Kuru
Setra bagai sosok gembel tua: kotor dan menjijikkan. Tubuhnya menebar aroma
busuk. Kelindaran aroma dari tumpukan bangkai manusia yang menjadikan tegal itu
sebagai jalan kematian menapaki dharma kesatria.
Di
Kuru Setra, darah tumpah tiada henti, bagai aliran bengawan Bagiratri. Siang
menjadi saksi saling tumpas sesama wangsa Bharata. Malam akan menangisi
kekelaman yang ditorehkan siang.
Hari
itu adalah perang pada hari ketujuh belas. Sejak matahari menampakkan diri di cakrawala timur, sangkakala telah ditiiup senopati
dua kubu yang bersetru: Kurawa dan Pandawa.
Dari sisi utara Kuru Setra, empat ekor kuda putih menari-menari dengan kibasan
ekornya. Kuda-kuda yang tiga wuku sebelumnya dibawa dari kedhaton Dwarawati. Kuda
yang menjadi penarik kereta Kyai Jaladara milik Kresna.
Tak
kalah indah dengan kuda milik Kresna, dari arah berlawanan nampak pula empat ekor
kuda coklat yang menarik kereta Kyai Jatisurya sedang memamerkan kelincahan
kakinya. Mereka menyelinap di antara barisan Kurawa, menuju ke tengah tegal
Kuru Setra.
Derap
kaki kuda penarik Kyai Jatisurya dan Kyai Jaladara meninggalkan debu yang
mengepul ke udara. Membuat kawanan burung pemakan bangkai terbang berhamburan.
Disusul gegap gempita sorak-sorai pasukan Pandawa dan Kurawa yang membakar
nyali senopati mereka: Arjuna dan Karna.
Kresna
yang menjadi kusir Arjuna menghentakkan tali kekang kuda kuat-kuat. Pun juga
dengan Salya, Maharaja Mandaraka yang rela menjadi kusir menantunya: Karna.
“Hentikan
kereta, ramanda Prabhu.”
“Ada
apa, Karna?”
Karna
tidak serta menjawab. Ia menggeser posisi tubuhnya lebih dekat ke arah Salya
yang dengan sigap menghentikan laju Kyai Jatisurya. Ditatapnya kelebatan
panji-panji musuh yang terus bergerak dari jarak tak lebih dua ratus tombak.
“Hamba
titip Yayi Surtikanti, ramanda.” Ucap Karna lirih.
“Apa
yang ada dalam benakmu, sehingga mendadak nyalimu menciut, Karna? Tidakkah kau
ingat, seandainya matahari tidak terbenam, leher Arjuna sudah tertebas oleh
anak panahmu kemarin petang?”
Karna
kembali tidak menjawab. Adipati Awangga itu hanya menarik napas panjang.
Terlintas bayangan peristiwa dua malam setelah perang hari kelima belas.
Bayangan
ketika ia baru saja melakukan penghormatan pada upacara Attiwa-tiwa jasad
Gaototkaca yang tewas oleh lesatan anak panah miliknya. Karna diterpa
penyesalan yang mendalam. Diam-diam, ia meninggalkan pesanggrahan
Randuwatangan.
Karna
berjalan mendekati sebatang pohon genitri. Di bawah pohon suci itu, ia duduk
bersila. Udara malam yang membawa aroma anyir darah dan bau bangkai dari Kuru
Setra menyapu pepohonan yang tumbuh di sepanjang aliran bengawan Bagiratri.
Membuat daun-daun yang sudah renta berguguran satu per satu. Karna kian hanyut ke dalam hening yang menghanyutkan batin. Ia mengambil
posisi duduk siddhasana. Tangannya sempurna tertangkup dalam sikap anjali
murda. Sejenak kemudian, seluruh indera dan pikirannya telah menyatu ke jagad
sonya.
Karna
melihat dirinya sendiri sedang berdiri tak jauh dari tempat ia melakukan
samadhi. Sepuluh tombak di hadapannya, seorang laki-laki yang tak asing
baginya, berdiri pula dengan membentangkan busur. Laki-laki yang tak lain
adalah Arjuna.
Ingin
sekali Karna menjelaskan bahwa kematian Gatotkaca adalah garis Dewata yang
tidak bisa ditolak. Kematian yang menjadi dharma kesatria, seperti halnya
kematian Bisma Yang Agung, Begawan Drona, dan Abhimanyu.
Namun,
belum sempat Karna berucap, Arjuna telah melepaskan anak panah yang serta merta
menyasar kepalanya. Dalam sekejapan, ia melihat kepala itu lepas dari tubuhnya.
Seketika,
Karna sudah terjaga dari samadhi.
Kini, sosok lelaki yang
hadir dalam pawisik samadhi akan bertarung dengan Karna untuk kedua kali di
tegal Kuru Setra.
“Hamba
sudah melihat Bathara Yamadipati melambai-lambaikan tangan kemari. Rasanya,
hari kematian hamba telah tiba. Maafkan. Sekali lagi, sembah dan bhakti hamba
terkahir kali untuk ramanda Prabhu Salya. Sampaikan salam hamba untuk Yayi
Surtikanti.”
Karna
mengangkat sembah.
Salya
tak sanggup membalas ucapan menantunya. Ia hanya membiarkan air mata menggenang
di pelupuknya.
Dua
jurus kemudian, Salya kembali memacu kereta Kyai Jatisurya
sekencang-kencangnya. Membelah barisan prajurit Kurawa. “Angkat panahmu,
Karna!”
Salya
mencoba membakar semangat senopati Kurawa.
“Arjuna,
aku datang!”
Kini,
jarak kereta Kyai Jatisurya dan Kyai Jaladara semakin dekat. Kuda-kuda yang
membawa mereka meringkik keras. Binatang-binatang itu seperti ngeri menyaksikan
pertarungan dua kesatria besar yang sejatinya adalah sama-sama anak dari Kunti.
“Hari
ini, ganti kamu yang akan nahas, Rakawi Karna!”
Arjuna
ganti bersesumbar.
Tanpa
aba-aba, Karna dan Arjuna langsung mencabut anak panah masing-masing. Lalu,
keduanya terlibat saling serang, beradu ketangkasan memainkan warastra. Kuru Setra
mendadak hujan oleh atusan anak panah.
“Terimalah
ini, Arjuna!”
Karna
berteriak lantang sembari merentangkan busur lebar-lebar. Anak panah pamungkasnya
telah lepas.
Teriakan
terakhir. Karena dalam waktu yang bersamaan, Arjuna juga melesatkan Kyai Pasopati.
Anak panah bermata bulan sabit pemberian Bhatara Indra itu bukan hanya
menangkis anak panah yang dilepaskan Karna, tapi lajunya terus melesat hingga
memecahkan dada sang adipati Awangga.
Karna
roboh dan terjatuh dari kereta Kyai Jatisurya. Tubuhnya tersungkur ke tanah. Darahnya
berhamburan. Sebagian membasahi tubuh Salya. Beberapa saat lamanya, senopati
Kurawa itu berkelonjotan menahan rasa sakit dari anak panah Pasopati.
Arjuna
menjatuhkan busurnya. Ia berjalan mendekati tubuh Karna yang sedang berjuang
melawan maut.
“Ar
… ju … na,” tangan Karna menggapai-gapai ke arah Arjuna. “Sam … pai … kan … sem
… bah … bhak … ti … ku … un … tuk … i … bu,”
Karna melihat darahnya sendiri membasahi tanah Kuru Setra di bawahnya. Perlahan,
tatapan matanya seperti tertutup ribuan kunang-kunang. Sakit yang dirasakannya
mendadak hilang. Berganti rasa hangat dan nyaman.
Dalam
sekedipan mata kemudian, dari atas langit Kuru Setra, Karna bisa melihat Arjuna
memeluk tubuhnya. Dari atas langit Kuru Setra pula, ia melihat seorang wanita menangis
histeris. Wanita yang tiada lain adalah Kunti.
Heru
Sang Mahadewa
Member
of One Day One Post
Selalu kereennn
BalasHapusTampilan blognya juga makin kerenn
hehehe ...
Hapusmasih gratisan ini =D
Keren, jadi teringat saat pementasan teater Baratayudha.
BalasHapus