Jumat, 26 Februari 2016

LEGENDA KAPAL YANG HILANG



“Sebelum ayam berkokok dan fajar datang, bengawan harus sudah terbentang!” tegas Nararaja Wikrama Mahesa, penguasa gunung Renteng Utara.

“Sendiko dawuh gusti!” jawab Rakryan Mahapatih Singoduto yang ditunjuk oleh Sang Nararaja untuk menjalankan misi.

“Bawa satu kapal beserta armada terkuat kita, bengawan ini akan menjadi jalur rahasia kita menaklukkan negeri Ngatas Angin di lereng gunung selatan!” lanjut Nararaja.

“Ingat Singoduto, jika misi ini tidak selesai sebelum fajar tiba, jangan harap kamu beserta pasukanmu bisa kembali ke kerajaan ini!”

“Siap laksanakan titah paduka” Singoduto menyembah dan undur dari paseban agung.

Tak berselang lama, ratusan prajurit digdaya dipimpin Rakryan Mahapatih Singoduto sudah berkumpul di halaman pendopo kerajaan.

“Wahai prajurit gunung renteng nan gagah perkasa, siapkan kesaktian kalian, malam ini kita berangkat membentangkan bengawan dari gunung renteng menembus Widas” terdengar  berapi-api Sang Rakryan menggelorakan semangat pasukannya.

“Pasukan adinda Tumenggung Joyonegoro sudah menyelesaikan pembuatan kapal sore tadi, kini kapal sudah siap kita arungkan ke negeri selatan!”

Singoduto lalu memimpin pasukan bergerak ke tengah hutan renteng, menuju telaga.

Sesampai di telaga tampaklah sebuah kapal besar nan megah. Kapal yang akan digunakan Singoduto bersama pasukannya membelah hutan dan dataran gunung renteng.

Misi mereka adalah membangun bengawan Silugangga yang akan terbentang dari kerajaan Gunung Renteng di kawasan pegunungan kapur utara hingga menembus sugai Widas yang menjadi tapal batas dengan negeri Ngatas Angin di lereng gunung Wilis. Waktu yang diberikan Sang Raja hanya semalam.

Sorak sorai pasukan membahana tatkala Kapal Setan (konon itulah nama kapal yang dipakai pasukan kerajaan gunung renteng) perlahan bergerak mengarungi telaga menuju arah selatan.

Dengan segala kesaktian dan kedigdayaan, Singoduto benar-benar membuktikan kesanggupannya. Tak butuh waktu lama, bengawan Silugangga sudah membentang dari Gunung Utara hingga keluar hutan. Dan sampailah kapal beserta pasukan di wilayah perkampungan penduduk.

“Jangan ada yang bersuara, semua tetap mengeluarkan kesaktian masing-masing, jangan sampai ada seorang pun manusia yang mendengar gerakan ini, apalagi sampai melihat kita” perintah Singoduto.

Pasukan terus bekerja, bengawan Silugangga sudah terbentang hingga di sebuah desa bernama Ngangkatan, menembus desa di seberang selatan bernama Mlorah dan ke timur bernama Jentir.

Sementara tak jauh dari pergerakan pasukan Singoduto, tersebutlah sebuah kampung kecil bernama desa Jatisari.

Waktu masih tengah malam, kabut belum tampak, datangnya fajar pun masih lama. Ketika itu terjagalah dari tidur seorang perawan bernama Roro Nilasari.

“Gusti, kenapa malam ini firasatku tidak enak, ada apakah gerangan ?” pikir Roro Nilasari.

Ia lalu beranjak dari peraduan, mengintip kearah luar rumahnya melalui celah-celah jendela kamarnya.

“Ah, tampaknya hari masih larut malam, tapi mata ini sepertinya sudah enggan untuk kupejamkan lagi” beranjak Roro Nilasari menuju dapur.

“Biarlah aku menanak nasi sekalian, agar simbok bisa istrihat lebih lama malam ini, tak perlu bangun pagi-pagi” gumamnya.

Lalu dia ambil sebuah Wakul (bakul nasi terbuat dari anyaman bambu, tempat orang-orang Jawa mencuci beras). Kemudian ia mencuci beras dalam wakul dan menyalakan api di tungku dapurnya.

Kebiasaan orang-orang jawa kuno, selalu memukul-mukulkan wakul untuk mebersihkan sisa beras yang masih menempel.

Begitu pula dengan Roro Nilasari, secara reflek dia memukulkan wakul ke meja dapur. Sontak ayam piaraan simboknya dikandang dekat dapur terbangun. Pelan-pelan terdengar kepakan sayap ayam, lalu berkokoklah seekor Ayam dengan suara nyaring, memecah kesunyian malam.

Sontak suara kokok ayam segera disambut bersahut-sahutan oleh ayam-ayam yang lain, yang banyak dipelihara penduduk Jatisari.

Seketika itu pula mendadak kapal dari pasukan Singoduto terhenti, bengawan Silugangga yang sudah jauh terbentang pun mengering. Satu per satu prajuritnya menggelepar berjatuhan dan hilang bak ditelan bumi.

“Yoh kowe perawan Jatisari, titenono sabdoku … siro ora bakal payu rabi nganti tuwek!

“(Wahai engkau gadis desa Jatisari, dengarlah kutukanku .. Tak akan ada pria yang sudi mempersunting dirimu hingga tua!)” dengan segala amarah Singoduto mengutuk ulah Roro Nilasari.

Setelah kutukan itu, lenyap pulalah Rakryan Mahapatih Singoduto muksa. Kapalnya ikut muksa, karam dan menghilang tak berbekas. Sementara bengawan yang tadinya sudah terbentang luas berubah menjadi sungai.

Kini, sungai Ngangkatan dipercaya masyarakat setempat sebagai Bengawan Silugangga yang gagal. Dan sebuah gumuk (bukit kecil) diseberang utara desa Ngangkatan adalah bekas dari kapal kerajaan renteng yang karam.

Uniknya pula sampai sekarang sangat tabu bagi gadis desa Jatisari untuk menikah di usia muda.

Apakah ini kutukan Singoduto? Believe it or not?


#diangkat dari cerita rakyat Rejoso, Kabupaten Nganjuk.

Catatan :
Tidak banyak yang tahu dengan legenda ini mungkin.

Oh ya, negeri Ngatas Angin saat ini adalah desa Ngetos di daerah lereng gunung Wilis, masuk wilayah Kecamatan Ngetos. Sementara desa Ngangkatan, Jatisari, Jentir dan Mlorah berada di Kecamatan Rejoso.

Semua tempat-tempat diatas masuk wilayah  Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.

14 komentar:

  1. Balasan
    1. Hehehe .. lagi bermimpi ke arah itu, semoga terlaksana. Minta dukunganya ya

      Hapus
  2. Seru!! Cuma ada beberapa kata yang gak ngerti artinya.. hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih, ini memang cerita rakyat daerah saya, di pelosok Jawa kak

      Hapus
  3. Menceritakan sejarah tempat yang tidak banyak tau, bagus mas Heru...
    Salam kenal dari penghuni ODOJ 2.
    Silahkan berkunjung ke blogku kalo ada waktu, lempingpena.blogspot.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih kak, salam kenal juga.
      sudah saya follow kak blog sampean

      Hapus
  4. saya mencoba komunikasi dgn "orang tua" di sana, orang tsb mengiyakan cerita tsb.

    BalasHapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *