Dada pemangku Kabuyutan Mangir itu berdegup kencang.
Masih terlintas dengan jelas dalam ingatannya, siang tadi ia mengusir
dua utusan Mataram yang mengirimkan nawala kepadanya. Nawala dari Panêmbahan
Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa yang
menginginkan Mangir takluk.
Sebagai pemangku kabuyutan yang telah diakui sebagai
sebuah tanah perdikan oleh Demak dan Pajang, Wanabaya merasa berhak menolak
keinginan Mataram. Mangir, sejak dipimpin kakek buyutnya, tak pernah diusik
sedikitpun oleh campur tangan penguasa. Apalagi diminta untuk bertekuk
lutut.
Seharusnya, memang demikianlah hak sebagai sebuah
tanah perdikan.
Keringat bercucuran membasahi pelipis, wajah, hingga leher Wanabaya. Napas yang berhembus kian memburu, membuat tubuhnya gemetar hebat.
“Kau tak pantas disebut sebagai menantu, Wanabaya. Bagaimanapun juga, garwa-mu adalah putri dari Ngarsa Dalêm. Sudah menjadi kewajibanmu untuk patuh dan menyembah kepadanya.”
“Tidak. Aku tidak salah! Apa yang aku lakukan adalah
dharma dalam menjunjung kedaulatan Mangir. Tanah leluhurku ini tidak boleh
kehilangan jati dirinya sebagai perdikan agung, sejak masa Demak Bintoro hingga
Pajang!”
Dua sisi batin Wanabaya bertikai. Pemangku Kabuyutan
Mangir itu dihadapkan pada dua pilihan yang sangat sulit. Antara memenuhi panggilan Panembahan Senopati untuk menghadap ke Mataram, atau tetap bersikukuh tinggal
di Mangir.
Dalam kegamangan yang kian meraya di pikirannya itu,
Wanabaya melangkahkan kaki menuju Sanggar Pamujan.
***
Pertikaian antara Pajang dan Mataram telah usai.
Hadiwijaya mangkat karena jatuh sakit, seminggu setelah pasukannya dipukul
mundur oleh Danang Sutawijaya. Pengakuan Pangeran Benowo, pewaris takhta Pajang
atas kedaulatan Mataram sekaligus mengukuhkan tanah perdikan di bekas alas
Mentaok itu sebagai penguasa baru tanah Jawa.
Panembahan Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama
Khalifatullah Tanah Jawa, begitu abhiseka yang dipakai Raden Mas Loring Pasar,
atau Danang Sutawijaya.
Pelan namun pasti, Mataram berhasil memperluas
wilayah kekuasaan dengan menaklukkan kadipaten-kadipaten, kademangan, dan
kabuyutan di Brang Tengah dan Wetan. Namun, sebuah kabuyutan yang tak
jauh dari pusat kedhaton, Kotagedhe, justru membangkang. Mangir, melalui pemangkunya,
Wanabaya, terang-terangan menolak menghadap, apalagi menyembah Panembahan
Senopati.
Bukan tanpa alasan Wanabaya bersikap demikian.
Selain Mangir adalah tanah perdikan, Wanabaya merasa tidak perlu gentar
sedikitpun bersikukuh mempertahankan keyakinannya. Keyakinan bahwa hanya Hyang Jagad Nata
yang patut disembah. Bukan raja mereka. Pun juga soal adu kedigdayaan, tak
perlu ada yang ditakuti dari Mataram dan Panembahan Senopati.
“Wanabaya memiliki senjata, berupa tombak yang tak kalah mumpuni dibandingkan Kyai Plered, Anakmas,” ucap Ki Juru Mertani.
“Benarkah, Paman?”
“Kyai Baru Klinting namanya.”
“Apa yang menjadi peluruh kedigdayaan tombak itu?”
“Tali Kemben!”
Panembahan Senopati tersentak. Namun sekejap kemudian
ia manggut-manggut. Ucapan Ki Juru Mertani yang sudah kenyang makan asam garam
peperangan, termasuk mengatur siasat untuk dirinya ketika berhasil menghabisi
nyawa Arya Penangsang, tak perlu diragukan lagi.
“Lalu, menurut paman, apa yang harus kulakukan?”
“Wanabaya adalah seorang perjaka. Sudah barang
tentu, kelemahan ia terletak pada hatinya. Kirimlah seorang wanita yang seusia untuk membuatnya kasmaran, sekaligus melunturkan kedigdayaan Kyai Baru Klinting
dengan tali kemben,” tutur Ki Juru Mertani sambil mengangkat sembah.
"Jangan ditunda lagi, anakmas," imbuh Ki Ageng Pemanahan.
Pasamuan di Kotagedhe hari itu diakhiri dengan
sebuah siasat untuk menaklukkan Mangir.
Sehari kemudian, sebuah rombongan kecil bergerak
dari Kotagedhe menuju Mangir. Rombongan yang terdiri dari putri Panembahan
Senopati sendiri; Retno Pembayun yang berdandan layaknya seorang waranggana;
Adipati Martalaya yang menyamar sebagai Ki Dalang Sandiguna; Ki Jayasupanta; Ki
Sandisasmita; dan Ki Suradipa yang ketiganya berpura-pura menjadi penabuh kendang,
kempul, dan gênder. Ikut pula bersama mereka adalah seorang senopati wanita
Mataram; Nyai Adirasa.
Syahdan, menjelang senja, iring-iringan rombongan itu
memasuki kabuyutan Mangir. Bak gayung bersambut, tanah perdikan itu sedang
mengadakan sesembahan puja syukur kepada Sang Pencipta dalam wujud Merti Dusun.
Puja syukur itu dihaturkan sebagai ungkapan terima kasih penduduk Mangir atas
hasil panen yang berlimpah.
Sang pemangku kabuyutan Mangir dengan sukacita
menerima rombongan Ki Dalang Sandiguna. Mereka diminta menginap sekaligus
mementaskan pagelaran wayang kulit di sana.
Retno Pembayun melemparkan tatapan
liar ke arah Wanabaya. Sekar Kedhaton Mataram itu merasa satu jurus telah berhasil
menyasarkan siasat ramandanya; Panembahan Senopati.
Wanabaya menunduk, serta merta mengalihkan pandangan dari mata Retno Pembayun. Sementara yang empunya tatapan liar
hanya tersenyum kecil penuh kemenangan. Malam harinya, lenggak-lenggok tarian gemulai dari
waranggana jejadian itu benar-benar telah menghabisi benteng pertahanan sukma Wanabaya.
Tanpa menunggu berlama-lama, keesokan harinya Wanabaya
meminang Retno Pembayun untuk menjadi pendamping hidupnya dalam memimpin kabuyutan
Mangir.
Malam pertama Wanabaya dan Retno Pembayaun menjadi titik balik dari kedigdayaan tombak Kyai Baru Klinting, ketika Sekar Kedhaton Mataram itu menanggalkan tali kemben di atasnya.
***
Sesaat setelah membersihkan wajah, kedua tangan dan
kaki, Wanabaya memasuki sebuah ruang yang beratap anyaman daun siwalan. Ia dekati
prapen yang ada di sudut Sanggar Pamujan itu. Lalu, ia bakar segumpal kemenyan
ke dalamnya. Seketika, asap dupa mengepul disertai aroma wangi asthanggi.
Wanabaya menanggalkan seluruh pakaian satu demi satu, hanya tersisa lilitan cawat di bawah pinggang. Asap dupa yang kian
mengepul, turut menggulung sekujur tubuh pemangku kabuyutan Mangir itu. Beberapa jurus
kemudian, Wanabaya mengambil posisi duduk Siddasana, kedua tangannya sempurna tertangkup dalam sikap Anjali Mudra. Segala pikiran, ia pusatkan pada satu titik hampa.
Hingga seiring hembusan napasnya yang kian datar, akhirnya Wanabaya hanyut ke Jagad Sonya.
Dalam ambang batas antara alam bawah sadar dan jagad
kasunyatan, samar-samar Wanabaya melihat rambutnya dijambak oleh Panembahan
Senopati, lalu, serta merta penguasa Mataram itu membenturkannya ke palinggihan yang terbuat dari batu
padas.
Darah mengalir begitu deras. Disusul gerakan dua punggawa
Mataram yang dengan sigap menyabetkan tombak, menjebol dadanya hingga pecah
menjadi dua.
Tubuh Wanabaya menggelepar. Namun, sebuah jerit kesakitan pun tak mampu ia keluarkan dari mulutnya.
Sebuah kecupan lembut di kening, membangunkan
Wanabaya dari samadhi. Ketika membuka mata, sosok pertama yang ia lihat adalah
Retno Pembayun.
Sekar Kedhaton Mataram itu tersenyum. “Ayo Kangmas,
ikuti aku. Kita berangkat. Tak perlu ada yang kaurisaukan lagi. Percayalah,
kematian adalah jalan kembali yang paling indah.”
Wanabaya bangkit. Ia ikuti langkah istrinya. Tiada
lain yang bisa ia lihat, kecuali sebuah lorong yang dipenuhi lautan cahaya putih. Jalan menuju rumah
Sang Maha Suci.
(Heru Sang Mahadewa)
Member of One Day One Post
0 komentar:
Posting Komentar