Surabaya, 1942.
Hawa panas di Surabaya menggila.
Sudah beberapa bulan ini, hujan tak kunjung turun. Kasmoeri dibuat bercucuran
peluh oleh sengatan matahari, kala dia mengayuh sepeda onthel dari Kapasan menuju
Jagalan. Hampir setiap dua minggu sekali, seorang gadis pemilik rambut panjang
dan digelung, selalu datang berbelanja ke toko juragannya, Koh Akhiong. Setiap
itu pula, Kasmoeri harus mengantarkan sekarung beras ke rumah si gadis.
“Kalau boleh tahu, siapa namamu, Ning?”
Ucap Kasmoeri, lelaki muda bertubuh
ceking, kulit hitam dan rambut berombak, mencoba mengakrabi si gadis siang itu.
“Soendari, Cak.”
“Kasmoeri!”
Kasmoeri mengulurkan tangan. Dadanya
sontak bergemuruh ketika Soendari menyambut dengan salaman lembut. Sesaat
Kasmoeri menahan tangan itu, hingga Soendari cepat-cepat menarik tangan, lalu
menunduk.
Dengan semangat berlipat-lipat,
Kasmoeri mengayuh lagi sepeda onthel, membelah jalan kampung Jagalan, kembali
ke Kapasan.
Sampai di depan toko Koh Akhiong, dia
dikejutkan suara ribut-ribut dari dalam toko. Nampak juragannya sedang duduk bersimpuh
di pojok ruangan sambil meratap minta ampun.
Segerombolan orang mengacung-acungkan
senapan ke arah Koh Akhiong. Logat bahasanya terdengar berbeda meski mereka sama-sama
bermata sipit. Gerombolan itu terus membentak-bentak dengan dialek Surabaya
yang dipaksakan.
Beberapa orang terlihat mengangkut semua
beras yang ada di gudang, lalu menaikkan ke atas truk. Kasmoeri bersembunyi
dari balik pohon asam di seberang jalan. Setelah gerombolan itu pergi, barulah
dia buru-buru menghampiri juragannya.
“Sudah habis semua hartaku, Kas!”
rintih Koh Akhiong meratapi nasib.
“Siapa orang-orang itu?
“Mereka mengaku sebagai saudara tua
kita. Semua beras milikku disita. Katanya akan digunakan untuk modal perang. Mereka
yang akan membebaskan kita dari cengkeraman bangsa Londo.”
“Saudara?” Dahi Kasmoeri berkerut.
“Saudara dari mana, Koh?”
“Mereka bangsa Nipon. Sebaiknya kamu
segera pulang. Nipon juga menangkap paksa para pemuda seusiamu, Kas.”
“Bukan itu saja. Banyak juga gadis-gadis
yang diangkut ke atas truk untuk dijadikan Jughun
Ianfu!”
“Soendari?”
Tiba-tiba Kasmoeri teringat gadis
yang baru saja membuat hatinya berbunga-bunga. Seketika itu pula dia segera
berlari meninggalkan Koh Akhiong tanpa berpamitan.
Jangan-jangan benar omongan Koh Akhiong bahwa Soendari juga diangkut
orang-orang bermata sipit itu tadi?
Batin Kasmoeri berkecamuk.
-o0o-
Siapa yang tak kenal Soendari, anak Soegondo,
penjual lontong balap yang kecantikannya menjadi buah bibir pemuda sekampung Jagalan. Gadis manis yang selalu ramah kepada siapa saja yang
dijumpai. Senyumnya tak pernah lepas dari bibir.
Soendari berusia dua puluh tahun
ketika orang-orang bermata sipit yang mengaku sebagai saudara tua dan Pemimpin Asia mendarat di Surabaya.
Ibarat bunga, Soendari sedang merekah-merekahnya kala itu.
Dia adalah putri sulung dari dua
bersaudara. Soegondo memiliki seorang putri lagi yang masih berusia tiga belas
tahun, Moeryati. Keduanya sama-sama berparas jelita. Bedanya, Moeryati masih
bau kencur, sedangkan Soendari seperti buah yang sudah jauh lebih ranum.
“Ada apa, Cak?”
“Tidak ada apa-apa, Ning. Aku hanya ingin
menemuimu. Sing ati-ati yo, Ning. Nipon
mblader tuk endi-endi!” jelas Kasmoeri. “Sementara ini, kamu jangan sering
keluar rumah. Mereka menangkapi pemuda dan gadis seusia kita!”
“Siapa yang kamu maksud, Cak?”
“Saudara tua kita. Nipon.”
“Nipon?”
“Koh Akhiong yang cerita. Kalau
mereka datang ke sini, kamu harus bersembunyi, Ning.”
“Oh iya… suwun, Cak.” Soendari menatap dalam-dalam wajah Kasmoeri. “Jaga
dirimu juga ya, Cak.”
Suara Soendari terdengar lirih. Ada
nuansa kekhawatiran. Diam-diam, hati Soendari mulai luluh oleh perhatian kuli di
toko Koh Akhiong itu.
“Aku pulang dulu. Aku harus berkelit
kesana-kemari, bersembunyi sambil mencari jalan menghindari patroli Nipon.”
Pamit Kasmoeri. Hati lelaki muda bertubuh ceking itu berbunga-bunga. Meski
belum terucap kata suka, tetapi dia yakin bahwa Soendari telah mengalami
gejolak rasa yang sama dengan dirinya.
-o0o-
Soegondo yang sedang duduk di teras
rumah, tiba-tiba ditodong dengan sebatang besi dingin yang menempel di
lehernya.
“Di mana anak-anakmu?”
Seorang laki-laki berkepala plontos dengan
kelopak mata nyaris tidak bisa terbuka saking sipitnya membentak-bentak. Terdengar
beberapa kali letusan dan suara jeritan para wanita dari tetangga Soegondo.
Gerombolan yang lain rupanya juga menjarah semua rumah penduduk Jagalan.
“Ampun, Ndoro. Kulo mboten gadah yoga putri,” ratap Soegondo.
“Jangan bohong! Banyak yang mengatakan
bahwa kamu memiliki dua anak gadis!” Kembali lelaki berkepala plontos
membentak. “Serahkan pada kami!”
“Tolong ampuni kami Ndoro!” timpal Roeminah,
istri Soegondo, ketika melihat beberapa orang Nipon menerobos masuk ke dalam
rumah.
“Tolongggggg!!!” Terdengar jeritan
dari dalam kamar.
Beberapa saat kemudian, Moeryati dan
Soendari digelendeng paksa oleh empat orang Nipon.
“Ampun Ndoro… jangan bawa kami!”
Soendari meretap dengan tubuh menggigil.
“Kumohon bawa saja aku. Jangan ambil
anak-anakku, Ndoro!” Soegondo bersimpuh sembari menangis di hadapan lelaki
Nipon berkepala plontos.
Prakk! Prakk!
Moncong dari besi mengkilap yang
sejak tadi ditempelkan ke leher Soegondo, kini mendarat di pelipis dan dan
dahinya. Soegondo jatuh tersungkur di hadapan Roeminah. Mereka tak kuasa menahan
kepergian Soendari dan Moeryati yang diangkut ke atas truk. Entah dibawa ke mana
oleh segerombolan tentara Nipon.
-o0o-
Kamar itu tanpa jendela. Hanya
memiliki angin-angin berukuran dua puluh centimeter persegi. Udara pengap dan
bau tidak sedap dari ceceran mani tentara Nipon bertebaran ke segala sudut
ruang.
Soendari tergolek lemas di atas
balai-balai kayu. Air matanya sudah habis untuk dia keluarkan lagi. Darah yang
terus bergulir dari luka di keningnya akibat pukulan sebatang besi, sudah tak
menyisakan perih.
Hati Soendari jauh lebih perih ketika
dengan sekuat tenaga, dia tak mampu berontak dari perbuatan biadab
manusia-manusia yang mengaku sebagai saudara tua bangsanya. Hari itu, tiga
orang tentara Nipon telah menggagahinya. Merenggut kesucian dan mencabik-cabik
kehormatannya sebagai seorang wanita.
Soendari merasa dirinya kini sangat hina
dan menjijikkan. Kembang kampung Jagalan itu telah pupus. “Aku tak ubahnya seperti wanita pelacur,” batinnya.
Perlahan-lahan, Soendari bangkit dari
pembaringan. Rasa sakit mulai terasa di bagian bawah perutnya. Cepat-cepat dia
membetulkan kain jarit yang masih acak-acakan membalut tubuh. Terdengar suara
gemeletuk dari lubang pintu kamar.
“Duh Gusti Allah… ambil saja nyawaku sekarang. Aku sudah tak sanggup
kalau harus dipaksa lagi.” Dalam hati, Soendari kembali
menangis kepada Tuhannya.
Dua lelaki Nipon memasuki ruangan. Salah
satu dari mereka berpostur tegap dan memiliki sorot mata bengis. Di dada
sebelah kiri lelaki itu, tergantung dua keping logam berbentuk bintang. “Pasti tuan ini adalah pemimpin mereka,”
pikir Soendari.
“Bawa wanita ini keluar. Aku menginginkan
adiknya!”
Lelaki yang diperintah, nampak membungkuk-bungkuk
tanda hormat.
“Adikku!”
Soendari menjerit. Dia baru teringat jika
Moeryati juga sempat ditangkap bersamanya. Namun, mereka belum pernah bertemu
lagi semenjak diturunkan dari truk, lalu digelendeng ke petak-petak ruangan yang
tak ubah seperti neraka.
“Ning!!!”
Terdengar teriakan Moeryati dari
depan pintu. Gadis bau kencur itu sedang digelendeng dua lelaki berpakaian
tentara Nipon.
“Tolong... tolong... aku takut, Ning!”
tangis Moeryati kembali pecah saat tubuhnya didorong masuk ke dalam ruangan.
Sementara seorang lelaki lainnya menyeret Soendari keluar.
“Asu!”
Akhirnya keluar juga kata-kata kotor
dari bibir Soendari. Amarahnya seketika meledak, ketika mengetahui adik semata
wayangnya akan diinjak-injak juga kehormatannya. Moeryati masih bocah ingusan.
Hanya binatang yang mempunyai nafsu sebiadab ini.
Cuh!
Ludah Soendari melayang ke wajah tentara
Nipon yang menyeret tubuh Moeryati.
Prak! Prak!
Keprukan gagang besi mengkilap akhirnya
mengakhiri perlawanan Soendari. Tubuh moleknya jatuh tersungkur ke lantai.
Ketika tersadar, Soendari melihat
samar-samar beberapa wanita sedang mengerumuninya. Ada yang menyeka luka di
pelipis. Ada juga yang memijit-mijit kaki Soendari.
“Sabar, Ning”
Seorang wanita berpakaian kebaya
dengan rambut digelung rapi, mencoba menguatkan hati Soendari. Wanita itu terlihat
paling dewasa diantaranya teman-temanya. Soendari menerka-nerka, barangkali mereka
adalah wanita-wanita yang senasib dengannya. Ditangkap paksa dari rumah, lalu
dibawa ke tempat ini untuk dijadikan budak syahwat tentara Nipon. Jugun Ianfu.
-o0o-
Kasmoeri adalah anak semata wayang
Roemini. Ayahnya sudah meninggal saat dia masih balita. Untuk menyambung hidup,
Roemini terpaksa harus mencarikan Kasmoeri pekerjaan di saat usia bocah itu
belum layak untuk menjadi kuli. Dititipkanlah Kasmoeri kecil kepada pemilik toko
beras yang tinggal di kawasan pecinan
Kapasan. Koh Akhiong.
Kasmoeri tak pernah mengenyam bangku
Sekolah Rakyat. Ketika itu, hanya anak-anak orang berada; seperti bangsawan,
pegawai; dan pedagang yang bisa bersekolah. Sedangkan rakyat jelatah seperti
Roemini hanya bisa menyuruh anaknya mengaji di langgar kampung. Setidaknya bisa
membaca dan menulis huruf Hijaiyyah.
Sepuluh tahun menjadi pekerja Koh
Akhiong, Kasmoeri tumbuh menjadi sosok pemuda yang mulai bergejolak jiwa
ketertarikannya pada lawan jenis.
Soendari, anak Soegondo, pelanggan beras
di toko Koh Akhiong yang telah menggelorakan jiwa muda Kasmoeri. Namun belum
sempat Kasmoeri mengutarakan perasaan pada Soendari, kedatangan bangsa Nipon di
Surabaya merubah segalanya.
Semenjak kejadian pagi itu, saat
Soendari dan adiknya ditangkap Nipon, Kasmoeri kelimpungan. Dia mencari kesana-kemari.
Setiap orang yang dijumpai selalu ditanya; apakah
pernah melihat segerombolan Nipon mengangkut gadis-gadis Surabaya?
Tak ada satupun yang mengetahui
dimana keberadaan para Jugun Ianfu. Ada yang mengatakan mereka dibawa ke tangsi di daerah Lowokwaru, ada pula
desas-desus yang mengatakan gadis-gadis itu dikirim ke Semarang dan Jakarta.
Pencarian Kasmoeri terhadap
keberadaan Soendari akhirnya berujung pada rasa dendam dan amarah. Dia bersumpah
akan membuat perhitungan dengan orang-orang Nipon pada suatu hari nanti.
Kasmoeri memutuskan bergabung dengan
ajakan seorang guru ngaji untuk ikut berperang melawan bangsa asing yang
menduduki dan menindas orang-orang Surabaya. Guru Kasmoeri, Cak Durrokhim
mengatakan bahwa Mbah Hasyim Asy’ari, panutan mereka telah memberikan lampu
hijau bahwa tak lama lagi beliau akan menyerukan Resolusi Jihad Fisabilillah melawan penjajahan bangsa asing.
-o0o-
Surabaya, Agustus 1945.
Kabar menyerahnya Jepang kepada
Amerika Serikat dan sekutunya langsung tersebar ke segala penjuru negara-negara
yang menjadi jajahannya, termasuk di Surabaya. Berita penandatanganan
penyerahan tanpa syarat oleh Kaisar Hirohito menjadi perbincangan orang-orang.
“Nipon menyerah setelah negara mereka
di bom oleh Amerika.” Ucap Koesno, teman Kasmoeri, ketika mereka berkumpul di
rumah Cak Durrokhim.
“Apa nama kota yang dibom itu?” tanya
Kasmoeri
“Nogosakti.”
“Seperti nama keris ya. Nogosakti.”
“Bersiaplah, Kas. Kita bergabung
dengan arek-arek yang akan berangkat ke Koblen. Mblejeti bedhile Nipon!”
Siang hari yang panasnya sungguh
menggila itu, Koblen menjadi sasaran
pelampiasan dendam penduduk Surabaya, atas penindasan Nipon selama tiga
setengah tahun. Kasmoeri termasuk pemuda yang kesetanan. Dia berada di barisan
terdepan, mengobrak-abrik bangunan peninggalan Belanda itu. Beruntung, dia selamat
dari para penembak Nipon, meski teman-temannya banyak yang terluka dan
meninggal dalam penyerbuan itu.
Gejolak mereda setelah melalui siaran
radio, terdengar suara Bung Karno dan Bung Hatta di Jakarta meproklamasikan
kemerdekaan bangsa Indonesia.
Sontak kata-kata MERDEKA membahana
dimana-mana. Hampir di seluruh pelosok kampung di Surabaya, semua orang
memekikkan kata itu. Cengkeraman dari bangsa-bangsa yang kejam dan biadab
selama tiga setengah abad telah berakhir.
-o0o-
Matahari baru saja menampakkan diri di langit timur Surabaya. Kabut masih
menyelimuti jalan-jalan yang lengang. Tetapi, sepagi itu, Kasmoeri sudah berjalan
kaki dari rumahnya di Keputran hendak menemui Koh Akhiong di Kapasan. Sampai di
Tunjungan, dia melihat ratusan orang sudah berkerumun di depan bangunan megah
yang ditempati orang-orang Belanda. Di puncak sebuah tiang, terlihat sedang
berkibar bendera merah putih biru. Orang-orang menjadi marah. Mereka menganggap
Belanda telah menghina kemerdekaan Indonesia. Kasmoeri merangsek ke tengah
kerumunan, ikut mengepung bangunan yang pada satu sisi temboknya terpampang
tulisan Yamato Hoteru.
“Asu tenan, Londo!” teriak
Kasmoeri.
Tiga orang menerobos masuk ke dalam gedung. Kasmoeri dan ratusan orang
menunggu di luar. Beberapa menit kemudian, terdengar suara tembakan dari dalam gedung.
Sontak, kerumunan massa semakin terbakar amarahnya.
Kasmoeri memungut sebongkah batu, lalu melemparkan ke arah kaca gedung. Disusul
lemparan-lemparan batu dari ratusan orang lainnya. Tak berselang lama, nampak dua
lelaki memanjat bangunan Yamato Hoteru.
“Terus… terus... sedikit lagi, Cak!”
Kasmoeri berteriak-teriak seperti orang kesurupan.
“Jaga di bawah. Jangan biarkan ada orang Belanda yang keluar dari gedung!”
Seluruh orang yang berkerumun pagi itu bergidik. Dengan gagah perkasa,
dua lelaki muda yang memanjat gedung berhasil menurunkan bendera Belanda.
Mereka merobek warna birunya, menderek lagi bendera dengan sisa warna merah putih
yang lantas berkibar-kibar di atas Yamato Hoteru.
“Merdeka!” Pekik mereka dengan bibir bergetar karena haru.
-o0o-
Satu bulan berlalu. Berita kedatangan bangsa selain Belanda dan Nipon di
Surabaya langsung tersebar. Pasukan Inggris mendarat dengan tujuan
mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai negeri
jajahan. Orang-orang menyebutnya sebagai londo
ireng. Amarah penduduk Surabaya kembali tersulut. Kerusuhan pecah dimana
mana.
“Hati-hati, Kas!” Pesan Koesno.
“Dendamku belum tuntas. Hilangnya Soendari masih meninggalkan luka di
dada ini, Koes!” Jawab Kasmoeri.
Pagi itu, kabar bahwa Brigadir Jendral Mallaby, Komandan Militer Inggris melakukan
patroli keliling Surabaya untuk mengumumkan gencatan senjata sudah terdengar
sejak Subuh. Beberapa saat setelah menunaikan ibadah shalat dua rakaat, kabar
itu diteruskan dari satu langgar ke langgar lain.
Kasmoeri termasuk pemuda yang berniat membelot dari arahan Cak Durrokhim,
pemimpin laskar pejuang Surabaya agar semua menahan diri. Dia berencana mencegat
patroli orang-orang Inggris.
Selepas Subuh, ketika kabut yang membekap jalan-jalan di Surabaya belum
sirna, Kasmoeri telah sampai di Jembatan Merah. Dia menyelinap di balik rerimbunan
pohon glagah yang tumbuh di pinggir sungai. Sebatang besi laras panjang yang
dirampas dari tentara Nipon sudah siap dibidikkan olehnya.
Beberapa saat menunggu, terdengar deru suara mobil dari jarak sekitar
seratus meter menuju Jembatan Merah. Napas Kasmoeri mulai naik turun tidak
beraturan. Dia mengarahkan moncong senapan ke atas jembatan. “Kali ini, dengan sekali bidik, akan
tersungkur kau, Mallaby!” Pikir Kasmoeri.
Suara mobil semakin mendekat. Kasmoeri sudah bisa melihat dengan jelas
orang yang berada diatas mobil terbuka itu. Namun, hanya dalam hitungan
beberapa detik, tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara rentetan tembakan dari arah
yang lain.
“Asu… ternyata arek-arek juga menyerang. Aku tidak diajak!” Umpat Kasmoeri.
Terjadi baku tembak beberapa saat. Kasmoeri tidak tahu berapa jumlah arek
Surabaya yang mengepung Jembatan Merah pagi itu. Dia ikut melepaskan tembakan
dengan membabi buta. Entah peluru siapa yang menembus tubuh Mallaby. Jendral
Inggris itu terkapar meregang nyawa.
Kematian yang membuat Inggris marah besar. Satu hari paska insiden di
Jembatan Merah itu, Inggris mengirim empat puluh ribu tentara ke Surabaya.
-o0o-
Robert Mansergh, seorang jendral Inggris yang menggantikan posisi
Mallaby, mengeluarkan ultimatum; semua orang Indonesia yang bersenjata wajib
melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan, lalu menyerahkan
diri dengan mengangkat tangan di atas kepala. Batas ultimatum adalah tanggal 10
November 1945 pukul enam pagi.
Surabaya kembali mencekam.
“Lebih baik Surabaya hancur lebur, daripada dijajah lagi!” Ucap Gubernur
Jawa Timur, R.M. Suryo melalui siaran Radio Republik Indonesia Surabaya pada
tengah malam menjelang batas ultimatum Inggris.
Beberapa jam kemudian, pemimpin Laskar Jihad Surabaya, Bung Tomo menegaskan
pidato sang gubernur. Petikan kalimat Basmallah
dan Takbir malam itu membakar semangat
arek-arek Surabaya.
“Allahu Akbar!” Teriak Kasmoeri.
Serentak, teman-temannya yang berkumpul di rumah Cak Durrokhim yang
menjadi markas mereka membalas dengan pekikkan yang sama.
Keesokan harinya, 10 November 1945, kota Surabaya dikepung dan
dibombardir meriam pasukan Inggris dari segala penjuru; darat, laut dan udara.
Surabaya Melawan!
Bersama ribuan pemuda dan rakyat Surabaya lainnya, Kasmoeri kembali
kesetanan. Lagi-lagi, dia berada di barisan paling depan. Kasmoeri membabi buta,
menembaki setiap orang berseragam tentara Inggris yang dilihatnya. Tak
terhitung berapa kali letusan besi laras panjang miliknya menghabisi musuh.
Hingga akhirnya, sebuah rasa panas dan nyeri di lambung, menghentikan amukannya.
Kasmoeri merebahkan tubuh pelan-pelan. Dia merasakan ada sesuatu yang
tiba-tiba mengalir keluar dari balik bajunya.
“Kasmoeri!”
Teriak Koesno sambil menyeret tubuh Kasmoeri berlindung.
Rasa nyeri dan panas dingin yang berasal dari rembesan darah di lambung
kasmoeri, kini membuat wajah pemuda itu memucat. Tubuhnya mulai menggigil.
Pandangan matanya mengabur. Samar-samar, dia masih bisa mendengar dentuman
meriam dan suara letusan senapan.
Perlahan-lahan, tatapan mata Kasmoeri tertutup oleh warna bianglala yang
turun dari langit Surabaya. Pancaran warna itu menghampiri tubuhnya. Nyeri yang
dirasakannya mendadak hilang. Berganti rasa hangat dan nyaman. Sekejap kemudian,
dari atas mega-mega, Kasmoeri bisa melihat ribuan arek Surabaya sedang berjuang
hidup mati, mempertahankan setiap jengkal tanah pertiwi.
Di sudut lain, Kasmoeri juga melihat seorang gadis dengan rambut digelung
sedang sibuk menyiapkan obat-obatan ala kadarnya, lalu mengguncang-guncang
tubuhnya yang membujur kaku.
“Soendari, kaukah itu?”
Dari atas mega-mega pula, Kasmoeri menyaksikan tanah kelahirannya,
Surabaya, menjadi bulan-bulanan hujan meriam pesawat-pesawat tempur Inggris.
(Heru Sang Amurwabhumi)
Member of One Day One Post
Catatan:
Jughun Ianfu = Wanita
yang dipaksa menjadi pemuas nafsu selama pendudukan tentara Jepang; Nipon = Sebutan lain untuk bangsa Jepang; Pemimpin Asia = Klaim Jepang yang menyebut mereka sebagai pemimpin
bangsa-bangsa Asia; Sing ati-ati yo, Ning.
Nipon mblader tuk endi-endi = Berhati-hatilah, mbak. Jepang bertebaran
dimana-mana; Suwun = Terima kasih; Ndoro = Tuan; Kulo mboten gadah yoga putri = Saya Tidak punya anak perempuan; Asu = Anjing; tangsi = Markas militer; Resolusi
Jihad Fisabilillah = Fatwa yang dikeluarkan oleh K.H. Hasyim Asy’ari
sebagai sikap Nahdlatul Ulama bahwa hukum mempertahankan kemerdekaan adalah
wajib; Nogosakti = Maksudnya adalah Nagasaki,
salah satu kota di Jepang, selain Hiroshima, yang dijatuhi bom atom oleh
Amerika Serikat; Koblen = Nama
penjara buatan Belanda, kemudian dialih fungsikan menjadi markas tentara
Jepang; mblejeti bedhile Nipon = Merampasi
senapan Jepang; Yamato Hoteru = Hotel
Yamato, sekarang bernama Hotel Majapahit di jalan Tunjungan, Surabaya; tenan = sungguh.
Merinding bacanya mas Heru. Keren sekali... Ajari dong nulis sekeren ini.
BalasHapuswehehe ...
Hapusjustru saya yang harus minta ajar ke Kang Wakhid ini.
Menengangkan
BalasHapusAishhh ... ini tulisan ngasal, saat masih jadi siswa ODOP
Hapus