Senin, 21 Maret 2016

KIAI LURAH SEMAR BODRONOYO



Asal-usul.
Sepeninggal Bethoro Ismoyo, raja di istana Taman Langit (Kahyangan, Suralaya) mewariskan tahta kepada putranya Sang Hyang Tunggal. Sebelum mukso (melepaskan sukma dan raga ke alam Sunyaruri, alam ghaib, alam metafisika), Bethoro Ismoyo bersabda bahwa kelak ia akan bereinkarnasi kepada salah satu cucunya.

Siang berganti malam, pagi pun datang menyirnakan petang. Perjalanan waktu dari hari ke bulan terus berjalan hingga berganti tahun. Anak-anak dari Sang Hyang Tunggal pun telah tumbuh dewasa.

Suatu hari Sang Hyang Tunggal bersama permaisurinya Dewi Rakti memanggil ketiga putranya  yaitu Sang Hyang Antogo, Sang Hyang Ismoyo, dan Sang Hyang Manikmoyo. Ia mengatakan bahwa belum bisa memutuskan siapa diantara putra-putranya kelak yang akan mewarisi tahta istana.

Ia menceritakan bahwa dulu ketika Dewi Rakti melahirkan mereka sejatinya adalah bersamaan, yaitu dalam bentuk sebutir telur bercahaya. Sang Hyang Tunggal lalu menyiramkan Tirta Amerta Sari (air keabadian) ke telur tersebut sehingga pecah menjadi tiga bagian.

Kulit / cangkang telur berwujud Sang Hyang Antogo. Putih telur menjadi Sang Hyang Ismoyo. Sementara kuning telur berubah menjadi Sang Hyang Manikmoyo. Karena itulah sang ayah belum memutuskan siapa sebenarnya mereka yang tertua dan berhak mewarisi tahta istana Taman Langit.

“Kulit telur ditakdirkan untuk melindungi isinya, putih dan kuningnya!” tutur Sang Hyang Antogo menanggapi wejangan itu.

“Sudah seyogyanya, cangkang telurlah yang tertua ayahanda.” lanjutnya

Sang Hyang Ismoyo membantah pendapat itu. Menurutnya antara kulit telur dan isinya adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan.

“Tak mungkin telur tercipta hanya cangkangnya, tanpa isi maka kulit telur hanyalah rangka yang kosong!” sanggah Sang Hyang Ismoyo.

“Kulit tak bisa sempurna tanpa isinya, putih dan kuning telur adalah cikal bakal dari tanda-tanda adanya kehidupan!”

Sang Hyang Antogo tersinggung dengan pendapat saudaranya itu. Ia bersikeras bahwa kulit yang berwujud keras tentu paling kuat dibandingkan putih dan kuning. Sementara Sang Hyang Ismoyo juga tetap bersikukuh bahwa tanpa isi, cangkang akan sangat rapuh dan mudah pecah.

“Kita buktikan siapa yang terkuat!” tantang Sang Hyang Antogo.
“Diatas langit masih ada langit!” jawab Sang Hyang Ismoyo menerima tantangan saudaranya.

Sang Hyang Tunggal segera melerai. Namun kedua putranya itu sudah terbakar amarah, dan tak menghiraukan nasehat ayahnya.

“Apakah kalian tidak akan menyesal bertikai dengan saudara sendiri!” sabda Sang Hyang Tunggal.

Guntur menggelegar, petir menyambar bersahut-sahutan. Seketika istana Taman Langit menjadi gelap gulita. Perkataan dari Sang Hyang Tunggal, raja dari para dewa telah menjadi sabda dan kutukan.

Sementara itu Sang Hyang Antogo segera melesat meninggalkankan Kahyangan, dan secepat kilat disusul Sang Hyang Ismoyo.

Mereka beradu kesaktian dan kekuatan. Terjadi pertarungan maha dahsyat antara dua kesatria dewa itu. Saling mencabut pusaka, saling menusukkan, saling memukul dan menghantam, serta saling membanting satu sama lain. Hingga dikisahkan ketika itu terjadi gempa dimana-mana. Gunung-gunung longsor dan meletus. Hujan badai melanda seluruh isi bumi.

Pertempuran mereka berlangsung cukup lama, pada hari keempat puluh akhirnya Sang Hyang Tunggal turun melerai keduanya. Ia mengadakan sayembara bahwa siapa yang sanggup menelan gunung Mahameru lalu memuntahkannya lagi, maka akan dianggap terkuat dan tertua, sehingga berhak mewarisi tahta. Sang Hyang Antogo dan Sang Hyang Ismoyo menyanggupinya!

Pertama yang mencoba adalah Sang Hyang Antogo. Ia segera bertiwikrama dan berubah wujud menjadi Berholo Sewu (raksasa). Lalu dicabutnya gunung Mahameru dari akarnya dan memakannya. 

Sang Hyang Antogo kesusahan memasukkan gunung Mahameru kedalam mulutnya. Karena ternyata gunung itu masih lebih besar dari mulutnya. Namun karena nafsunya sangat besar, ia tetap memaksakan masuk hingga mulutnya robek besar. Ia pun tak kuat lagi dan tubuhnya roboh, lalu kembali mengecil.

Melihat kejadian itu, Sang Hyang Ismoyo segera bertiwikrama dan berubah wujud menjadi Berholo Sewu pula. Tetapi kali ini bentuk dan ukuran Reksa Denawa (raksasa) jelmaan Sang Hyang Ismoyo jauh lebih besar. Tinggi dan besarnya tujuh kali lipat dari gunung Mahameru.

Segera disambarnya gunung itu dan ditelan masuk kedalam perut. Namun sampai didalam perut ia merasa kesulitan untuk memuntahkan. 

Sang Hyang Ismoyo mengeluarkan seluruh kekuatannya, tapi gunung Mahameru tetap tak bergerak didalam perutnya. Tenaga dan kekuatannya pun habis, tubuhnya roboh seperti Sang Hyang Antogo, dan kembali mengecil pula.

Cukup lama keduanya tak sadarkan diri. Hingga ketika siuman, mereka heran dan kebingungan.

“Kamu siapa?” tanya Sang Hyang Ismoyo kepada sosok di depannya.
“Aku Sang Hyang Antogo.”

Sang Hyang Ismoyo terperanga tak percaya. Saudaranya adalah seorang kesatria dewa berwajah tampan dan gagah perkasa. Tetapi sosok yang ada didepannya kini berwujud fisik seperti makhluk jadi-jadian. Wajah dan tubuhnya tidak seimbang. Ia pendek dan buncit, sementara mulutnya sangat lebar menyerupai mulut angsa.

“Kamu sendiri siapa?” Sang Hyang Antogo balik bertanya.
“Sang Hyang Ismoyo.”

Terkejut pula Sang Hyang Antogo. Saudaranya seharusnya berwajah sangat elok dan bersinar seperti matahari. Tapi kini menjadi gendut dan sangat tua.

Mereka berdua baru menyadari kejadian itu dan saling berpelukan, lalu menangis sejadi-jadinya. Menyesal telah bertikai dengan saudara. Dan kini mereka terkena kutukan Sang Hyang Tunggal.

Sang Hyang Antogo dan Sang Hyang Ismoyo pun terbang kembali ke istana Taman Langit untuk menemui ayahnya. Dihadapan Sang Hyang Tunggal dan sudara-saudaranya yang lain, mereka kembali menangis dan menyesali perbuatannya. Memohon agar ayahnya mengembalikan mereka ke wujud asli.

“Ini sudah takdir wahai putra-putraku tercinta, wujud kalian tidak bisa dikembalikan lagi ke bentuk aslinya.” ucap Sang Hyang Tunggal.

“Semua peristiwa ini menjadi pelajaran berharga bagi kalian semua, bertikai dengan saudara itu hanya akan membawa malapetaka!”

“Apalagi tidak mengindahkan nasehat orang tua, sungguh hanya penyesalan yang akan kalian terima!”

“Tahta dari istana ini aku wariskan kepada Sang Hyang Manikmoyo.” sabda Sang Hyang Tunggal.

Sang Hyang Manikmoyo pun dinobatkan sebagai raja di Kahyangan, Suralaya. Ia lebih dikenal dengan nama Bethoro Guru. Sementara ayahnya juga bersabda lagi bahwa tak lama lagi ia akan mukso.

Selama mengemban tugas di Kahyangan nantinya Sang Hyang Manikmoyo akan didampingi saudara mereka, putra Sang Hyang Tunggal yang lain yaitu Bethoro Narodo (Dewa Narada). Kelak para keturunan Bethoro Guru akan diturunkan ke bumi untuk menjalani peradaban dan kehidupan disana.

“Kepada putraku Sang Hyang Antogo, namamu kuganti menjadi Togog Wijomantri! Kamu ditugaskan turun ke bumi, menjadi pengasuh dan penasehat keturunan Manikmoyo dari golongan Raksasa!”

“Dan kau Sang Hyang Ismoyo, ketahuilah setelah aku mukso nanti, ayahku Bethoro Ismoyo, kakek kalian akan menitis kepadamu!” lanjut Sang Hyang Tunggal.

“Namamu kuganti menjadi Semar Bodronoyo! Kamu ditugaskan turun ke bumi, menjadi pengasuh dan penasehat keturunan Manikmoyo dari golongan Kesatria dan Brahmana!”

 “Semar siap menjalankan tugas mulia ini.” jawab Sang Hyang Ismoyo.

“Ingat Semar, tugasmu tidaklah mudah, kekuatan dan sukma ayahku, yang juga kakekmu Bethoro Ismoyo sejatinya adalah dirimu! Tugasmu menjadi guru sejati di bumi, pencerah dari kegelapan, meluruskan segala tindak kejahatan dan angkara murka!” tutup Sang Hyang Tunggal.

Semar Bodronoyo pun ngejowantah (turun ke bumi). Ditampilkan sebagai sosok yang sangat arif dan bijaksana. Ia dikenal sebagai Kiai Lurah Semar Bodronoyo. Menjadi bapak dari anak-anak angkatnya dalam Panakawan, yaitu Gareng, Petruk dan Bagong.

Mereka hidup selama ribuan tahun. Sejak jaman Lokapala, Ramayana, Baratayudha, Parikesit hingga jaman Madya.

Semar ditakuti seluruh makhluk dari semua golongan, baik kesatria, brahmana, jin maupun reksa denawa. Bahkan kalangan para dewa pun sangat takut kepada Semar. Dalam keadaan tertentu, wujud Semar berubah sebagai Bethoro Ismoyo, kakeknya yang juga merupakan kakek dari para dewa.

*****

Nama Semar Bodronoyo dalam filosovi jawa disebut Bodronoyo. Berasal dari dua suku kata Bebodro dan Noyo.

Bebodro artinya membangun sarana dari dasar. Sedangkan Noyo atau Nayoko berarti utusan. Sehingga bisa di definiskan bahwa Semar Bodronoyo artinya Utusan ke bumi yang mengemban tugas untuk membangun dan melaksanakan perintah Sang Pencipta.

Banyak versi cerita tentang asal-usul Semar, tetapi semua menyebutkan bahwa Semar adalah penjelmaan dewa (Bethoro Ismoyo, Sang Hyang Ismoyo) yang turun ke bumi.



Pesan Moral.
Pelajaran yang bisa dipetik dari kisah Semar ini adalah :
  • Bertikai dengan saudara sendiri hanya akan membawa malapetaka (keburukan bagi keluarga). Perpecahan sesama anak bangsa hanya akan menyengsarakan rakyat.
  • Dengarkan dan patuhi nasehat orangtua, kita akan menyesal dikemudian hari jika mengindahkannya. Semua orang tua selalu menginginkan yang terbaik kepada anak-anaknya.
  • Meski sudah mendapatkan kedudukan dan kekuatan (kekuasaan) tetaplah berjiwa merakyat, seperti Semar yang memilih menyamar sebagai seorang rakyat jelatah meski sejatinya adalah dewa dari para dewa.

#ODOP
#PostingHariKeEnamBelas

------------------------------------------
Catatan :
Cerita diatas dalam pagelaran wayang kulit diberi judul "Semar Mbabar Jati Diri" artinya Semar membuka tabir siapa sejatinya dirinya.

Semar menikah dengan Dewi Kanistri (Bethari Kanestren). Selama turun ke bumi, istrinya disimpan di dalam kuncung Semar (rambut / jambul diatas ubun-ubun). Saat melepas rindu dengan sang istri, maka Bethari Kanestren keluar dari kuncung.

Kisah Semar Mbabar Jati Diri ini termasuk satu diantara beberapa kisah dalam pagelaran wayang kulit yang disakralkan. Tidak semua dalang berani membawakannya, biasanya dalang-dalang sepuh (senior) yang berani mementaskannya. Jika kisah ini dipentaskan, konon akan terkuak semua perilaku manusia disekitarnya, siapa yang baik dan siapa yang buruk.

Presiden Soeharto pernah nanggap (mengundang) pentas wayang kulit dengan cerita Semar Mbabar Jatidiri ini di Istana Negara pada tahun 1995. Ketika itu, seluruh praktisi pewayangan menganggapnya sebagai tindakan yang terlalu berani dari seorang Soeharto. Tiga tahun kemudian, Mei 1998 Pak Harto lengser.

13 komentar:

  1. Pesen moralnya dalem yak mas.. kerenn..👍

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih ..
      wayang dalam kasanah budaya jawa, selain menjadi tontonan juga jai tuntunan (panutan)

      Hapus
  2. kereeeenn banget, Her...ak jd pengen nek nyeplok telur kuning telure jd something...putih telur e jg...hehehhe

    BalasHapus
  3. kereeeenn banget, Her...ak jd pengen nek nyeplok telur kuning telure jd something...putih telur e jg...hehehhe

    BalasHapus
  4. Hahaaa ... awakmu iku pokoke panganan thok

    BalasHapus
  5. Hahaaa ... awakmu iku pokoke panganan thok

    BalasHapus
  6. Alhamdulillah dapat ilmu baru. Kereeeen ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah ..
      makasih udah mampir di gubug saya

      Hapus
  7. Bagus ceritanya...telur ..menjadi cerita yg penuh nasehat

    BalasHapus
  8. Jika berkenan saya ingin mengundang mas heru gabung di group fb saya.. karena banyak sekali diskusi2 ttg pewayangan yang tidak mendapatkan pencerahan disana.. terimakasih

    BalasHapus
  9. Ijin Copas..kagem kawruh ing FB...supadhos saged mendhet Ilmu ingkang sae kagem Kula LAN ugi ingkang waos..🙏🙏Rahayu.
    Ngiri uri Budaya dewe

    BalasHapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *