Sigêg
kang wus pacak baris / para wadya Surabaya / angêpung Giri kadhaton / sanega
kapraboning prang / gantya kang kawuwusa / wau ta Giri sang wiku / sampun
ingaturan wikan.
Lamun Kangjêng
Pangran Pêkik / saha garwa ngêpung kitha / anglir samodra balane / (m)balabar
ngêbêki papan / tiyang ing Ngargapura / jalu èstri samya bingung / kadya gabah
ingintêran.
Terjemahan bebas versi Heru Sang Mahadewa:
Terhenti laju barisan prajurit dari pasukan Surabaya. Mereka mengepung Giri kedhaton. Semua telah siaga untuk berperang melawan Prabhu Giri.
Terhenti laju barisan prajurit dari pasukan Surabaya. Mereka mengepung Giri kedhaton. Semua telah siaga untuk berperang melawan Prabhu Giri.
Kisah
berganti kepada yang berkuasa di Giri. Sang ulama telah mengetahui dari laporan
yang ia terima bahwa Kangjeng Pangeran Pekik beserta sang istri telah mengepung
kota.
Kedatangan
pasukan Surabaya itu bagai gelombang samudra, menghempas dan tumpah memenuhi
segala penjuru. Orang-orang di Ngargapura, laki-laki perempuan, semua
kebingungan. Mereka berhamburan, tak ubahnya seperti butir-butir padi yang
dikocok di dalam loyang.
(Serat Centhini : 12 – Asmaradana)
-o0o-
Kabut yang membekap tapal batas Tandhes dan Kadipaten Giri belum sepenuhnya tersingkap. Lepak embun di dedaunan sambi juga masih enggan menguap. Jejak fajar baru saja memudar.
Tetapi, sepagi itu, bunyi genderang telah ditabuh dari Tandhes. Berbalas sahutan dengan tiupan sangkala yang terdengar dari arah Giri. Perang hari kedua sudah dimulai. Perang antara pasukan Surabaya yang diperintahkan Mataram menghukum mangkirnya pemangku kadipaten di pesisir utara Brang Wetan dari pasowanan agung, melawan laskar Giri Kedhaton.
“Siapa
senopati itu?”
“Sepertinya
seorang wanita, Kangjêng.”
“Surabaya
memiliki Srikandi?”
“Entahlah.
Amukannya membuat pasukan kita tercerai berai, Kangjêng.”
Endrasena
mengibaskan baju zirahnya. Mata senopati laskar Giri asal Tiongkok itu tak
berkedip menatap ke tengah barisan pasukan Surabaya. Di atas punggung seekor
kuda, nampak seorang wanita dengan gigih menyabetkan pedang kepada setiap lawan
yang menghadangnya.
Entah
apa yang terjadi pada perang hari kedua itu. Pasukan Surabaya seperti singa
yang lapar. Amukan mereka bagai banteng ketaton. Sungguh mengerikan. Satu per satu prajurit laskar
Giri berjatuhan. Kehadiran seorang senopati wanita di tengah-tengah prajurit
Surabaya, seperti guyuran hujan di musim kemarau panjang. Setelah pada perang hari
pertama menelan kekalahan, kini mereka balik memukul.
Melihat
laskar Giri porak poranda, Endrasena menggebrak kudanya. Dua pedang kembar
di tangannya berkelebatan. Prajurit-prajurit Surabaya yang terkena sabetan,
langsung terrsungkur menemui ajal. Sebagian sisanya, langsung berhamburan menyingkir,
tak sanggup melawan amukan Endrasena.
Berjarak
dua ratus tombak dari posisi Endrasena, senopati pasukan Surabaya mengangkat
tangannya tinggi-tinggi.
“Wukir Jaladri … wukir jaladri …
wukir jaladri!”
Sontak,
ratusan prajurit Surabaya langsung membentuk gelar tempur seperti yang
diperintahkan senopati mereka.
Kini,
wanita yang duduk dengan berkacak pinggang di atas punggung kudanya itu ganti
menatap tajam ke arah Endrasena.
“Pulanglah
ke negerimu. Jangan campuri urusan Mataram dengan Giri!”
“Aku
berperang demi menegakkan kekhalifahan di tanah Giri!”
“Belum
terlambat bagimu untuk meletakkan pedang. Atau darahmu akan menjadi tumbal
dari keberanian Giri menentang Kangjêng Sultan di Mataram!”
“Lebih
baik mati syahid, daripada mengikuti raja yang thagut!”
Ucapan
Endrasena terdengar bagai petir di siang hari. Menggelegar, menyambar, dan memanaskan telinga senopati
Surabaya.
“Kupegang
kata-katamu, senopati. Aku, Ratu Pandhansari bersumpah; hari ini akan
kukirim kau ke jalan syahidmu!”
Senopati
wanita itu melepas pengikat gelungnya. Seketika, rambut panjangnya jatuh tergurai. Sebagian menutupi pipi yang merona-rona, sebagian lagi berkibas-kibas
di terpa angin mangsa Palguna.
Kini,
semua mata terbelalak melihat pemandangan di hadapan mereka. Sosok jelita di
atas punggung kuda itu tak ubahnya seperti Amba yang sedang menantang Bhisma. Ia mencabut sebuah cêtbang dari balik baju. Sorot
matanya yang tajam kian memerah, memancarkan amarah yang enggan tidak tumpah.
Cêtbang
itu dibidikkan ke arah Endrasena. Sejurus kemudian, terdengar sebuah ledakan, disusul
dengan desingan peluru yang melesat meninggaalkan ujung cetbang. Hanya sekedipan
mata, tiba-tiba darah telah mengucur dari tangan kanan Endrasena. Senopati
laskar Giri itu terkejut hingga pedangnya terlepas.
Namun,
bukan Endrasena jika menyerah sampai di situ. Ia menggebrak kudanya sambil mengacungkan keris di tangan kiri.
Seratus
tombak sebelum mendekati gelar tempur wukir jaladri pasukan Surabaya, terdengar
lagi letusan cêtbang. Tangan Endrasena kembali berdarah. Kali ini berganti
tangan kiri yang terluka.
Endrasena
terjatuh dari kudanya. Ratu Pandhansari memberi isyarat agar prajuritnya memberi
jalan kepada Endrasena.
Begitu
gelar tempur terbuka, tumbuh lagi nyali Endrasena. Dengan dua tangan berlumuran darah, ia masih juga memaksa
mengamuk dengan menendang-nendangkan kaki.
Tak
berlangsung lama, Ratu Pandhansari kembali membidikkan cêtbang. Kali ini tepat mengenai
dada Endrasena. Senopati Giri roboh dan tak mampu berdiri lagi.
Endrasena
jatuh tersungkur di hadapan pasukannya. Melihat senopatinya
meregang nyawa, runtuh nyali para prajurit laskar Giri.
Sebaliknya,
pasukan Surabaya kian berada di atas angin. Mereka menerjang sisa-sisa
barisan laskar Giri yang telah porak-poranda, bagai membabat rerimbunan ilalang. Laskar Giri lari pontang-panting sambil membuang pedang.
Di
tengah palagan itu, tak tersisa satu pun prajurit laskar Giri. Pasukan
Surabaya bersorak bersahut-sahutan, merayakan kemenangan pada perang hari kedua.
Kedhaton Giri dikepung, Prabhu Giri ditangkap dan dibawa menghadap Ngarsa Dalêm Sinuwun Sultan Agung.
Tetapi
sebelum itu terjadi, tak terlihat oleh siapa pun, para putri Prabhu Giri, yang berasal dari istri selir, diam-diam telah
meninggalkan kedhaton.
Mereka
adalah Raden Ayu Jayengresmi, Raden Ayu Jayengsari, dan Raden Ayu Rancangkapti. Nahas, putri sulung, Jayengresmi terpisah dengan kedua adiknya, Jayengsari dan
Rancangkapti.
Giri Kedhaton runtuh. Kisah
pelarian panjang putri-putri Prabhu Giri telah dimulai.
(Heru
Sang Mahadewa)
Member
of One Day One Post
Cerpenisasi naskah Centhini.
Cerpenisasi naskah Centhini.
Keren...
BalasHapusSalam kenal,
shintadwijiarti.blogspot.com