This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 29 April 2016

BALADA SANG PENGHUTANG NYAWA (Part 4)



image google

Lereng gunung Lawu Kartasura, 23 Maret 2013.

“Jangan jadi pengecut kalian!”

“Aku akan berangkat sendiri jika kalian tidak ikut!” Ucap Rendi dengan berapi-api. Sementara teman-temannya tampak masih bimbang.

Tujuh belas orang berambut cepak dan berbadan kekar tengah berkumpul di sebuah rumah. Malam itu suasana terasa mencekam. Semua mata tertuju pada siaran televisi yang terus memberitakan meninggalnya Idrus, juga pembacokan Hendri hingga kondisinya kritis.

"Komplotan bajingan itu bukan hanya melukai dan membunuh kawan-kawan kita, tetapi juga telah menghina kehormatan Korps kita!" Tegas Rendi.

“Dimana jiwa Corsa kalian?” Rendi meninggalkan ruangan. Bergegas menuju sebuah mobil Avanza yang terparkir di halaman rumah.

Belum sempat ia membuka pintu mobilnya, terdengar suara serempak dari dalam rumah.

“Tunggu Rendi. Kami ikut! Kita berangkat!”

**********
image google

LP Cebongan – Sleman, 23 Maret 2013 pukul 01.00 WIB.

Dor! Dor! Dor!

Terdengar pintu gerbang rumah tahanan yang terletak di pusat kota Sleman digedor-gedor.

Seorang sipir Lapas mengintip dari lubang gerbang, tapi urung membukanya.

“Buka pintu! Kami petugas!” Teriak Rendi. Beberapa detik kemudian si penjaga pun membuka pintu gerbang Lapas.

“Kami ada perlu dengan tahanan atas nama Ferdi Flores. Tunjukkan ruangannya.” Jelas Rendi.

“Maaf, malam-malam begini mau ketemu tahanan? Bapak-bapak ini siapa? Darimana?”

Penjaga Lapas mulai curiga dengan kedatangan Rendi bersama kawan-kawannya. Apalagi mereka semua memakai cadar penutup wajah dan bersenjata lengkap. Beberapa orang bahkan dengan sigap langsung mengambil posisi berjaga-jaga di halaman, mobil dan jalan raya depan Lapas.

“Saya harus menghubungi Kepala Lapas dulu.” Lanjut si penjaga.

“Jangan banyak tanya! Lihat ini!” Rendi menunjukkan sebuah benda yang digenggamnya. Si penjaga Lapas gemetaran melihatnya. Granat!

“Tunjukkan ruang sel tahanan Ferdi Flores!” Rendi semakin tak sabar.

Dengan panik dan ketakutan akhirnya sipir penjara mengajak Rendi menyusuri bangunan Lapas. Beberapa teman Rendi langsung ikut menerobos masuk dan serentak bersiaga mengamankan setiap lorong ruangan. Setelah melewati beberapa bangunan, sampailah mereka ke sebuah sel tahanan bertuliskan 5A.

“Yang bukan kelompok Ferdi Flores minggir!” bentak Rendi.

“Siapa yang bernama Ferdi Flores?” lanjut Rendi. Ia mulai marah ketika semua penghuni sel tahanan itu tidak ada yang mengaku.

“Tidak ada yang namanya Ferdi disini!” jawab seorang tahanan.

“Baiklah. Berarti malam ini adalah malam terakhir kalian menghirup udara di dunia!” Rendi mengacungkan AK-47.

Sontak para tahanan kaget dan ketakutan. Mereka segera memisahkan diri dan tersisa empat orang.

“Semua minggir dan tiarap!” perintah Rendi kepada para tahanan yang terpisah dari kelompok Ferdi Flores.

“Kalian berempat, berdiri merapat ke tembok!” Rendi membentak empat orang tahanan yang menurut feelingnya adalah Ferdi Flores dan komplotannya.

Dalam hitungan beberapa detik, terdengar rentetan tembakan dari AK-47 milik Rendi. Empat orang tahanan Lapas Cebongan sel 5A menggelepar meregang nyawa.

“Lihatlah! Sampah yang mengotori kota Yogya sudah aku kirim ke neraka!” ucap Rendi dengan nada puas.

Di ruang yang lain, kawan-kawan Rendi juga sudah tuntas menghancurkan semua kamera CCTV Lapas dan mengambil CPU recordernya.

**********

Pengadilan Militer Yogyakarta, 2013.

“Memutuskan, menjatuhkan hukuman kurungan penjara selama sebelas tahun, potong masa tahanan. Kepada terpidana juga dijatuhkan sanksi pemberhentian dari kesatuannya.” Hakim Ketua Pengadilan Militer membacakan amar putusan kepada Rendi.

Tak tampak mimik kekecewaan. Rendi bersama kesebelas teman-temannya justru tersenyum. Berdiri, lalu melakukan hormat kepada Majelis Hakim dan Oditur Militer.

Beberapa hari sesudahnya, di sebuah tempat di lereng gunung Lawu dilakukan apel pelepasan atribut dan seragam kehormatan. Dua belas prajurit yang pernah bertaruh nyawa di belantara Papua itu justru mendapatkan aplaus dan penghormatan luar biasa.

Rendi menunjukkan betapa jiwa kesetiakawanan tidak bisa digantikan dengan apapun. Ia rela mengorbankan karier dan melepaskan kesatuannya. Demi membayar hutang nyawa. Demi membela kehormatan korpsnya yang di injak-injak oleh sekawanan sampah masyarakat.

~ TAMAT ~

Baca juga kisah selengkapnya :

#OneDayOnePost
#PostingHariKeempatPuluhLima
----------------------------------

Catatan :
Kisah ini terinspirasi dari peristiwa nyata yang terjadi di Kartasura, Sleman dan Yogyakarta tahun 2013. Beberapa nama tokoh dan tempat kejadian sebagian saya samarkan.

*****
Sidang Pengadilan Militer Yogyakarta terhadap Serda UTS dkk - image google

Majelis Hakim Pengadilan Militer Yogyakarta Letkol Chk. Faridah Faisal akhirnya memvonis Serda UTS, pelaku utama penembakan di LP Cebongan dengan hukuman 11 tahun penjara. Serda SS dan Koptu K dihukum penjara 8 dan 6 tahun. Mereka bertiga juga diberhentikan dari kesatuan Kopassus Grup 2 Kandang Menjangan, Kartasura.

Penembakan itu didasari hutang balas budi atas kematian Sertu HS yang dikeroyok sekawanan preman di Hugo’s Cafe, Sleman Yogyakarta. Juga pembacokan atas Serda S saat bersama almarhum.

Sertu HS pernah menyelamatkan nyawa Serda UTS saat mereka dikirim bertugas.

Majelis juga memvonis lima terdakwa lain dengan hukuman penjara 1 tahun 9 bulan. Mereka adalah Sertu TJ, Sertu AR, Sertu MRPB, Sertu SPR, dan Sertu HSW.
 
*****
Pelaku pengeroyokan yang membacok Serda S dan membunuh Sertu HS berhasil ditangkap oleh kepolisian di sebuah asrama di kawasan Lem­puyang­an, Yog­yakarta. 

Awalnya mereka ditahan di Mapolda DIY, kemudian dipindahhkan (dititipkan) ke LP Cebongan karena sel di Mapolda DIY sedang direnovasi.

Keempat preman yang tewas dalam penyerbuan LP Cebongan itu adalah :
  • Hendrik Benyamin Angel Sahetapi alias Diki Ambon, 31 tahun. Diki dikenal sebagai seorang preman. Ia pernah ditangkap Polresta Yogyakarta dalam kasus pembunuhan mahasiswa tahun 2002 dan pemerkosaan tahun 2007. Ia juga menjadi tenaga keamanan di Hugo's Cafe yang terletak depan halaman Hotel Sheraton Mustika di Jl Solo Km 10 Maguwoharjo, Sleman.
  • Adrianus Candra Galaja alais Dedi, 33 tahun
  • Gameliel Yermiyanto Rohi Riwu alias Adi, 29 tahun.
  • Yohanes Juan Manbait alias Juan, 38 tahun. Yohanes adalah seorang anggota Polresta Yogyakarta yang pernah terlibat kasus sabu-sabu. Akibat kasus itu, ia dipecat dari kepolisian. Ia juga divonis hukuman 2,8 tahun dan perawatan di RS khusus narkoba. Ketika mengeroyok Sertu HS, Juan sedang menjalani masa bebas bersyarat.
Saat sidang vonis, para prajurit TNI mendapat dukungan dari masyarakat Yogyakarta. Mereka bergantian melakukan orasi di lobi pengadilan. 

Meski marah dengan tindakan main hakim sendiri anggotanya, para petinggi TNI bangga dengan keberanian Serda UTS dan kawan-kawannya.

Dampak positif dari tindakan yang dilakukan oleh 12 anggota Kopassus itu telah membuat Yogyakarta aman dari premanisme. Untuk beberapa saat, distribusi narkoba ke Yogyakarta juga terputus. Komplotan Diki Ambon cs inilah yang memegang peranan perdagangan barang haram itu disana.
 
Serda UTS : Saya berutang nyawa kepada Sertu HS - image google

Aksi simpatik masyarakat Jogja memberi dukungan Serda UTS dkk - image google

Kamis, 28 April 2016

BALADA SANG PENGHUTANG NYAWA (Part 3)



Legend Coffe Yogyakarta - image google


“Ayo nambah lagi kawan!” Ucap Rendi.

“Sudah-sudah, ini saja rasanya mau luber isi perutku Ren.” Jawab Idrus. Sementara Hendri yang duduk disamping Rendi hanya tersenyum kecil. Ia malah asyik menikmati sepiring menu makanan yang belum juga dihabiskannya.

Sore itu, sepulang dinas Rendi mengajak dua sahabatnya, Idrus dan Hendri mampir ke sebuah rumah makan. Dua sahabat yang telah menyelamatkan nyawanya di belantara rimba Papua dua belas tahun silam.

“Seharusnya dulu kutinggalkan saja kau di belantara Papua. Biar dimakan binatang buas, atau jadi santapan Canibal OPM!” Ledek Idrus sambil tertawa terbahak-bahak.

“Hahaha… Kalian benar-benar malaikat penyelamatku. Mungkin saat ini istriku sudah menjanda, dan anak-anakku menjadi yatim, andai kalian tak membawaku ke bukit itu!” Balas Rendi sembari menuangkan lagi sebotol Coca-cola ke gelas Idrus dan Hendri.

“Eh, gimana kalau nanti malam ganti aku yang mentraktir kalian?” Hendri yang dari tadi memilih senyum-senyum saja, tiba-tiba mengeluarkan suara juga.

“Senang sekali. Ayo, kemana Hen?” Tanya Idrus.

“Café dekat rumahku saja, Sleman.” Jawab Hendri.

“Waduh, malam nanti jagoanku sudah memalak aku kawan. Ia minta diantar keliling kota.” Rendi mengeluh. Ia terlihat kecewa sekaligus sungkan dengan kedua sahabatnya. Tetapi anak-anaknya terlanjur ia sanggupi untuk diantar berkeliling kota malam nanti.

“Oke deh, kita berdua saja.”

“Sip, nanti sekalian kau jemput aku Hen!” Tutup Idrus.

**********
Yogyakarta, Maret 2013.

Idrus dan Hendri masih asyik mengobrol di sebuah meja yang terletak di sudut cafe. Meski pengunjung yang lain sudah mulai meninggalkan tempat itu, tetapi mereka berdua masih enggan beranjak.

Legend Coffee sudah lengang. Hanya tersisa Idrus dan Hendri, ketika tiba-tiba seorang berbadan gempal menghampiri mereka. Rambutnya kribo dengan kulit hitam legam. Berbagai gambar tato terlihat berserakan di tubuhnya.

Beberapa orang lainnya juga terlihat mondar-mandir di depan pintu cafe.

“Bang, sudah larut malam ini. Waktuku untuk nge-Fly sekarang!” Pria bertato itu membuka pembicaraan.

“Beri kami uang untuk membeli bubuk surga!” Ia mulai menggertak.

“Apa? Ulangi lagi! Kau bilang apa tadi?” Jawab Hendri yang tersinggung.

“Berikan uang kalian!”

Brak!

Tanpa aba-aba Idrus langsung mendorong meja yang menghalangi posisinya dengan pria itu. Disusul sebuah bogem mentahnya melayang ke wajah pria bertato. Seketika jatuh tersungkur.

Sontak tiga orang lelaki yang dari tadi mondar-mandir di depan pintu segera berlari kearah Idrus. Dua orang mengeroyok Idrus. Sementara seorang lagi bersama pria bertato yang sudah bangun mengeroyok Hendri.

“Kami anggota kesatuan K! Jangan macam-macam!” Bentak Idrus.

“Kalian kira kami takut dengan nama kesatuan K? Ini daerah kami bang! Kami penguasanya!” Tantang pria bertato.

Terjadi perkelahian. Dua melawan empat. Idrus dan Hendri yang sudah terlatih awalnya mampu mengimbangi. Tetapi akhirnya keadaan menjadi tidak seimbang ketika empat kawanan preman itu mengeluarkan celurit dan golok. Sementara Idrus dan Hendri hanya bertahan dengan tangan kosong.

Sebuah bacokan di pelipis dan kepala Hendri membuat ia tersungkur. Ketika Idrus hendak menolongnya, dari arah lain sebuah tusukan juga menghunjam perutnya. Belum sempat Idrus menangkis, tiba-tiba sebuah pecahan botol runcing ditancapkan oleh pria bertato tepat ke dada Idrus.

Kejadian berlangsung begitu cepat. Empat kawanan preman itu segera berlari meninggalkan Legend Cafe. Idrus dan Hendri yang terluka parah ditolong oleh beberapa karyawan cafe dan dilarikan ke RS Bethesda.

**********
Rendi masih tertidur pulas, berkali-kali nada dering ponselnya berbunyi. Awalnya ia sedikit jengkel ada penelpon di jam tiga dinihari begini. Namun ia segera meloncat dari tempat tidur ketika mengetahui nomor yang masuk adalah milik Idrus.

“Halo, selamat malam, disini IGD RS Bethesda Yogyakarta. Pemilik nomor ini sedang kritis dan dirawat di IGD RS Bethesda. Apakah bapak mengenalnya?” Terdengar suara seorang wanita dari ponselnya.

“Iya mbak, itu nomor ponsel teman saya. Ada apa dengan dia?”

“Lebih jelasanya silahkan bapak atau keluarga segera melihat kondisi pasien. Terima kasih, Selamat malam.” Tutup si penelpon.

“Idrus, kenapa kau kawan?” Pikir Rendi.

Ia segera membangunkan istrinya. Sebentar berganti baju lalu segera menggeber motornya ke RS Bethesda.

**********
Rendi terduduk bersimpuh di rerumputan TMP. Gundukan tanah didepannya masih basah. Berbagai bunga beraneka warna juga masih segar tertabur diatasnya.

“Seharusnya aku yang lebih dulu mati di belantara Papua. Kenapa justru kau yang kini meninggalkanku Idrus?”

“Tenanglah dalam tidur panjangmu. Aku tidak akan pernah lupa dengan pertolonganmu. Hutang nyawa bayar nyawa kawan!”

Rendi menyeka buliran netra yang mengumpul di pelupuk matanya. Ia mengambil posisi berdiri tegap. Lalu menghormat kepada batu nisan dihadapannya. Sertu Idrus Sahertian bin Haji Abdoel Moenaf.

Makam prajurit - image google

~ BERSAMBUNG ~

Baca juga kisah sebelumnya di :
Lanjutan kisahnya di Part 4

#OneDayOnePost
#PostingHariKeempatPuluhEmpat

----------------------------------------
Cerita ini saya dedikasikan untuk almarhum Sertu HS yang telah menyelamatkan nyawa Serda UTS saat mereka dikirim ke medan tugas. Keduanya adalah anggota Grup 2 Kopassus Kandang Menjangan, Kartasura.

Rabu, 27 April 2016

BALADA SANG PENGHUTANG NYAWA (Part 2)

Granat asap - image google


Rimba Papua, 2001.

“Sedikit lagi Rendi!”

“Bantu mengangkat tubuhnya ke punggungku!” Pinta Idrus.

Hendri segera membopong Rendi. Diangkatnya tubuh lunglai tak berdaya itu ke punggung Idrus. Kedua tangan Rendi ia ikatkan ke depan badan Idrus. Tak jauh lagi mereka akan mencapai puncak bukit terdekat.

Sementara kesadaran Rendi semakin menurun. Ini berbahaya. Rendi harus tetap terjaga kesadarannya. Hendri menghentikan langkah, lalu berbalik menghampiri Idrus.

“Apa boleh buat, kita harus membuat luka di jarinya!” Ucap Hendri. Ia mengeluarkan sebuah pisau komando yang terselip di pinggang.

“Tahan sebentar, ini sakit. Tetapi akan membuatmu tetap tersadar kawan!” Bisiknya sembari memegang salah satu jari jempol Rendi.

Sesaat Rendi menggeliat dan mengaduh kesakitan. Darah segar mengucur dari ibu jarinya yang terluka oleh pisau komando Hendri.

“Bagus Ren! Kau semakin tersadar. Ayo cepat kita lanjutkan lagi!” Teriak Idrus. Ia mengajak Hendri setengah berlari. Susah payah Idrus menggendong tubuh Rendi. Seperti seorang bapak yang menggendong anak kecilnya.

*********
Sekitar empat jam menyusuri belantara rimba, akhirnya mereka melihat kabut yang semakin menipis.

“Rendi, lihatlah!” Teriak Idrus menunjuk keatas. Kearah sela-sela dedaunan.

“Itu sinar matahari!”

“Bantuan akan segera datang Ren!” Teriak Idrus.

“Cepat lemparkan granat asapmu Hendri!” Setengah histeris Idrus memerintahkan Hendri.

Hendri segera mengeluarkan sebuah benda dari ranselnya. Dibukanya swicth pelatuk, lalu dilemparkan granat asap ke rerumputan tak jauh dari tempat mereka berhenti. Seketika asap putih keungu-unguan membumbung tinggi. Semakin tebal dan mengangkasa.

AN/PRC-77, radiophone di medan tempur - image google

“Menjangan Dua disini. Kami berada pada koordinat tiga puluh derajat lintang selatan. Ada prajurit yang harus segera dievakuasi. Kami butuh tandu dan bantuan medis. Pasukan terdekat harap merapat!” Ucap Hendri melalui radiophone di ranselnya.

“Granat asap menandakan posisi kami!” Tutup Hendri.

“Diterima Macan Tutul Satu. Bantuan sudah bergerak menuju lokasi Menjangan Dua!” Balas sebuah suara yang masuk ke radiophone Hendri.

Setengan jam kemudian, sepasukan bala bantuan datang. Tampak dua prajurit membawa tandu. Empat tentara lainnya dengan sigap memberikan pengawalan perlindungan.

“Cepat angkat dia ke tandu!” Perintah pemimpin pasukan bantuan itu.

“Sersan Daniel, segera injectkan obatmu!”

“Siap Letnan!” Sersan Daniel, prajurit yang diperintah segera melakukan pertolongan pertama. Dari peralatan yang dibawanya, jelas menunjukkan bahwa ia adalah prajurit medis.

“Kita bawa ke Camp Boven Digoel!” Lanjut sang pemimpin.

Mereka adalah sama-sama pasukan TNI yang dikirim ke belantara Papua. Tetapi berasal dari kesatuan yang berbeda. Badge yang menempel di lengan baju menunjukkan mereka berasal dari sebuah kesatuan Batalyon Infantri di Sidoarjo.

“Rendi, aku hanya bisa mengantarmu sampai disini.” Bisik Idrus. Dipeluknya tubuh Rendi yang semakin tak berdaya.

“Kamu akan dibawa ke Camp. Dirawat disana, setelah sembuh kamu ditarik pulang ke markas.” Hendri menggenggam tangan Rendi. Membesarkan hati sahabatnya.

“Sebentar lagi kamu segera bisa berkumpul lagi dengan istri dan anak-nakmu Ren.”  

“Semoga Allah meridhoi pengabdian kita. Jika kita ditakdirkan berumur panjang, tahun depan kita akan bertemu lagi di Kartasura kawan.” Tutup Idrus.

Rendi hanya tersenyum. Bulir-bulir bening pun tak tertahan dan mengalir di sudut bibirnya.

“Terima kasih kawan-kawan. Mungkin aku benar-benar telah mati andai tidak ada kalian.” Jawab Rendi dengan pelan.

“Selamat berjuang. NKRI Harga Mati!” Ia masih sempat mengepalkan tangan saat tubuhnya mulai ditandu pasukan penolong. Bergerak menuju Camp TNI terdekat, Boven Digoel.

Idrus dan Hendri masih berdiri di tempatnya. Menatap iring-iringan pasukan pembawa Rendi. Semakin jauh. Hingga mereka hampir tak terlihat, terbenam dalam sisa-sisa kabut belantara Papua.

“Rendi... Kita bertemu di Kartasura! NKRI Harga Mati!” teriak Idrus. Samar-samar terlihat Rendi di kejauhan melambai-lambaikan tangannya.

Evakuasi prajurit - image google

~ BERSAMBUNG ~
Baca kelanjutannya di :
Part 3
Part 4
Kisah sebelumnya di Part 1

#OneDayOnePost
#PostingHariKeempatPuluhTiga

----------------------------------------
Cerita ini saya dedikasikan untuk almarhum Sertu HS yang telah menyelamatkan nyawa Serda UTS saat mereka dikirim ke medan tugas. Keduanya adalah anggota Grup 2 Kopassus Kandang Menjangan, Kartasura.

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *