Jakarta,
Mei 1998.
Atas
nama rakyat, gedung parlemen diduduki ribuan massa. Mosi tidak percaya kepada
para senator berimbas ke tuntutan mundurnya presiden RI ke-2, Pak Harto.
Pemimpin
orde baru itu dianggap sebagai orang yang paling bertanggungjawab atas
terpuruknya ekonomi tanah air. Ketika itu, nilai tukar rupiah terhempas. Dolar
Amerika melejit empat kali lipat. Inflasi tak terbendung lagi.
Ibu
kota membara. Kerusuhan pecah dimana-mana. Penjarahan harta dan kehormatan
wanita mewarnai aksi yang berlabel reformasi itu. Ras mata sipit berkulit
kuning menjadi bulan-bulanan massa, bagai anak domba yang dikepung ribuan ekor
singa lapar. Singa-singa yang mendapat moment lepas dari kandang. Lalu,
melampiaskan dahaganya atas belenggu kebebasan. Memuaskan rasa laparnya atas
ketidakadilan dan kesenjangan.
Pak
Harto lengser. Kerusuhan reda.
Tokoh-tokoh
baru pasca reformasi muncul silih berganti. Harapan baru akan datangnya era
keadilan, baik di sisi hukum maupun ekonomi tumbuh pula. Salah satu kaum yang
mendambakan keadilan itu adalah buruh; golongan warga negara yang menganggap
selama rezim orde baru berkuasa, mereka tertindas oleh kaum kapitalis.
Berbagai
kebijakan dan payung hukum yang dikeluarkan pemerintah, senantiasa berpihak
kepada pengusaha. Tentunya, ini dari sudut pandang buruh.
Runtuhnya
rezim orde baru, membangkitkan lagi semangat buruh untuk menggelorakan tuntutan
perubahan. Di antara sekian banyak point yang diperjuangkan, pemberian upah
layak dan penghapusan sistem kerja kontrak (kini berganti outsourcing)
adalah permintaan yang menjadi prioritas. Di samping pemberian jaminan
kesehatan, serta penyediaan perumahan murah bagi buruh.
Kini,
reformasi telah bergulir selama dua puluh tahun, tepat pada bulan Mei.
Bagaimana progress harapan baru tentang keadilan yang pernah didambakan buruh
itu?
Bagai
pungguk yang merindukan bulan. Lupakan saja mimpi itu. Negeri ini dibangun
dengan sokongan pertumbuhan ekonomi yang dimotori kaum kapitalis. Mustahil,
pemerintah akan mengeluarkan regulasi yang memberatkan pengusaha.
Angin
segar sempat berhembus, ketika pada era Menakertrans Muhaimin Iskandar, sistem
tenaga kerja alih daya (outsourcing) dihapus. Keputusan Mahkamah Konstitusi
tahun 2012 yang melarang penggunaan karyawan outsourcing bagi proses inti
sebuah perusahaan atau institusi, sontak membuat buruh bersujud syukur.
Tapi,
kebijakan Menakertrans dan putusan MK benar-benar menjadi angin segar yang
sekedar berhembus sesaat, lalu pergi. Jauh panggang dari api. Alih-alih sistem
tenaga kerja alih daya dihapus, yang ada justru hampir seluruh perusahaan di
Indonesia, baik swasta maupun milik negara (BUMN), kian marak menggunakan
tenaga kerja outsourcing.
Sistem
perburuhan di Indonesia, memang telah carut marut. Buruh, merasa menjadi obyek
penindasan dengan adanya sistem outsourcing. Sementara, pemerintah dan
pengusaha juga berada pada pilihan yang tidak mudah. Dengan kondisi ekonomi
seperti sekarang, tidak mungkin mereka berani membuka kran perekrutan tenaga
kerja permanen dalam jumlah ribuan.
Lalu,
bagaimana mengurai benang kusut itu?
Harus
ada win-win solution. Sistem outsourcing mustahil dihapus. Tetapi, harus
ada jalan tengah bagi kedua pihak. Baik buruh maupun pengusaha, harus bisa
menempatkan hak dan kewajiban dalam keseimbangan.
Bagi
para buruh, kewajiban mereka tentu memberikan seluruh kemampuan terbaiknya
untuk perusahaan tempatnya bekerja. Memegang teguh kedisiplinan karyawan,
menjadi harga mati.
Kenapa?
Apakah ada buruh yang tidak seperti itu?
Jujur,
banyak saya menemukannya. Skill dan kompetensi pas-pasan, namun berharap
mendapatkan reward yang seharusnya tidak layak untuk kemampuannya. Etos kerja
yang buruk, juga terkadang masih melekat pada diri sebagian pekerja.
Bagi
pengusaha, kewajiban mereka adalah memberikan hak-hak buruh. Pemberian gaji
layak sesuai UMK, upah lembur bagi yang bekerja melebihi batas jam kerja
normatif, layanan kesehatan untuk buruh dan keluarganya adalah point-point yang
menjadi harga mati. Apapun statusnya, baik karyawan tetap, kontrak maupun
outsourcing, semua harus mendapatkannya.
Apakah
ada perusahaan yang tidak menunaikan kewajibannya seperti itu?
Jujur,
banyak saya menemukannya. Praktek kenakalan (jika tidak mau disebut pelanggar
Undang Undang) oleh sebagian perusahaan yang merugikan buruh masih sering
terjadi.
Mulai
hari ini, seyogyanya semua itu diakhiri. Baik buruh maupun pengusaha, harus
bisa menciptakan paradigma baru. Saling menghormati hak dan kewajiban masing-masing.
Jika
itu terjadi, hubungan kerja yang industrial Pancasila niscaya akan tercipta.
Selamat
Hari Buruh Sedunia, 1 Mei 2018.
Salam solidaritas,
(Heru Sang Mahadewa)
Humas Serikat Pekerja RTMM-SPSI
0 komentar:
Posting Komentar