Senin, 29 Februari 2016

DISKRIMINASI ETNIS TIADA AKHIR

















"Di hadapan kami berdiri seorang putri Indonesia setinggi 165 cm, Susi Sisanti. Dia tampak tak kuasa membendung air matanya, sambil memeluk bendera negerinya, Merah Putih"



Kutipan di atas ialah kenangan dari Barry Davies, komentator BBC London tatkala meliput final Bulutangkis Olimpiade Barcelona 1992. Saat itu sepasang mata basah kuyup dengan deraian air mata menatap Sang Saka Merah Putih yang diderek lebih tinggi dari bendera Korea Selatan dan China.


Adegan yang tidak akan pernah dilupakan oleh anak bangsa. Seluruh bangsa Indonesi juga menjadi saksi lewat tayangan televisi. Almarhumah Ibu Minarni (legenda Bulu Tangkis Indonesia juga) yang saat itu menjadi komentator di televisi terdengar menjerit dan menangis dalam membawakan acara itu. Saya sendiri masih merasakan sesak dan mata memanas setiap kali adegan ini ditayangkan ulang.

Itulah Emas Pertama untuk Indonesia sepanjang keikutsertaan di ajang Olimpiade sejak 1952.



Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa yang mempersembahkannya ialah seorang yang selama ini dianggap sebagai “Warga Negara Kelas 2” di negeri ini. Dialah Susi Susanti, seorang keturunan Tionghoa dengan nama lahir WANG LIAN XIANG.

*******
Guangzhou China, 2002
Seorang Kera Ngalam (Arek Malang) bernama Hendrawan tampil sebagai penentu di partai kelima grand final Piala Thomas.

Bertanding di kandang China yang menjadi favorit juara, ternyata Hendrawan berhasil mengjungkir balikan prediksi insan bulu tangkis dunia. Kemenangan Hendrawan atas Roslin Hasyim (Malaysia) ketika itu juga mengokohkan Indonesia sebagai jawara Piala Thomas berturut-turut lima kali.

"Perjuangan hingga titik darah penghabisan ini terbayar lunas dengan persembahan Piala Thomas untuk Ibu Pertiwi, semoga saya diakui sebagai arek Malang dan warga negara Indonesia" statement Hendrawan sesaat setelah mengangkat trofi itu.

********

Delapan belas tahun berlalu,

Diluar dugaan insan balap mobil Formula3, ketika di GP Turki menobatkan Rio Haryanto menjadi jawara dan tampil di podium. Ironisnya, panitia tidak menyediakan bendera merah putih dan voice lagu kebangsaan Indonesia Raya karena memandang sebelah mata negeri kita.



Panitia akhirnya membalikkan bendera Polandia hingga menjadi Merah Putih. Tanpa mengurangi jiwa patriotisme kala itu, Rio Haryanto dengan penuh keharuan bernyanyi sendirian diatas podium juara membawakan lagu kebangsaan kita Indonesia Raya. Merinding!



Dan tahun 2016 ini Rio berhasil menjadi satu-satunya pembalap Asia yang akan tampil di GP Formula 1, kasta tertinggi kejuaran balap mobil dunia. Rio Haryanto yang membawa nama Indonesia akan sejajar dengan K Raikonen dan Sebastian Vettel.

Sama seperti pahlawan-pahlawan sebelumnya, Rio Haryanto juga warga negara Indonesia keturunan Tionghoa.

*******

Tidak banyak yang tahu bahwa saat mereka dianggap menjadi pahlawan bagi republik ini sebenarnya mereka masih terkekang & terdiskriminasi oleh Inpres No.14/1967. Sebuah Keputusan Presiden di masa Orde Baru yang melarang seluruh warga keturunan Tionghoa melakukan aktivitas yang berbau agama, adat istiadat dan budaya Tionghoa.

Setiap warga negara keturunan Tionghoa tidak diperbolehkan mendapatkan KTP, Akte Kelahiran dan dianggap sebagai warga negara asing. Padahal tidak ada satu negara pun (termasuk China) yang mencatat mereka sebagai warganya.

Sebuah diskriminasi etnis ciptaan Pak Harto yang akhirnya mengakar dan beranak-pinak di berbagai sendi kehidupan sosial hingga sekarang.

Seminggu ini masyarakat ramai-ramai memprotes peresmian Monumen Laskar China di Taman Mini Indonesia Indah. Alasan mereka sederhana, monumen itu identik dengan Po An Tui, tokoh Tionghoa yang menjadi antek Belanda di masa-masa awal kemerdekaan.

Bukankah di masa itu juga ada Kin An Tui? tokoh Tionghoa yang juga mati-matian membela republik ini.














"Tidak ada kaitan antara Monumen Laskar China dengan Po An Tui, monumen ini dibangun semata-mata untuk menghargai sumbangsih etnis Tionghoa dalam membela kemerdekaan, sama seperti monumen-monumen lain yang bertebaran di berbagi kota" tegas Mendagri Tjahyo Kumolo menanggapi kian maraknya protes atas monumen yang diresmikan olehnya.


Janganlah lupa dengan perjuangan Susi Susanti, Hendrawan, Rio Haryanto dan atlet2 semacam Rudi Hartono, Liem Swie King, Alan Budi Kusuma, Grescia Polly, dan Chris John dalam mengharumkan nama bangsanya.



Jangan tutup mata dengan Laksamana Muda (Purn) John Lie, patriot pemberani dari Marinir TNI AL berdarah Tionghoa.


Ingatkah kita? dengan Djiaw Kie Song yang rela memberikan rumahnya pada 16 Agustus 1945 untuk Soekarno, Bung Hatta, Chaerul Saleh, Sukarni dan Adam Malik mempersiapkan Proklamasi.

Sepertinya diskriminasi etnis mata sipit belum berakhir di negeri ini. Entah butuh waktu berapa lama lagi kita bisa menerima jalan pemikiran KH Abdurrahman Wahd (Gus Dur), cucu Hadratus Saikh Mbah Hasyim Asy'ari (pendiri Nahdlatul Ulama) sekaligus Presiden ke-4 RI yang telah mencabut Inpres No.14/1967 buatan Pak Harto dan getol mengkampanyekan gerakan anti diskriminasi ras, suku, dan agama.


#melawan lupa  

@photo diambil dari mbah google

6 komentar:

  1. Keren... ikut merinding saat menyimak berita soal Rio sang pembalap.

    BalasHapus
  2. Keren... ikut merinding saat menyimak berita soal Rio sang pembalap.

    BalasHapus
  3. Terima kasih kakak, semoga semua anak bangsa bisa menerima perbedaan ini

    BalasHapus
  4. Kereeeeen, mas Heru... gak tau mau ngomong apa lagi. Pokoknya tulisan yang luar biasa!

    BalasHapus
  5. Makasih mbk Vinny, msh harus bnyk belajar

    BalasHapus
  6. Makasih mbk Vinny, msh harus bnyk belajar

    BalasHapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *