This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 31 Januari 2018

HALTE BIRU



berdiri di halte biru
tak kunjung nampak yang ia tunggu
disapa deru mesin berpelukan debu
ia hanya mengusap dagu

sepasang merpati hinggap di pucuk dahan
bagai hendak menuntaskan hutang kasmaran

ia menghela napas
bagai dicumbu rasa yang tak terbalas
entah sejak kapan benih itu bertunas
hanya terjawab ulu hati yang was-was

lalu, ia pandang lalulalang orang
di ubun-ubunnya Tajung Moang
:di mana ujung cinta, akankah berakhir pada kenang?

berdiri di halte biru
tak kunjung nampak yang ia tunggu


17:30
2018 01 29
Sudut Jenggala
Heru Sang Mahadewa

(puitisasi sebuah halte di kota Santri)

Catatan:
Tajung Moang adalah nama tempat pada abad X yang terletak di sebelah selatan bengawan Brantas. Lambat laun, toponimi ini berubah menjadi Jongmoang, lalu dilafalkan menjadi Jombang (Babad Anjuk Ladang).

Photo:
Senja di Ringin Contong, Jl. KH Wachid Hasyim, Jombang @naura_salsabila

AIRLANGGA



Wora Wari!
menjangan bidikanku
kaupunya pasukan sepuluh seribu
kubangun seratus ribu

siksamu menjelma Wisnu dalam getihku
beranak pinak kedigdayaan

Wora Wari!
Kahuripan mengerang
tak lagi menahan diri
menagih nyawa yang kauhutang 

Wora Wari!
menjangan bidikanku
kulihat mendung di langit Lwaram
lambang mahapralaya kelam

ajalmu tiada lagi bisa ditunda
di tangan sang putra Udayana
.
.
12:10
2018 01 26
Kahuripan
Heru Sang Mahadewa

(sajak Airlangga kepada Aji Wora Wari dalam novel Airlangga Jumeneng Nata – Heru Sang Amurwabhumi)

Sumber foto: flickr.com
Catatan:
Aji (baginda) Wora-wari adalah penguasa Lwaram (Ngloram, Blora, Jawa Tengah sekarang) yang membunuh Dharmawangsa Teguh, raja terakhir Medang beserta pramesywari dan seluruh keluarganya.

Mahapralaya ini terjadi pada malam pernikahan Airlangga dengan Dyah Sri Laksmi, sekar kedhaton Medang, putri semata wayang Dharmawangsa Teguh, sekaligus menandai runtuhnya kerajaan yang dibangun oleh Mpu Sindok itu.

Airlangga berhasil meloloskan diri bersama Dyah Sri Laksmi setelah diselamatkan abdi kinasihnya; Narottama dan seorang prajurit sandibhaya Medang bernama Ken Bayan.

Dari puing-puing kedhaton Medang (Maospati, Magetan atau Megaluh, Jombang?), pelarian Airlangga dan Dyah Sri Laksmi dimulai.

Jumat, 26 Januari 2018

RATU PANDHANSARI PENGHANCUR GIRI KEDHATON




Sigêg kang wus pacak baris / para wadya Surabaya / angêpung Giri kadhaton / sanega kapraboning prang / gantya kang kawuwusa / wau ta Giri sang wiku / sampun ingaturan wikan.

Lamun Kangjêng Pangran Pêkik / saha garwa ngêpung kitha / anglir samodra balane / (m)balabar ngêbêki papan / tiyang ing Ngargapura / jalu èstri samya bingung / kadya gabah ingintêran.

Terjemahan bebas versi Heru Sang Mahadewa:
Terhenti laju barisan prajurit dari pasukan Surabaya. Mereka mengepung Giri kedhaton. Semua telah siaga untuk berperang melawan Prabhu Giri.

Kisah berganti kepada yang berkuasa di Giri. Sang ulama telah mengetahui dari laporan yang ia terima bahwa Kangjeng Pangeran Pekik beserta sang istri telah mengepung kota.

Kedatangan pasukan Surabaya itu bagai gelombang samudra, menghempas dan tumpah memenuhi segala penjuru. Orang-orang di Ngargapura, laki-laki perempuan, semua kebingungan. Mereka berhamburan, tak ubahnya seperti butir-butir padi yang dikocok di dalam loyang.

(Serat Centhini : 12 – Asmaradana)

-o0o-

Kabut yang membekap tapal batas Tandhes dan Kadipaten Giri belum sepenuhnya tersingkap. Lepak embun di dedaunan sambi juga masih enggan menguap. Jejak fajar baru saja memudar.

Tetapi, sepagi itu, bunyi genderang telah ditabuh dari Tandhes. Berbalas sahutan dengan tiupan sangkala yang terdengar dari arah Giri. Perang hari kedua sudah dimulai. Perang antara pasukan Surabaya yang diperintahkan Mataram menghukum mangkirnya pemangku kadipaten di pesisir utara Brang Wetan dari pasowanan agung, melawan laskar Giri Kedhaton.

“Siapa senopati itu?”

“Sepertinya seorang wanita, Kangjêng.”

“Surabaya memiliki Srikandi?”

“Entahlah. Amukannya membuat pasukan kita tercerai berai, Kangjêng.”

Endrasena mengibaskan baju zirahnya. Mata senopati laskar Giri asal Tiongkok itu tak berkedip menatap ke tengah barisan pasukan Surabaya. Di atas punggung seekor kuda, nampak seorang wanita dengan gigih menyabetkan pedang kepada setiap lawan yang menghadangnya.

Entah apa yang terjadi pada perang hari kedua itu. Pasukan Surabaya seperti singa yang lapar. Amukan mereka bagai banteng ketaton. Sungguh mengerikan. Satu per satu prajurit laskar Giri berjatuhan. Kehadiran seorang senopati wanita di tengah-tengah prajurit Surabaya, seperti guyuran hujan di musim kemarau panjang. Setelah pada perang hari pertama menelan kekalahan, kini mereka balik memukul.

Melihat laskar Giri porak poranda, Endrasena menggebrak kudanya. Dua pedang kembar di tangannya berkelebatan. Prajurit-prajurit Surabaya yang terkena sabetan, langsung terrsungkur menemui ajal. Sebagian sisanya, langsung berhamburan menyingkir, tak sanggup melawan amukan Endrasena.

Berjarak dua ratus tombak dari posisi Endrasena, senopati pasukan Surabaya mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

“Wukir Jaladri … wukir jaladri … wukir jaladri!”

Sontak, ratusan prajurit Surabaya langsung membentuk gelar tempur seperti yang diperintahkan senopati mereka.

Kini, wanita yang duduk dengan berkacak pinggang di atas punggung kudanya itu ganti menatap tajam ke arah Endrasena.

“Pulanglah ke negerimu. Jangan campuri urusan Mataram dengan Giri!”

“Aku berperang demi menegakkan kekhalifahan di tanah Giri!”

“Belum terlambat bagimu untuk meletakkan pedang. Atau darahmu akan menjadi tumbal dari keberanian Giri menentang Kangjêng Sultan di Mataram!”

“Lebih baik mati syahid, daripada mengikuti raja yang thagut!”

Ucapan Endrasena terdengar bagai petir di siang hari. Menggelegar, menyambar, dan memanaskan telinga senopati Surabaya.

“Kupegang kata-katamu, senopati. Aku, Ratu Pandhansari bersumpah; hari ini akan kukirim kau ke jalan syahidmu!”

Senopati wanita itu melepas pengikat gelungnya. Seketika, rambut panjangnya jatuh tergurai. Sebagian menutupi pipi yang merona-rona, sebagian lagi berkibas-kibas di terpa angin mangsa Palguna.

Kini, semua mata terbelalak melihat pemandangan di hadapan mereka. Sosok jelita di atas punggung kuda itu tak ubahnya seperti Amba yang sedang menantang Bhisma. Ia mencabut sebuah cêtbang dari balik baju. Sorot matanya yang tajam kian memerah, memancarkan amarah yang enggan tidak tumpah.

Cêtbang itu dibidikkan ke arah Endrasena. Sejurus kemudian, terdengar sebuah ledakan, disusul dengan desingan peluru yang melesat meninggaalkan ujung cetbang. Hanya sekedipan mata, tiba-tiba darah telah mengucur dari tangan kanan Endrasena. Senopati laskar Giri itu terkejut hingga pedangnya terlepas.

Namun, bukan Endrasena jika menyerah sampai di situ. Ia menggebrak kudanya sambil mengacungkan keris di tangan kiri.

Seratus tombak sebelum mendekati gelar tempur wukir jaladri pasukan Surabaya, terdengar lagi letusan cêtbang. Tangan Endrasena kembali berdarah. Kali ini berganti tangan kiri yang terluka.

Endrasena terjatuh dari kudanya. Ratu Pandhansari memberi isyarat agar prajuritnya memberi jalan kepada Endrasena.

Begitu gelar tempur terbuka, tumbuh lagi nyali Endrasena. Dengan dua tangan berlumuran darah, ia masih juga memaksa mengamuk dengan menendang-nendangkan kaki.

Tak berlangsung lama, Ratu Pandhansari kembali membidikkan cêtbang. Kali ini tepat mengenai dada Endrasena. Senopati Giri roboh dan tak mampu berdiri lagi.

Endrasena jatuh tersungkur di hadapan pasukannya. Melihat senopatinya meregang nyawa, runtuh nyali para prajurit laskar Giri.

Sebaliknya, pasukan Surabaya kian berada di atas angin. Mereka menerjang sisa-sisa barisan laskar Giri yang telah porak-poranda, bagai membabat rerimbunan ilalang. Laskar Giri lari pontang-panting sambil membuang pedang.

Di tengah palagan itu, tak tersisa satu pun prajurit laskar Giri. Pasukan Surabaya bersorak bersahut-sahutan, merayakan kemenangan pada perang hari kedua. 

Kedhaton Giri dikepung, Prabhu Giri ditangkap dan dibawa menghadap Ngarsa Dalêm Sinuwun Sultan Agung.

Tetapi sebelum itu terjadi, tak terlihat oleh siapa pun, para putri Prabhu Giri, yang berasal dari istri selir, diam-diam telah meninggalkan kedhaton.

Mereka adalah Raden Ayu Jayengresmi, Raden Ayu Jayengsari, dan Raden Ayu Rancangkapti. Nahas, putri sulung, Jayengresmi terpisah dengan kedua adiknya, Jayengsari dan Rancangkapti.

Giri Kedhaton runtuh. Kisah pelarian panjang putri-putri Prabhu Giri telah dimulai.

(Heru Sang Mahadewa)
Member of One Day One Post

Cerpenisasi naskah Centhini.

Jumat, 12 Januari 2018

PUNTADEWA MOKTA RING INDRABHAWANA



Pilihan Kunti, Gandhari, dan Dristaratra untuk menghabiskan sisa hidup dengan menjadi sunyasa di hutan Jamurdipa, berakhir dengan dilalapnya tubuh ketiganya oleh kobaran api yang menghanguskan pertapaan mereka. Istri, ipar, dan saudara mendiang Prabhu Pandu itu sempurna menapaki jalan mokta: menuju ke hadapan Sang Maha Suci.

Di kedhaton Hastina, Prabhu Puntadewa telah lengser keprabon. Parikesit, cucu Arjuna, putra Abhimanyu dari wanita yang terhitung masih eyangnya: Dewi Uttari, dinobatkan sebagai Maharaja baru. Ia menabalkan diri dengan abhiseka Prabhu Krishna Dwipayana, menyamai abhiseka yang pernah dipakai kakek canggahnya.

Hastina memasuki zaman baru. Zaman di mana yang menduduki takhta bukan berasal dari dua kubu yang berseteru di Bharatayudha: Kurawa dan Pandawa. Perang besar sesama wangsa Bharata itu telah lama berakhir. Satu demi satu, kesatria yang dulu pernah berjuang hidup mati di tegal Kuru Setra, kini telah tiada. Warta terakhir, Prabhu Sri Bhatara Krishna juga mokta. Ia bahkan membawa seluruh bangsa Yadawa menuju alam sunyaruri.

Drupadi dan lima kesatria Pandawa telah berpamitan pula kepada Prabhu Parikesit. Tekad untuk menghabiskan sisa umur dengan menjadi pertapa di puncak gunung Mahameru telah bulat. Para putra Pandu dan menantunya itu ingin menebus dosa masa lalu dengan mendekatkan diri kepada Sang Maha Pengampun.

-oo0oo-

Belantara gunung Mahameru bagai kepala Hyang Bhatara Kala. Jurang-jurang yang menganga tak ubahnya seperti mulut Dewata penguasa waktu itu. Tebing-tebing yang berdiri menjulang, nampak menyerupai taring-taring tajam. Sepanjang pendakian menuju puncaknya, Drupadi, Puntadewa, Wrekudara, Arjuna, Nakula, dan Sadewa berjalan tertatih-tatih dengan sisa tenaga mereka yang telah renta.

Setelah berjalan selama empat hari empat puluh malam, Drupadi ambruk. Cuaca tak menentu di dalam belantara, membuat pertahanan tubuh perempuan dari Pancali itu jebol. Ia menolak dirawat suaminya, Puntadewa. Pun demikian dengan penawaran empat adik iparnya. Perempuan tua yang pernah ditelanjangi di Balai Manguntur Hastina oleh Kurawa itu kukuh dengan prinsipnya bahwa Pandawa harus bisa mencapai puncak Mahameru. 

Di kaki Mahameru, suksma Drupadi melesat meninggalkan raga, sebelum mencapai swargaloka di dataran tertinggi gunung itu.

Pendakian Pandawa berlanjut. Putra-putra Kunti dan Madrim menghadapi ujian yang kian berat. 

Malam ke empat puluh satu, hujan disertai ulur-ulur menghajar gunung Mahameru. Kabut tebal juga membekap setiap jengkal rimba. Sadewa terperosok ke jurang sedalam lima ratus tombak. Tubuhnya yang ringkih meluncur ke bawah, hancur menimpa bebatuan di dasarnya. Pun demikian dengan Nakula yang nekad menyelamatkan dengan terjun menyusul: ikut berpulang bersama kembarannya.

Puncak gunung Mahameru masih separuh perjalanan. Tekad Puntadewa, Arjuna, dan Wrekudara belum meredup. Kedhaton Bathara Indra ada di atas sana. Kedhaton yang dipercaya menjadi pintu gerbang menuju swarga. Dengan sisa tenaga yang kian rapuh, mereka kembali merangkak, menapaki tebing demi tebing.

Nahas, Arjuna ambruk pula pada malam ke empat puluh lima. Segala kedigdayaan di masa muda pemilik panah Pasoepati itu seakan tak berarti lagi. Jauh sebelum menginjakkan kaki di gerbang kedhaton Bhatara Indra, suksma lelanange jagad itu menyusul kedua adiknya.

Wrekudara berontak!

Ia tidak terima dengan amukan semesta alam. Kematian Drupadi, Sadewa, Nakula, dan terakhir Arjuna, menurutnya adalah ulah alam yang tidak bersahabat dengan Pandawa. 

Dengan sisa-sisa tenaga tuanya, ia menggunakan kekuatan Blabag Panganthol-anthol untuk merobohkan pepohonan untuk membalas rasa sakit hatinya. Batu-batu berukuran besar juga ia coba hancurkan. Namun, kekuatannya hanyalah tinggal kekuatan manusia yang telah ringkih dimakan usia. Tubuh Wrekudara justru terpelanting karena tidak mampu mengendalikan dahsyatnya ajian yang diterima dari ruh Kumbakarna itu, hingga ia terperosok ke jurang pula.

Kini, yang tersisa hanya Puntadewa. 

Ayah dari Pancawala itu nyaris putus asa. Tekad untuk mendaki ke puncak Mahameru ia urungkan. Pada sebatang pohon randu alas, ia sandarkan tubuhnya. Pupus sudah niatan untuk mokta bersama istri dan keempat adiknya.

Dalam keputus-asaan yang nyaris mengantarnya ke jalan belapati, Puntadewa dikejutkan lolongan Segawon Lanang, seekor anjing jantan piaraannya. Ia baru sadar, telah melupakan keberadaan binatang itu. Binatang yang menyertai perjalanan Drupadi dan Pandawa sejak dari Hastina hingga kini sampai di lereng Mahameru.

Segawon Lanang berlari-lari kecil menapaki tanjakan demi tanjakan. Anjing berbulu coklat itu terus meninggalkan Puntadewa. Sesekali binatang itu berhenti, lalu menoleh ke arah Puntadewa sambil mengibaskan ekornya.

Puntadewa beranjak dari pohon randu alas. Ia bisa menangkap bahasa tubuh Segawon Lanang. Kini, niat untuk menyelesaikan pendakian menuju puncak Mahameru tumbuh kembali. 

Anjing piaraan itu seolah memberinya pesan: meski Drupadi dan keempat adiknya telah mendahului pergi, Puntadewa harus tetap melanjutkan pendakian. Bersama anjing itulah, ia pupuskan duka di hatinya dengan melantunlangitkan mantra puja-puja kepada Hyang Jagad Nata. 

Puntadewa terus mendaki, hingga malam ke delapan puluh, ia sampai di sebuah hamparan tegal nan luas. Di hadapannya, terbentang nyala yang terang benderang. Nyala api kebenaran. Nyala yang menerangi jalan pada malam itu.  Sementara di kanan kiri jalan itu, tebing dan jurang nampak menganga dalam balutan kegelapan.

Dengan kilauan nyala api kebenaran itu pula, kini Puntadewa bisa membedakan dengan jelas: mana kegelapan, mana bayangan, dan mana jalan sejati. 

Puntadewa terus berjalan, ditemani anjing setia yang tak pernah selangkahpun menjauh dari sisinya.

Akhirnya ia tiba di pintu gerbang swarga dan disambut Bhatara Indra yang mempersilakannya naik ke atas sebuah kereta kencana. Namun, ketika Puntadewa hendak menggendong Segawon Lanang, justru perkataan Bhatara Indra sungguh di luar dugaannya.

"Tidak ada tempat bagi anjing di swarga," ucap Bhatara Indra.

"Kalau begitu, tidak ada tempat pula bagiku di swarga. Aku tidak mungkin meninggalkan anjing yang telah setia menemaniku sejak dari Hastina hingga ke puncak Mahameru ini dalam suka maupun duka," sanggah Puntadewa.

Sejurus kemudian, Puntadewa turun dari kereta bersama anjing piaraannya. 

Bhatara Indra memuji jawaban Puntadewa. Bagi Dewata penguasa langit dan gunung itu, Puntadewa telah menunjukkan kasih sayang, kesetiaan, dan penghargaan kepada teman hidupnya, meskipun hanya seekor anjing.

Bhatara Indra mempersilakan Puntadewa kembali naik ke kereta kencana. Kali ini, Segawon Lanang diizinkan ikut. Begitu naik ke kereta, anjing itu lenyap.

“Ketahuilah, kulup. Anjing itu sesungguhnya adalah penyamaran dari Bhatara Dharma.”

Puntadewa memasuki swarga dengan dituntun Bhatara Indra.

(Heru Sang Mahadewa)
Member of One Day One Post

#30DWC
Sumber gambar: album wayang Indonesia

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *