“Sebelum ayam berkokok dan fajar
datang, bengawan harus sudah terbentang!” tegas Nararaja Wikrama Mahesa,
penguasa gunung Renteng Utara.
“Sendiko dawuh gusti!” jawab Rakryan Mahapatih Singoduto yang ditunjuk oleh Sang Nararaja
untuk menjalankan misi.
“Bawa satu kapal beserta
armada terkuat kita, bengawan ini akan menjadi jalur rahasia kita menaklukkan
negeri Ngatas Angin di lereng gunung selatan!” lanjut Nararaja.
“Ingat Singoduto, jika
misi ini tidak selesai sebelum fajar tiba, jangan harap kamu beserta pasukanmu
bisa kembali ke kerajaan ini!”
“Siap laksanakan titah
paduka” Singoduto menyembah dan undur dari paseban agung.
Tak berselang lama, ratusan prajurit
digdaya dipimpin Rakryan Mahapatih Singoduto sudah berkumpul di halaman pendopo
kerajaan.
“Wahai prajurit gunung renteng nan
gagah perkasa, siapkan kesaktian kalian, malam ini kita berangkat membentangkan
bengawan dari gunung renteng menembus Widas” terdengar berapi-api Sang Rakryan menggelorakan
semangat pasukannya.
“Pasukan adinda Tumenggung Joyonegoro
sudah menyelesaikan pembuatan kapal sore tadi, kini kapal sudah siap kita
arungkan ke negeri selatan!”
Singoduto lalu memimpin pasukan
bergerak ke tengah hutan renteng, menuju telaga.
Sesampai di telaga tampaklah sebuah
kapal besar nan megah. Kapal yang akan digunakan Singoduto bersama pasukannya
membelah hutan dan dataran gunung renteng.
Misi mereka adalah membangun bengawan Silugangga
yang akan terbentang dari kerajaan Gunung Renteng di kawasan pegunungan kapur
utara hingga menembus sugai Widas yang menjadi tapal batas dengan negeri Ngatas
Angin di lereng gunung Wilis. Waktu yang diberikan Sang Raja hanya semalam.
Sorak sorai pasukan membahana tatkala
Kapal Setan (konon itulah nama kapal yang
dipakai pasukan kerajaan gunung renteng) perlahan bergerak mengarungi
telaga menuju arah selatan.
Dengan segala kesaktian dan
kedigdayaan, Singoduto benar-benar membuktikan kesanggupannya. Tak butuh waktu
lama, bengawan Silugangga sudah membentang dari Gunung Utara hingga keluar
hutan. Dan sampailah kapal beserta pasukan di wilayah perkampungan penduduk.
“Jangan ada yang bersuara, semua tetap
mengeluarkan kesaktian masing-masing, jangan sampai ada seorang pun manusia
yang mendengar gerakan ini, apalagi sampai melihat kita” perintah Singoduto.
Pasukan terus bekerja, bengawan Silugangga
sudah terbentang hingga di sebuah desa bernama Ngangkatan, menembus desa di
seberang selatan bernama Mlorah dan ke timur bernama Jentir.
Sementara tak jauh dari pergerakan
pasukan Singoduto, tersebutlah sebuah kampung kecil bernama desa Jatisari.
Waktu masih tengah malam, kabut belum
tampak, datangnya fajar pun masih lama. Ketika itu terjagalah dari tidur
seorang perawan bernama Roro Nilasari.
“Gusti, kenapa malam ini firasatku
tidak enak, ada apakah gerangan ?” pikir Roro Nilasari.
Ia lalu beranjak dari peraduan,
mengintip kearah luar rumahnya melalui celah-celah jendela kamarnya.
“Ah, tampaknya hari masih larut malam,
tapi mata ini sepertinya sudah enggan untuk kupejamkan lagi” beranjak Roro
Nilasari menuju dapur.
“Biarlah aku menanak nasi sekalian, agar
simbok bisa istrihat lebih lama malam ini, tak perlu bangun pagi-pagi”
gumamnya.
Lalu dia ambil sebuah Wakul (bakul nasi terbuat dari anyaman bambu, tempat orang-orang Jawa mencuci
beras). Kemudian ia mencuci beras dalam wakul dan menyalakan api di tungku
dapurnya.
Kebiasaan orang-orang jawa kuno,
selalu memukul-mukulkan wakul untuk mebersihkan sisa beras yang masih menempel.
Begitu pula dengan Roro Nilasari,
secara reflek dia memukulkan wakul ke meja dapur. Sontak ayam piaraan simboknya
dikandang dekat dapur terbangun. Pelan-pelan terdengar kepakan sayap ayam, lalu
berkokoklah seekor Ayam dengan suara nyaring, memecah kesunyian malam.
Sontak suara kokok ayam segera
disambut bersahut-sahutan oleh ayam-ayam yang lain, yang banyak dipelihara
penduduk Jatisari.
Seketika itu pula mendadak kapal dari
pasukan Singoduto terhenti, bengawan Silugangga yang sudah jauh terbentang pun
mengering. Satu per satu prajuritnya menggelepar berjatuhan dan hilang bak
ditelan bumi.
“Yoh kowe perawan Jatisari, titenono
sabdoku … siro ora bakal payu rabi nganti tuwek!
“(Wahai
engkau gadis desa Jatisari, dengarlah kutukanku .. Tak akan ada pria yang sudi
mempersunting dirimu hingga tua!)”
dengan segala amarah Singoduto mengutuk ulah Roro Nilasari.
Setelah kutukan itu, lenyap pulalah
Rakryan Mahapatih Singoduto muksa. Kapalnya ikut muksa, karam dan menghilang tak
berbekas. Sementara bengawan yang tadinya sudah terbentang luas berubah menjadi
sungai.
Kini, sungai Ngangkatan dipercaya
masyarakat setempat sebagai Bengawan Silugangga yang gagal. Dan sebuah gumuk (bukit kecil) diseberang utara desa
Ngangkatan adalah bekas dari kapal kerajaan renteng yang karam.
Uniknya pula sampai sekarang sangat tabu
bagi gadis desa Jatisari untuk menikah di usia muda.
Apakah ini kutukan Singoduto? Believe
it or not?
#diangkat dari cerita rakyat Rejoso,
Kabupaten Nganjuk.
Catatan :
Tidak banyak yang tahu dengan legenda
ini mungkin.
Oh ya, negeri Ngatas Angin saat ini
adalah desa Ngetos di daerah lereng gunung Wilis, masuk wilayah Kecamatan
Ngetos. Sementara desa Ngangkatan, Jatisari, Jentir dan Mlorah berada di
Kecamatan Rejoso.
Dibukukan dong pak ceritanya :D
BalasHapusHehehe .. lagi bermimpi ke arah itu, semoga terlaksana. Minta dukunganya ya
HapusAamiin iya pak.........
HapusGa pernah bosen baca ceritanya.
BalasHapusupst .. iki pemanasan lis, nyoba share link
HapusSeru!! Cuma ada beberapa kata yang gak ngerti artinya.. hehehe
BalasHapusterima kasih, ini memang cerita rakyat daerah saya, di pelosok Jawa kak
HapusMenceritakan sejarah tempat yang tidak banyak tau, bagus mas Heru...
BalasHapusSalam kenal dari penghuni ODOJ 2.
Silahkan berkunjung ke blogku kalo ada waktu, lempingpena.blogspot.com
terima kasih kak, salam kenal juga.
Hapussudah saya follow kak blog sampean
Asik dan seru...
BalasHapusterima kasih kak, masih harus banyak belajar
Hapuskeren ceritanya...
BalasHapussalam kenal
catatan kakak juga keren ..
Hapussalam kenal balik
saya mencoba komunikasi dgn "orang tua" di sana, orang tsb mengiyakan cerita tsb.
BalasHapus