image google |
Kala itu saya masih duduk di bangku Sekolah
Dasar. Air mata pun tak kuasa saya bendung, ketika melalui siaran langsung TVRI
terlihat Agus Winarno dan Dodik Suprayogi menundukkan kepala usai pertandingan
semifinal kompetisi divisi utama perserikatan 1992.
Dengan langkah lesu, para pemain Persebaya keluar
lapangan. Margono Asnan dkk. dipaksa menyerah 2-4 oleh Ayam Kinantan PSMS Medan melalui perpanjangan waktu.
Sebagai seorang bocah, saya hanya bisa menangis.
Sesak rasanya dada ini meyaksikan tim kebanggaan yang tampil perkasa selama
putaran penyisihan wilayah timur (format kompetisi dibagi menjadi dua wilayah),
harus berakhir di semifinal.
Saya bukan arek Suroboyo asli. Tetapi tidak dapat
dipungkiri bahwa keberadaan klub berjuluk Bledug
Ijo (julukan Persebaya) kala itu mampu memikat hati seluruh masyarakat Jawa
Timur. Basis pendukung tim asal kota Surabaya pada jaman itu terbentang mulai
Banyuwangi di ujung timur pulau Jawa hingga Ngawi sebagai kabupaten yang terletak
paling barat di Jawa Timur.
Ya, Persebaya memang identik dengan klubnya arek Jawa Timur (bukan sekedar Surabaya)
semenjak klub itu berdiri tahun 1927 hingga era 1990-an.
Perkembangan sepakbola di Jawa Timur mulai menggeliat
sejak provinsi ini menjuarai cabang olah raga paling populer pada PON 1992.
Klub-klub medioker pun bermunculan. Persik Kediri, Persekapas Pasuruan, Gelora
Putra Delta Sidoarjo, Persibo Bojonegoro adalah beberapa tim yang prestasinya
meroket di jamannya.
Basis pendukung tim sepakbola Jawa Timur pun mulai terkotak-kotak.
Ini dampak negativnya. Disamping image
positiv bahwa barometer sepakbola Indonesia berada di provinsi ujung timur
pulau Jawa ini.
Perseturuan suporter antar kota pun memanas. Bahkan
menjurus keras dan terkadang rusuh. Korban tak dapat terhindarkan. Entah sudah
berapa nyawa yang melayang atas nama kecintaan pada klub sepakbola.
Sedih!
Dua dasawarsa lebih telah berlalu.
Saya kembali disuguhi pemandangan mengharukan. Persebaya
1927 secara resmi mendapat pengakuan dari delapan anggota exco PSSI saat
berlangsung KLB di Ancol, Jakarta. Setelah beberapa musim tenggelam akibat
konflik sepakbola Indonesia, mulai musim depan klub yang kini berjuluk Green Force diperbolehkan ikut kompetisi
divisi utama lagi.
Selamat untuk arek-arek Bonek dan Persebaya 1927!
Tetapi perjuangan belum selesai. Masih ada pekerjaan
rumah yang telah menanti.
Jangan lupa, bahwa saat ini Persebaya masih memiliki
tunggakan financial saat klub ini
masih eksis beberapa musim lalu. Bahkan seorang mantan pemain asingnya
melaporkan masalah hutang gaji Persebaya ke FIFA.
Induk organisasi sepak bola dunia ini pun telah memberi
teguran agar Persebaya melunasi tanggungannya. Mohon dikoreksi jika ini salah.
Selain itu, tidak bisa dipungkiri juga bahwa keberadaan
suporter liar yang tidak terorganisir di masing-masing Korlwil menjadi
kerikil-kerikil tajam yang bisa mencoreng nama baik Bonek.
Suporter yang saya maksud adalah adalah pendukung illegal (tidak terdaftar di buku induk keanggotaan
Bonek). Arek-arek ini biasanya dengan mudah mendapatkan kaos dan atribut dari
pedagang kaki lima. Lalu mendompleng nama besar Bonek. Jenis suporter liar
inilah yang sering berulah.
Tugas berat selanjutnya, mereformasi Persebaya itu sendiri!
Ingat, awal kemunduran dan konflik yang melanda Persebaya
adalah semenjak manajemen klub ini dipegang orang-orang berlatar belakang
Partai Politik. Bagiamanapun juga, politik tetaplah licik, culas, dan terkadang
tak punya malu.
Sejarah mencatat, Persebaya pernah meraih era keemasan
ketika dipimpin Walikota Purnomokasidi dan Cak Narto (Sunarto Sumoprawiro). Dua
sosok pemimpin kharismatik yang sangat mencintai Surabaya. Bukan hanya kotanya,
tapi juga Persebaya.
Dua sosok pemimpin Surabaya dan Persebaya ini juga bersih
dari Parpol.
Inilah yang saya sebut reformasi!
Sudah saatnya, maaf Pak Saleh Ismail Mukadar harus legowo
untuk mundur. Masih banyak tokoh muda lainnya di Surabaya yang jika diberi
kesempatan, akan mampu mengelola Persebaya lebih maju.
Pemimpin klub yang mampu mencari partnership (sponsor) untuk
melunasi segala tunggakan financial di
era kepengurusan lama Persebaya.
Langkah ini harus diambil, jika Persebaya di musim depan
tidak ingin menjadi penggembira semata di kasta divisi utama. Tetapi mampu
banyak bicara, sebagai klub dengan sejarah besar. Sebagai tim yang dulu perkasa
di level tertinggi sepak bola Indonesia.
Persebaya dengan Boneknya selalu menjadi yang terdepan
ketika seluruh insan sepakbola nasional menginginkan reformasi di tubuh PSSI.
Kini saatnya Persebaya dan Bonek berani berjuang untuk
mereformasi diri sendiri.
Untuk Persebaya di esok hari yang lebih jaya sakti.
Salam Satu Nyali!
Surabaya, 6 Agustus 2016
(Heru
Sang Mahadewa)
Member of OneDayOnePost
0 komentar:
Posting Komentar