“Kamu berani
memintaku dari ibu?”
Gadis lencir di hadapanku itu bertanya.
“Kenapa harus
takut? Jangan panggil aku Heru kalau tidak punya nyali meminangmu! Meski hanya
buruh pabrik, aku berani menafkahimu!”
Aku balik menantangnya.
Kulihat pipi gadis itu merona, tak melanjutkan lagi pertanyaannya. Dia hanya menyunggingkan senyum tersipu. Senyum yang semakin menguatkan
keberanianku untuk mempersuntingnya.
Tiga bulan
setelahnya, aku mengikrarkan akad nikah di hadapan Penghulu dan Walinya. Meski
hanya disaksikan orang tua dan keluarga terdekat, tapi momen tersakral dalam
hidup kami itu tetap berkesan hingga kini.
Tak ada pesta
pernikahan, tak ada pula janur kuning dan kemegahan baju pengantin. Kami memang
berasal dari keluarga dengan strata
ekonomi paling Low. Hanya ada
komitmen diantara kami berdua untuk tetap bersama, hingga ajal mengakhiri
keabadian cinta kami kelak. Sebuah momen hidup yang mebutuhkan nyali besar dari seorang lelaki bau kencur seusiaku ketika itu.
*****
“Her, ada
telpon dari keluargamu!” Kata Pak Triadi, atasan di tempatku bekerja.
Ketika itu, ponsel
masih menjadi barang super lux. Hanya segelintir orang yang memilikinya. Setiap
ada keperluan yang mendesak, keluarga karyawan bisa menghubungi nomor pabrik,
nantinya oleh resepsionis akan dipersilahkan menelpon ulang sekian menit kemudian, sambil dipanggilkan karyawan yang dimaksud.
Aku berlari
ke ruang operator telepon (sebutan kami
untuk resepsionist di serambi pabrik). Tak sempat berganti
pakaian, masih dengan seragam kebesaran seorang tukang pembuat adonan mie. Panik
dan cemas menyergap dada. Tak pernah aku mendapat telpon dari keluarga selama bekerja di
pabrik itu.
“Mas, Kevin
sakit. Sejak semalam dia buang air besar terus.”
Terdengar isak tangis dari suara
penelponku.
“Terus bagaimana
kondisinya sekarang?”
“Semalam bu
bidan sudah memberikan banyak oralit, tapi diarenya belum juga berhenti sampai
pagi ini.”
Suaranya melirih, makin tenggelam dalam isak tangis.
“Pulanglah, mas.”
Dia makin tersengal-sengal sesenggukan.
“Tenangkan
dirimu, sayang. Aku pulang sekarang. Cepat bawa Kevin ke
rumah sakit sekarang juga, jangan ditunda lagi!” Tutupku mengakhiri
pembicaraan.
*****
Empat jam naik bis atar kota, akhirnya membawaku sampai juga di kota tempat anak dan istriku menetap bersama orang tuanya. Kaki ini terasa lemas ketika memasuki IGD Rumah Sakit Umum Daerah Nganjuk.
Cemas bertambah panik menjadi penyebabnya.
“Kevin Fergiawan
sudah dipindahkan ke ruang Dahlia 2A, mas.” Jelas seorang perawat yang berjaga di
Istalasi Gawat Darurat siang itu.
“Terima kasih, mbak.” Jawabku, tanpa sempat membalas senyum ramahnya.
Sampai di ruang rawat inap anak-anak, aku tak sanggup lagi untuk tegar. Wajah lelah dari
istriku yang duduk di tepi bad pasien membuat dada ini pelahan menyesak. Kudekati
bayiku yang baru berusia setahun di sampingnya. Terbaring pulas. Kutatap tak berkedip jarum infus
yang menancap di pergelangan tangan mungilnya. Bulir netra pun mengalir ke
sudut bibir ini.
“Alhamdulillah
mas, sekarang sudah membaik. Sudah tidak buang air besar lagi setelah diinfus tadi.” Sambut istriku.
Aku masih
terdiam, tak mampu mengeluarkan sepatah katapun untuk menjawab sambutan istri.
Liverku masih terasa ngilu sengilu-ngilunya. Kucium dengan penuh kehati-hatian buah hatiku,
kukecup pula kening ibunya.
“Tadi biaya di IGD belum dibayar. Semua obat dan infus ini sementara masih dipinjami rumah sakit, mas.” Jelas istriku dengan lirih, seraya menunjukkan selembar resep dokter yang
belum sempat ditebusnya.
Belum sempat aku
membaca resep itu, seorang petugas medis muda menghampiri kami.
“Selamat siang. Mas ini kakak atau ayahnya dik Kevin ya?” Sapa lelaki berwajah putih bersih itu dengan sopan.
“Siang juga. Saya
ayahnya Kevin, mas.”
“Oh, masih muda
sekali ayahnya dik Kevin. Resepnya tadi tolong ditebus di apotik ya, mas.”
Untuk kedua kalinya, kembali dia mengumbar keramahan.
“Iya, nanti saya
tebus, mas. Maaf, saya baru datang dari Sidoarjo.” Ucapku mengiyakan
kata-katanya.
Dalam hati aku berpikir, setelah ini harus memutar otak untuk mencari
uang guna menebus resep dokter anakku.
Beberapa menit, aku
dan istri hanya terdiam, belum menemukan jalan keluar terhadap semua biaya
opname itu. Sesekali, kami membelai rambut buah hati kami yang masih terlelap. Mungkin
pengaruh obat yang di injectkan dari infus.
“Permisi, mas. Saya ingin ngomong dengan sampean sebentar.”
Tiba-tiba, cowok perawat tadi
sudah berdiri di dekatku. Kami pun
berjalan keluar ruang pasien. Lalu, duduk pada sebuah bangku panjang di lorong depan
ruang Dahlia.
“Maaf sebelumnya, mas. Resepnya belum ditebus juga ya?”
Petugas medis muda itu membuka percakapan.
“Belum, mas. Saya belum punya uang. Nanti pasti akan saya tebus.”
“Gak apa-apa, mas. Kami mengerti kondisi setiap pasien kok.”
“Begini, mas. Obat itu harus segera ada dan cepat-cepat diinjectkan lagi ke infus dik Kevin.” Lanjutnya masih penuh keramahan.
“Tapi kalau mas
masih belum ada uang, saya bisa bantu. Nanti saya akan sampaikan ke atasan agar pasien atas nama Kevin dipinjami lagi obat itu. Tapi, saran saya, setelah
resep ini dipinjami pihak rumah sakit lagi, mas segera siapkan dana untuk resep selanjutnya. Agar pelayanan rumah sakit juga baik nantinya!”
Panjang lebar perawat itu menjelaskan.
Aku bisa
menangkap pesan dari petugas medis muda itu. Apapun akan kulakukan demi buah hatiku.
Ternyata benar kata orang-orang bahwa “Orang miskin dilarang sakit!”.
“Terima kasih
banyak, mas.” Jawabku di akhir percakapan.
Belakangan kuketahui bahwa dia ternyata mahasiswa
sebuah akademi perawat yang sedang magang di RSUD Nganjuk.
*****
“Hanya ini
satu-satunya cara, mas.”
Pelahan, istriku melepaskan sebuah cincin yang
melingkar di jari manisnya. Cincin yang dulu ikut menjadi saksi saat kami
mengikrarkan ijab kabul.
“Pergilah ke toko
emas, jual cincin ini. Demi anak kita, mas.”
Akupun menyerah. Meski harga jualnya tidak seberapa (saat akad pernikahan dulu aku hanya mampu membelikan sebuah cincin murahan), namun
setidaknya bisa untuk menebus resep pertama dari dokter rumah sakit.
Tiga hari
kemudian dokter Agus P, Spa. yang kala itu bertugas di RSUD Nganjuk menyatakan
bahwa kondisi anakku sudah seratus persen sehat dan pulih, sehingga bisa pulang dari rumah
sakit.
Kami bersyukur
akhirnya bisa melewati masa-masa sulit itu. Namun, masalah baru timbul. Tunggakan selama tiga hari rawat inap belum kami lunasi.
“Apapun akan
kulakukan demi anakku!”
Kalimat itu yang senantiasa menumbuhkan asa dalam
pikiran ini. Aku pun pamit kepada istri untuk kembali ke Sidoarjo sesaat. Menemui
seorang kawan sejawat di sana.
“Nanti aku
langsung kembali!” Kukecup kening dua sosok malaikat yang masih tertahan di
ruang Dahlia 2A.
*****
“Aku hanya punya
ini, Kus.” Ratapku. Memohon kepada Kusnanto, seorang teman di tempatku mengais
rejeki di pinggiran kota Delta Sidoarjo. Kusodorkan sebuah buku kepadanya.
“Apa-apaan kau
ini! Kenapa harus kauserahkan BPKB motormu segala?” Jawab kawanku itu, nadanya
terdengar marah.
“Anak dan
istriku masih tertahan di rumah sakit. Aku butuh uang satu juta. Setidaknya, buku ini
sebagai penguat keyakinanmu bahwa aku akan membayar hutang ini.” Jelasku dengan
memelas.
“Nanti, setiap
minggu, upahku kauambil separuhnya. Aku cicil hutang ini, Kus.”
Kusnanto tak
menjawab lagi. Dia masuk ke dalam kamar menemui istrinya. Sementara aku berharap-harap cemas menunggu di ruang tamu. Tak lama kemudian, dia keluar lagi sembari menyerahkan
sepuluh lembar uang ratusan ribu.
“Salam buat
keluargamu. Segera pulang dan secepatnya kembali kesini. Bekerja lagi. Aku dan
teman-teman sudah menunggumu di adukan!” Ucapnya.
Adukan adalah sebutan kami, para buruh di pabrik makanan ringan untuk menamai bagian pengolahan mie.
“Terima kasih, Kus. Semoga Allah membalas semua kebaikanmu hari ini.”
Aku pun pamit.
*****
Kejadian itu kami
alami ketika pernikahan kami tepat berusia dua tahun. Sama dengan usia pernikahan
Bang Syaiha dan mbak Ella Nurhayati sekarang ini. Jagoan
kecilku Kevin Fergiawan ketika itu umurnya masih setahun, seumuran juga dengan Bang Alifnya Bang Syaiha dan mbak Ella.
Kami beda nasib
dan latar belakang, apalagi strata sosial (maaf), mungkin sangat bertolak belakang. Tapi ada kenangan yang tak akan pernah kami lupakan dalam hidup ini.
Betapa terjalnya liku-liku jalan yang harus ditempuh pasangan nikah muda. Yang
pernah kami lalui di usia pernikahan dan usia buah hati seperti usia pernikahannya Bang Syaiha - Mbak Ella dan usia putra tercintanya Alif. Sosok yang kini menginspirasiku dengan kisah pengabdian dan perjuangan hidupnya.
Semoga abadi
ikatan pernikahannya Bang. Seperti legenda Dewi Ratih – Kumojoyo yang langgeng meski
usia sudah senja, dan raga telah dimakan renta. Semakin menginspirasi semua orang (bukan hanya dikalangan komunitas penulis
saja), dan mampu mengawal Bang Alif menjadi sosok masa depan yang amanah,
bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan agama. Amin!
Salam bahagia,
( HERU WIDAYANTO)
Giveaway #2ndAnniversaryElSya
#TrueStory
#ODOP
#PostingHariKeduaPuluhTiga
#ODOP
Keren postingan ini.
BalasHapusMenginspirasi sekali 👍.
Sungguh besar kasih sayang dan pengorbanan orang tua demi anak tercinta
Terima kasih mbk Deasy ...
BalasHapusTulisan saya masih jauh dari kata Keren.
Terharu bacanya..
BalasHapusMakasih mbk Wiwid udh mampir di gubug saya
BalasHapusBarusan saya di sebelah netes netes air liur gegara postingan mba Denik, sekarang hatiku terkoyak koyak membaca tulisan inih, perihhh browww....
BalasHapusSalam buat keluarga
Thnks, salam balik utk klrga mbk Raida
BalasHapusHer, lha ko yo melas men, sedih aku,
BalasHapusOjo mbok ceritakne cah2 Lis, nek aku tau adol cincin kawin kr gadekno BPKB.
BalasHapusHehee ..
Keren, terharu...
BalasHapusApalagi saat bertemu temen pinjem uang...
Keren...
Terima kasih Lukisan Tinta, udah mampir gubug saya
BalasHapusTerima kasih Lukisan Tinta, udah mampir gubug saya
BalasHapusNggak ada kata lagi selain KEREN!
BalasHapusBiasa aj mbk Fika,
HapusMsh jauh dr kata keren.
Mksih udh mampir gubug saya
Mampir di blog ini, krn tertarik judulnya...(coz...ngerasa ada sama nasib haha) baca coretannya...waduhhhh jd ikut memanas mata iniiii....great pak Heru...
BalasHapusMbk Dini tumben mampir gubug saya??
Hapusterima kasih sudah meninggalkan sandal :)
hehe
Kisahnya mengharukan.
BalasHapusGaya tulisan Mas Heru bagus sekali..
terima kasih pak Parto
BalasHapussaya masih harus banyak belajar dari pak Parto ini
Kompor gas... eh kompor mledug dech buat tulisan mas Heru... mantaap... pantas jadi pemenang... bravo!!!
BalasHapusKompor gas... eh kompor mledug dech buat tulisan mas Heru... mantaap... pantas jadi pemenang... bravo!!!
BalasHapusterima kasih mbk Indri
Hapus#salam_ODOP2
Cerpen mas heru selalu ada selipan budaya jawanya. Keren bangett. Ceritanya juga bikin terharu. :-)
BalasHapusterima kasih mbk Vinny
HapusngODOP yukk :)
Sedih banget baca postingan ini. Menginspirasi! Sungguh layak menjadi juara...!
BalasHapusterima kasih mbk Sabrina ..
HapusMencabik hati. Sangat inspiratif. Salam buat istri dan dedeknya.
BalasHapusterima kasih mbk Heni,
Hapussalam buat keluarga Mbk Heni juga
👍👍👍
BalasHapuskisah, alur, bahasanya semua oke.
jadi t'hanyut bacax..
Terima kasih mbak Mual limah ..
HapusTulisan Mas Heru berhasil membuatku terbawa suasana... Keren... ^___^ Semoga Mas Heru sekeluarga senantiasa dalam keadaan sehat dan bahagia selalu ya.. Aamiin...
BalasHapusAmin YRA ..
BalasHapusTerima kasih mbk Tety
Merinding uey bacanya... Kereennnn...
BalasHapusterima kasih kak Ciani
HapusMasya Allah, terharu bacanya..
BalasHapusSemoga keluarga kak Heru selalu diberi kesehatan ya, Insya Allah..
Oya selamat tulisannya menang.. :)
Amin ..
BalasHapusterima kasih mbk Aisyah
ya ampun, sedih banget terharuh, hiks, hiks, tapi salut buat perjuangan Mas dan istri yg mampu melalui. Barakallahu fikum...
BalasHapushttps://chandratatian.blogspot.co.id/2016/11/tangan-tangan-yang-nakal.html ini hiburan ringan semenit