Satu
malam menjelang babak delapan besar AFC U16 Championship 2018, aku sengaja menemui
kembali seorang sahabat lama di Kota Udang, Sidoarjo. Seperti waktu-waktu
sebelumnya, perawakan lelaki tambun dengan model rambut gondrong itu masih saja
mirip mendiang W.S. Rendra ketika beliau masih sugeng. Tidak hanya sekedar
gaya rambut, bicaranya yang ceplas-ceplos dan terkadang dibumbuhi Cak-Cuk, membuat pria paruh baya yang
akrab kupanggil Cak Rendra (meski nama sebenarnya adalah Abdul Muis) itu jiannn persis dengan penyair si
Burung Merak.
Malam
itu, kami duduk berhadap-hadapan di sebuah kedai, Rolag Café, di pusat kota yang
disebut sebagai Tanah Sakral oleh Binder Singh—komentator sepak bola, setelah
untuk kali kedua, di Sidoarjo, lagi-lagi tim nasional sepak bola Indonesia
menjadi Raja Asia Tenggara.
“Indonesia
mbois!” ucap Cak Rendra.
“Apanya
yang mbois, Cak? Musibah gempa dan
tsunami Donggala Palu yang digoreng menjadi komoditi politik oleh para
simpatisan capres? Atau berita tentang pencekalan Imam Besar justru oleh negara
yang konon menjamin segala kebutuhan hidupnya, Arab Saudi?” tanyaku.
“Tentu
saja bukan. Ini tentang sepak terjang Garuda Muda—julukan timnas U16, yang
tiba-tiba melesat seperti laju meteor, hingga menapakkan kaki di babak quarter final Piala Asia,” jawabnya,
sembari meneguk cappucino yang baru saja diantar seorang pelayan kafe cewek, dengan
dandanan ala artis K-Pop Korea.
“Mirip
aktris drama Oh My Ghost, Park Bo
Young, Cak,” bisikku.
“Cocot-mu!” Pisuh Cak Rendra. “Aku justru
mebayangkannya sebagai Via Vallen saat tampil di launching Liga Satu,”
lanjutnya sembari pringisan.
Aku
tertawa terpingkal-pingkal. Beruntung si mbak pelayan kafe yang entah lebih
pantas dimiripkan Park Bo Young atau Via Vallen itu tidak menyadari sedang
menjadi tema pembicaraan dua lelaki yang baru saja dihampirinya.
Aku
mengeluarkan sebungkus lintingan daun nikotin keluaran pabrik asal Kota Tahu,
Kediri, Surya International, lalu menyodorkan sebatang isinya kepada Cak Rendra.
Tentu saja lengkap dengan korek api bensol. Beberapa detik kemudian, bibir Cak
Rendra nampak menghisap dalam-dalam batangan itu. Kepulan demi kepulan asap
menari-nari dengan gemulai di atas meja kami. Serupa dengan lenggak-lenggok langkah
si mbak pelayan kafe tadi.
“Ini
generasi emas Indonesia setelah lima tahun silam kita pernah memiliki Evan
Dimas dan kawan-kawan, Cak,” timpalku.
Iya,
begitulah. Indonesia akhirnya tampil sebagai juara grup C kualifikasi Piala AFC
U16 di Malaysia. Setelah sebulan sebelumnya menjadi jawara Piala AFF U16 di
Sidoarjo, kali ini di negerinya Mahatir Muhammad itu anak asuh Fachri Husaini bersama
India sukses memenangi persaingan ketat Laskar Khoemini, Iran, dan pasukan The Golden Star, Vietnam.
“Satu
kaki kita sudah menginjak rumput Piala Dunia Peru tahun depan. Meski impossible, mengalahkan Australia bukan
pula mustahil kita lakukan,” lanjut Cak Rendra.
“Kalau
begitu, namanya sudah kepalang tanggung. Kenapa tidak sekalian saja kita geber
terus laju ini menuju Peru, Cak?” Aku mengamini.
“Jangan
lupa bahwa ketika turnamen serupa dulu digelar pada tahun 1990, kita berhasil
lolos ke semifinal, meski akhirnya dihentikan Uni Emirat Arab. Sayangnya, jatah
tiket ke Piala Dunia kala itu hanya untuk negara yang berhasil menyabet gelar
juara pertama, kedua, dan ketiga.” Cak Rendra kembali membuka memori indah
ketika Indonesia berhasil menjadi semifinalis juara Piala AFC U16 tahun 1990.
Kami
berdua sama-sama menghela napas panjang. Menyesap capuccino di cangkir
masing-masing, lalu berlomba menghisap batangan rokok yang tinggal separuh.
Iya,
Sore ini, 1 Oktober 2018, bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila, Indonesia
akan mencoba mencetak sejarah untuk negeri tercinta yang sedang dilanda duka.
Sejarah bahwa bangsa yang sedang terkoyak tirai kerukunannya akibat suhu
politik pilpres yang mulai menghangat, juga bangsa yang sedang bercucuran air mata
akibat bencana tsunami yang meluluhlantakan Donggala Palu ini, mengukir nama
sebagai kontestan Piala Dunia di Peru tahun depan.
Raksasa
sepakbola yang akan menghadang laju Garuda Muda adalah Australia. Dalam
pertemuan terakhir, negeri Kanguru berhasil mengalahkan kita dengan skor telak
7-3.
“Kenapa
ya, Cak, lagi-lagi kita harus ketemu tim besar?”
Aku
sedikit merasa pesimis.
“Fase
ini memang sudah memasuki babak delapan besar. Wajar kalau yang tampil adalah
tim-tim besar. Tetapi, jangan remehkan Merah Putih. Sekecil apapun, justru feeling-ku kok tahun ini adalah tahunnya
olah raga Indonesia bangkit,” sanggah Cak Rendra.
“Kenapa
sampean bisa mengatakan demikian?”
“Iya
feeling saja. Puncak ujian olah raga Indonesia sudah lewat, yaitu ketika berhasil
menjadi tuan rumah Asian Games sebulan silam. Bukan hanya sukses sebagai
penyelenggara lho. Kita juga berhasil
mendulang tiga puluh satu medali emas dan menduduki peringkat empat. Ini bukan
kebetulan!” Tegas Cak Rendra.
“Masuk
akal juga analisa sampean,” pujiku.
Kembali
kami membakar satu lagi lintingan daun nikotin. Menyesap sisa cappuccino terasa
agak pahit karena hanya tinggal ampas. Obrolan terus berlanjut hingga ngetan
ngulon tak jelas jluntrungnya. Sesekali, aku sempatkan melirik Park Bo
Young kawe yang sedang duduk di depan
loket kasir kafe.
Tepat
pukul sembilan malam, aku mengajak Cak Rendra menyudahi obrolan. Setelah melambaikan
tangan kepada si mbak pelayan kafe sebagai isyarat pamit, kuantarkan sahabat
yang sepemikiran dalam menyikapi hitam putih sepakbola nasional itu sampai di
parkiran motornya.
Dengan
menyisakan harapan yang mudah-mudahan sore ini menjadi kenyataan, tak lama
kemudian aku juga memacu sepeda motor, membelah simpang empat alun-alun
Sidoarjo, lalu berbelok arah ke utara, menuju Kota Buaya.
Sepanjang
perjalanan pulang, harapan yang tersisa itu terus mengusik pikiranku. Harapan
tentang terukirnya sejarah bagi bangsa Indonesia. Sejarah yang bernama Piala
Dunia.
Ah,
maju terus Garuda Mudaku.
( Heru Sang Mahadewa)
Member
Of One Day One Post
iyaa sedh bangeeet, kalah tipis :(
BalasHapusaku meninggalkan jejak di blog ini...
BalasHapusInsyaallah di periode berikutnya ada nama Indonesia di gelaran piala dunia aamiin
BalasHapusDan saya suka sekali dengan bahasan bola yang mengalir luwes dan dari sudut pandang yg berbeda. Keoptimisan dan smeangat bola nya dibalut dengan cerita percakapan hangat yang apik settingnya. Dan Park Bo Young itu...ah ini tahun berapa toooo wkwkwkwkwkkw....Tetep ayu jaya lah si mbak. Sleera anak muda kekinian yg ala2 Suzy begitu kayanya hehehehe
BalasHapus