This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 08 Desember 2018

REVIEW TULISAN HISTORICAL FICTION ODOP 6


google.com



BABAD ALAS MENTAOK
Mbak Betty berada di jalur pemilihan tema yang tepat. Kisah perseteruan sesama anak cucu Panembahan Fattah masih menjadi salah satu tema yang paling diminati para penulis historical fiction.

Kelemahan Babad Alas Mentaok yang ditulis Mbk Betty hanya terletak pada penggunaan kata sapaan yang sedikit kurang pas (bukan berarti salah menurut PUEBI) jika dilihat dari setting waktu peristiwa. Kata sapaan “Nak” dan “Yahnda” adalah bahasa Jawa baru, sedangkan pada abad XV, lebih lazim menggunakan Ngger, Anakmas, Kangmas, Rama, Bapa, dll. Penokohan Jaka Tingkir dan Arya Jipang (baca-Penangsang) lumayan, kecuali pada dialek mereka.

Satu lagi, peralihan satu adegan ke adegan lainnya dalam rentang waktu dan tempat berbeda, terlalu cepat. Terkesan penulis ingin buru-buru meyelesaikan. Jika sedikit sabar, sebenarnya masih bisa dimainkan dengan dialog dan diksi yang lebih panjang.

Secara keseluruhan, cerita ini tetap layak menjadi salah satu nominasi pemenang tantangan kelas historical fiction. Jika diseriusin, bisa menjadi sebuah novel sejarah yang tebal dan menarik.


SEJARAHKU
Meski tema yang diangkat adalah sejarah sastra, tetapi tulisan salah satu PiJe kita ini layak disebut out of the topic. Karena bukan ini yang sebenarnya dibahas dalam kelas historical fiction.J

By the way, tulisan Mbk Dita tetap tidak boleh dilewatkan. Penggunaan diksi yang genit (baca: indah, mendayu-dayu) senantiasa menjadi daya pikat tulisan-tulisan fiksi alumni ODOP batch 3 ini. Pada Sejarahku, rangkaian peristiwa dari masa ke masa dikemas dengan bahasa yang memang nyastra banget.

Namun, karena ia adalah seorang PiJe, maka tidak etis kalau dimasukkan sebagai nominator pemenang tantangan kelas historical fiction.


RADEN SOEROSENTONO
Tidak banyak yang bisa dikupas dari historical fistion biografi tokoh legendaris asal sebuah Kademangan (kini menjadi Kecamatan) di Anjuk Ladang ini. Kang Win memang berada di zona nyaman.

Sebagai pemerhati sejarah, saya justru tertarik dengan sumber data yang dijadikan pijakan oleh penulis dalam menuturkan kisah Raden Soerosentono. Sayangnyya, di akhir tulisan tidak ada keterangan yang menyebutkan tentang itu. Jadi, terkesan cerpen Kang Win hanya folklore atau cerita dari gethok tular.

Namun, secara keseluruhan cerpen ini sangat layak untuk diorbitkan menjadi sebuah novel.


BABAD TULUNGAGUNG
Begitu membaca judulnya, pemerhati sejarah pasti langsung tertarik. Banarawa−nama Tulungagung di masa lalu, adalah salah satu obyek yang saat ini menjadi tujuan riset dalam rangka menyelesaikan novel Airlangga. Sampai pada tahap judul dan tema, Mbak Nurul cukup berhasil memilihnya.

Rangkaian kisah dituturkan dengan runut dan bahasa yang sederhana, sehingga enak dibaca dan mudah dimengerti.

Kelemahan Babad Tulungagung yang ditulis Mbak Nurul, terletak pada minimnya sumber data yang dipakai rujukan. Nampak pada awal cerita, sudah terjadi kesalahan tokoh sejarah. Tentu saja ini berpengaruh pada unsur intrinsik yang menjadi bagian tak terpisahkan dari sebuah tulisan fiksi.

Jika mau melakukan riset lebih mendalam, tulisan ini bisa menjadi sebuah novelet, atau bahkan novel yang bagus, karena pemilihan tema tepat.


Perang Besar dan Keagungan Cinta Dalam Pasola Sumba
Cerita rakyat, legenda, dan sejenisnya, jika dikemas dengan rangkaian alur, penokohan, konflik dan diksi yang tepat, akan menjadi karya besar. Tulisan Mbak Lisa ini sudah menemukan gen karya besar itu.

Meminjam ucapan Faisal Oddang saat ngopi bareng di Lidah Wetan, Surabaya, minggu lalu, jika seorang penulis pemula ingin menemukan jati diri atau identitas tulisannya, salah satu cara paling mudah adalah dengan mengangkat sejarah atau kultur daerah asalanya. Mbak Lisa sudah melakukannya!

Sedikit kelemahan pada Perang Besar dan Keagungan Cinta Dalam Pasola Sumba, adegan yang semestinya menjadi konflik utama, lagi-lagi dituturkan hanya sepintas. Seandainya saja peristiwa perang dua suku itu ditulis lebih galak ala The Troy, cerpen ini akan menjadi sebuah kisah perang kolosal,

Terlepas dari sedikit kekurangan di atas, Mbak Lisa tetap layak dijadikan nominator pemenang kelas historical fiction.


1998
Tragedi sejarah di ibu kota yang turut mewarnai detik-detik lengsernya Pak Harto, juga tidak kalah menarik diangkat menjadi tema cerpen. Mbak Amieopee jeli mengambilnya. Apalagi diangkat dengan gaya penulis non historical fiction.

Keindahan cerpen ini terletak pada frasa “pakaian dalam” dalam konflik utama. Sayang sekali, penulis hanya menuturkan rentetan peristiwa demi peristiwa berdarah secara singkat. Karakter tokoh utama bahkan nyaris tidak ada atau sulit tertangkap oleh pembaca. Masih ada kesan bahwa penulis ingin buru-buru menyelesaikannya. Tragedi Mei 1998, jika dituturkan lebih lebih galak, bisa menjadi cerpen layak terbit di media.

Secara keseluruhan, 1998 adalah bakal cerpen sangat menarik jika dibongkar dan ditata ulang.


PENANTIAN ASYIQAH
Cerpen ini adalah miniatur dari the great romance Panembahan Jin Bun/Jimbun (baca-Sultan Fattah). Mbak Lia berhasil menemukan tema besar yang luar biasa. Tema yang menjadi diskusi tak berkesudahan para pemerhati sejarah.

Bangunan kisah yang disusun dengan penokohan dan alur yang tepat, membuat tulisan ini sangat layak diorbitkan. Ada kemiripan dengan Babad Alas Mentaok-nya Mbak Betty. Tetapi Mbak Lia memiliki warna romance yang lebih kental pada cerpen ini.

Penggunaan bahasa Jawa Lama dan Baru yang kurang sesuai, sedikit mengurangi kesempurnaan Penantian Asyiqah. Kata sapaan di masa Kangjeng Susuhunan Ngampeldenta, lazim menggunakan Yayi, Kangmbok, Kangmas, dsb.

Jika mau mebata ulang kembali, cerpen ini bisa menjadi bakal sebuah novel.


ELSYE
Setting zaman penjajahan, khususnya masa pendudukan Jepang, menjadi tema miris jika diangkat menjadi sebuah tulisan fiksi. Terlebih lagi dengan menghadirkan tokoh perempuan korban kebiadaban seks bangsa Nipon, Jugun Ianfu.

Tetapi penulis ternyata menghadirkannya dengan warna dan tema berbeda. Mbak Kartika dengan terobosan baru justru berani menjadikan tokoh wanita Belanda dalam cerpennya. Lebih jauh, unsur horor turut mewarnai Elsye. Jadilah cerpen ini sebuah karya fiksi sejarah bercitarasa misteri. Syah-syah saja, dan ini adalah bentuk dari sebuah cerpen sejarah gaya baru. Seorang penulis historical fiction memang dituntut untuk menyajikan warna yang berbeda dari pakem.

Kelemahan cerpen Elsye, terletak dari minimya setting tempat. Terkesan bahwa penulis ingin cepat-cepat mengakhiri. Atau barangkali ini memang sengaja dibuat menjadi sebuah fiksmin?


BUKAN PEREMPUAN BIASA
Tema yang besar untuk sebuah tulisan cerpen. Mbak Asya sudah berada pada jalur tepat dalam pemilihan tema, ketika memosisikan diri sebagai tokoh dalam cerita yang mengambil setting waktu tahun 1800-an.

Dialog dalam bahasa Jawa Anyar, begitu runut dituturkan. Pembaca tidak perlu berpikir ulang untuk menangkap isi cerita..

Sayangnya, cerpen ini tidak memiliki setting tempat dan konflik yang kuat. Hanya terkesan cuplikan dialog antara seorang ibu dan anak perempuannya.

Jika dibongkar ulang, cerpen ini juga memiliki potensi untuk menjadi tulisan yang layak terbit di media.


KEMENANGAN PANGERAN SAMUDERA
Tema sejarah sebuah kerajaan, sebagaimana novel-novel yang ditulis para maestro fiksi sejarah, selalu menjadi best seller di kalangan pecintanya. Mbak Rindang sangat berani mengambilnya. Salut!

Alur cerita dipaparkan dengan berurutan. Dialog antar tokoh juga sangat hidup. Sayangnya, penokohan Pangeran Samudera yang menjadi judul cerpen justru lemah, nahkan nyaris tidak ada. Satu lagi, tidak adanya sumber data sejarah yang disampaikan di akhir tulisan, membuat pembaca sedikit menerka: cerpen ini diangkat dari sejarah atau hanya legenda?

Terlepas dari itu, tulisan Mbak Rindang yang berani mengangkat cerita rakyat daerah, layak dijadikan nominator pemenang kelas fiksi sejarah.


MEI 98
Tema yang paling laris diangkat para penulis pendobrak. Tragedi kelam ini memang tak ada habisnya untuk kembali dipilih, baik oleh romace, satire, maupun historical fiction.

Ibu Kiya mencoba menuturkan sejarah Mei 1998 dengan setting plot, tokoh, dan tempat yang dikaburkan. Lebih berasa ke tulisan satire daripada sejarah. Sangat menarik. Sejarah dipaparkan dengan gaya pendobrak.

Kelemahan cerpen Mei 98 justru terletak pada kaburnya gaya menulis yang mencoba digunakan Ibu Kiya. Antara satire dan historical fiction-nya sama-sama kurang kuat. Jika menginginkan satire, seharusnya cerpen ini bisa dibikin lebih galak dan menyengat. Atau sebaliknya, jika ingin dikuatkan sisi sejarahnya, kenapa harus mengaburkan tokoh dan setting tempatnya? Hajar sekalian, Bu!


PARTITUR PIANO
Tema yang besar, ditulis dengan plot, penokohan dan setting yang nyaris sempurna. Ending cerpen juga menyentak.

Tidak ada celah yang bisa dikoreksi. Mengikuti bait demi bait cerpen Mbak Silvana ini serasa membaca trilogy Syiwa-nya Amish. Hanya saja, seandainya penulis memosisikan diri sebagai tokoh dalam Partitur Piano, pembaca akan dibuat lebih takjub. Menggunakan POV 1 misalnya.

Partitur Piano memang layak menjadi pemenang.


BATURRADEN
Mbak July sudah memulai tantangan dengan pemilihan tema yang benar. Toponimi, asal muasal, dan sejenisnya adalah cara mudah memulai menulis di genre hisorical fiction.

Penokohan dan alur dibangun dengan nyaris sempurna. Sayangnya, tidak ada konflik kuat yang dihadirkan penulis. Cerpen juga terkesan ingin cepat-cepat diakhiri.

Jika direvisi dengan jeli, Baturraden layak dijadikan antologi historical fiction.


THE MADNESS OF MALLEUS MALEFICARUM
Tidak jauh berbeda dengan Partitur Piano-nya Mbak Silvana, dalam cerita ini, Mbak Fathin menghadirkan tema yang sama-sama besar.

Gaya penulisan, penokohan, plot, dan konflik disajikan dengan kuat. Jelas sekali menunjukkan baahwa penulis memiliki jam terbang tinggi dalam membaca tulisan berkualitas.

Sedikit kelemahan di cerpen ini terletak pada bagian akhir tulisan. Warna non fiksi terasa lebih kuat dibandingkan fiksi.

Secara keseluruhan, The Madness Of Malleus Maleficarum adalah pesaing terkuat Partitur Piano dalam memenangkan tantangan kelas historical fiction.


ASMARA SRI HUNING MUSTIKANING TUBAN
Kisah klasik dalam seni drama Ludruk dan Ketoprak ini adalah tema yang sangat tepat dihadirkan penulis. Mbak Pebri mencoba menuturkannya dalam gaya berbeda.

Opening yang mengutip sebuah tembang Jawa, menjadikan cerpen ini berasa seperti novel Damar Shasangka dan Makinuddin Samin, dua penulis historical fiction yang buku-bukunya selalu menjadi best seller.

Penokohan, plot, dan konflik dibangun dengan sederhana, namun cukup berhasil memikat pembaca. Sayangnya, adegan peristiwa perang tidak didesain secara kolosal. Padahal ada peluang di sana untuk membuat cerpen lebih galak.

Kelemahan lainnya, durasi cerpen ini terlalu pendek untuk kategori sebuah kisah sebesar Sri Huning. Jika mau membongkarnya, Mbak Pebri bisa menjadikannya sebagai bakal sebuah novel.


FILOSOFI MANGGARAI
Tema yang sangat menarik. Tetapi membaca tulisan Mas M. Ali Asetiah ini nyaris tidak menemukan rasa fiksinya. Lebih tepat dijadikan sebuah artikel. By the way, salut atas usaha Mas Ali.


KEBENCIAN ABDUL UZZA
Tidak banyak penulis historical fiction yang berani mengambil tema religi, atau setting jazirah Timur Tengah masa silam. Salut untuk keberanian Mbak Mutia.

Konflik yang disajikan langsung pada opening, menjadikan cerpen ini memiliki daya pikat kuat bagi pembaca untuk mengikuti paragraph demi paragraph selanjutnya. Bangunan kisah juga dihadirkan dengan plot, tokoh dan gaya bertutur yang mudah ditangkap.

Penjelasan identitas tokoh di akhir tulisan, semakin menyempurnakan jawaban atas penokohan yang sengaja dibuat menggantung dari awal hingga ending. Luar biasa tehnik ini!

Satu-satunya kelemahan cerpen Mbk Mutia, mungkin hanya pada durasi. Sayang kalau kisah ini hanya disajikan dalam halaman yang pendek.


PERTANYAAN TENTANG KEDATANGAN RENGASDENGKLOK
Tema yang luar biasa besar. Sejarah perjalanan bangsa Indonesia menuju hari kemerdekaan, seharusnya memang wajib diangkat menjadi tema historical fiction.

Mbak Dwi sudah memulai dengan setting tempat dan waktu yang benar. Penokohan juga cukup berhasil. Sayangnya, sudut pandang bukan orang pertama, senantiasa menjadikan cerpen sejarah kehilangan rasa fiksinya. Seharusnya penulis bisa masuk ke dalam cerpen dengan memosisikan diri sebagai tokoh. Lastri misalnya.

Secara keseluruhan, cerpen Mbak Dwi sangat layak menjadi kontributor antologi historical fiction.


ASMARA SUNAN KALIJAGA DENGAN NYI RORO KIDUL
Dari Sembilan belas cerpen historical fiction, tulisan Mbak Is ini adalah satu-satunya sub genre historical fantasy. Salut!

Tidak banyak yang bisa dikoreksi dari sebuah tulisan fantasy. Hanya saja, seharusnya, sebuah cerpen sejarah tetap tidak boleh mengandung cacat logika sejarah. Meskipun hanya fiksi penuh khayalan, siapa Kanjeng Sunan Kalijaga dan siapa Nyi Roro Kidul, harus dicari sumber data sebanyak-banyaknya, sebelum menjadikan sosok keduanya sebagai tokoh utama. Di sinilah kelemahan Asmara Sunan Kalijaga Dengan Nyi Roro Kidul.

Kelebihan cerpen Mbak Is, terletak pada keberanian mendobrak pakem sejarah. Tidak banyak penulis yang mengambil genre fantasy sejarah.

Salam.
Rahayu Mulyaning Jagad.

(Heru Sang Amurwabhumi)
Ketua ODOP Demisioner

Senin, 01 Oktober 2018

MIMPI ITU BERNAMA PIALA DUNIA





Satu malam menjelang babak delapan besar AFC U16 Championship 2018, aku sengaja menemui kembali seorang sahabat lama di Kota Udang, Sidoarjo. Seperti waktu-waktu sebelumnya, perawakan lelaki tambun dengan model rambut gondrong itu masih saja mirip mendiang W.S. Rendra ketika beliau masih sugeng. Tidak hanya sekedar gaya rambut, bicaranya yang ceplas-ceplos dan terkadang dibumbuhi Cak-Cuk, membuat pria paruh baya yang akrab kupanggil Cak Rendra (meski nama sebenarnya adalah Abdul Muis) itu jiannn persis dengan penyair si Burung Merak.

Malam itu, kami duduk berhadap-hadapan di sebuah kedai, Rolag Café, di pusat kota yang disebut sebagai Tanah Sakral oleh Binder Singh—komentator sepak bola, setelah untuk kali kedua, di Sidoarjo, lagi-lagi tim nasional sepak bola Indonesia menjadi Raja Asia Tenggara.

“Indonesia mbois!” ucap Cak Rendra.

“Apanya yang mbois, Cak? Musibah gempa dan tsunami Donggala Palu yang digoreng menjadi komoditi politik oleh para simpatisan capres? Atau berita tentang pencekalan Imam Besar justru oleh negara yang konon menjamin segala kebutuhan hidupnya, Arab Saudi?” tanyaku.

“Tentu saja bukan. Ini tentang sepak terjang Garuda Muda—julukan timnas U16, yang tiba-tiba melesat seperti laju meteor, hingga menapakkan kaki di babak quarter final Piala Asia,” jawabnya, sembari meneguk cappucino yang baru saja diantar seorang pelayan kafe cewek, dengan dandanan ala artis K-Pop Korea.

“Mirip aktris drama Oh My Ghost, Park Bo Young, Cak,” bisikku.

Cocot-mu!” Pisuh Cak Rendra. “Aku justru mebayangkannya sebagai Via Vallen saat tampil di launching Liga Satu,” lanjutnya sembari pringisan.

Aku tertawa terpingkal-pingkal. Beruntung si mbak pelayan kafe yang entah lebih pantas dimiripkan Park Bo Young atau Via Vallen itu tidak menyadari sedang menjadi tema pembicaraan dua lelaki yang baru saja dihampirinya.

Aku mengeluarkan sebungkus lintingan daun nikotin keluaran pabrik asal Kota Tahu, Kediri, Surya International, lalu menyodorkan sebatang isinya kepada Cak Rendra. Tentu saja lengkap dengan korek api bensol. Beberapa detik kemudian, bibir Cak Rendra nampak menghisap dalam-dalam batangan itu. Kepulan demi kepulan asap menari-nari dengan gemulai di atas meja kami. Serupa dengan lenggak-lenggok langkah si mbak pelayan kafe tadi.

“Ini generasi emas Indonesia setelah lima tahun silam kita pernah memiliki Evan Dimas dan kawan-kawan, Cak,” timpalku.

Iya, begitulah. Indonesia akhirnya tampil sebagai juara grup C kualifikasi Piala AFC U16 di Malaysia. Setelah sebulan sebelumnya menjadi jawara Piala AFF U16 di Sidoarjo, kali ini di negerinya Mahatir Muhammad itu anak asuh Fachri Husaini bersama India sukses memenangi persaingan ketat Laskar Khoemini, Iran, dan pasukan The Golden Star, Vietnam.

“Satu kaki kita sudah menginjak rumput Piala Dunia Peru tahun depan. Meski impossible, mengalahkan Australia bukan pula mustahil kita lakukan,” lanjut Cak Rendra.

“Kalau begitu, namanya sudah kepalang tanggung. Kenapa tidak sekalian saja kita geber terus laju ini menuju Peru, Cak?” Aku mengamini.

“Jangan lupa bahwa ketika turnamen serupa dulu digelar pada tahun 1990, kita berhasil lolos ke semifinal, meski akhirnya dihentikan Uni Emirat Arab. Sayangnya, jatah tiket ke Piala Dunia kala itu hanya untuk negara yang berhasil menyabet gelar juara pertama, kedua, dan ketiga.” Cak Rendra kembali membuka memori indah ketika Indonesia berhasil menjadi semifinalis juara Piala AFC U16 tahun 1990.

Kami berdua sama-sama menghela napas panjang. Menyesap capuccino di cangkir masing-masing, lalu berlomba menghisap batangan rokok yang tinggal separuh.

Iya, Sore ini, 1 Oktober 2018, bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila, Indonesia akan mencoba mencetak sejarah untuk negeri tercinta yang sedang dilanda duka. Sejarah bahwa bangsa yang sedang terkoyak tirai kerukunannya akibat suhu politik pilpres yang mulai menghangat, juga bangsa yang sedang bercucuran air mata akibat bencana tsunami yang meluluhlantakan Donggala Palu ini, mengukir nama sebagai kontestan Piala Dunia di Peru tahun depan.

Raksasa sepakbola yang akan menghadang laju Garuda Muda adalah Australia. Dalam pertemuan terakhir, negeri Kanguru berhasil mengalahkan kita dengan skor telak 7-3.

“Kenapa ya, Cak, lagi-lagi kita harus ketemu tim besar?”

Aku sedikit merasa pesimis.

“Fase ini memang sudah memasuki babak delapan besar. Wajar kalau yang tampil adalah tim-tim besar. Tetapi, jangan remehkan Merah Putih. Sekecil apapun, justru feeling-ku kok tahun ini adalah tahunnya olah raga Indonesia bangkit,” sanggah Cak Rendra.

“Kenapa sampean bisa mengatakan demikian?”

“Iya feeling saja. Puncak ujian olah raga Indonesia sudah lewat, yaitu ketika berhasil menjadi tuan rumah Asian Games sebulan silam. Bukan hanya sukses sebagai penyelenggara lho. Kita juga berhasil mendulang tiga puluh satu medali emas dan menduduki peringkat empat. Ini bukan kebetulan!” Tegas Cak Rendra.

“Masuk akal juga analisa sampean,” pujiku.

Kembali kami membakar satu lagi lintingan daun nikotin. Menyesap sisa cappuccino terasa agak pahit karena hanya tinggal ampas. Obrolan terus berlanjut hingga ngetan ngulon tak jelas jluntrungnya. Sesekali, aku sempatkan melirik Park Bo Young kawe yang sedang duduk di depan loket kasir kafe.

Tepat pukul sembilan malam, aku mengajak Cak Rendra menyudahi obrolan. Setelah melambaikan tangan kepada si mbak pelayan kafe sebagai isyarat pamit, kuantarkan sahabat yang sepemikiran dalam menyikapi hitam putih sepakbola nasional itu sampai di parkiran motornya.

Dengan menyisakan harapan yang mudah-mudahan sore ini menjadi kenyataan, tak lama kemudian aku juga memacu sepeda motor, membelah simpang empat alun-alun Sidoarjo, lalu berbelok arah ke utara, menuju Kota Buaya.

Sepanjang perjalanan pulang, harapan yang tersisa itu terus mengusik pikiranku. Harapan tentang terukirnya sejarah bagi bangsa Indonesia. Sejarah yang bernama Piala Dunia.

Ah, maju terus Garuda Mudaku.

( Heru Sang Mahadewa)
Member Of One Day One Post

Selasa, 31 Juli 2018

SERAT PARARATON



dewisundari.com

BAGIAN I

(1)
Tuhan, Pencipta, Pelindung dan Pengakhir Alam, semoga tak ada halangan. Sudjudku sesempurna-sempurnanya.

Demikian inilah kisah Ken Angrok. Asal mulanya ia dijadikan manusia adalah seorang anak janda di Jiput, berkelakuan tidak baik, memutus-mutus tali kekang kesusilaan, menjadi gangguan Hyang yang bersifat gaib. Pergilah ia dari Jiput, mengungsi ke daerah Bulalak. Nama Yang Dipertuan di Bulalak itu Mpu Tapawangkeng. Ia sedang membuat pintu gerbang pertapaan, dimintai seekor kambing merah jantan oleh roh pintu. Kata Tapawangkeng, “Tak akan berhasil berpusing kepala, akhirnya ini akan menyebabkan diriku jatuh ke dalam dosa, kalau sampai terjadi aku membunuh manusia, tak akan ada yang dapat menyelesaikan permintaan korban kambing merah itu.”

Kemudian orang yang memutus-mutus tali kekang kesusilaan tadi berkata sanggup menjadi korban pintu Mpu Tapawangkeng. Sungguh ia bersedia dijadikan korban, agar ini dapat menjadi lantaran untuk dapat kembali ke surga Dewa Wisnu dan menjelma lagi di dalam kelahiran mulia, ke alam tengah lagi. Demikianlah permintaannya.

Demikianlah ketika ia direstui Mpu Tapawangkeng, agar dapat menjelma, disetujui inti sari kematiannya, akan menikmati tujuh daerah. Sesudah mati, maka ia dijadikan korban oleh Mpu Tapawangkeng. Selesai itu, ia terbang ke surga Wisnu, dan tidak bertentangan dengan inti perjanjian yang dijadikan korban, ia meminta untuk dijelmakan di sebelah timur Kawi.

Dewa Brahma mencari-cari siapa yang akan dijadikan temannya bercinta. Sesudah demikian itu, ada mempelai baru sedang cinta mencintai. Yang lelaki bernama Gajahpara, yang perempuan bernama Ken Endok. Pekerjaan mereka ini bercocok tanam.

Ken Endok pergi ke sawah, mengirim suaminya, yaitu si Gajahpara. Nama sawah tempat ia mengirim: Ayuga. Desa Ken Endok bernama Pangkur.

(2)
Dewa Brahma turun ke situ, bersenggama dengan Ken Endok. Pertemuan mereka yang kedua terjadi di ladang Lalaten. Dewa Brahma mengenakan perjanjian kepada isteri itu, “Jangan kamu bersenggama dengan lelakimu lagi. Kalau kamu bersenggama dengan suamimu, ia akan mati. Lagipula akan tercampur oleh anakku itu. Nama anakku itu: Ken Angrok. Dialah yang kelak akan memerintah tanah Jawa. Lalu Dewa Brahma menghilang.

Lalu Ken Endok ke sawah, menemui Gajahpara. Kata Ken Endok, “Kakak Gajahpara, hendaknyalah maklumi, saya telah bersenggama di dalam pertemuan dengan Hyang yang tidak nampak di lading Lalaten. Pesan beliau kepadaku; jangan tidur dengan lelakimu lagi, akan matilah lelakimu jika memaksa tidur dengan kamu, dan akan tercampur anakku itu.”

Lalu pulanglah Gajahpara. Sesampainya di rumah, Ken Endok diajak tidur, akan disenggamai di dalam pertemuan lagi. Ken Endok segan terhadap Gajahpara, “Wahai Kakak Gajahpara, putuslahlah perkawinanku dengan kakak, aku takut kepada ucapan Sang Hyang. Beliau tidak mengijinkan aku berkumpul dengan kakak lagi.”

Kata Gajahpara, “Adik, bagaimana ini? Apa yang harus kuperbuat? Nah, aku tidak berkeberatan kalau harus cerai dengan kamu. Adapun harta benda pembawaanmu kembali kepadamu lagi, adik. Harta benda milikku kembali pula kepadaku lagi.”

Sesudah itu Ken Endok pulang ke Pangkur di seberang utara, dan Gajahpara tetap bertempat tinggal di Campara di seberang selatan. Belum genap sepekan kemudian, matilah Gajahpara. Kata orang yang menggunjingkan, “Luar biasa panas anak di dalam kandungan itu, belum seberapa lama perceraian orang tua laki-laki dan perempuan, sudah diikuti orang tua laki-laki segera meninggal dunia.”

Akhirnya sesudah genap bulannya, lahirlah seorang anak laki-laki. Dibuang di kuburan anak-anak oleh Ken Endok. Selanjutnya ada seorang pencuri bernama Lembong tersesat di kuburan anak-anak itu. (Ia) melihat benda menyala, didatangi oleh Lembong, terdengar anak menangis. Setelah didekati oleh Lembong itu, nyatalah yang menyala itu anak yang menangis tadi. Diambillah dan dibawa pulang, diakui anak oleh Lembong.

Ken Endok mendengar bahwa Lembong memnungut seoramh anal. Teman Lembonglah yang memberitahukan itu dengan menyebuy-nyebut anak yang didapatnya dari kuburan anak-anak, nampak menyala pada waktu malam hari.

Lalu Ken Endok datang kepadanya, sungguhlah itu anaknya sendiri. Kata Ken Endok, “Kakak Lembong, kiranya tuan tahu tentang anak yang tuan dapat itu adalah anak saya, Kakak. Jika kakak ingin tahu riwayatnya, demikianlah: Dewa Brahma bersenggama dengan saya. Jangalah tuan tidak memuliakan anak itu, karena dapat diumpamakan anak itu beribu -

(3)
- dua berayah satu, demikian persamaannya.”

Lembong beserta keluarganya semakin cinta dan senang. Lambat laun, anak itu akhirnya tumbuh besar, dibawa pergi mencuri oleh Lembong. Setelah mencapai usia sebaya dengan anak gembala, Ken Angrok bertempat tinggal di Pangkur. Habislah harta benda Ken Endok dan harta benda Lembong. Habis dibuat taruhan oleh Ken Angrok. Kemudian ia menjadi anak gembala pada Yang Dipertuan di Lebak, menggembalakan sepasang kerbau. Lama kelamaan kerbau yang digembalakan itu hilang. Kerbau sepasang diberi harga delapanm ribu oleh Yang Dipertuan di Lebak. Ken Angrok sekarang dimarahi oleh orang tua laki-laki dan perempuan, kedua-duanya, “Nah buyung, kami berdua mau menjadi hamba tanggungan, asal kamu tidak pergi saja. Kami sajalah yang akan menjalani, menjadi budak tanggungan pada Yang Dipertuan di Lebak.”

Akhirnya tidak dihiraukan. Ken Angrok pergi. Kedua orangtuanya ditinggalkan di Campara dan di Pangkur. Lalu Ken Angrok pergi mencari perlindungan di Kapundungan. Orang yang diungsi dan dimintai tempat berlindung tak menaruh belas kasihan.

Ada seorang penjudi permainan Saji berasal dari Karuman, bernama Bango Samparan, kalah bertaruhan dengan seorang Bandar judi di Karuman, ditagih tak dapat membayar uang. Bango Samparan pergi dari Karuman, berziarah ke tempat keramat Rabut Jalu, lalu mendengar ucapan dari angkasa, disuruh pulang ke Karuman lagi. “Kami mempunyai anak yang akan dapat menyelesaikan hutangmu. Ia bernama Ken Angrok.”

Pergilah Bango Samparan dari Rabut jalu, berjalan pada waktu malam, akhirnya menjumpai seorang anak, dicocokkan oleh Bango Samparan dengan petunjuk Hyang, sungguhlah itu Ken Angrok, dibawa pulang ke karuman, diaku anak oleh Bango Samparan.

Mereka lalu ke tempat berjudi. Bandar judi ditemui oleh Bango Samparan, ditantang berjudi, kalahkan Bandar itu. Pulihlah kekalahan Bango Samparan. Ternyata betul petunjuk Hyang itu. Ken Angrok dibawa Bango Samparan pulang ke Karuman.

Bango Samparan beristri dua. Genuk Buntu nama istri tuanya, dan Tirtaya nama istri mudanya. Adapun nama anak-anaknya dari istri muda adalah Panji Bawuk, anak tengah Panji Kuncang, adiknya Panji Kunal dan Panji Kenengkung. Bungsunya seorang anak perempuan bernama Cucu Puranti. Ken Angrok diambil anak oleh Genuk Buntu.

Lama ia tinggal di Karuman, tidak dapat sehati dengan semua para Panji itu, Ken Angrok berkehendak pergi dari Karuman. Lalu ia ke Kapundungan, bertemu dengan seorang anak gembala, anak Tuan Sahaja, Kepala Desa tertua di Sagenggeng, bernama Tuan Tita. Ia bersahabat karib dengan Ken Angrok. Tuan Tita dan Ken Angrok saling menyukai. Selanjutnya Ken Angrok bertempat tinggal pada Tuan Sahaja. Tak pernah berpisahlah Ken Angrok dan Tuan Sahaja itu, mereka ingin tahu tentang bentuk huruf-huruf, pergilah ke seorang guru di Sagenggeng, sangat ingin menjadi murid, minta diajari sastra.

Mereka diberi pelajaran tentang bentuk-bentuk dan penggunaan pengetahuan tentang huruf-huruf hidup dan huruf-huruf mati, semua perubahan huruf, juga diajar -

(4)
- tentang sengkalan (penanda masa), perincian hari paruh bulan, bulan, tahun Saka, hari enam, hari lima, hari tujuh, hari tiga, hari dua, hari sembilan, nama-nama minggu. Ken Angrok dan Tuan Tita kedua-duanya pandai diajar pengetahuan oleh gurunya.

Ada tanaman sang guru, menjadi hiasan di halaman, berupa pohon jambu yang ditanamnya sendiri. Buahnya sangat lebat, sungguh padat karena sedang musimnya. Dijaga baik, tak ada yang diijinkan memetik, tak ada yang berani mengambil buah jambu itu. Kata guru, “Jika jambu itu sudah masak, petiklah!”

Ken Angrok sangat ingin melihat buah jambu itu. Sangat dikenang-kenangkan buah jambu tadi. Setelah malam tiba, waktu orang sedang tidur nyenyaknya, Ken Angrok tidur, kini keluarlah kelelawar dari ubun-ubun Ken Angrok, berbondong-bondong tak ada putusnya, semalam-malaman memakan buah jambu sang guru.

Pada waktu paginya, buah jambu nampak berserak-serakan di halaman, diambil oleh pengiring guru. Ketika guru melihat buah jambu rusak berserakan di halaman itu, maka menjadi sedih.

Kata guru kepada murid-muridnya, “Apakah sebabnya sehingga jambu itu rusak?”

Menjawablah pengiring guru, “Tuanku, rusaknya itu karena bekas kelelawar yang memakan jambu itu.”

Kemudian guru mengambil duri rotan untuk mengurung jambunya dan dijaga semalam-malaman. Ken Angrok tidur lagi di atas balai-balai sebelah selatan, dekat tempat daun ilalang kering. Di tempat ini biasanya guru menganyam atap.

Menurut penglihatan, guru melihat kelelawar penuh sesak berbondong-bondong keluar dari ubun-ubun Ken Angrok, semuanya memakan buah jambu guru. Bingunglah hati guru itu. Marahlah guru itu. Ken Angrok diusir oleh guru, kira-kira pada waktu tengah malam guru mengusirnya. Ken Angrok bangun terperanjat bangun terhuyung-huyung, lalu keluar, pergi tidur di tempat ilalang di luar. Ketika guru menengoknya keluar, ia melihat ada benda menyala di tengah ilalang. Guru terperanjat mengira ada kebakaran. Setelah diperiksanya yang tampak menyala itu adalah Ken Angrok, ia disuruh bangun dan pulang, diajak tidur di dalam rumah lagi. Menurutlah Ken Angrok pergi di ruang tengah lagi. Pagi-paginya ia disuruh mengambil buah jambu oleh guru. Ken Angrok senang. Katanya, “Aku berharap semoga aku menjadi orang, aku akan membalas budi kepada guru.”

Lama kelamaan Ken Angrok tumbuh menjadi dewasa, menggembala dengan Tuan Tita, membuat pondok, bertempat di sebelah timur Sagenggeng, di ladang Sanja, dijadikan tempatnya untuk menghadang orang yang melewati jalan, dengan Tuan Tita temannya.

(5)
Adalah seorang pemahat di hutan Kapundungan, mempunyai seorang anak perempuan cantik, ikut serta pergi ke hutan, dipegang oleh Ken Angrok, disenggamai di dalam hutan. Hutan itu bernama Adiyuga. Makin lama makin berbuat rusuhlah Ken Angrok. Kemudian ia memperkosa setiap orang perempuan yang melalui jalan itu.

Hal itu diberitakan sampai di (ibu kota) negara Daha, bahwasanya Ken Angrok berbuat rusuh itu, maka ia ditindak untuk dilenyapkan oleh penguasa daerah yang berpangkat Akuwu, bernama Tunggul Ametung. Pergilah Ken Angrok dari Sagenggeng, mengungsi ke tempat keramat Rabut Gorontol.

“Semoga tenggelam di dalam air, orang yang akan melenyapkan aku!” Kutuk Ken Angrok. “Semoga keluar air dari dalam dalam tanah, sehingga terjadilah tahun tak ada kesulitan (air) di Jawa.”

Ia pergi dari Rabut Gorontol, mengungsi ke Wayang, ladang di Sukamanggala. Ada seorang pemikat burung pipit, ia memperkosa orang yang sedang memanggil-manggil burung itu, lalu menuju ke tempat keramat Rabut Katu. Ia heran, melihat tumbuhan katu sebesar beringin. Dari situ lari mengungsi ke Jun Watu, daerah orang sempurna, mengungsi ke Lulumbang, bertempat tinggal di penduduk desa, keturunan seorang prajurit, bernama Gagak Uget.

Lamalah ia tinggal di situ, memperkosa orang yang sedang melalui jalan. Ia lalu pergi ke Kapundungan, mencuri di Pamalantenan, ketahuanlah ia, dikejar, dikepung, tak tahu ke mana ia mengungsi. Ia memanjat pohon tal, ditunggu orang Kapundungan di bawah, sambil dipukulkan canang. Pohon tal itu ditebang oleh orang-orang yang mengejarnya. Sekarang ia menangis, menyebut-nyebut sang Pencipta Kebaikan atas dirinya. Akhirnya ia mendengar sabda dari langit. Ia disuruh memotong daun tal, untuk dijadikan sayapnya kiri kanan, agar dapat melayang ke seberang timur. Mustahil ia akan mati.

Lalu ia memotong daun tal, mendapat dua helai, dijadikan sayapnya kiri kanan. Ia melayang ke seberang timur, mengungsi ke Nagamasa, diikuti, dikejar, mengungsilah ia ke daerah Oran. Masih dikejar, diburu, lari ke daerah Kapundungan. Yang Dipertuan di daerah Kapundungan didapatinya sedang bertanam. Ken Angrok ditutupi dengan cara diakui anak oleh Yang Dipertuan itu.

Anak Yang Dipertuan di daerah itu sedang bertanam, banyaknya enam orang. Kebetulan yang seorang sedang mengeringkan empang. Tinggal lima orang, yang sedang pergi itu digantikan menanam oleh Ken Angrok. Datanglah yang mengejarnya seraya berkata kepada penguasa daerah, “Wahai Tuan Kepala Daerah, ada seorang perusuh yang kami kejar. Tadi mengungsi kemari.”

(BERSAMBUNG)

***

Disadur dari grup Majapahit (Yayasan Abiyasa) dan Alang-Alang Kumitir. Diterjemahkan kembali versi bebas oleh penulis.

Heru Sang Amurwabhumi

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *