Selasa, 06 September 2016

KARENA KITA INDONESIA DAN MEREKA MALAYSIA



image from google

Selalu menarik jika kita berbicara tentang Indonesia dengan negeri jiran Malaysia.

Sejarah panjang perseturuan kedua bangsa seperti menjadi api dalam sekam. Sewaktu-waktu menghangat dan bahkan memanas kembali.

Dimulai dari invasi Mahapatih Gajah Mada yang sukses menaklukkan daratan Pahang, Kelantan dan Johor hingga Kesultanan Melaka kala itu dipaksa menjadi bagian dari kemahsyuran negeri Wilwatikta. Majapahit.

Melaka menganggap Gajah Mada sebagai seorang destroyer yang menancapkan kekuatannya secara paksa di tanah Melayu.

Inilah cikal bakal konflik dua negeri serumpun.

Berlanjut ke tahun 1961 saat Pemerintah Malaysia atas dukungan Inggris mencoba membentuk Negara Federal dengan menggabungkan Kerajaan Brunei, Serawak, Britania Borneo Utara (kini dikenal sebagai Sabah) dan Singapura.

Kalimantan, sebuah provinsi di belahan selatan pulau itu yang menjadi bagian dari Indonesia, melalui Presiden Soekarno menentang akal-akalan Malaysia.

Bung Karno merasa ini merupakan bentuk kolonialisme model baru yang di gagas Inggris. Negara Federal di bawah kontrol Inggris hanya akan menjadi boneka Britania Raya!

Perseturuan memuncak ketika terjadi demonstrasi besar-besaran di KBRI Kuala Lumpur. Para demonstran merobek-robek foto Presiden Soekarno, lalu membawa lambang negara kita ke hadapan PM Malaysia Tuanku Abdul Rahman. Memaksanya menginjak-injak Garuda.

Amarah Bung Karno meledak!

“Kita Ganyang Malaysia!” ucap Presiden Soekarno kala itu dalam sebuah pidatonya.

Dalam kurun waktu selama tahun 1962 hingga 1966, dikirimlah pasukan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia untuk menyerbu Malaysia. Pasukan Rejimen Askar Melayu Diraja secara resmi mendapat bantuan dari Inggris, Australia dan Selandia Baru.

"Inggris kita linggis, Australia kita seterika, Selandia Baru kita palu!" seru Bung Karno membakar semangat rakyat Indonesia.

Saat konflik ini berlangsung, Perserikatan Bangsa Bangsa justru mengangkat Malaysia sebagai anggota Dewan Keamanan. Lagi-lagi Bung Karno menganggap hal ini sebagai penghinaan.

Indonesia menyatakan keluar dari PBB!

Bahkan, atas gagasan Bung Karno, Indonesia mengadakan GANEFO (Games of the New Emerging Forces) untuk menandingi Olimpiade.

Pesta Olahraga ini diselenggarakan di Senayan, Jakarta pada 10-22 November 1963. Diikuti oleh 2.250 atlet dari 48 negara di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Selatan. Sekitar 500 wartawan asing turut pula meliputnya.

Konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia akhirnya mereda setelah terjadi pergantian tampuk pimpinan di negeri kita dari Soekarno ke Soeharto.

Pak Harto, secara pelan namun pasti, memulihkan kembali hubungan diplomatik kedua negara yang retak selama lima tahun.

Indonesia pun resmi bergabung kembali dengan Persrikatan Bangsa Bangsa pada 28 September 1966 dan diterima menjadi anggota yang ke-60.

Betapa sangat reseknya (bikin ulah, kata orang Surabaya) Malaysia, hingga sangat berpengaruh terhadap kebijakan Politik Luar Negeri bangsa Indonesia.

*****

Pasang surut hubungan Indonesia – Malaysia pasca Pak Harto lengser.

Berakhirnya rezim pemerintahan Presiden Soeharto oleh gerakan reformasi rakyat dan mahasiswa, sedikit banyak berpengaruh juga terhadap terhadap kondisi psikologis perseturuan dua negeri serumpun.

Di jaman Bung Karno dan Pak Harto, tak ada yang berani menyebut orang-orang Indonesia yang tinggal di Malaysia dengan sebutan “Indon”. Kini, panggilan itu sudah menjadi sapaan sehari-hari di negeri jiran.

Bung Karno begitu ditakuti di kawasan Asia dan Afrika. Pak harto sangat disegani di wilayah ASEAN. Sehingga mereka sungkan atau bahkan takut memplesetkan Indonesia.

Kata “Indon” memang terdengar sepele. Tetapi konotasinya sangat merendahkan harga diri kita sebagai warga Indonesia.

Setelah Pak Harto lengser kepabron (turun tahta), tepatnya di era pemerintahan Presiden Megawati, kita kembali disuguhi sebuah peristiwa paling menyakitkan. Dua pulau di dekat Kalimantan secara resmi dicaplok Malaysia melalui Mahkamah Internasional.

Sipadan dan Ligitan, surga bagi fauna Penyu Hijau lepas dari wilayah NKRI setelah melalui diplomasi yang panjang, Malaysia berhasil memenangkan gugatan atas konflik klaim kepemilikan dua pulau itu.

Alih-alih perseturuan mereda, yang ada justru negeri Jiran kembali mengklaim bahwa tari Reog Ponorogo adalah kesenian khas bangsa Malaysia. Mereka menyebutnya sebagai Tarian Barongan.

Belum lagi klaim atas lagu Rasa Sayange, Masakan Rendang, Tari Pendet, Tari Zapin, Cendol, Gamelan, Batik, Tari Tortor, Angklung dan Gordan Sambilan. Entah sudah berapa kali Malaysia mengklaim kepemilikan atas warisan budaya Indonesia.

Lengkap sudah rasanya api-api kecil dalam sekam yang setiap saat bisa menjadi pemantik tersulutnya kobaran api besar perseteruan Indonesia dan Malaysia.

Meski di era sekarang, mustahil konfrontasi fisik secara terbuka akan terjadi. Tetapi, perang urat syaraf tetap tak bisa terhindari.

*****
Adalah sepakbola, sebuah cabang olahraga yang senantiasa menyuguhkan tensi tinggi setiap dua tim bertemu. Garuda Indonesia (julukan timnas Indonesia) dengan Harimau Malaya (sebutan timnas Malaysia).

Tiga kali hadir secara langsung di stadion, saya ikut merasakan betapa panasnya atmosfir perseteruan kedua negara. Pertemuan Indonesia dan Malaysia di lapangan hijau pun selalu mengusung aroma sejarah panjang konflik kita dengan mereka.

Malam nanti, 6 September 2016 kita akan bersua kembali dengan mereka.

Stadion Manahan, Solo akan menjadi saksi kembalinya timnas Garuda Indonesia.

Inilah untuk kali pertama timnas kembali tampil pasca di banned oleh Football International Federation and Asociation (FIFA) sebagai buntut pembekuan Menpora kepada Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). FIFA sendiri mengharamkan pemerintah (dalam hal ini Menpora) mengintervensi organisasi sepakbola di setiap negara.

Pertandingan Indonesia versus Malaysia malam nanti adalah pertemuan ke-67 dalam segala event. Saat ini rekor keduanya adalah 30 – 15 – 21.

Sejak Piala Merdeka tahun 1957 saat kedua negara pertama kali bertemu, Indonesia telah sukses memenangi 30 laga. Sementara 15 pertandingan berakhir draw, dan Malaysia hanya mampu mengenyam kemenangan sebanyak 21 kali.

Namun, kondisi kedua tim saat ini sudah jauh berbeda.

Kekuatan timnas Indonesia masih meragukan. Selain setahun lebih kita absen dari laga resmi karena dikucilkan oleh dunia internasional akibat sanksi, persiapan timnas kita juga masih dalam tahap seleksi awal.

Berbeda dengan kekuatan timnas Malaysia yang sudah jauh hari dipersiapkan dalam Training Center. Harimau Malaysia di atas kertas memang lebih unggul dari kita.

Tapi ingat, di formasi Garuda malam nanti ada Boaz Salossa.

Pemain asal Papua inilah yang pada 3 januari 2005 dulu pernah memporak-porandakan gawang Malaysia di stadion Bukit Jalil.

Boaz kala itu tidak hanya menjadi the rising star timnas, golnya pada menit ke-84 sekaligus membungkam Harimau Malaya dengan skor 4-1 di hadapan rakyat Malaysia.

Malam nanti, kita berharap sejarah Boaz akan terulang kepada the rising star era sekarang. Evan Dimas Darmono (eks kapten Timnas U19 yang sukses memberi gelar juara kepada Indonesia di AFF Cup 2013) dan Andik Vermansyah.

Nama terakhir adalah arek Suroboyo yang sedang menjadi bintang di klubnya, Selangor FA. Pengalaman Andik merumput selama beberapa musim di Malaysia tentu sangat kita andalkan. Sedikit banyak, mantan pemain Persebaya ini pasti mengenal karakter para pemain Harimau Malaya.

Banyak yang bilang, bolehlah kita kalah dari timnas negara lain, asal tidak dari Malaysia.

Kenapa?

Karena kita #Indonesia dan mereka #Malaysia.

Ya, sesederhana itu alasannya.


Surabaya, 6 September 2016
( Heru Sang Mahadewa )

5 komentar:

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *