sesama anak bangsa hanya akan menyengsarakan rakyat.
- Dengarkan dan patuhi nasehat orangtua, kita akan menyesal dikemudian hari jika mengindahkannya. Semua orang tua selalu menginginkan yang terbaik kepada anak-anaknya.
- Meski sudah mendapatkan kedudukan dan kekuatan (kekuasaan) tetaplah berjiwa merakyat, seperti Semar yang memilih menyamar sebagai seorang rakyat jelatah meski sejatinya adalah dewa dari para dewa.
#ODOP
#PostingHariKeEnamBelas
------------------------------------------
Catatan
:
Cerita diatas dalam pagelaran wayang kulit diberi judul "Semar Mbabar Jati Diri" artinya Semar membuka
tabir siapa sejatinya dirinya.
Semar menikah dengan Dewi Kanistri (Bethari Kanestren). Selama turun ke bumi,
istrinya disimpan di dalam kuncung Semar (rambut / jambul diatas ubun-ubun).
Saat melepas rindu dengan sang istri, maka Bethari Kanestren keluar dari
kuncung.
Kisah Semar
Mbabar Jati Diri ini termasuk satu diantara beberapa kisah dalam pagelaran
wayang kulit yang disakralkan. Tidak semua dalang berani membawakannya,
biasanya dalang-dalang sepuh (senior)
yang berani mementaskannya. Jika kisah ini dipentaskan, konon akan terkuak
semua perilaku manusia disekitarnya, siapa yang baik dan siapa yang buruk.
Pesen moralnya dalem yak mas.. kerenn..👍
BalasHapusterima kasih ..
Hapuswayang dalam kasanah budaya jawa, selain menjadi tontonan juga jai tuntunan (panutan)
kereeeenn banget, Her...ak jd pengen nek nyeplok telur kuning telure jd something...putih telur e jg...hehehhe
BalasHapuskereeeenn banget, Her...ak jd pengen nek nyeplok telur kuning telure jd something...putih telur e jg...hehehhe
BalasHapusHahaaa ... awakmu iku pokoke panganan thok
BalasHapusHahaaa ... awakmu iku pokoke panganan thok
BalasHapusAlhamdulillah dapat ilmu baru. Kereeeen ^^
BalasHapusAlhamdulillah ..
Hapusmakasih udah mampir di gubug saya
Bagus ceritanya...telur ..menjadi cerita yg penuh nasehat
BalasHapusterima kasih mbk Wiwid
HapusJika berkenan saya ingin mengundang mas heru gabung di group fb saya.. karena banyak sekali diskusi2 ttg pewayangan yang tidak mendapatkan pencerahan disana.. terimakasih
BalasHapusDengan senang hati, Mas Reza.
HapusIjin Copas..kagem kawruh ing FB...supadhos saged mendhet Ilmu ingkang sae kagem Kula LAN ugi ingkang waos..🙏🙏Rahayu.
BalasHapusNgiri uri Budaya dewe