This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 30 April 2017

EMPAT HAL YANG HARUS KITA LAKUKAN JIKA MENJADI MEMBER SUPER AKTIF DI GRUP SOSIAL MEDIA



"Mas, mohon maaf. Dengan berat hati saya izin keluar dari grup alumni sekolah kita," ucap seorang teman saya melaui pesan di aplikasi sebuah sosial media.

Pernyataan itu muncul, setelah sebulan ini dia sangat aktif di chat grup kami. Teman saya itu, selain admin grup, memang sedang menjadi salah satu panitia reuni yang rencananya akan diadakan saat libur Idul Fitri tahun ini. Berbagai obrolan, baik seputar persiapan acara temu kangen, maupun yang ngalor ngidur di luar topik pun naik pesat. Mulai fajar hingga bulan berpendar, bahkan larut malam, grup alumni kami tidak pernah sepi.

"Kenapa?" Saya membalas pernyataannya.

"Tadi malam saya disidang suami. Katanya, semenjak bergabung di grup, saya banyak berubah. Pekerjaan rumah terbengkelai. Perhatian ke anak-anak dan suami jauh berkurang. Waktu habis untuk ber-chating ria. Dia memberi ultimatum, silahkan saya memilih keluarga atau teman-teman sekolah di grup kita!" Jelasnya.

Jleb!

Saya tidak menyangka jika aktivitas dia di grup, berdampak begitu jauh terhadap kenyamanan keluarganya. Sambil menyesap sisa kopi yang mulai dingin, saya memutar otak, berpikir bagaimana menyikapi masalah seperti ini. 

"Baiklah," jawab saya,

"Saat ini, memang lebih bijak sampeyan break dulu dari grup kita. Mungkin juga dari grup-grup lain yang menyebabkan suami sampeyan sampai memberi ultimatum. Seiring waktu, jika situasi sudah memungkinkan dan suami mengizinkan, tentu sampeyan bisa bergabung kembali."

Beberapa menit kemudian, sahabat saya itu benar-benar left dari grup alumni sekolah. Padahal, dia termasuk salah satu admin dan panitia reuni yang banyak memberi ide cemerlang. Saya dan beberapa teman pun merasa sangat kehilangan.

Begitulah. Perkembangan teknologi komunikasi, saat ini melejit bukan main. Pengguna smartphone tidak hanya berasal dari kalangan masyarakat berpendidikan tinggi, tidak pula dari strata sosial menengah ke atas saja, tetapi seluruh lapisan penduduk negeri ini mulai dari level kuli hingga pegiat akademisi yang berdasi, hampir semuanya telah memiliki akun sosial media. Bagian tak terpisahkan dari fasilitas ponsel pintar.

Celakanya, tidak semua pemakai smartphone siap menghadapi dampak maraknya penggunaan sosial media. Sedikit salah mengambil prinsip, kita bisa terdampar di pergaulan yang salah arah. Paling apes, seperti keluh kesah sahabat saya. Hubungan dengan pasangan, menjadi tidak nyaman.

Lalu, apakah kita harus menutup semua aplikasi sosial media, lantas mengisolasi diri?

Semua tergantung prinsip masing-masing. Baik sosialita maupun orang yang memilih tidak bersentuhan dengan era teknologi komunikasi modern, keduanya sama-sama memiliki nilai plus minus.

Tetapi, jika sahabat sekalian berprinsip tetap aktif di sosial media, apalagi menjadi member sebuah grup yang konsekuensinya adalah memiliki traffict chat sangat tinggi, berikut adalah empat hal yang harus dilakukan agar keluarga kita baik-baik saja.

1. Beri penjelasan kepada pasangan.
Sampaikan baik-baik dengan suami atau istri. Kita sedang menggunakan aplikasi sosial media karena membutuhkannya sebagai media penunjang. Jelaskan bahwa bisnis, usaha, pekerjaan atau kelas pelatihan bakat kita tidak bisa lepas dari fasilitas smartphone itu.

Bicarakan dari hati ke hati dengan pasangan, tentang aktivitas kita di grup sosial media.

2. Kendalikan waktu.
Setinggi apapun loyalitas kita kepada grup, sebesar apapun kebutuhan kita kepada aplikasi sosial media, tetap utamakan waktu untuk keluarga. Atur sebaik mungkin kapan saatnya ber-chating ria di grup, kapan waktu untuk suami, anak dan istri.

Jangan mem-forsir habis seluruh waktu kita untuk sosial media.

3. Beri keyakinan kepada pasangan bahwa kita tidak berubah.
Ketika aktiv di sosial media, terkadang pasangan kita berprasangka negativ. Cemburu. Ini wajar. Artinya dia sayang.

Nah, yakinkan kepadanya bahwa kita tidak sedang berbelok haluan. Semua ini murni menyambung tali persahabatan. Merajut silaturrahmi.

4. Batasi Candaan.
Tidak bisa dipungkiri, postingan di grup sosial media, terkadang bermuatan candaan yang bagi sebagian orang dianggap kelewatan. Sebagian pasangan kita, terkadang juga ikut membacanya.

Dengan saling membatasi candaan, maka persepsi miring terhadap chat grup di sosial media bisa berkurang.

Demikianlah, kuncinya terletak pada komunikasi dengan pasangan. Semoga sahabat sekalian tetap nyaman bersosialita, tanpa mengusik sedikitpun keharmonisan dan kebahagiaan kita dengan keluarga.

Salam bahagia,

(Heru Sang Mahadewa)
Member of #OneDayOnePost

Kamis, 27 April 2017

SENDANG MADE, JEJAK PELARIAN BATHARA ERLANGGA




Tak jauh dari situs gunung Pucangan, berjarak sekitar tiga kilometer, terdapat sebuah tempat yang juga menyimpan jejak-jejak Bathara Erlangga (Airlangga), pendiri kerajaan Kahuripan. Sendang Made.

Berada di Desa Made, Kecamatan Kudu, Kabupaten Jombang. Jalur menuju sumber mata air ini sama dengan gunung Pucangan. Bedanya, kondisi jalan menuju situs di tepi hutan tropis itu lebih representativ. Pemerintah setempat telah mengganti aspal dengan cor beton. Para pengunjung seperti saya bisa bersepeda motor dengan leluasa hingga lokasi.

Sampai di pertigaan desa Made, terdapat papan petunjuk arah yang menjadi panduan pengunjung untuk menuju dua tempat yang menyimpan jejak Bathara Erlangga, baik ke sendang Made atau ke gunung Pucangan.

Setelah melewati sebuah kompleks pemakaman umum, sekitar 500 meter dari jalan utama desa, kita akan sampai di Sendang Made. Tidak ada retribusi. Pengunjung hanya dipersilahkan mengisi kotak amal seikhlasnya.

Tentang Sendang Made
Merupakan kawasan sumber mata air di kaki gunung Pucangan, rangkaian dari pegunungan kapur Kendeng yang membentang dari wilayah Jawa Tengah hingga sebagian Jawa Timur.

Dahulu, ketika kota Watan (Maospati, Magetan, Jawa Timur sekarang), ibu kota Medang Kamulan dihancurkan oleh Aji Wura Wari, penguasa Lwaram (Ngloram, Blora, Jawa Tengah sekarang) yang menyebabkan Bathara Daharmawangsa beserta permaisuri dan seluruh punggawanya tewas, Erlangga muda bersama istrinya Dewi Galuh Sekar Kedaton yang selamat dari pralaya itu sempat singgah di sendang ini saat menjalani pelarian.

Di sendang Made inilah, Erlangga bersuci, beristirahat, melepas penat dan lelah. Sebelum akhirnya bertapa di gunung Pucangan untuk menyusun kekuatan kembali. Menjadi kesatria baru di sana, hingga berhasil menguasai Jawa Dwipa.

Tentang Pralaya Medang yang saya sebutkan di atas, baca selengkapnya DISINI

Sendang Made sendiri memiliki tujuh mata air. Jika kita lihat dari indera niskala, masing-masing sendang memiliki keistimewaan sendiri. Tentunya manfaat itu bisa digunakan dengan panduan praktisi dan ahlinya.

Tujuh mata air yang hingga kini masih menjadi favorit para peziarah adalah:

Sendang Pomben
Airnya dipercaya memiliki khasiat tertentu jika diminum.

Sendang Pomben - Dok. Pribadi


Sendang Gede
Airnya dipercaya masyarakat desa Made dan sekitarnya bisa menyuburkan tanaman. Karenanya, hingga sekarang mata air dari sendang yang memiliki ukuran paling besar dibanding sendang lainnya itu dialirkan ke sawah-sawah penduduk.

Sendang Gede (kolam yang berukuran besar) - Dok. Pribadi

Sendang Pangilon
Airnya sangat jernih, meski terkena goncangan ataupun kejatuhan benda. Sendang Pangilon bisa digunakan untuk bercermin. Simbol bahwa seyogyanya setiap peziarah yang datang senantiasa introspeksi diri.

Sendang Pangilon (kolam ukuran kecil) - Dok. Pribadi

Sendang Condong
Dikelilingi pepohonan yang tumbuh miring atau condong. Airnya dipercaya membawa manfaat bagi orang yang memiliki hajat atau keinginan tertentu.

Sendang Condong - Dok. Pribadi

Sendang Sumber Payung
Airnya dipercaya bisa digunakan untuk penyembuhan. Analisa saya, hal ini dikarenakan kandungan pegunungan kapur di sendang itu yang banyak mengandung zat mineral.

Sendang Sumber Payung (cungkup/rumah cat putih) - Dok. Pribadi


Sendang Kamulyan
Dipercaya memiliki khasiat bagi para biduan. Konon, suara mereka menjadi merdu setelah memanfaatkan mata air ini.

Sendang Kamulyan - Dok. Pribadi


Sendang Drajat
Mata air yang memiliki aura niskala paling besar. Berbeda dengan sendang lainnya, untuk menggunakan sendang drajat, baik mandi maupun mengambil airnya, pengunjung tidak boleh sendirian. Harus seijin Juru Kunci dan pendampingan orang yang memiliki kemampuan indera niskala.

Konon, air sendang ini memiliki kesucian paling tinggi diantara sumber lainnya. Jika berdoa dengan khusyu', InsyaAllah akan ditinggikan derajatnya.

Saking besarnya aura niskalanya, bahkan untuk sekedar berpose pun saya harus mengucapkan salam tertentu dengan melepas alas kaki. Menghormati kesakralan dan keniskalaan sendang Drajat.

Sendang Drajat - Dok. Pribadi

Kenapa Sendang Made dipercaya memiliki berbagai tuah?

Wallahu Alam Bishawab.

Betapa fakirnya ilmu dan pengetahuan kita.

Sebenarnya, bukan air sendangnya yang mengabulkan segala hajat peziarah di sana. Tetapi sendang Made hanya merupakan sarana bagi manusia yang dengan sungguh-sungguh mau berserah diri kepada Sang Pencipta. Segala pengabulan atas hajat manusia, semua berasal dari-NYA.

Yang pasti, Sendang Made berada di tempat yang agak terpencil dari kawasan penduduk. Suasanya hening, tenang dan menyimpan kedamaian. Sudah barang tentu, bagi siapa saja yang berdoa dengan khusyu’ kepada Allah SWT, meski dengan bahasa dan lidah Jawa kolot, tentu lebih mudah dikabulkan, dibanding jika berdoa di tempat yang bising dan penuh keramaian, sehingga mengurangi kekhusyukan doanya.

Pendopo di Sendang Made - Dok. Pribadi

Ayu, hayu rahayu wilujeng.

Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost

Rabu, 26 April 2017

AKHIR DARI UPHARAJA BONEKA


Girindrawardhana Dyah Ranawijaya - jawatimuran.net


Sesaat setelah Bathara Ring Wilwatikta Pungkasan (raja terakhir Majapahit), Bhre Kertabumi "dikudeta" oleh puteranya sendiri, Panembahan Jin Bun/Jimbun/Sultan Fattah dari Demak, Antawulan sebagai ibu kota Majapahit dipimpin oleh Nyo Lay Wa. Upharaja ini adalah seorang Tionghoa.

Tampilnya Nyo Lay Wa sebagai Upharaja Antawulan menimbulkan konflik di Brang Wétan. Pertama, dia bukan berasal dari etnis pribumi Majapahit. Kedua, pengukuhan dirinya sebagai pemimpin kotaraja----ibu kota negara----hanya pemberian Sultan Fattah, bukan berdasarkan garis pewaris trah Bathara Ring Wilwatikta. Ketiga, keyakinan yang dianutnya tergolong masih baru dan berbeda dengan keyakinan sisa-sisa loyalis Bhre Kertabumi yang notabene adalah pemeluk Syiwa Sogata.

Gejolak penolakan terhadap Nyo Lay Wa mencapai puncaknya ketika bekas punggawa-punggawa Majapahit melakukan ontran-ontran di Antawulan. Pemberontakan yang mendapat dukungan mayoritas rakyat ini memaksa Upharaja Tionghoa itu lengser keprabon dan tewas.

Girindrawardhana Dyah Ranawijaya yang terhitung sebagai trah Bathara Ring Wilwatikta ditunjuk oleh Demak untuk menggantikan Nyo Lay Wa. Dia menjadi pemimpin melalui tradisi yang benar, tidak seperti pendahulunya.

Tetapi, kehadiran Girindrawardhana sebagai pemimpin baru juga tak mampu mengembalikan era damai di Antawulan. Upharaja ini memilih pindah ke Dahanapura.

Nahas, ketika Demak dipimpin Panembahan Trenggana, perang besar dengan latar belakang syiar membumihanguskan kaum kafir peninggalan Majapahit, menjadikan Dahanapura sebagai penutup perjalanan panjang negeri Wilwatikta.

Setali tiga uang, kejayaan Demak sebagai penguasa baru di Jawa Dwipa juga hanya seumur jagung. Pertikaian sesama anak bangsa (perebutan kekuasaan sesama keturunan Sultan Fattah) mengakibatkan kesultanan bercorak Islam itu turut hancur pula.

Akhir dari kisah sebuah negeri yang pernah berjaya di Nusantara, namun hancur ketika isu perbedaan etnis dan keyakinan dijadikan komoditi perjuangan.

-o0o-

Sejarah bisa terulang.

Nyo Lay Wa adalah upharaja boneka Demak. Dia menjadi pemimpin karena menerima limpahan kedudukan dari Sultan Fattah. Posisinya nyaris sama dengan pemimpin ibu kota RI sekarang yang mendapat limpahan jabatan dari Pak Jokowi tiga tahun silam, ketika beliau terpilih menjadi Presiden.

Hari ini, berdasarkan Quick Count, Nyo Lay Wa-nya DKI bisa dipastikan akan lengser keprabon. Pak Anis Baswedan akan tampil sebagai Girindrawardhana-nya DKI.

Moment suksesi kepemimpinan di ibu kota RI juga tidak jauh berbeda dengan kondisi Antawulan dahulu. Sama-sama diwarnai gejolak massa, isu perbedaan etnis dan keyakinan.

Namun, seluruh rakyat DKI, juga Indonesia umumnya, pasti berharap bahwa tampilnya pemimpin baru kali ini tidak bernasib seperti Upharaja di Antawulan. Impian akan berakhirnya era konflik yang hampir setahun telah menguras energi dan emosi sesama anak bangsa harus diwujudkan.

Mari berkaca dari perjalanan para penguasa Jawa Dwipa di masa lampau.

Selamat kepada pemimpin baru DKI. Yang menang jangan jumawa, yang kalah harus legawa.

Ayu, hayu, rahayu wilujêng.


Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost

Catatan:
Antawulan = Trowulan, Mojokerto, Jatim sekarang
Dahanapura = Daha, sekitar kota Kediri, Jatim sekarang
Upharaja = Raja bawahan
Brang Wétan = Jawa belahan timur
Syiwa Sogata = Sinkretisme ajaran leluhur Jawa, Syiwa dan Buddha Wajrayana
Wilwatikta = Majapahit (bahasa Sanskerta)

Selasa, 25 April 2017

PAMOKSAN SANGGRAMAWIJAYA DHARMAPRASADA UTUNGGADEWI




Hari belum memasuki surup. Perjalanan saya dari Surabaya menuju tanah kelahiran di bumi Anjuk Ladang masih separuhnya. Sengaja, saya singgah di sebuah wilayah yang banyak menyimpan jejak-jejak Bathara Erlangga (Airlangga), pendiri kerajaan Kahuripan. Wilayah ini ada di perbatasan dua Kabupaten di Jawa Timur. Jombang dan Lamongan.

Saya berhenti di pertigaan Kudu, Jombang, ketika mendung tampak bergelayut di atas Cakrawala. Setiap bentangannya hanya memampangkan warna pekat. Ia seperti mengingatkan bahwa tak lama lagi akan menjatuhkan jutaan kubik tirta amerta. Sontak, saya memacu sepeda motor lebih kencang. Berpacu dengan hujan yang nyaris turun.

Tempat yang saya tuju adalah pertapaan gunung Pucangan. Berjarak sekitar sepuluh kilometer dari jalan raya Kudu. Secara administrasi, situs religi ini masuk Desa Cupak, Kecamatan Ngusikan, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.

Jalanan yang saya tempuh cukup menantang. Meski beraspal, namun lubang yang menganga di sana sini membuat adrenalin berpacu lebih cepat. Belum lagi ditambah tanjakan dan turunan curam. Kewaspadaan dituntut senantiasa berada pada level tertinggi.

Sampai di pertigaan Desa Cupak, jalur menuju puncak gunung Pucangan lebih ekstrim lagi. Selain sepi, hanya rerimbunan belukar dan lebatnya hutan tropis yang terpampang di kanan kiri jalan. Kondisi jalan berbatu makadam juga menambah nyali kian diuji. Beruntung, setiap jarak sekitar lima ratusan meter, terdapat warung-warung yang penjualnya senantiasa menyapa dengan ramah. Meski saya tidak sempat singgah dan bercakap-cakap, namun dari gestur wajah dan tubuh mereka, bisa dipastikan para penjual itu siap menjadi penolong jika ada orang yang buta jalur menuju puncak gunung Pucangan.

Setelah melewati hutan tropis yang lumayan lebat, akhirnya saya menjumpai sebuah lahan parkir yang cukup luas. Beberapa warung makan dan minum ada di sana. Tempat itu adalah titik persinggahan terakhir sebelum menuju pertapaan gunung Pucangan.

GUNUNG PUCANGAN DI MASA LAMPAU
Pertapaan gunung Pucangan, sebenarnya adalah tempat dimana dahulu sinuwun Bathara Erlangga bertapa-brata, ketika beliau menjalani pelarian selama dua tahun.

Pada malam pernikahannya dengan Dewi Galuh Sekar Kedahaton, puteri Bathara Ring Medang----raja di Medang----Dharmawangsa Teguh, kota Watan (Maospati, Magetan, Jawa Timur sekarang) diserang oleh pasukan Aji Wura Wari, penguasa Lwaram (Ngloram, Blora, Jawa Tengah sekarang).

Dalam tragedi yang disebut Pralaya Medang (prasasti Pucangan/Calcutta Stones) itu, Dharmawangsa Teguh beserta permaisuri dan seluruh punggawanya tewas. Kota Watan menjadi lautan api. Istana Medang diratakan dengan tanah. Pasangan pengantin, Erlangga muda dan Galuh Sekar Kedhaton berhasil lolos dari pembunuhan setelah diselamatkan abdi kinasihnya, Narottama dan Ken Bayan.

Selama pelarian, Erlangga keluar masuk hutan dan gunung. Dari Watan, mereka menuju gunung Lawu, Wonogiri, gunung Wilis, gunung Klotok, gunung Mas Kumambang, gunung Tunggorono hingga akhirnya sampai di kabuyutan Sidayu di Girisik (Sedayu, Gresik, Jawa Timur sekarang).

Dewi Galuh Sekar Kedhaton dititipkan di rumah Ki Buyut Sidayu, pemangku wilayah itu. Ken Bayan diperintahkan kembali ke Watan untuk mengumpulkan sisa-sia loyalis mendiang Bathara Dharmawangsa Teguh. Sementara Erlangga dan Narottama melanjutkan perjalanan ke sebuah tempat yang menurut pawisik niskala----bisikan ghaib----adalah tempat suci. Gunung Pucangan.

Bathara Erlangga menjalani tapa brata di puncak gunung yang merupakan rangkain dari pegunungan kapur Kendeng. Dua tahun kemudian, dia menjelma menjadi sosok kesatria digdaya, konon adalah titisan Sang Hyang Wisnu (Dewata pemelihara perdamaian dan kelestarian alam semesta). Lwaram ditaklukkan, kemudian menantu Bathara Dharmawangsa Teguh itu mendirikan negeri baru di Watan Mas, daerah lereng gunung Pawitra, bernama Kahuripan.

Dari lereng gunung Pawitra (Penanggungan, Mojokerto dan Pasuruan, Jawa Timur sekarang), ibu kota Kahuripan pernah mengalami beberapa kali pemindahan. Diantaranya ke utara Bengawan Porong (Sidoarjo, Jawa Timur sekarang), Patakan (desa Pataan, kecamatan Sambeng, Lamongan, Jawa Timur sekarang) hingga terakhir di Dahanapura/Daha (sekitar kota Kediri, Jawa Timur sekarang).

Saat bertahta di kota Daha inilah, pada Saka Warsa 964 (1042 Masehi), Bathara Erlangga turun dari Singgasana. Pendiri Kahuripan itu memutuskan meninggalkan segala pesona duniawi dan menjalani sisa hidup menjadi seorang Brahmana di tempat dahulu dia bertapa brata. Gunung Pucangan.

Dalam Serat Calon Arang, Bathara Erlangga kemudian dikenal sebagai Resi Gentayu. Menurut Babad Tanah Jawi, dia disebut dengan nama Resi Erlangga Jatiningrat. Sedangkan pada prasasti Gandhakuti, namanya ditulis sebagai Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.

Berdasarkan urutan trah pewaris tahta, putri mahkota yang bernama Rakryan I Hino Sanggramawijaya Dharmaprasada Utunggadewi, anak Bathara Erlangga dari permaisuri Dewi Galuh Sekar Kedhaton adalah yang berhak menduduki singgasana Kahuripan.

Di luar dugaan, Sanggramawijaya Dharmaprasada Utunggadewi menolak naik tahta. Dia mengikuti jejak ramandanya menjadi seorang pertapa. Meninggalkan segala pesona duniawi. Keadaan ini membuat dua anak Batara Erlangga yang lain, berebut kekuasaan. Mereka adalah Sri Samarawijaya, adik Sanggramawijaya Dharmaparasada Utunggadewi dengan Mapanji Garasakan, anak dari garwa selir.

Seorang Brahmana bernama Mpu Bharada ditugaskan untuk membagi Kahuripan menjadi dua wilayah. Bengawan Brantas dan Gunung Kawi dijadikan batas. Jenggala (Sidoarjo, Jawa Timur sekarang) diberikan kepada Mapanji Garasakan dan Panjalu/Kadhri/Kadhiri (Kediri, Jawa Timur sekarang) diberikan kepada Sri Samarawijaya (Kakawin Negarakertagama).

Sementara, Sanggramawijaya Dharmaprasada Utunggadewi bertapa dari satu tempat ke tempat lain. Terakhir, puteri Bathara Erlangga itu menetap di puncak gunung Pucangan. Meneruskan ramandanya yang telah mangkat pada Saka Warsa 971 (1049 Masehi).

Hingga akhir hayatnya, Sanggramawijaya Dharmaprasada Utunggadewi menjadi pertapa wanita di puncak gunung Pucangan. Orang-orang mengenalnya dengan nama Dewi Kili Suci.

PERTAPAAN GUNUNG PUCANGAN SEKARANG
Kini, tempat moksa----sirna jiwa dan raga, kembali ke Sang Pencipta----Sanggramawijaya Dharmaprasada Utunggadewi itu dinamakan Situs Makam Dewi Kili Suci.

Sejak era Islam, tempat-tempat moksa para leluhur orang Jawa sengaja di-visual-kan dalam bentuk makam. Hal ini untuk mengikis sifat musyrik dan menggantinya dengan tradisi ziaroh.

Saat ini, di situs gunung Pucangan, selain makam Dewi Kili Suci, kita juga bisa menjumpai beberapa makam lain. Diantarnya makam Maling Cluring, makam Maling Adiguna dan makam Eyang Ronggo.

Cungkup kecil di belakang saya adalah makam Eyang Ronggo


Berpose di depan makam Maling Cluring

Tidak jelas apa hubungan makam-makam itu dengan Sanggramawijaya Dharmaprasada Utunggadewi atau Dewi Kili Suci. Analisa saya, kemungkinan mereka adalah para abdi dan pengawal sang putri ketika meninggalkan kota Daha menuju gunung Pucangan.

Ketika menginjakkan kaki di kompleks situs itu, saya langsung disambut dengan ramah oleh seorang laki-laki tua. Mbah Sadi, sang Pakuncèn (juru kunci) itulah yang memberi tahu saya keberadaan makam-makam lain di gunung Pucangan.

Bersama Mbah Sadi, juru kunci situs gunung Pucangan
  
Monggo pinarak, badhé ngêrsakakên punapa----silahkan masuk, mau menginginkan apakah gerangan?” sapa Mbah Sadi.

Matur suwun. Dalêm amung padhos warta damêl nyêrat, Mbah----Terima kasih. Saya hanya memburu data untuk bahan menulis, Kek,” jawab saya seraya menjabat tangan Mbah Sadi.

Dalam hati, saya paham apa yang maksud oleh Mbah Sadi. Tetapi, tujuan awal saya ke tempat itu memang sekedar memburu data jejak sejarah. Tiada niat yang lain.

Saya juga sempat melihat dua orang yang sedang menjalani ritual khusus di pendopo makam Dewi Kili Suci. Mereka tampak khusyu’. Entah apa yang sedang dibacakan. Mungkin mantra, atau doa dengan bahasa khusus.

Ah, itu urusan mereka dengan Tuhannya.

Dari pendopo, saya melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki ke puncak tertinggi gunung Pucangan, berjarak sekitar dua ratus meter. Kondisi jalan cukup menanjak. Napas dijamin ngos-ngosan jika tidak biasa mendaki gunung, seperti saya.

Sampai di puncak, dimana dahulu Bathara Erlangga menjalani tapa brata, saya bergidik, merinding dan bergetar.

Subhanallah!

Sebuah Musholla berdiri megah tepat di puncak gunung Pucangan. 

Kondisi Musholla itu sangat bersih dan terawat. Seorang lelaki paruh baya yang entah siapa, manusia sungguhan atau makhluk niskala (maklum, tempat itu berada di belantara rimba yang sangat jauh dari jamahan penduduk) tampak tak kalah khusyu’ dari dua orang sebelumnya. Dia sedang berwirid. Tentu habis menjalankan Shalat Ashar, pikir saya.

Tepat di depan Musholla, terdapat sebuah Lingga. Lambang kesuburan suatu wilayah yang disimbolkan dengan Planangan (organ laki-laki). Biasanya, Lingga berpasangan dengan Yoni yang disimbolkan dengan organ wanita. Tetapi, di puncak gunung Pucangan ia berdiri tunggal. Analisa saya, Lingga ini adalah pengejawantahan dari Resi Gentayu/Resi Erlangga Jatiningrat (Bathara Erlangga) setelah menjadi pertapa. Beliau menasbihkan diri meninggalkan segala kenikmatan dunia, termasuk wanita.

Tak jauh dari Lingga, masih di halaman Musholla, terdapat reruntuhan sebuah Candi. Terbuat dari susunan batu bata merah berukuran besar. Kemungkinan, bangunan ini dibuat pada Saka Warsa 963 (1041 Masehi). Berdasarkan prasasti Pucangan (Calcutta Stones) yang kini tersimpan di Museum Calcutta, India, Bathara Erlangga membangun pertapaan di gunung Pucangan pada tahun itu.

Lingga di gunung Pucangan. Di balik pohon belakang saya adalah makam Maling Adiguna


Reruntuhan Candi di puncak gunung Pucangan. Nun jauh di bawah sana, Lamongan tampak samar


Sang Bagaskara kian merunduk di kaki Cakrawala. Jingga mulai merona di ufuk barat. Saatnya saya harus kembali. Sebelum turun dari puncak gunung Pucangan, kembali saya menoleh ke dalam Musholla.

Ya Jagad Natha----Sang Pengatur Alam Semesta, Allah SWT----Lelaki yang tadi saya lihat sedang ber-wirid di dalam Musholla sudah tidak ada!

Kembali saya bergidik.

Buru-buru saya berjalan setengah berlari menuruni puncak tertinggi gunung Pucangan. Meninggalkan Musholla yang didirikan tepat di atas titik dimana Bathara Erlangga bertapa ribuan tahun silam.

Musholla Al-A'liy (Maha Tinggi), begitu saya menamakannya dalam hati. Karena Musholla itu memang tiada memiliki papan nama.

Musholla di puncak gunung Pucangan


Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost

Catatan:
Jika sahabat ingin mengunjungi situs gunung Pucangan, juga Musholla yang saya sebut Al-A'liy itu, hendaknya tidak seorang diri. Jangan pula menelusuri sudut demi sudut pertapaan tanpa pengawalan khusus.

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *