Parnnaha nikanan imah unwana san
hyan prasada atehera jaya stambha
wiwit matewekniranlahakan satrunira
hajjan ri malayu.
(Di
sini, di tempat yang terpilih, didirikan sebuah bangunan suci sebagai tugu
kemenangan. Di sinilah aku mengalahkan musuh-musuhku dari kerajaan Melayu –
Prasasti Anjuk Ladang)
-o0o-
Bandar Alim, 851 Saka.
Senjakala
mulai merayap di atas langit gunung Pandan. Sejauh tatapan mata, hamparannya
hanya memampangkan semburat warna jingga. Pada setiap jengkal tawang di penghujung
senja itu, tiada selain kepak-kepak sayap kawanan burung pemakan bangkai saja
yang akan dijumpai. Bulan paruh Kresnapaksa
yang telah renta, nyaris tak mampu memendarkan sisa-sisa cahaya di akhir masa
edarnya.
Senja
itu adalah senja menjelang malam Anggara
Lêgi, wuku Watugunung, di mana
Hyang Bathari Candra akan meredupkan sinarnya dari hamparan langit.
Sepasang
kekasih sedang berdiri di tepi dermaga tua. Sang gadis matanya sembab, menatap
ke arah seberang bengawan Brantas. Dari dermaga tua itu ia hanya bisa menangisi
upacara atiwa-tiwa prajurit Sriwijaya. Dermaga Bandar Alim.
“Aku
ingin melihat jenasah saudaraku untuk terakhir kali. Izinkan aku menyeberang,
Kangmas!” Rara Paramesywari Sri Mangibhit memohon dengan
nada memelas.
“Maafkan aku, Yayi. Untuk kali ini, aku
tidak bisa mengabulkan permohonanmu,” jawab Rakryan I Hino Mpu Sindok. “Aku
harus membunuh sepupumu, agar mereka segera mundur ke Watu Galuh.”
Rara Paramesywari Sri Mangibhit tidak
menjawab. Gadis itu kembali tenggelam dalam isak tangis. Ia terduduk lemas di
rerumputan sambil memeluk lutut, tak menghiraukan sedikitpun bujukan lelaki
yang berdiri mematung di sampingnya.
Lama mereka tidak beranjak, hingga senjakala
benar-benar ditelan pekatnya malam. Perlahan mendung mulai menggelayut
di atas Bandar Alim. Tetap seperti keadaan semula, Rara
Paramesywari Sri Mangibhit masih enggan beranjak meninggalkan
tepi dermaga. Cakrawala kian menggelap, tetesan gerimis mulai membasahi punggung mereka. Sesekali petir menggampar angkasa,
menyombongkan
diri dengan kilatan cahayanya.
Lalu, disusul gelegar suara bersahut-sahutan.
“Ayo kita pulang ke pesanggrahan, Yayi.
Sebentar lagi mereka juga akan mundur ke Watu Galuh.” Mpu Sindok mengulurkan
tangannya.
Tak ada kata-kata yang keluar dari bibir
Rara
Paramesywari Sri Mangibhit. Ia berdiri, lalu bergelayut
pasrah dalam rengkuhan lelaki di sampingnya.
-o0o-
Lembah Gunung Wilis, Sehari
Sebelumnya.
“Paman
Mpu Danghil, Dimas Brapa Baruk, Sriwijaya telah sampai di Watu Galuh. Orang-orang
Melayu tidak akan pernah berhenti mengobarkan api permusuhan dengan ramanda
Prabu Dyah Wawa dan keturunannya, meski kotaraja kita sudah hancur sekarang.
Mereka akan terus memburuku sebagai orang yang diberi titah untuk menyelamatkan
trah Mataram. Sandibhaya kita juga mengatakan bahwa sebagian dari mereka mulai
bergerak menyusuri bengawan Brantas. Bahkan, sekarang prajurit Melayu telah
membuat pesanggrahan di seberang Bandar Alim, tak jauh dari bengawan Widas.
Jumlah mereka sekitar sepuluh ribu prajurit. Lima ratus di antaranya adalah
pasukan kuda.”
Mpu
Sindok sedang dihadap dua orang punggawanya.
“Sedikitpun
kami tidak gentar, Kangjeng!” Jawab seorang lelaki sambil mengangkat sembah.
“Paman
Mpu Danghil, aku titipkan harga diri Medang di kabuyutanmu!”
“Sendika,
Kangjeng. Seluruh rakyat Margo Anung siap mempertahankan setiap jengkal tanah
Jawa!” Jawab lelaki lainnya yang dipanggil dengan sebutan Mpu Danghil. Dari
penuturannya, bisa dipastikan bahwa ia adalah pemangku kabuyutan Margo Anung.
“Bertahanlah
selama mungkin di Margo Anung. Habisi pasukan Sriwijaya sebanyak-banyaknya.
Semakin jumlah mereka berkurang, akan memudahkan siasat kita di kaki
gunung Wilis ini!”
Mpu
Sindok meraba gagang keris. Ada perasaan tidak sabar dari dalam dadanya untuk
segera menyambut kedatangan pasukan Sriwijaya.
“Lalu,
tugas apa yang harus hamba emban, Kangjeng?”
“Perang
tak akan terelakkan, Dimas Brapa Baruk. Tugas dimas adalah memimpin pasukan
pendem. Bawa prajuritmu ke kabuyutan Gejag. Aku dan paman Mpu Danghil akan
menggiring orang-orang Melayu ke lembah Wilis. Saat kekuatan mereka sudah
terkuras, pasukan dimas keluar dan menghabisi prajurit Sriwijaya di ladang
pembantaian. Kita sambut kedatangan mereka dengan banjir darah di sana!”
Mpu
Sindok mencabut keris, lalu mengacungkan tinggi-tinggi.
“Sendika,
Kanjeng!”
Bergidik
Brapa Baruk dan Mpu Danghil. Keduanya menyembah kepada Mpu Sindok. Pasamuhan di
lembah gunung Wilis diakhiri.
-o0o-
Tepat
pada hari yang diperkirakan prajurit sandibhaya, pasukan Sriwijaya bergerak dari
Bandar Alim ke arah barat, menuju lembah gunung Wilis. Ribuan pasukan panah,
tombak, pedang, serta kuda, dengan Dwaja Bagaskara benar-benar akan menyerbu
Rakryan I Hino Mpu Sindok beserta sisa prajurit Mataram yang ikut menyingkir
dari kotaraja Mataram di Brang Tengah.
Kedatangan
pasukan Sriwjaya dihadang oleh pasukan kuda Mataram yang berjumlah sekitar dua
ratus prajurit ketika mendekati Margo Anung. Sisa-sisa kesatria Mataram itu sudah
menanti di sana untuk memberikan perlawanan.
Mpu
Danghil mengamuk. Ia menjelma bak Dewa Kematian. Dengan sebuah tombak panjang,
kudanya menari-nari di antara pasukan Sriwijaya. Bunyi denting senjata disertai
jeritan manusia yang meregang nyawa mengiringi setiap gerakan pemangku kabuyutan Margo Anung
itu. Satu per satu prajurit kuda Sriwijaya tumbang.
“Garudha wyuha ... garudha wyuha ... garudha wyuha!” Teriak senopati Sriwijaya.
Sontak,
pasukan kuda dari tanah Swarna Dwipa langsung membentuk gelar tempur
menyerupai burung garuda. Sang senopati berada di posisi paruh burung,
sementara ratusan prajuritnya menyebar di bagian sayap dan ekor. Gerakan mereka
seperti kepakan sayap burung raksasa disertai patukan paruh yang mengerikan.
Tak sedikit prajurit Margo Anung yang roboh berkalang tanah.
“Wukir jaladri ... wukir jaladri ... wukir jaladri!” Mpu Danghil tak kalah lantang
berteriak. Serentak, pasukan Margo Anung membentuk gelar tempur menyerupai
sebuah gunung.
Cukup
lama gelar tempur wukir jaladri membendung gelombang serangan pasukan kuda
Sriwijaya yang dilapisi pasukan berjalan kaki di belakangnya. Namun, karena
kalah dalam jumlah, Mpu Danghil beserta prajurit-prajurit Margo Anung terdesak
hingga keluar kabuyutan.
“Kinepung
wakul binaya mangap ... kinepung wakul binaya mangap ... kinepung wakul binaya
mangap!” teriak Mpu Danghil, memerintahkan pasukannya untuk mundur dari Margo
Anung.
Prajurit
Margo Anung di barisan paling belakang merangsek maju. Sementara barisan
lainnya bergerak mundur dengan menjaga jarak sekitar seratus tombak dari
pasukan yang telah menggantikan posisi mereka. Kini, mereka telah terbagi dalam
dua pasukan kecil. Lalu, secara bergantian dua kelompok itu saling melindungi saat
salah satu menjauh dari kabuyutan.
Margo
Anung berhasil diduduki Sriwijaya. Sorak kemenangan menyertai iring-iringan
pasukan yang terus bergerak ke arah selatan, menuju lembah gunung Wilis. Sekitar
lima puluh prajurit tetap berada di Margo Anung. Mereka mengumpulkan
mayat-mayat kawannya dan membawa kembali ke pesanggrahan di Bandar Alim untuk
dibakar.
Ribuan pasukan kuda dan prajurit berjalan kaki
Sriwijaya sampai di kaki gunung Wilis, saat matahari tepat di atas kepala. Kedatangan
mereka sudah ditunggu oleh pasukan yang dipimpin langsung oleh Mpu Sindok. Perang
langsung pecah.
Gelar
tempur wukir jaladri masih digunakan pasukan Mataram dengan ditopang sisa-sisa
prajurit yang telah bertempur di Margo Anung. Mpu Sindok dan Mpu Danghil
mengamuk seperti banteng ketaton. Tombak di tangan keduanya membabat habis
setiap berjumpa dengan prajurit Sriwijaya yang mendekat. Tak terhitung
berapa banyak yang meregang nyawa di tangan dua kesatria Mataram itu.
Strategi
wukir jaladri cukup membuat Sriwijaya terpancing amarahnya. Senopati mereka memacu kuda ke tengah barisan pasukan.
“Samudera
rob ... samudera rob ... samudera rob!” Teriaknya sambil mengacungkan pedang tinggi-tinggi.
Seketika
ratusan pasukan kuda Sriwijaya memutar posisi, mencari kawan untuk
membentuk gelar tempur yang diperintahkan senopati. Hal yang sama juga
dilakukan barisan pasukan berjalan kaki. Mereka menghentikan serangan
sesaat, lalu berlari mencari kawan untuk ikut bergabung dengan gelar tempur
Samudera Rob.
Belum
sempat gelar tempur Sriwijaya itu terbentuk, Mpu Sindok sudah bergerak lebih
cepat.
“Gelatik neba ... gelatik neba ... gelatik neba!” Perintah Mpu Sindok.
Sontak
ratusan pasukan kuda Mataram berhamburan ke barisan pasukan berjalan kaki
Sriwjaya yang lengah sesaat ketika hendak membentuk gelar tempur Samudera Rob.
Serangan seperti kawanan burung gelatik yang terbang mencuri butiran padi
menguning itu membuat pasukan Sriwjaya kelabakan. Jerit kesakitan mewarnai
porak-porandanya gelar tempur mereka.
Mpu
Sindok memutar kudanya, lalu memacu mendekati kuda Mpu Danghil.
“Paman
Mpu Danghil, inilah saatnya kita pancing mereka untuk bergeser ke ladang
pembantaian. Perintahkan semua pasukan Mataram mundur!” bisik Mpu Sindok.
“Sendika,
Kangjeng!” Jawab Mpu Danghil.
Bekas
senopati Mataram yang kini menjadi pemangku kabuyutan Margo Anung itu langsung
memacu kuda ke tengah pasukan. Tangannya di angkat tinggi-tinggi lalu
dikibaskan ke arah utara palagan.
“Mundur
... kita mundur ... kita mundur!” Teriak Mpu Danghil.
Pemandangan
itu membuat senopati Sriwjaya terbahak-bahak. Saat pasukan yang dipimpinnya
mulai porak poranda oleh gelar tempur Gelatik Neba, justru Mpu Sindok dan
sisa-sisa pasukan Mataram lari dari palagan.
“Kejar
... kejar mereka!” Perintah senopati Sriwijaya. Matanya membelalak, mukanya
memerah, menggambarkan ambisi untuk segera mengakhiri perlawanan Mpu Sindok.
Sekitar
dua ribu tombak pasukan Sriwijaya mengejar pasukan Mataram, terdengar gegap
gempita sorakan dari balik lebatnya hutan Kepuh.
“Mereka
datang ... habisi orang-orang Melayu!” Teriak Brapa Baruk yang menjadi senopati
barisan pasukan pendem.
Belum
sempat pasukan Sriwijaya mencari asal suara, muncul ribuan pasukan tak dikenal
dari balik persembunyian. Teriakan dan kehadiran mereka sontak membakar
semangat pasukan Mataram yang bergerak mundur. Kini, jumlah prajurit kedua kubu
yang berperang sudah berimbang.
Saat
itulah, Mpu Sindok memacu kudanya di barisan paling depan. Dia menghunus keris.
Lalu mengacungkan tinggi-tinggi ke cakrawala.
“Para
kesatria Mataram, inilah saatnya kita menyambut Sriwjaya dengan banjir darah
mereka sendiri!”
Bergidik
seluruh pasukan Mataram yang mendengarnya.
“Wahai
orang Melayu, aku Rakryan I Hino Mpu Sindok bersumpah ... kalian akan menyesal
telah menginjakkan kaki di tanah Jawa!”
Sesumbar
dari Mpu Sindok terdengar lantang hingga menggetarkan kabuyutan Gejag. Ribuan
pasukan Mataram seperti mendapatkan kekuatan berlipat. Mereka mengamuk dan menghabisi
setiap prajurit Sriwijaya yang terlihat.
Di
luar dugaan pasukan Sriwijaya maupun Mataram, tiba-tiba dari segala penjuru datang
bergelombang ratusan lelaki, tua dan muda bersenjata ala kadarnya. Mereka
membawa parang, golok, celurit, lalu ikut bergabung ke medan perang.
“Kami
datang untuk membela tanah Jawa, Kangjeng Mpu Sindok!” Teriak ratusan penduduk. Dengan membabi
buta, mereka ikut menyerang pasukan Sriwijaya.
Senja
itu, tanah di kabuyutan Gejag seketika menjadi merah oleh tumpahan darah pasukan
Sriwijaya. Bumi Jawa Dwipa telah menjadi neraka bagi orang-orang Swarna Dwipa.
-o0o-
Sudut Anjuk Ladang, 9
April 2018.
Senja mulai merayap di atas langit kota Nganjuk. Sejauh tatapan mata, hamparannya hanya memampangkan semburat warna jingga. Pada setiap jengkal tawang di penghujung senja itu, tiada keindahan selain gemerlapnya lampu penjor yang menghiasi seantero kota. Bulan paruh Suklapaksa yang telah renta, nyaris tenggelam sinarnya oleh kerlipan itu.
Senja itu adalah senja menjelang senin malam.
Aku sedang menemui seorang gadis yang sebulan ini terus berkeliaran di benak setiap malam.
Vhellyn
membuka percakapan sambil memainkan poni, seperti sengaja meledek aku yang dari
tadi belum berani angkat bicara, walau sepatah kata. Kami duduk berhadap-hadapan
di sebuah meja yang terletak di pojok kafe di pinggir kota.
“Aku
... ingin ... berterus terang ... kepadamu,” jawabku terbata-bata. Kusedot
dalam-dalam segelas es Coca Cola. Padahal, sedikitpun aku tidak merasa haus.
“Oh
ya. Tentang apa, Raf?”
“Apakah
kita pernah bertemu sebelumnya?”
“Sepertinya
tidak.”
“Aku
seperti pernah mengenalmu.”
“Tidak,
Raf.”
Singkat
jawaban Vhellyn. Ia tersenyum, meyipitkan mata, mengernyitkan dahi, lalu menatapku
dengan mimik datar.
Mata
kami bertemu, saling bertatap sesaat. Sunggingan dari bibir indahnya membuat
detak jantung terasa berhenti. Aku tertunduk, lalu berpura pura mengalihkan
perhatian dengan kembali menyedot minuman, tanpa membalas senyumnya.
“Aku
lupa, kapan dan di mana? Tapi perasaanku mengatakan kita pernah kenal." Suaraku
melirih.
“Ehm,
masa sih?”
“Jujur
ya, Raf. Sebenarnya aku juga merasakan ada yang aneh. Sepertinya aku tidak
asing dengan wajahmu.”
Berbeda
dengan ucapan sebelumnya, kali ini mimik wajah Vhellyn nampak lebih serius.
“Tapi
ya sudahlah. Itu gak penting, Vhel. Senang sekali rasanya bisa jalan-jalan bersamamu
hari ini,” ucapku.
“Trims
ya, Raf. Aku juga senang kok.”
Suasana
menjadi lebih mencair, obrolan kami jauh lebih mengalir dari pada awal
pertemuan tadi. Dari bangunan kafe yang terbuka ini, aku bisa melihat
pemandangan senja di bentangan langit seberang barat. Meski mendung nampak
bergelayut di sana, namun perasaanku sangat bahagia sore itu.
“Sebentar
lagi hujan. Ayo kita pulang,” ajakku saat gerimis mulai turun.
Dari
kafe di pinggir kota, perjalanan kami lanjutkan ke arah selatan, membelah jalan
raya A. Yani, berburu waktu yang sudah semakin petang. Sepuluh menit dari
alun-alun, akhirnya kami sampai di simpang empat Candirejo. Hari telah senja.
Gerimis
turun perlahan. Tetesanya terasa membasahi punggung kami. Tiba-tiba kepalaku terasa
berputar, dan pandangan mata berkunang-kunang. Semakin lama kian kabur. Wajah
Vhellyn yang ada di sebelahku sudah tak bisa kulihat dengan jelas.
Mendadak
pula, terlintas bayang-bayang kejadian di masa lalu yang membuat aku seperti
terseret dalam kehidupan lampau.
Dari
jarak dua ratus meter ke arah barat simpang empat Candirejo, aku sudah bisa mencium
aroma kejayaan di masa silam. Seperti ada yang bergejolak dalam hatiku untuk
segera mempercepat laju kendaraan, ke arah taman Candi Lor.
“Vhel,
aku bisa mencium aroma kemenangan disini.” ucapku ketika kami memasuki halaman
Candi Lor.
“Maksudmu
apa, Raf?”
“Lihatlah
Jaya Stambha itu. Apakah kau masih ragu? Kita telah dipertemukan lagi, Yayi,” lanjutku.
Vhellyn
tampak berkaca-kaca, suaranya sedikit bergetar.
Entah
kekuatan apa yang merasuki diriku saat itu, sehingga dengan reflek aku berani
mengulurkan tangan ke arah wanita di sampingku.
“Rara
Parameswari Sri Mangibhit, engkaukah ini, Yayi?” aku
berbisik kepadanya.
Vhellyn tersentak, menghentikan langkahnya,
lalu menjauh mundur satu depa dariku. Ia menutup bibirnya dengan telapak
tangan. Seolah tak percaya dengan ucapanku.
“Kangmas, benarkah kamu adalah Kangmas
Mpu Sindok?” Vhellyn nampak belum percaya dengan kejadian ini.
Sesaat kami berpelukan, melepas
kerinduan yang terpendam selama seribu tahun ini. Seribu tahun pula Isanawikrama
Dharmatunggadewa harus menunggu untuk reinkarnasi, demi menemukan kembali Rara
Parameswari Sri Mangibhit yang lebih dulu menitis ke raga seorang gadis
bernama Vhellyn.
Kugandeng
tangan Vhellyn. Kugenggam erat jemari lentiknya. Sekejap kemudian, warna jingga di atas Jaya Stambha memudar, menenggelamkan
bagaskara di kaki cakrawala Anjuk Ladang.
(Tamat)
Heru
Sang Amurwabhumi
Member Of One Day One
Post
Catatan :
Margo Anung = Desa Ganung Kidul, Kecamatan kota Nganjuk, Jatim sekarang.
Gejag = Desa Gejagan, Loceret, Kabupaten Nganjuk, Jatim sekarang.
Kata-kata
yang disebut dalam awal kisah diatas kini dikenal dengan nama desa Senjayan
(senja) dan desa Ketawang (tawang) di Kec. Gondang, Kabupaten Nganjuk, Jawa
Timur.
Desa
Demangan di kecamatan Tanjunganom, Kabupaten Nganjuk dahulu adalah dermaga
pelabuhan Bandar Alim. Letusan dahsyat gunung Kelud selama berabad-abad
mengubah jalur aliran bengawan Brantas (sungai Brantas) seperti sekarang.
Tepian
bengawan Brantas di sisi sebelah timur (seberang
pelabuhan Bandar Alim) yang dijadikan persinggahan dan markas pasukan
Melayu dari pangkalan Jambi, kini dikenal dengan nama Desa Jambi, berada di Kecamatan
Baron, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.
Rara
Prameyswari Sri Mangibhit adalah istri dari Sri Maharaja Isana
Wikrama Dharmatunggadewa.
Delapan tahun setelah kemenangan gemilang pasukan Mataram atas Sriwijaya, di kabuyutan Gejag didirikan tugu
Jaya Stambha atas perintah Mpu Sindok. Kini, tugu itu dikenal sebagai Candi Lor di desa Candirejo, Kecamatan
Loceret, Kabupaten Nganjuk. Meski kondisi fisiknya sudah aus terkikis jaman
selama seribu tahun, namun bangunan itu masih berdiri megah hingga sekarang.
Pengucapan
kata Anjuk Ladang seiring jaman berubah menjadi Nganjuk. Sementara hari didirikannya tugu kemenangan (Candi Lor)
itu diperingati sebagai hari jadi Anjuk Ladang (Nganjuk) setiap tanggal 10 April.
Belum pernah baca kisah ini.
BalasHapusAda rasa penasaran Cak.
Dalam buku sejarah yang pernah ku baca.
Mpu sendok patih kerajaan Mataram Kuno. Yang mengungsi dan mendirikan dinasti Isyana.
Dalam kisah di atas juga menyebutkan raja Wawa (raja terakhir Mataram)
Berarti Mpu Sendok belum menjadi raja ya Cak?
Betul. Karena kemenangan gemilang di Anjuk Ladang itu pula, ia diberi kepercayaan untuk meneruskan tahta atas tanah Jawa.
HapusHuaaahhh... keren.
BalasHapusThe best 😇👍
wehehehe ...
Hapusmasih belajar ah =D
Kereen alur ceritanya.
BalasHapusSemoga nantinya dipublish jadi buku seri.
terima kasih, Mas.
HapusKetawang, senjayan, demangan, itu deket sama rumah mbahku semua wkwk. Brarti itu pelabuhannya deket rumah mbahku desa karangsemi juga ya?? Di ganung ada makam yg namanya makam mbah enggot, tau sejarahnya gak min??
BalasHapus