Gajah Mada - image google |
EPILOG
Kebahagiaan tampak
terpancar dari wajah Prabu Lingga Buana beberapa hari ini. Impiannya untuk bisa
melihat putrinya Dyah Pitaloka Citraresmi duduk di pelaminan akan segera
terlaksana. Orang tua mana yang tidak bangga putrinya dipersunting oleh seorang
raja tersohor. Penguasa wilayah Nusantara.
Hari itu segala
bekal dan perlengkapan yang akan dibawa ke Majapahit telah disiapkan. Para
punggawa kerajaan Pajajaran tak ada satu pun yang ketinggalan. Semua ikut dalam
rombongan Prabu Lingga Buana mengantar Dyah Pitaloka menemui Prabu Hayam Wuruk
di Trowulan. Menikah di istana Majapahit.
Seluruh rakyat
Sunda ikut menyambut kebahagiaan itu. Berbondong-bondong mereka mengarak
rombongan putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Galuh (Ciamis) menuju dermaga Sunda Kelapa.
Sampai di bibir
pantai, tampak para petinggi Pajajaran sudah mempersiapkan pasukan pengawal dan
kapal-kapal yang akan membawa Prabu Lingga Buana berlayar ke Majapahit.
Larang Agung, Tuan
Sohan, Tuan Gempong, Panji Melong, Rangga Kaweni, Sutrajali dan Jagatsaya adalah
para pembesar pakuan Pajajaran yang menyambut Prabu Lingga Buana dan putri Dyah
Pitaloka Citraresmi naik ke kapal mereka.
Perlahan-lahan
juru mudi perahu Pajajaran mengangkat jangkarnya. Kapal Prabu Lingga Buana beserta
putri dan seluruh punggawanya pun bergerak mengarungi laut Jawa.
Empat hari mereka menyusuri
samudera. Berlayar ke arah timur, hingga tiba di selat Madura. Perjalanan dilanjutkan lagi ke muara bengawan Brantas, lalu menuju kotaraja Majapahit di
Trowulan.
*****
Majapahit, 1359 Masehi.
Malam itu Trowulan
baru saja diguyur hujan lebat. Dinginnya hawa di kotaraja yang terletak di kaki
bukit Penanggungan membuat orang-orang lebih memilih bermanja ria di peraduan.
Jalan-jalan tampak lengang. Rumah para punggawa kedaton hampir semua tertutup
rapat.
Suara lolongan anjing
hutan dari Alas Lali Jiwo membuat
bulu kudu merinding. Kabut pekat yang turun dari gunung Arjuno dan Welirang
membuat suasana semakin mencekam. Hanya suara jangkrik dan binatang malam yang
masih setia bersahutan memecah kesunyian.
Di sebuah balai kedaton,
lima orang Dharmaputra sedang menghadap Mahamenteri Gajah Mada. Ketegangan
tampak di wajah para punggawa Majapahit itu. Pembicaraan keenamnya juga
terkesan sangat berhati-hati.
“Ada yang tidak
lazim dari kedatangan rombongan Pajajaran, gusti Gajah Mada.” Ucap Gajah
Enggon.
“Apa yang kalian
lihat saat menyusup ke Pakuan?” Tanya Mahamenteri Gajah Mada.
“Prabu Lingga
Buana membawa seluruh punggawa dan senopati perangnya ke Majapahit!” Jelas
Panji Elam. Bersama Gajah Enggon, Mpu Kapasa, Mpu Menur dan Mpu Kapat, ia
sengaja disusupkan oleh Gajah Mada ke Pajajaran.
Sang Mahamenteri
masih kukuh pada keyakinannya bahwa tanah Pasundan tetap harus ditaklukkan,
untuk menyempurnakan wilayah Nusantara. Ia terus memutar otak. Mencari jalan
keluar agar pernikahan Prabu Hayam dan Dyah Pitaloka tetap bisa berlangsung,
namun Pajajaran akhirnya bergabung dengan Majapahit sebagai negeri vassal.
“Baiklah, aku akan
menemui Prabu Lingga Buana dan rombongannya. Penyerahan Dyah Pitaloka
Citraresmi kepada gusti Prabu Hayam Wuruk anggap sebagai sesembahan untuk
Majapahit. Agar kita membatalkan penaklukan Sunda!” Ucap Gajah Mada.
“Siapkan pasukan
Bhayangkara. Aku akan berangkat ke Pesanggrahan Bubat!” perintah Gajah Mada.
“Sendiko dawuh
gusti!” Jawab kelima Dharmaputra serempak.
Malam itu
Mahamenteri Gajah Mada menemui Prabu Lingga Buana untuk bernegosiasi. Kesatria besar penakluk Nusantara itu hendak menyarankan
raja Pajajaran agar menganggap pernikahan putrinya sebagai sesembahan kepada
Prabu Hayam Wuruk. Sehingga Pajajaran akan luput dari serangan pasukan
Majapahit.
*****
Kedatangan Dyah
Pitaloka Citraresmi yang diantar ayahnya Prabu Lingga Buana disambut langsung
oleh Prabu Hayam Wuruk di dermaga bengawan Brantas, Trowulan. Sang raja muda
ingin sekali celat-cepat melihat keelokan paras calon permaisurinya. Ia pun datang sendiri ke pelabuhan.
Rombongan besar
dari Pakuan Pajajaran dijamu dengan perlakuan istimewa. Kepada prajurit pengawal
disediakan tenda-tenda besar. Sementara Prabu Lingga Buana, Dyah Pitaloka dan
para punggawanya di istirahatkan di Pesanggrahan
Bubat.
Selama beberapa
hari, para abdi dalem dikirim dari
kedaton Majapahit untuk melayani segala keperluan Dyah Pitaloka dan rombongan.
Prabu Hayam Wuruk tak ingin putri sunda yang menjadi calon permaisurinya itu tidak
nyaman tinggal di negerinya.
“Ampun paduka
Prabu Lingga Buana, ada tamu kehormatan dari kedaton Majapahit yang ingin
menemui paduka.” Ucap Larang Agung, senopati Pajajaran lalu menyembah Prabu
Lingga Buana.
“Persilahkan dia
masuk!” Perintah Prabu Lingga Buana.
“Baik paduka.”
Jawab Larang Agung. Sesaat ia keluar dari pesanggrahan, lalu kembali lagi
bersama seseorang yang ia sebut sebagai tamu kehormatan dari kedaton Majapahit.
“Terimalah salam
hormat hamba kepada paduka Prabu Lingga Buana. Perkenalkan, hamba adalah
Mahamenteri Gajah Mada.” Ucap sang tamu.
“Ya Dewata Agung,
sungguh beruntung nasibku bisa bertatap muka dengan seorang kesatria besar.
Penakluk Nusantara, Gajah Mada!” Sambut Prabu Lingga Buana.
“Katakan, angin
apa yang membawa tuan datang menemuiku?” Lanjut Prabu Lingga Buana bertanya.
“Sebelumnya hamba
mohon ampun jika ucapan hamba nantinya kurang berkenan di hati paduka.” Gajah
Mada membuka pembicaraan.
“Saat hamba
diangkat menjadi Mahapatih Amangkubumi dulu, hamba bersumpah akan menyatukan
Nusantara dibawah kedaulatan negeri kami, Majapahit!” Lanjut Gajah Mada.
“Lalu, apa yang
hendak tuanku Gajah Mada inginkan?” Prabu Lingga Buana mulai bisa menebak arah
tujuan pembicaraan sang Mahamenteri Majapahit itu. Larang Agung yang sedari
tadi berada di luar mulai terusik. Ia menerobos masuk, ikut bergabung dalam
pembicaraan.
“Kami menyarankan
Pajajaran ikut bergabung dengan Majapahit. Tak perlu ada pertumpahan darah.
Anggaplah pernikahan Prabu Hayam Wuruk bersama putri Dyah Pitaloka ini sebagai
tali asih perdamaian kita. Sesembahan dari kerajaan Pajajaran kepada
Majapahit!” Jelas Gajah Mada.
Prabu Lingga Buana
tersentak. Mukanya seketika memerah. Tangannya mengepal. Ingin sekali ia melayangkan
pukulan kepada orang yang baru saja merendahkan kehormatannya.
Jauh-jauh ia
datang dari tanah Pasundan ke Majapahit untuk mengantarkan putrinya. Justru
sekarang ia dilecehkan dengan keinginan Gajah Mada agar Pajajaran mengakui
pernikahan Dyah Pitaloka dan Hayam Wuruk sebagai tali asih perdamaian. Dengan
kata lain sebagai pengampunan agar pasukan Majapahit tidak menginvasi Pajajaran.
“Tuan Gajah
Mada, jaga omonganmu!” Bentak Larang Agung yang langsung berdiri
menunjuk wajah Gajah Mada.
“Pantang bagi
orang Sunda untuk menyerahkan Dyah Pitaloka sesbagai sesembahan. Pajajaran
memiliki kedaulatannya sendiri. Tanah Pasundan bukanlah bagian dari Nusantara!”
Tegas Prabu Lingga Buana.
“Bergabunglah,
atau akan ada pertumpahan darah!” Tantang Gajah Mada. Ia membalas reaksi Larang
Agung dengan melakukan gerakan yang sama.
“Aku ingin mencoba
seberapa besar kedigdayaanmu, apakah sebesar badan gempalmu itu!” Balas Larang
Agung.
“Cabut pusakamu!
Pilihlah bagian tubuh Gajah Mada sebelah mana yang ingin kau coba!” Sang
Mahamenteri Majapahit langsung menarik Larang Agung keluar dari pesanggrahan.
Di halaman
pesanggrahan Bubat, para Dharmaputra yang menyertai Gajah Mada sudah bersiaga.
Ketegangan semakin memanas ketika mereka melihat junjungannya keluar dengan menggelendeng
seorang punggawa Pajajaran.
Larang Agung
terhuyung-huyung ketika tangan kekar Gajah Mada mendorongnya ke tanah lapang.
Sontak para pengikutnya segera mengepung Gajah Mada. Namun belum sempat
mendekat, Gajah Enggon, Panji Elam, Mpu Kapasa, Mpu Menur dan Mpu Kapat sudah
menghadang.
Dari arah selatan,
terdengar derap pasukan berkuda Bhayangkara yang langsung menyerbu tenda-tenda
prajurit Pajajaran. Bentrokan di pesanggrahan Bubat pun tak terhindarkan. Prabu
Lingga Buana yang sebelumnya menahan diri akhirnya ikut keluar. Ia menghunus
senjatanya dan ikut menerobos barisan prajurit Majapahit.
“Gajah Enggon,
lindungi putri Dyah Pitaloka!” Teriak Gajah Mada.
“Jangan biarkan ada
yang mendekat dan melukai sang putri!” Ucapnya lagi sembari menghindari tebasan
senjata para punggawa Pajajaran.
“Sendiko dawuh
gusti!” Teriak Gajah Enggon yang langsung berlari ke gerbang pesanggrahan. Ia
berjaga-jaga disana.
Peperangan tak
berlangsung lama. Pasukan Bhayangkara Majapahit yang telah berpengalaman
berkelana menaklukkan seantero Nusantara terlalu kuat untuk Prabu Lingga Buana,
para punggawa dan prajurit Pajajaran.
Beberapa saat
kemudian suasana hening kembali. Larang Agung, Tuan Sohan, Tuan Gempong, Panji
Melong, Rangga Kaweni, Sutrajali dan Jagatsaya sudah tak bergerak lagi. Tubuh mereka bersimbah darah dengan posisi semuanya mengelilingi seseorang yang juga
telah membujur kaku. Prabu Lingga Buana!
Gajah Mada
menyarungkan kembali Keris Luk Pitu
kedalam rangkanya. Perlahan-lahan ia berjalan mendekati tubuh Prabu Lingga
Buana. Memastikan bahwa raja Pajajaran itu sudah tak bernyawa lagi. Sempurna
kini wilayah Nusantara, bhatinnya.
*****
Kabar adanya
ketegangan antara pasukan Bhayangkara pimpinan Mahamenteri Gajah Mada dengan
rombongan Pajajaran di pesanggrahan Bubat terdengar Prabu Hayam Wuruk. Ia
segera bergegas berangkat dengan dikawal para abdi
dalem kedaton.
“Dayang-dayang,
dimanakah tuan putri Dyah Pitaloka?” Tanya Prabu Hayam Wuruk yang
tergopoh-gopoh masuk ke pesanggrahan Bubat.
Tak ada yang
berani menjawab. Semua yang ada di dalam bilik pesanggrahan terduduk bersimpuh.
Hayam Wuruk seketika lunglai, ketika dilihatnya Mahamenteri Gajah Mada juga tertunduk
disamping tubuh yang tertutup kain berwarna hijau.
Tubuh wanita itu
membujur kaku. Bibirnya masih tersenyum, sedikit terbuka sehingga terlihat
barisan gigi yang indah. Namun matanya kini sudah terpejam. Wajah ayunya pun
terlihat pucat. Sepucat wajah Hayam Wuruk yang tak kuasa menahan buliran air
bening di pelupuknya.
“Lihatlah kekasihku, raja Majapahit yang gagah perkasa.
Jauh-jauh aku meninggalkan tanah Pasundan, untuk menemui pemilik hatiku. Hari
ini seharusnya aku duduk di pelaminan, mengucapkan sumpah sakral di hadapan
para Brahmana. Tapi lihatlah! Aku, ayahandaku dan para saudara-saudaraku meregang
nyawa di tanahmu!”
Sukma Dyah Pitaloka Citraresmi meratapi kematiannya.
*****
“Hamba pamit,
gusti Prabu!” Sembah Gajah Mada saat menemui Prabu Hayam Wuruk di kedaton.
Pagi-pagi sekali ia sudah membawa barang-barangnya dan kuda
tunggangannya yang ia tambatkan di halaman kedaton.
“Kau akan
berangkat ke Madakaripura sekarang, kakang?” Tanya Prabu Hayam Wuruk.
“Tidak gusti
Prabu. Tugas dan pengabdian hamba untuk Majapahit telah usai.” Jawab Gajah
Mada.
“Seperti yang
kemarin gusti Prabu Hayam Wuruk katakan, mungkin hamba sudah terlalu lelah.
Hari ini hamba memutuskan untuk undur diri.” Lanjutnya.
Prabu Hayam Wuruk diam. Enggan menjawab ucapan
Mahamenterinya. Ia membalikkan badan, tak mau menatap orang yang menghadapnya. Hatinya
masih terluka dengan kecerobohan Gajah Mada menyerang rombongan Pajajaran.
Hingga membuat Dyah Pitaloka Citraresmi, kekasihnya menempuh jalan bela pati, saat mengetahui ayahnya
Prabu Lingga Buana terbunuh oleh Keris
Luk Pitu milik Gajah Mada.
“Ampun beribu-ribu
ampun, gusti Prabu. Hamba tidak bisa menerima pemberian tanah Madakaripura.”
Ucap Gajah Mada lagi.
Di usia yang tidak
lagi muda, membuka sebuah hutan perdikan yang jauh dari kotaraja adalah isyarat
bagi Gajah Mada bahwa ia telah disingkirkan oleh Prabu Hayam Wuruk. Segala
bhakti dan jasa besarnya untuk negeri Majapahit telah sirna pasca tragedi Perang Bubat kemarin.
“Untuk terakhir
kalinya, ijinkan hamba menyembah paduka Prabu Hayam Wuruk sebagai raja besar
yang sangat hamba hormati. Terima kasih atas pemberian tanah Madakaripura.
Tetapi hamba sudah mantab untuk mengembalikannya kepada gusti Prabu. Maafkan
atas segala kesalahan Gajah Mada.” Suara Gajah Mada melirih.
Gajah Mada
melangkah keluar kedaton. Meninggalkan Prabu Hayam Wuruk yang tetap tak mau
berbicara dengannya. Raja yang telah ia hantarkan menuju puncak kejayaan
menguasai Nusantara itu masih belum beranjak dari posisi duduknya yang membelakangi
Gajah Mada.
Tetapi di balik
wajah yang tak mau menatap Gajah Mada itu, butir-butir bening dari pelupuk mata Hayam Wuruk berderaian mengiringi kepergian Sang Mahamenteri. Bagaimanapun juga, orang itu adalah kesatria besar Majapahit, ucapnya dalam hati.
Sejak hari itu,
keberadaan Gajah Mada hilang bak ditelan bumi. Tak ada seorang pun yang
mengetahui kemana ia pergi. Ada yang bilang ia menjadi pertapa di Madakaripura.
Ada pula yang mengatakan bahwa momongan Ki Gede Sidowayah itu pulang kembali ke
desa Modo. Di hutan gunung Ratu, ada seorang lelaki tua yang berbadan
tinggi besar sering menggembalakan kerbau-kerbaunya. Cerita orang-orang disana.
Lelaki renta itu adalah Joko Modo tua. Gajah Mada!
*****
Trowulan, 1389 Masehi.
Majapahit
berkabung!
Prabu Hayam Wuruk
yang telah membawa Majapahit berada pada jaman keemasan jatuh sakit. Sudah
berhari-hari ia terbaring lemah. Para tabib istana yang menanganinya sudah
angkat tangan.
Raja yang bersama
Mahamenteri Gajah Mada telah berhasil menaklukkan seluruh wilayah Nusantara
itu akhirnya mangkat di usia 55 tahun. Seluruh punggawa dan rakyat Majapahit mengantarnya
menuju tempat peristirahatan terakhir. Abu jenasah Prabu Hayam Wuruk diabadikan di sebuah
tempat di sebelah barat daya kotaraja.
*****
Prabu Hayam Wuruk
terbangun. Ia mengusap-usap kedua kelopak matanya. Mencoba mengenali
pemandangan di sekelilingnya.
“Dimanakah aku
sekarang?” Bathin Prabu Hayam Wuruk. Ia hanya melihat sinar putih memenuhi
tempatnya berdiri sekarang. Seluruhnya tertutup cahaya terang benderang. Tak
ada seorangpun disana.
Raja Majapahit keempat
itu lalu berjalan, mencoba mencari jalan keluar dari lautan cahaya putih. Namun
tak bisa menemukannya. Setelah melangkah sedemikian jauh, akhirnya ia melihat
seseorang menghampirinya. Lelaki berambut putih dengan wajah yang telah
mengeriput. Badannya masih kokoh, meski terlihat sudah renta.
“Kakang Gajah
Mada, kaukah itu?” Tanya Prabu Hayam Wuruk. Kembali ia mengucek-ucek kedua matanya
untuk memastikan sosok yang sekarang berdiri di hadapannya. Lelaki tua itu
mengulurkan tangan.
“Gusti Prabu Hayam
Wuruk, mari hamba antar menuju gerbang alam Sunyaruri!”
Jawab Mahamenteri Gajah Mada. Ia menuntun rajanya melangkah ke sebuah sudut
lautan cahaya putih.
Tampaklah sebuah gerbang yang sinarnya berbeda dengan lautan warna
putih tadi. Didepan gapura, berdiri seorang wanita berparas ayu.
Ia melambai-lambaikan tangan kepada Prabu Hayam Wuruk.
Wanita itu menggunakan
gaun serba putih. Senyumnya sedikit terbuka, memperlihatkan barisan gigi yang indah. Dagunya lancip, menusuk-menusuk perasaan Hayam Wuruk yang masih belum
percaya dengan pemandangan yang dilihatnya.
“Wahai kekasihku,
raja Majapahit. Akhirnya kau datang juga menemuiku. Rinduku telah menggunung
seperti Papandayan. Rasa cintaku tak pernah berubah selama penantian empat
puluh tahun ini!” Sambut wanita bergaun putih itu. Dyah Pitaloka Citraresmi.
*****
TAMAT
Baca kisah sebelumnya [Disini ]
#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
-------------------------
Catatan
:
Kematian seluruh rombongan Prabu Lingga
Buana di pesanggrahan Bubat karena mempertahankan harga diri membuatnya dipuji
rakyat Pajajaran. Keberaniannya memilih mati di tangan Gajah Mada dianggap
sebagai teladan. Iapun dikenang sebagai Prabu Wangi (raja yang harum namanya). Para penerusnya kemudian dikenal dengan
nama Prabu Siliwangi, berasal dari
kata Silih Wangi yang berarti pengganti
Prabu Wangi.
Satu-satunya putra Prabu Lingga Buana
yang tersisa, Pangeran Niswakala Kencana yang tidak dibawa ke Majapahit karena
usianya masih kecil akhirnya mewarisi tahta. Setelah menjadi raja Pajajaran, ia
melakukan kebijakan pemutusan hubungan diplomatik dengan Majapahit.
Karena trauma dengan tragedi Perang
Bubat, Niswakala Kencana juga mengeluarkan larangan tidak boleh menikah diluar
kerabat Sunda, atau menikah dengan keturunan Majapahit. Seruan ini yang
akhirnya menjadi mitos larangan menikahi suku Jawa.
*****
Kisah perang Bubat ini saya tulis berdasarkan
penelusuran saya selama tiga kali ke situs Trowulan, Mojokerto. Juga dari
cerita mulut ke mulut (forklor)
masyarakat. Saya menyimpulkannya sebagai kategori fiksi, karena kebenaran
sejarahnya masih menjadi perdebatan panjang budayawan Jawa dan Sunda. Belum ada
bukti peninggalan sejarah yang mencatat tragedi ini.
Kidung Sundayana yang menjadi rujukan
kisah Perang Bubat juga masih diragukan keabsahannya. Kakawin terjemahan seorang Belanda ini dianggap sebagai salah satu bentuk
politik devide et impera penjajah
kala itu. Melalui sadurannya, mereka sengaja menciptakan konflik SARA antara etnis
Jawa dan Sunda.
Benar atau salahnya tragedi ini, kita semua
tidak tahu. Karena tak pernah hidup di jaman itu. Kita hanya bisa menafsirkan menurut
pendapat masing-masing. Wallahu A’lam Bishawab (Dan Allah lebih mengetahui dari yang
sebenar-benarnya)! Betapa fakirnya ilmu dan pengetahuan kita.
Janganlah kisah ini menjadi pemicu
perpecahan sesama anak bangsa. Persatuan dan Kesatuan Indonesia tetap diatas
segala-galanya.
Bhinneka
Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa!
-
-
Salam bahagia,
(Heru Sang Mahadewa)
Nah berakhir dengan sangat elegan mas. Laksana penulis profesional.
BalasHapusNah berakhir dengan sangat elegan mas. Laksana penulis profesional.
BalasHapusTerima kasih Aa.
BalasHapusSaya masih hrs bnyk belajar.
Kereem.Her,,apiiikk banget
BalasHapusCuma sedih baca kisahnya nggak bisa bersatu
hehe .. suwun Lis
Hapuskeren kang
BalasHapuskoyon aku kalo ketemu gajah mada takut
Hahaha .. dia ganteng lho mbakyu?
Hapuskok takut? :p
Yo nek ngono soyo takut
HapusSangat elegan. setuju sama A gilang. Terimakasih Mas Heru atas cerbungnya yang mengesankan.
BalasHapusMksh mbk Na
Hapusluar biasa. sukses untuk mas Heru. calon novelis yg oke tenan...
BalasHapusmatur suwun Pak Parto.
Hapusaku nangis
BalasHapus